Kerinduan untuk menerima lebih banyak: suatu keseimbangan oleh Hans van Benthem dan Klaas de Vries
”Merindukan untuk menerima lebih banyak dari Roh”, demikian bunyi subjudul buku ini. Para penulis buku ini telah mengalami di dalam gereja mereka daya tarik suatu kerinduan untuk menerima lebih dari Roh. Hal itu tidak baru di dalam sejarah gereja, dan bukan saja ditemukan di dalam gereja mereka. Sebaliknya, kerinduan ada di mana-mana saja dalam umat Kristen, di seluruh dunia, di semua negara. Yang sangat jelas ialah kenyataan bahwa kerinduan pada semangat lebih secara tersendiri tidak salah, tetapi sangat jelas. Semua penulis buku ini mengetahui kerinduan itu sendiri dan mengaminkannya dengan sepenuh hati mereka. Namun, yang dipersoalkan mereka adalah isi dan arah kerinduan yang sering timbul di dalam gereja, dan yang dapat dicirikan dengan istilah ”kerinduan karismatik”.
Kerinduan akan semangat lebih diisi dengan hal-hal yang sangat istimewa dan spektakuler, di mana seperti penyembuhan, nubuat, dan berbicara dalam bahasa lidah. Sering timbul pendapat bahwa gereja-gereja harus merindukan memiliki tanda-tanda itu dan harus lebih berusaha untuk mendapatkannya. Jadi, kerinduan akan lebih semangat disamakan dengan kerinduan akankarunia-karunia khusus.
Pendek kata: pembaruan rohani = pembaruan karismatik.
Di buku ini sudah dibahas dengan panjang lebar tentang apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai karunia-karunia tersebut.
Dalam bab yang terakhir ini kami akan meninjau kembalimotif-motif lebih yang sering menyalakan diskusi tentang kerinduan karismatik. Menurut Tuhan Allah sendiri, berdasarkan firman-Nya, apakah cukup bagi kita? Apakah itu mungkin lebih banyak daripada yang kita tangkap sudah cukup?
Bab terakhir ini dibagi dalam 8 subjudul:
Mengapa justru pada zaman ini pokok tentang ”kerinduan akan pembaruan rohani” mendapat perhatian yang begitu besar?
Wajarlah kalau dalam menjawab pertanyaan itu, orang menunjuk pada keadaan di mana agama Kristen dan jemaat Kristen sekarang ini berada. Meskipun begitu aktualitas pokok persoalan ini sebagian besar juga berhubungan dengan fase budaya masa kini.
Di bawah ini secara singkat kami menunjukkan aspek-aspek budaya yang harus kita pikirkan.
Materialisme dan kompensasinya
Negara kita makin kaya dan makmur. Banyak sekali orang berusaha keras untuk maju ke depan. Mereka sangat menyukai kekayaan dan harta benda. Materialisme sudah menjadi cara sering cara yang satu-satunya untuk hidup. Banyak hal tergantung dari uang.
Kebanyakan orang tidak pernah merasa puas dan selalu ingin mendapat lebih banyak. Yang penting ialah meniti karir dan menjadi kaya. Supaya mereka dapat menikmatinya sepuas-puasnya.
Mereka ingin sanggup hidup mandiri. Dan itu makin berlaku bagi seluruh penduduk. Materialisme membuat masyarakat (khususnya di dunia Barat, tetapi juga makin lebih di seluruh dunia) makin keras dan dingin. Materialisme mengakibatkan banyak tekanan batin (stres). Di bidang komersial, masyarakat tidak kenal ampun.
Masyarakat kaya seperti itu menimbulkan reaksi yang berlawanan. Hanya beberapa gelintir orang Barat yang masih perlu memikirkan bagaimana caranya mencari nafkah. Oleh karena itu mereka mempunyai banyak ruang untuk menyibukkan diri dengan diri mereka sendiri, yaitu untuk mencari tambahan kekayaan, perkembangan dan kebahagiaan pribadi.
Dalam waktu santai, orang-orang mencari lebih banyak pengalaman dan apa pun yang bisa menggairahkan mereka sebagai kompensasi akan kekerasan dan stres bisnis mereka.
Misalnya menghabiskan liburan di tempat-tempat yang jauh dan indah. Mencari pengalaman-pengalaman yang paling menegangkan. Atau meraih rasa bahagia karena membeli mobil yang baru, membangun real estat, atau merenovasi dapur, taman, dan sebagainya ketika mereka menjadi lebih mewah.
Di samping pencarian pengalaman untuk mengompensasikan tugas sehari-hari yang serba tegas dan dingin, dapat muncul juga sebuah ”gelombang kelembutan”, yang ingin melunakkan sikap yang dingin dan tegas itu. Mereka mendambakan harmoni, dan ingin merasa nyaman dan santai. Untuk menghindari dunia luar yang kejam dan keras, mereka ingin memiliki kehangatan, kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan pribadi mereka.
Rasionalisme dan kompensasinya
Dunia Barat sangat dipengaruhi oleh masa Pencerahan. Aliran filsafat itu dicirikhaskan tekanannya akan rasio, yaitu akal budi manusia.
Penganjurnya yang paling terkemuka ialah Descartes (abad ke-17) dengan ucapannya dalam bahasa Latin yang tersohor: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, jadi Aku ini Ada). Namun, lambat laun telah timbul wawasan bahwa akal budi manusia tidak dapat memecahkan segala persoalan. Dan lebih parah lagi, ”pemecahan persoalan” yang dihasilkan oleh akal budi manusia, ternyata sering menimbulkan masalah-masalah baru, kadang-kadang bahkan yang lebih besar lagi.
Untuk mengompensasi efeknya, orang-orang sekarang beralih ke ujung lain yang paling ekstrem: bukan rasio melainkan perasaan mereka menjadi tolak ukur segala-galanya.
Mereka mencari pengalaman-pengalaman yang dalam dan hangat untuk mengimbangi penalaran yang dingin.Pengalaman-Pengalaman yang hangat itu menjadi kompas satu-satunya yang mereka andalkan dalam mengarungi lautan kehidupan ini. Hanya apa yang betul-betul mereka alami, adalah benar. Apa yang terasa nyaman, itulah yang baik. Mereka mengambil segala keputusan secara intuitif dan berdasarkan perasaan. Ingin sekali mereka disentuh dalam emosi. Banyak acara-acara televisi menemukan kebutuhan itu, dengan menayangkan orang-orang yang justru sedang mengalami saat-saat yang emosional. Sedangkanorang-orang yang pandai mengendalikan emosi, menurut mereka tidak menarik.
Individualisme dan kompensasinya
Bersamaan dengan rasionalisme berkembang juga individualisme.
Umat manusia pecah menjadi individu-individu yang saling tidak berhubungan. Orang-orang tidak lagi menganggap dirinya sebagai bagian dari keseluruhan yang besar. Mungkin di Indonesia belum begitu kuat, tetapi banyak negara Barat bergumul dengan problem itu. Mereka makin lupa bahwa sebenarnya mereka berada dalam sejarah yang lebih besar. Hanya mereka sendiri menjadi pusat alam semesta ini. Dan hal itu mengakibatkan bahwa mereka kekurangan akan orientasi dan pengalaman bermasyarakat bersama-sama.
Sebagai reaksi timbul kerinduan untuk kembali pada pengalaman bermasyarakat. Kerinduan untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok lagi. Mereka masing-masing mencari kelompok yang cocok, yang mempunyai selera dan gaya mereka. Boleh jadi kelompok itu adalah klub olah raga, klub hobi, atau budaya tertentu bagi kaum muda. Boleh jadi juga sebuah pertemuan massa yang bersifat anonim dan sementara, seperti konser musik pop atau pertandingan sepak bola.
Sekularitas dan kompensasinya
Dalam waktu yang sangat singkat orang-orang di dunia Barat menjadi tidak akrab lagi dengan Allah. Walaupun hal itu di Indonesia belum begitu hebat, perkembangan di dunia Barat merupakan nasihat bagi seluruh dunia. Dan dalam beberapa dasawarsa, Allah makin menghilang, misalnya dari negeri Belanda. Allah tidak lagi mempunyai peran yang penting. Iman dan gereja tidak lagi memberi cap kepada bangsa Belanda dan politik kenegaraan.
Allah makin hilang dari negara ini, yang dulu penuh dengangereja-gereja yang dikunjungi sangat banyak orang setiap hari Minggu.
Memang, masih ada gereja-gereja yang setia dan yang gedungnya penuh, tetapi banyak orang sama sekali tidak merasa rindu lagi kepada Allah.
Namun, tampaknya terjadi perubahan dalam keadaan itu.
Sebab kekosongan spiritual yang dialami mereka, minta pengisian.
Sehingga banyak orang mencari lagi pengalaman-pengalaman yang transenden, yang tidak dapat ditangkap dengan indra kita.
Rasa kekosongan itu harus diisi oleh rasa lain yang lebih tinggi dan lebih agung. Ajaran-ajaran agama lain, seperti dari Buddha, Hindu, New Age dan bahkan okultisme dan spiritualisme dengan senang menyediakan pengalaman-pengalaman yang ajaib itu. Golongan paranormal menjadi sangat laris.
Dampak-baliknya pada orang-orang Kristen dan gereja
Semua fenomena itu (materialisme, rasionalisme, individualisme, sekularisasi) sudah memengaruhi gereja dan menimbulkan reaksi. Itu wajar, karena gereja hidup di tengah-tengah budaya.
Pengaruh segala fenomena itu mulai menjalar pada gereja, dan menjadi semakin kuat, mungkin lebih kuat daripada yang disadari oleh gereja itu sendiri.
a. Materialisme Orang-orang Kristen juga hidup di tengah-tengah dunia keras yang sudah menjadi materialistis itu. Sebagian dari mereka terpengaruh oleh keinginan untuk mengumpulkan harta. Lalu mereka mengejar apa yang ditawarkan oleh kemakmuran kepada mereka. Jelas tampak bahwa agama menduduki tempat yang kedua. Iman mereka menjadi lemah dan suam-suam kuku.
Sedangkan golongan orang miskin makin mencari materialisme itu dan merasa tertarik pada ”agama” yang dapat mengisi pengharapan materialistis mereka. Jelaslah bahwa bagi orang miskin teologi kemakmuran (teologi sukses) memiliki daya tarik yang luar biasa.
Orang Kristen yang lain lagi, tidak mau menyerah begitu saja kepada daya tarik itu. Mereka menyadari bahwa iman mereka memerlukan dorongan rohani yang baru. Mereka mencari kehangatan, pengalaman, perasaan, dan iman yang penuh semangat untuk mengimbangi suasana dingin di sekitar mereka dan kelemahan iman mereka sendiri. Mereka mencari dan merindukan semangat baru di bidang rohani.
b. Rasionalisme
Gereja-gereja yang berpengakuan iman tradisional terancam bahaya bahwa rasio akan memainkan peran yang dominan. Di gereja-gereja di mana hal itu terjadi, keberhasilannya ternyata tidak mencakup segala bidang. Banyak bagian dalam Alkitab yang tidak dapat disesuaikan dengan rasio itu telah dicoret, karena akal budi mereka ”tidak mampu memahaminya”. Akibatnya, banyak orang tidak lagi menghormati Alkitab sebagai firman Allah. Lagi pula, pendekatan iman secara rasional cenderung melupakan bahwa Allah berbicara kepada orang-orang bukan saja melalui akal budi, tetapi juga perasaan dan hati. Ia berbicara kepada seluruh manusia.
Biasanya pemimpin-pemimpin gereja ”main line” fasih berbicara norma-norma Tuhan dan cara mengorganisasi kehidupan Kristen secara tegas. Namun, apabila yang dibicarakan ialah perasaan pribadi tentang perbuatan-perbuatan besar Allah, sering percakapannya menjadi macet. Mereka tidak begitu senang membicarakan masalah-masalah tentang iman pribadi. Sering alasannya ialah: ”Kita sudah saling mengetahui makna segala unsur iman”. Ada beberapa orang yang melangkah lebih jauh lagi. Mereka menganggap segala pembicaraan tentang iman pribadi sebagai sesuatu yang pietistic (golongan orang saleh) dan terlalu subjektif.
Pada zaman ini maka kita melihat reaksi-balik yang jelas mengandung kecenderungan untuk meraih keterlaluan.
Bagaimanapun juga, mereka ingin mengalami Allah dalam hidup mereka, mau tidak mau. Penalarannya begini: Apa artinya iman kalau aku tidak mengalami sesuatu dari iman itu? Sebuah khotbah hanya bagus kalau mereka merasa hati mereka tersentuh olehnya.
Kalau tidak, khotbah itu tak berguna bagi mereka. Pengalaman pribadi, itulah norma bagi mereka untuk menilai ibadah gereja.
Juga di dalam gereja banyak orang makin berpikir bahwa apa yang terasa baik, adalah baik. Kalau mereka bertemu dengan orang Kristen karismatik yang dengan spontan berbicara dan bersaksi tentang iman pribadinya, hati mereka gampang tersentuh sehingga terlupakanlah segala perbedaan dasar ajaran agama. Gereja yang dikuasai oleh pendapat tentang pengalaman, pasti akan kurang memperhatikan kebenaran dan ajaran.
c. Individualisme Individualisme juga telah menyerang ke dalam gereja-gereja.
Banyak orang Kristen hanya hidup untuk dirinya sendiri. Sebagai akibatnya kehidupan dalam persekutuan orang-orang kudus dialami sebagai masalah. Orang-orang mengeluh karena tidak ada lagi keramahan dan hubungan-hubungan yang hangat. Sikap yang kaku, yang menghalangi orang-orang untuk saling berbagi iman pribadi secara spontan dan terbuka, memperkuat rasa kesepian dan rasa dijauhi.
Kalau gereja-gereja setempat tidak sanggup menangani hal itu, para anggotanya berpaling ke tempat lain untuk mencari pengertian. Mereka ingin menjadi bagian sebuah persekutuan lagi, yang mereka ras telah hilang dalam gereja asal mereka.
Pengalaman bersekutu itu dapat ditemukan dalam pertemuan keluarga, atau pertemuan kaum Ibu, kaum Bapak atau kaum muda.
Persekutuan itu dapat juga dialami dalam sebuah gereja massal, khusus untuk kaum muda, atau dengan bergabung dengan gereja yang penuh semangat, yang bertumbuh dengan pesat. Sambutan hangat yang diberikan dalam jemaat-jemaat karismatik kepada para pendatang baru, sangat menyenangkan bagi mereka. d. Sekularisasi Sekularisasi di dunia baru (tetapi pasti juga di Indonesia) sangat mempersulit banyak orang Kristen yang setia pergi ke gereja.
Banyak di antara mereka bertanya dalam hati: ”Di manakah Allah?”
Mereka tidak menjumpai Dia lagi di mana pun. Tidak di tempat kerja mereka. Tidak dalam lingkaran teman-teman mereka.
Tidak dalam siaran radio maupun televisi. Di manakah Dia dapat dijumpai? Mereka mencari-cari terus sampai hampir putus asa.
Semuanya mereka coba supaya dapat menerima tanda-tanda, bukti-bukti dan pengalaman-pengalaman yang menunjukkan kehadiran Allah. Ingin sekali mereka suka mengalami sesuatu yang membuat mereka mengatakan: Benar! Allah memang hadir dan bekerja! Dia hadir di dalam hidupku! Banyak kursus karismatik mengisi kebutuhan ini.
Mengalami, merasakan, menyadari, semua itu merupakankata-kata yang magis pada zaman sekarang. Tambah lagi, di Indonesia kata-kata itu bukan saja memainkan peran yang besar dalam suasana modern, melainkan juga dalam banyak agama tradisional dan budaya adat istiadat. Tidak mengherankan bahwa justru dalam iklim itu gerakan karismatik dengan mudah berakar dan tumbuh dengan subur...
”Merindukan lebih banyak”. Tampaknya kata-kata itu menjadi ungkapan yang menunjukkan ciri khas orang-orang yang tergolong bagian tertentu dalam agama Kristen. Mereka merindukan lebih banyak. Seakan-akan orang-orang Kristen lain yang biasa (dari gereja-gereja mapan) tidak mengenal kerinduan itu. Namun, semestinya pendapat itu tidak benar. Soalnya, semua orang yang percaya pada kebenaran Alkitab, pasti tahu apa artinya merindukan untuk mengalami lebih banyak. Hanya perlu dijelaskan, apakah tepatnya yang dirindukan mereka? Isi kerinduan itu berbeda. Di bawah ini kita akan mendaftarkan kerinduan-kerinduan yang benar (yang wajar), dan kerinduan-kerinduan yang dapat dipersoalkan (karena kurang wajar).
Kerinduan-kerinduan yang benar
Dalam banyak hal, kerinduan untuk mengalami lebih banyak itu bersifat murni alkitabiah. Berikut ini ada beberapa contoh di mana disinggung ungkapan ”lebih” dan ”pertumbuhan”,
- lebih benar hidup keagamaan (Mat. 5: 20);Kerinduan untuk mengalami lebih banyak itu memang baik dan seharusnya kita sambut dengan hangat. Malahan, kalau kerinduan itu tidak ada, kita harus merasa khawatir. Kita boleh saja mengajukan pertanyaan berikut ini pada diri kita sendiri: Bagaimana keadaan gereja kalau buah Roh hanya sedikit sekali tampak di situ? Apakah kita sungguh-sungguh menyadari bahaya besar yang mengancam, seperti yang diperingatkan oleh Alkitab, yaitu bahaya tentang iman yang mati? Apakah kita masih khawatir bahwa kita akan puas karena merasa sudah mapan dan bahwa kehidupan iman kita telah macet?
Kadang-kadang orang-orang Kristen dapat memancarkan sikap puas diri. Sebab itu janganlah kita terlalu cepat mengatakan: Kita ini sudah menerima lebih dari cukup... Dalam jemaat di Laodikia terdengar juga kata-kata ini: Aku tidak kekurangan apa-apa. Kristus menilai kata-kata itu dengan sangat berbeda (Why. 3: 17,18). Dari penilaian itulah kita sebagai gereja harus belajar bagaimana harus menilai diri sendiri secara kritis. Meskipun banyak sekali hal yang baik, tetapi itu bukan alasan bagi kita untuk langsung dan dengan rasa jengkel, mengesampingkan segala pertanyaan kritis tentang keadaan yang sebenarnya dalam gereja kita.
Pengalaman
Permintaan untuk mengalami dan merasai lebih banyak dari iman, memang dapat dimengerti dan pada dasarnya harus dinilai secara positif. Kepercayaan melibatkan seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Dan tentu saja melibatkan juga batin kita.
Kita boleh rindu supaya dapat percaya sepenuh hati. Supaya Allah sungguh-sungguh mengubah dan membarui kita sampai ke lubuk hati kita. Iman menyentuh lapisan-lapisan perasaan manusia sampai pada lapisan yang paling dalam.
Pada zaman ini ”merasai” iman berbunyi seperti mantra dalam umat Kristen. Sebaiknya kita berhati-hati menyikapinya. Kita terancam bahaya besar apabila pikiran kita terlalu terpusat pada keinginan untuk ”merasai” (jadi terarah emosi, penghayatan, pengalaman subjektif). Benar sekali, tetapi janganlah bereaksi dengan mengesampingkan segala ”perasaan” dari kehidupan kita, dan menolak segala ”pengalaman” dari gereja, seakan-akan itu patut dicurigai. Untuk kepentingan struktur persekutuan, maka gereja-gereja yang tumbuh dalam tradisi Reformasi mempunyai banyak peluang untuk melakukan pembaruan. Diskusi dalam kelompok-kelompok dan dalam lingkaran-lingkaran kecil tentang kehidupan bersama dengan Allah, memicu rasa saling bersaudara, yang sangat mereka rindukan. Ada kalanya kalau kita membicarakan bersama kegembiraan dan pengharapan, dan juga segala kesulitan dan keragu-raguan dalam kehidupan bersama dengan Allah, kita merasa terhibur dan hati pun menjadi hangat. Maka dengan saling berdampingan dan bantumembantu, kita bersama-sama menjalani iman kita. Kalau sikap keterbukaan dan spontanitas itu tidak ada dalam gereja-gereja tradisional, maka ada bahaya bahwa para anggotanya yang masih muda atau yang lebih tua akan pergi dan mencari sikap terbuka dan spontanitas itu dalam persekutuan orang Kristen yang lain. Bukan karena mereka menganggap ajaran di situ lebih baik. Namun, karena di situ mereka menemukan apa yang mereka rindukan, yaitu: dukungan dan penghiburan dalam menjalani iman mereka bersama-sama. Itulah yang pada dasarnya mereka inginkan. Dan kalau di tempat yang baru itu terdapatgagasan-gagasan karismatik, mereka menerimanya saja.
Kerinduan-kerinduan yang tidak wajar
Pada titik-titik manakah, kerinduan untuk menerima lebih banyak itu, terasa kurang sesuai dengan firman Allah?
a. Tidak wajar kalau ”lebih banyak” ialah mencari suara Roh yang ekstra dan di batin kita, di samping mendengarkan dan merenungkan firman Allah (bab 5).
b. Tidak wajar kalau ”lebih banyak” itu berarti bahwa di samping baptisan biasa masih harus diterima semacam pengalaman yang ekstra, yaitu baptisan dengan (atau dalam) Roh (bab 1, 2, dan 9).
c. Tidak wajar kalau ”lebih banyak” itu menyebabkan tahap kedua, yang lebih tinggi dan lebih baik daripada orang Kristen biasa. Tahap yang lebih tinggi itu ditandai oleh penerimaan karunia-karunia luar biasa seperti berbicara dalam bahasa lidah (dalam arti bahasa rahasia yang diucapkan dalam keadaan penuh ekstase), penyembuhan-penyembuhan yang ajaib, dan perbuatan saling memberkati dengan kekuatan (bab 6, 7, dan 8).
d. Tidak wajar kalau ”lebih banyak” itu menyebabkan adanya dua jenis orang Kristen, yaitu di satu pihak, orang-orang Kristen yang karena kekuatan Roh (atau kekuatan iman) sudah dibebaskan dari dosa dan segala akibatnya (seperti penyakit). Dan di pihak lain, orang-orang Kristen yang belum dibebaskan dari dosa dan segala akibatnya (bab 3 dan 4).
e. Tidak wajar kalau ”lebih banyak” itu lebih penting daripada (dan bahkan menguasai) apa yang diajarkan Kitab Suci kepada kita sehingga Alkitab kurang berwewenang daripada pengalaman-pengalaman spektakuler (bab 9).
Lima sola
Selanjutnya kami hendak menunjukkan apa yang tetap penting bagi gereja-gereja Reformasi supaya mereka dapat tetap vital dengan cara yang sekaligus bertanggung jawab secara alkitabiah.
Dan titik tolak yang kami pilih dalam hal itu ialah kelima sola yang sejak awal Reformasi telah menjadi lambang Reformasi. Biasanya hanya disebut tiga sola, melainkan sebenarnya ada lima: Sola Scriptura (hanya Kitab Suci), Sola Fide (hanya karena iman), Sola Gratia (hanya karena anugerah), Solus Christus (hanya Kristus) dan Sola Deo Gloria (kemuliaan hanya bagi Allah).
Apakah yang harus kita lakukan pada zaman ini, di mana budaya diliputi kegelapan yang diakibatkan oleh hilangnya pergaulan dengan Allah sebab Allah makin keluar dari kehidupan seharihari? Apakah yang harus kita lakukan, apabila kita menyadari bahwa kita makin kurang merasakan kehadiran-Nya? Haruskah kita mencari Dia dengan kebingungan, di mana-mana? Haruskah kita berusaha menemukan Dia dalam hati kita sendiri atau hati orang lain? Haruskah kita berusaha sekuat tenaga untuk menaikkan diri kita sehingga naik ke surga, untuk meminta Kristus supaya turun? Ah tidak! Itu semua hanya membuang-buang tenaga. Dan usaha itu pasti akan gagal. Tuhan sendiri dengan penuh kuasa, dan tanpa dapat ditahan siapa pun, akan mendobrak apa yang disebut kegelapan yang diakibatkan oleh ketidakhadiran-Nya itu, dan Dia akan menembus kabut berupa kekurangan pengalaman rohani. Bagaimana? Firman itu dekat kepadamu! (Rm. 10: 8).
Firman itulah berkas cahaya yang kuat, yang dipakai Roh Kudus untuk menghangatkan kehidupan iman kita yangkadang-kadang dingin itu. Firman itu pula menerbitkan bintang timur di hati kita yang diliputi oleh kegelapan (2Ptr. 1: 19).
Yesus: Sola Scriptura
Siapa yang mencari pegangannya dalam firman Allah, dan membaca serta merenungkannya siang dan malam, dia bertindak dengan benar. Tidak lain daripada Tuhan Yesus sendiri telah menjadi teladan kita dalam hal itu. Dialah Teladan Yang Agung dan yang paling penting. Seluruh hidup-Nya ditandai oleh Kitab Suci.
Dialah yang pertama-tama memberi jawaban yang berbunyi: ada tertulis. Tidak pernah Juru Selamat kita itu berhenti bergaul dengan Kitab Suci, sejak saat Dia dicobai oleh Iblis di padang gurun (Mat. 4: 4,6,7,10) sampai pada penderitaan-Nya di kayu salib(!). Bahkan setelah kebangkitan-Nya dalam kemuliaan, lagi-lagi Dia bertitik tolak dari kitab Musa dan kitab para nabi ketika bercakap-cakap dengan kedua pengikut-Nya yang sedang berjalan menuju Emaus. Dua kitab itu sering dikutip-Nya karena di situlah ditemukan-Nya firman Bapa-Nya. Mengikuti Kristus berarti mulai dengan kehidupan yang berdasarkan pedoman utama: ada tertulis. Dalam hal itulah Dia menjadi teladan kita:
Dia hidup dengan Alkitab dekat kepada-Nya.
Satu-satunya sumber wahyu
Apakah ada cara-cara lain di samping Alkitab yang dipakai Allah untuk berbicara kepada kita pada masa kini? Misalnya saja memberi ilham secara langsung pada saat yang sunyi? Apakah Roh baru menjadi benar-benar aktif sesudah Alkitab dibuka? Sehingga kita dapat mengatakan: Inilah yang dikatakan Tuhan secara langsung kepadaku? Atau: Aku merasa bahwa Allah hendak mengatakan hal ini atau hal itu kepadaku?
Di mana pun dalam Alkitab tidak ada nasihat supaya kita mencari wahyu khusus yang ada di samping Alkitab atau supaya secara sadar dan metodis kita membuka diri untuk menerima sesuatu wahyu dari Allah. Allah memang dapat memilih jalan yang lain untuk menyampaikan sebuah pesan kepada manusia. Bukankah Dia Mahakuasa? Dialah berdaulat! Namun, Dia mengikat kita pada masa kini pada Alkitab. Itulah jalan utama yang dipilih-Nya untuk kita dapat berjumpa dengan Dia.
Kita menolak pendapat bahwa kita harus bertitik tolak dari keyakinan bahwa di samping Alkitab, Allah memakai cara-cara lain melewati Alkitab untuk berbicara kepada kita, dan bahwa kita harus mencari ilham-ilham langsung dari Allah yang dipakaiNya untuk memimpin hidup kita. Dalam sejarah gereja pendapat itu sudah sering mengakibatkan malapetaka. Tidak jarang pendapat itu membawa anak-anak Allah ke jalan yang sesat.
Biasanya angkatan mereka yang mulai mengarahkan diri kepada penyataan-penyataan yang khusus, pasti masih menyadari segala risiko yang mereka hadapi. Karena sejak kecil mereka berakar di dalam Kitab Suci, maka mereka bertindak hati-hati dan berusaha menguji segala penyataan itu berdasarkan Kitab Suci. Namun, jika sudah masuk jalan itu, apa yang terjadi dengan anak-anak mereka?
Di kemudian hari, pada generasi yang berikut, akar yang sehat itu semakin menghilang. Dan tak ayal lagi, akibatnya ialah pergaulan yang semakin kendur dengan firman Allah yang tertulis, termasuk kesatuan Firman itu dan hubungan-hubungan di dalamnya. Sebab itu hendaklah dengan tegas kita mengambil jarak dari segala apa yang menarik perhatian kita dari Kitab Suci kepada hal lain. Hal itu lebih-lebih berlaku apabila kita percaya kepada apa yang dikatakan oleh Kitab Suci sendiri tentang cara Iblis bekerja. Iblis itu pandai menyamar sebagai malaikat Terang (2Kor. 11: 14). Dia akan berusaha supaya pesan-pesan yang sampai kepada manusia, pada mulanya sesuai dengan Alkitab (begitu misalnya juga pada saat ia mencoba Yesus di padang gurun. Dengan cara itu para korbannya tergoda untuk percaya bahwa jalan penerimaanpenyataan-penyataan khusus dapat diandalkan. Juga banyak mukjizat,tanda-tanda dan kekuatan-kekuatan akan menakjubkan banyak orang dan diterima mereka sebagai penyataan Allah, sehinggaorang-orang bertanya: apa salahnya semua itu? Namun, Kristus dapat mengatakan nantinya bahwa di antara semua pekerjaan itu, banyak telah dilakukan oleh orang-orang yang durhaka (Mat. 7: 22-23)!
Hendaklah kita waspada terhadap taktik si lawan yang licik itu. Justru mengenai taktik itu kita sudah diperingatkan dengan keras oleh Kitab Suci. Sudah banyak orang yang dengan perlahanlahan tetapi pasti dibawa ke jalan yang sesat oleh ”ilham-ilham” yang langsung itu, yang terdengar sangat meyakinkan, sehingga mereka mengatakan: Inilah pesan Roh kepadaku. Jalan yang sesat itu membawa mereka tidak lebih dekat melainkan makin jauh dari Kitab Suci. Suara-suara ekstatis yang disebut bahasa lidah yang dipuji-puji sebagai karunia Roh, sering dibuktikan berisi hujatan terhadap Allah. Maka terungkaplah bahwa Iblislah yang bekerja di balik semua itu.
Kitab Suci tolak ukur. Bukan pengalaman
Kadang-kadang ”Alkitab” dan ”pengalaman” saling bersaing dengan sengit. Misalnya, pengalaman-pengalaman luar biasa yang tertentu, mendapat kritik berdasarkan Alkitab. Ternyataorang-orang yang telah mendapat pengalaman itu sering kurang peka terhadap kritik itu. Mereka tutup telinga dan menjawab: ”Apa saja yang Anda katakan berdasarkan Alkitab, tetapi bagaimanapun, aku telah mengalaminya! ”Tampaknya, ”pengalaman” adalah argumen yang lebih kuat daripada Kitab Suci. Maka dengan mendasarkan diri pada pengalaman dan rasa yang nyaman, Alkitab dikesampingkan. Hal seperti itu tidak jarang terjadi dalam diskusi tentang berbagai fenomena yang bersifat karismatik.Pengalaman-Pengalaman itu seakan-akan melampaui segala bentuk keraguraguan, juga kalau disoroti firman Allah secara kritis.
Apabila ”pengalaman” menjadi lebih penting daripada sikap tunduk kepada ”Alkitab”, maka akan lahir gereja yang berbeda jenis dan dasarnya. Yaitu gereja di mana kesatuannya ditentukan apa yang secara bersama-sama dialami dan dirasakan. Dan gereja itu pada dasarnya sangat berbeda dengan gereja Reformasi.
Gereja Reformasi terdiri dari orang-orang yang dengan bersamasama mengamini seluruh firman Allah, meskipun kadang-kadang mereka masing-masing mengertinya secara berbeda. Satu hal yang tetap berdiri: Yesus Kristus adalah dasar kehidupan (imani) mereka.
Dialah yang selalu berada di titik pusat. Dengan rukun mereka semua mendengarkan suara-Nya. Kata-kata-Nya menggairahkan dan mengoreksi pengalaman mereka.
Penyataan Allah: sudah lebih daripada cukup!
Mengapa kita menginginkan lebih daripada Kitab Suci? Apakah di dalamnya Allah tidak cukup menyatakan diri-Nya?
Roh telah memberi kepada gereja perkataan para nabi dan para rasul dalam bentuk buku Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Dia telah memberi kitab-kitab penuh mazmur dan hikmat. Allah telah mengutus Anak-Nya kepada kita, dan segala Firman, ajaran, perbuatan, tanda-tanda dan mukjizat-Nya telah tercatat dalam tidak kurang dari empat versi kitab Injil. Dia telah memberisurat-surat rasuli, surat-surat pastoral, dan kitab Wahyu. Pendek kata, Roh memberi gereja 1000 halaman penuh dengan penyataan Ilahi. Dan di samping itu Dia membuka hati kita untuk menerima Firman yang hidup itu. Sepanjang hidup kita, dapat kita isi dengan membaca dan menghayati benar-benar isi Firman itu. Kalau kita sudah menerima begitu banyak, mengapa kita belum puas dan masih meminta lebih dari itu?
Segala keinginan dan permintaan untuk menerima lebih itu, menunjukkan bahwa firman Allah semakin kurang baik dibaca. Alkitab hanya masih dipakai sebagai kata-kata yang dapat memicu pengalaman-pengalaman spektakuler. Segala hubungan di seluruh Alkitab semakin kurang dikenal dan diselami.Naskah-Naskah Alkitab sering dikutip hanya berdasarkan bunyinya, dan dijelaskan serta diterapkan secara kurang mendalam. Banyak nas dipetik saja lepas dari konteksnya dan masa penyelamatannya, lepas dari maksud dan tujuan asalnya, hanya untuk mengisi keinginan pribadi orang, atau sebagai kata yang berkuasa (rema) untuk menyembuhkan atau untuk memperoleh kemakmuran.
Mengapakah cara-cara pemakaian Alkitab ini tidak mencemaskan orang?
Pengalaman: lebih daripada cukup!
Kalau kita membaca Alkitab dengan penuh iman, maka timbul berbagai macam perasaan dalam hati kita. Perasaan indah yang timbul ialah: kelegaan, keamanan, kepercayaan, rasa syukur, rasa terhibur, pengharapan, keberanian, keheranan, dan kekaguman.
Alkitab juga menyoroti dan melawan berbagai perasaan yang kurang indah seperti: kecemburuan, kesombongan, perlawanan, kemarahan, dan keinginan yang najis. Dan pengungkapan itu menimbulkan lagi berbagai perasaan seperti: rasa terkejut, rasa malu, rasa bersalah, penyesalan, ketakutan dan kesedihan.
Jadi, kalau kita membaca dan merenungkan naskah-naskah Alkitab, maka bermacam-macam hal yang berhubungan dengan pengalaman dan perasaan dapat muncul dalam hati kita. Itulah juga yang dimaksudkan oleh kedua pengikut Yesus dari Emaus ketika mereka mengatakan: ”Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (Luk. 24: 32).
Pendek kata: Barang siapa membaca Alkitab dengan penuh iman dan sikap terbuka, dan menerapkannya pada dirinya sendiri, sudah memperoleh banyak pengalaman. Sebab itu, janganlah kita menyamakan Roh dengan perasaan yang nyaman! Perasaan yang nyaman belum tentu berarti bahwa apa yang kita alami adalah dari Roh. Dan sebaliknya: rasa bersalah dan rasa malu boleh jadi telah ditimbulkan oleh pekerjaan Roh. Pokoknya: perasaan tidak mungkin menjadi ukuran untuk menentukan apa yang baik dan yang buruk.
Roh tinggal dalam hati kita, bukan hanya dalam berbagai perasaan manusia. Dia juga membangkitkan berbagai perasaan melalui Kitab Suci. Namun, yang terutama dibangkitkan-Nya ialah iman sejati. Itulah yang tetap utama, lebih dahulu kita percaya dan baru sesudah itu kita mengalami dan menghayati kebenaran Allah.
Saat penting di mana hal itu dikerjakan oleh Roh ialah dalam ibadah gereja pada hari Minggu. Yang paling penting dari ibadah gereja itu ialah pemberitaan firman Allah, yaitu khotbahnya.
Khotbah itu harus menyampaikan dengan langsung, dan tanpa berbelit-belit pesan yang paling indah di dunia kepada para pendengar: Yesus Kristus yang disalibkan! Secara terus terang khotbah itu harus menyerukan supaya para pendengar percaya dan bertobat. Hendaknya dijaga jangan sampai dalam khotbah itu sang pendeta menyita segala perhatian bagi dirinya sendiri. Dia harus membawa jemaat langsung ke hadapan Allah. Komunikasi harus berjalan dari hati ke hati, dari hati Allah ke hati manusia.
Realitas iman di dalam Dia, dan realitas kehidupan dengan Dia, itulah yang harus dibicarakan secara konkret dan jujur melalui khotbah. Jangan omongan yang kosong dan dangkal, melainkan pemberitaan yang berapi-api, yang didukung oleh penelitian tekun terhadap Kitab Suci dan penjelasannya yang benar dan jelas; itulah yang sangat dibutuhkan oleh gereja-gereja di mana-mana!
Khotbah-khotbah yang tajam dan dengan tegas menunjukkan keadaan sebenarnya kepada para pendengar yang meskipun dapat hidup sesuai kehendak Allah, tetapi tidak mau melakukannya.
Khotbah-khotbah yang menghibur dan melegakan bagi para pendengar yang mau hidup sesuai kehendak Allah, tetapi tidak dapat melakukannya.
Mendengar khotbah-khotbah seperti itu, yaitu yang melekat firman Allah pada hati manusia, para pendengar pasti akan memperoleh pengalaman banyak dan cukup.
Saling membagikan iman
Ada banyak pengalaman. Hanya, ruang dankemungkinan-kemungkinan yang tersedia untuk mengungkapkannya, tidak selalu memadai. Memang, tergantung juga dari budaya dan mentalitas orang, banyak orang tidak merasa sangat membutuhkan ruang dan kemungkinan untuk mengungkapkan secara terbuka pengalamannya di muka umum. Ada juga orang lain yang dapat mengungkapkannya dengan baik dalamnyanyian-nyanyian rohani dan mazmur yang tersedia di dalam gerejanya.
Meskipun begitu ada baiknya kalau dalam ibadah-ibadah gereja diberikan ruang untuk mengungkapkan berbagai pengalaman iman. Kadang kala cara ibadah kurang membuka kemungkinan itu. Baik jikalau disediakan waktu cukup untuk nyanyianpuji-pujian yang mengungkapkan kegirangan iman. Atau yang mengungkapkan ratapan dan penyesalan. Ada baik juga di mana gereja menyediakan bangku-bangku khusus agar jemaat dapat berlutut, dan dengan cara yang konkret menunjukkan rasa khidmatnya terhadap Allah. Atau di mana disediakaninstrumen-instrumen musik yang beraneka ragam dan yang sesuai dengan budaya tradisional atau justru dengan konteks modern. Atau di mana diberikan kesempatan untuk menciptakan lagu baru dalam bahasa suku atau berdasarkan musik masa kini. Bisa juga disediakan waktu-waktu teduh di dalam liturgi kebaktian, supaya juga dalam ibadah gereja jemaat dapat menyampaikan kebahagiaannya maupun penderitaannya secara pribadi kepada Tuhan. Bukankah dalam Alkitab doa bersama dan doa pribadi dinaikkan pada waktu bersamaan? (Mazmur 25).
Janganlah kita mengabaikan kerinduan para anggota jemaat untuk diberikan lebih banyak ruang dan variasi dalambentuk-bentuk pengungkapan imannya. Janganlah kekakuan ibadah mematahkan semangat mereka. Janganlah formalisme dan tradisionalisme mengalahkan hikmat dan semangat.
Mengenai pengungkapan pengalaman iman, maka selain ibadah gereja, dapat juga diadakan bentuk-bentuk pertemuan yang lain, yang juga sangat berguna. Bukan saja dalam ibadah gereja jemaat adalah jemaat, tetapi juga sebelum dan sesudahnya.
Di samping ibadah-ibadah gereja masih ada cukup ruang untuk saling berbagi pengalaman iman, dan saling menghibur, misalnya dalam lingkaran-lingkaran yang lebih kecil, seperti kelompok penelitian Alkitab, kebaktian rumah tangga dan lain sebagainya.
Bukan hanya gerakan Injili dan karismatik yang boleh memiliki bentuk-bentuk dan struktur-struktur itu. Di gereja-gereja mapan Reformasi, banyak juga orang yang membutuhkannya. Lagi pula, sudah lama hal seperti itu diadakan dalam kelompok-kelompok penelitian Alkitab. Untung saja, sering terdengar berita tentang munculnya secara spontan bentuk-bentuk baru di mana kaum tua dan muda saling bekerja sama untuk membentuk berbagai persekutuan seperti itu.
Ada kelompok-kelompok (wilayah) yang lebih kecil di mana orang-orang secara pribadi dapat saling berbagi iman dan bersama-sama menghayati isi Kabar Baik. Kelompok-kelompok itu sekaligus dapat juga merupakan tempat berlatih bagi para anggotanya untuk belajar memberi kesaksian (dengan Alkitab terbuka) tentang perbuatan-perbuatan besar Allah. Bagi mereka, latihan itu pasti merupakan pengalaman yang mendorong dan menambah semangat mereka. Dan iman mereka pun akan bertumbuh karenanya. Kelompok-kelompok itu dapat menembus rasa kesepian dan pengucilan. Maka dengan demikiananak-anak Allah bisa saling mendukung dalam menjalani hidup ini.
Kelompok-kelompok kecil itu juga merupakan sarana yang bagus bagi orang-orang luar, untuk berkenalan dengan jemaat, dan akhirnya ikut bergabung dengannya. Sebab itu, hendaklah dewan majelis gereja menggalakkan sepenuhnya pembentukan kelompok-kelompok seperti itu.
Kerinduan untuk menerima lebih banyak? Tentu saja!
Firman Allah menyajikan lebih dari cukup. Hendaknya kita rindu untuk lebih sering membaca dan menyimaknya! Lebih sering meneliti dan membahas Injil yang kudus itu bersama-sama dengan rekan-rekan seiman. Lebih sering memikirkan dan merenungkan Kitab Suci (Mzm. 1: 2). Lebih membiarkan diri kita digarap oleh pedang Roh (Ibr. 4: 12). Bukan untuk menjadi terluka lalu mati. Namun, untuk menjadi sembuh dan hidup!
Karena Roh dengan pedang yang tajam dan bermata dua itu melakukan operasi pada hati kita untuk menyelamatkan nyawa kita. Dan karena Roh, dengan berkas cahaya-Nya itu memberi kita wawasan mengenai hal-hal yang begitu mulia dan raksasa, yang oleh Roh Kudus, yang diutus dari sorga, disampaikan kepada kita, yaitu hal-hal yang bahkan ingin diketahui oleh malaikat-malaikat (1Ptr. 1: 12). Nah, apa lagi yang masih kita inginkan? Belum cukupkah itu?
Bagaimana gambaran kehidupan orang yang sungguh-sungguh beriman? Apakah di dalamnya ada banyak kelemahan dan dosa? Atau apakah orang yang sungguh-sungguh percaya itu, dibebaskan dari kelemahan dan dosa, supaya dia dapat menjalani hidup penuh kemenangan di dalam kekuatan Tuhan? Di kalangan orang karismatik terdengar berita:
- Allah tidak menghendaki anak-anak-Nya masih menderita kelemahan dan penyakit; bukankah Kristus adalah Dia yang tetap sama kemarin dan sekarang?!Ucapan-ucapan seperti itu hendak menegaskan bahwa kehidupan orang yang sungguh-sungguh percaya, seharusnya menampakkan dengan sangat jelas kehidupan yang baru, suatu kehidupan yang telah dibebaskan dari dosa dan kelemahan.
Apakah ada kebenaran dalam pendapat itu? Untuk menjawab pertanyaan itu kami memakai pedoman yang berikut: Janji-janji Allah menentukan apa yang dapat dan yang tidak dapat kita harap. Kita menemukan banyak janji di dalam Alkitab. Banyak dari janji-janji itu sudah digenapi pada masa lalu dan sudah memiliki fungsinya dalam tahap sejarah penyelamatan pada saat itu. Ada juga janji-janji yang sekarang ini sedang digenapi. Dan ada juga janji-janji yang boleh kita harapkan penggenapannya pada masa depan. Jadi, percaya meliputi rasa tegang yang berhubungan dengan janji-janji yang sudah dan yang belum digenapi.
Sangat banyak dari janji-janji Tuhan telah digenapi-Nya di dalam Yesus Kristus, Anak-Nya. Di dalam Dia sebagian besar dari segala janji Allah sudah digenapkan. Dan juga: Di dalam Kristus segala janji yang masih tersisa, terjamin penggenapannya.
Janji-janji yang telah digenapi
Tuhan telah menggenapi sangat banyak dari janji-janji-Nya.
Kalau kita meninjau janji-janji itu satu per satu, kitasungguh-sungguh terkesan. Dan juga menjadi jelas bahwa janji-janji itu (yang memang adalah firman Allah) sudah digenapkan dan tidak dapat dipakai lagi oleh orang lain dan pada waktu lain. Berikut ini rangkaian yang sama sekali tidak lengkap mengenai janji-janji yang telah digenapi itu:
- janji kepada ibu umat manusia bahwa dia akan mengalahkan Iblis (Kej. 3: 15).Sungguh banyak janji-janji Allah yang telah digenapi-Nya, begitu banyaknya sehingga mungkin kita mengatakan: Wah, sudah cukup banyak! Orang yang percaya pasti terkesan melihat betapa banyaknya janji-janji yang telah digenapi oleh Allah, karena jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan (Ef. 3: 20).
Barang siapa menyimaknya dengan sungguh-sungguh, akan juga mendapati bahwa janji-janji Allah menyangkut hal-hal yang besar, yang jauh mengungguli kehidupanku sebagai individu yang kecil dan tak berarti. Bersyukurlah apabila kita di dalam iman boleh menduduki tempat yang kecil di dalam sejarah akbar yang terdiri dari janji-janji Allah. Dan jangan lupa, kenyataan bahwa kita percaya dengan sepenuh hati kepada Kristus, pada hakikatnya sudah merupakan mukjizat! Kenyataan itu adalah bagian dari penggenapan janji besar Allah, yaitu untuk mengadakan perjanjian yang baru!
Penggenapan janji-janji yang masih kita nantikan
Di samping itu masih ada janji-janji Tuhan yang belum digenapi.
Kebanyakan dari janji-janji yang paling penting sudah digenapi di dalam Kristus. Begitu juga janji-janji yang masih tersisa pasti akan digenapi Allah di atas dasar yang ada di dalam Kristus. Dialah yang menjadi jaminan untuk penggenapan itu. Sebab Kristus adalah ”ya” bagi semua janji Allah (2Kor. 1: 20).
Berikut ini rangkaian yang tidak lengkap, yang terdiri dari penggenapan janji-janji yang masih kita nantikan:
- bahwa Taman Firdaus akan dipulihkan di Yerusalem yang baru (Why. 21: 9-22: 5);Juga di sini timbul pertanyaan di dalam hati: Apakah kitabenar-benar percaya bahwa semua itu akan terjadi berdasarkan janji Allah dan diwujudkan berdasarkan korban Kristus? Dan apakah kepercayaan itu menggerakkan hati kita untuk berjalan dengan yakin, saat ini juga, menuju masa depan itu? Dan apakah kita, di mana ada kesempatan, juga melihat dan mendirikan tanda-tanda kerajaan yang akan datang itu? Maukah kita melakukannya, meskipun kita belum melihat kerajaan itu sendiri datang beserta segala kesempurnaannya!
Jaminan Roh, yang ”sudah” dan yang ”belum”
Sementara kita berjalan menuju masa depan Tuhan yang sempurna itu, sekarang pun Dia sudah memberikan panjar (”persekot”) dengan melimpah. Karena kesabaran-Nya, matahari menyinari orang yang baik maupun yang jahat, dan dari surga Dia memberi kita sandang, pangan dan segalanya. Apalagi ketika Kristus hidup di bumi, Dia telah menunjukkan sangat banyak tanda-tanda yang menggemparkan tentang Kerajaan Allah yang akan datang, tanda-tanda yang jauh mengungguli panjar yang ”biasa”. Anggur, roti dan ikan yang dilipatgandakan jumlahnya, orang sakit yang disembuhkan, Iblis dan anak buahnya yang diusir, orang mati yang dibangkitkan, dan seterusnya. Itu semua adalah tanda-tanda dari kemenangan yang mutlak atas kuasa kejahatan dan gelap. Dengan demikian, Dia menunjukkan bagaimana sempurnanya keadaannya nanti, kalau Dia datang kembali di atas awan-awan!
Namun, pada saat yang sama Kristus menyatakan bahwa keadaan itu belum tersedia bagi kita secara genap dan sempurna.
- Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya (Yoh. 20: 29).tidak dilihat, dan bukti dari segala sesuatu yang diharapkan (Rm. 8: 24,25; Ibr. 11:1).
- Dengan bertekun di dalam iman, dan melalui banyak penindasan kita akan masuk ke dalam Kerajaan Allah (Kis. 14: 22; Rm. 5: 22; Ibr. 10: 36).Kenyataan bahwa dalam banyak hal anak-anak Allah pada masa kini dalam sejarah penyelamatannya (masa gereja) harus merasa puas dengan ”hanya” janji Allah, tanpa melihat penggenapannya dan mencapai kesempurnaan, adalah pokok yang inti dari naskah Alkitab seperti Ibrani 11. Bahkan menurut ayat 1, kenyataan bahwa mereka ”tidak melihat” itulah yang merupakan ciri khas bagi iman (bdk. juga Rm. 4: 19-25; 8: 24,25).
Meskipun mereka sudah melihat penggenapan beberapa janji tertentu (ay. 33), namun yang belum digenapi masih banyak jumlahnya. Berapa banyak nenek moyang kita yang penuh iman harus hidup dan bergumul ”hanya” dengan realitas janji saja? Nuh (ay.7), Abraham (ay. 8,10), Sara (ay. 11), Musa (ay. 27). Namun, mereka percaya! Dalam ayat-ayat 13 dan 39 kita membaca bahwa mereka semua tidak melihat penggenapan janji-janji itu.
Pengudusan: sekarang sudah! dan juga belum!
Hal yang sama berlaku untuk banyaknya pengudusan yang pada zaman ini kita terima dari Kristus. Juga dalam hal itu kita dapat berbicara tentang yang sudah dan yang belum. Sekarang ini kekudusan Kristus yang sempurna itu sudah diperhitungkan dan dianugerahkan kepada kita. Sekarang ini Roh-Nya sudah dicurahkan ke dalam hati kita. Namun, yang belum dinyatakan ialah bagaimana kita akan diperbarui sepenuhnya menurut gambar Kristus. Pastilah proses itu sudah dimulai. Dalam proses itu kita boleh belajar untuk membiarkan Roh Allah semakin lama semakin menjiwai diri kita. Karena Dia terus menerus bekerja di dalam kita, maka tak pernah kita usah merasa putus asa karena ketidaksempurnaan kita. Kita mengejar pengudusan diri karena kita mengenal Dia yang telah mengatakan: ”Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1Ptr. 1: 16).
Namun, baru setelah Kristus tampak kembali, kita pun akan tampak bersama Dia dalam kemuliaan (Kol. 3: 3-4). Itulah kebijakan Allah dengan kita. Sebab itu perang batin kita belum berakhir di sini. Hendaklah kita memperjuangkan perjuangan iman yang baik. Dalam perang itu kadang-kadang kita mengalami kekalahan-kekalahan yang pahit dan mematahkan semangat, dan kadang-kadang pula, karena anugerah Allah, kita memperoleh kemenangan-kemenangan yang indah. Juga di dalam hal itu selalu ada selang-selingnya antara yang sudah dan yang belum.
Dengan kerinduan yang amat sangat kita menanti-nantikan wahyu di mana kita tampil bersama-sama Kristus dalam kemuliaan. Sebab kita sudah percaya kepada hal itu. Namun, kita belum melihat kemuliaan itu. ”Sebab hidup kami ini adalah hidup berdasarkan iman, bukan berdasarkan apa yang kelihatan (2Kor. 5: 7).
Karena percaya, bukan karena melihat
Mengingat realitas yang serba belum ini, dan kebijakan Allah yang ada di baliknya, tidaklah wajar untuk menyugestikan bahwa di sini dan sekarang ini kita sudah dapat menerima apa pun yang kita harapkan. Ucapan-ucapan seperti: ”Allah tidak menghendaki bahwa pada zaman ini anak-anak-Nya menderita”, atau seperti, ”apa pun yang kita minta dalam doa yang penuh iman, pasti kita terima di sini dan sekarang ini”, sangat dangkal dan membimbing ke dalam jalan yang tidak benar.
Pertama-tama, kata-kata itu merongrong kedaulatan Allah, kalau mengatakan bahwa Allah tidak mampu memberi lebih banyak daripada yang kita pikirkan. Seandainya keadaannya memang begitu, maka Allah tidak dapat memberikan apa-apa kepada kita. Sebab secara alami kita tidak lagi mengharapkan apa-apa daripada-Nya. Iman kita dan segala pengharapan kita telah dibangkitkan oleh Dia sendiri di dalam hati kita, melalui Firman dan janji-janji-Nya. Allah sendiri mampu melakukan jauh lebih banyak daripada apa yang kita doakan atau kita sadari.
Kedua, dalam pendapat di atas tadi hampir tidak ada pengaruh apa pun dari segala keterangan dalam Alkitab tentang kebijakan Allah mengenai pemberian-pemberian-Nya kepada anak-anakNya. Kalau orang berkelakuan seakan-akan Allah mengatakan bahwa di sini dan sekarang ini Dia sudah menggenapi segala janji-Nya untuk masa depan, dia memberi gambaran yang salah tentang kebijakan Allah. Gambaran itu dibuatnya lebih indah daripada keadaan sebenarnya. Orang seperti itu juga merongrong hak Allah untuk bertindak sesuai kehendakNya. Pada dasarnya sekarang ini kita hidup dalam tahap iman, bukan dalam tahap melihat (2Kor. 5: 7 dan 1Ptr. 1: 8!). Sebab itu, yang terutama kita perlukan ialah iman dan ketekunan dalam iman. Perkenan Allah berarti bahwa Dialah yang menentukan apakah, atau kapankah, atau kepada siapakah dan berapakah banyaknya Dia berkenan untuk memberi panjar atau tanda dari penggenapan janji-Nya.
Ketiga, kalau kita ingin agar segala janji-Nya direalisir di sini dan sekarang ini, maka kita bertindak sebagai orang-orang yang sangat manja. Seperti sudah dikatakan: kita sudah menerima sangat banyak sebagai persekot penggenapan janji Allah, mulai dari pemeliharaan, kesehatan, sandang, pangan dan papan. Boleh jadi Tuhan memandang perlu untuk di samping itu, kadang-kadang memperlihatkan sesuatu, yang kita alami sebagai sangat istimewa dan luar biasa. Namun, itu terserah kepada-Nya. Paling-paling kita hanya boleh memohon sesuatu itu penuh khidmat. Akan tetapi, kita tidak boleh mencobai Tuhan dengan bertindak seperti manusia kerdil yang manja, yang hidup di bawah langit ini, dan menentukan bagi Allah tentang janji-janji mana yang sekarang ini sudah harus digenapi-Nya.
Apalagi kemudian menuntut penggenapan-penggenapan itu daripada-Nya.
Apa yang dijanjikan Allah untuk sekarang ini
Tuhan menjanjikan kepada kita sebagai panjar untuk sekarang ini bahwa Dia sendiri sebagai Allah Perjanjian kita, akan menyertai kita dengan anugerah-Nya, dengan Roh dan firman-Nya, dan dengan begitu banyak pemeliharaan untuk perjalanan hidup kita, seperti yang dipandang-Nya perlu. Itulah hal-hal yang boleh kita minta dalam keyakinan bahwa sekarang pun Dia akan memberikannya kepada kita. Sebab memang itulah yang dijanjikan-Nya. Apa pun yang dapat dan boleh kita minta di samping itu, hanya boleh kita mohon dengan rendah hati dan khidmat. Lagi pula apa pun hasilnya nanti, harus kita serahkan kepada Tuhan dengan penuh keyakinan akan kasih-Nya.
Seorang Kristen boleh menaruh harapan besar kepada Allah Yang Mahakuasa. Dia boleh menyatakan keinginannya dalam segala hal kepada Tuhan (Flp. 4: 6. 1Ptr. 5:7). Namun, dia tidak boleh beranggapan seakan-akan Allah telah berjanji untuk menggenapi semua janji-Nya sekarang ini. Orang Kristen itu harus menyerahkan cepat lambatnya penggenapan itu dengan khidmat kepada Allah.
Hendaklah dia berdoa untuk penggenapan janji-janji Allah dan kedatangan Kerajaan-Nya, dalam kesadaran bahwa kesempurnaan baru akan datang di bumi yang baru. Dan bahwa segala sesuatu yang didoakannya tergantung dari kehendak Tuhan saja.
Kita boleh menanti-nantikan saat di mana kehidupan ini menjadi sebuah pesta yang besar! Sekarang saat itu belum tiba.
Akan tetapi, nantinya pasti akan tiba.
Ciri khas bagi jemaat Kristus ialah bahwa mereka hidup dari anugerah Allah. Namun, apa sebetulnya anugerah itu? Bagaimana anugerah itu dapat menjadi sepele? Dan bagaimana anugerah itu tetap sangat berharga?
Kerinduan akan wawasan yang lebih dalam
Anugerah ialah kebaikan yang tidak layak kita diterima. Allah memberikan kebaikan-Nya di dalam Kristus. Dia tidak menghukum kita, juga tidak atas berbagai kecenderungan, pikiran dan impuls yang kecil-kecil, yang bagaimanapun melawan salah satu perintahNya. Dia tidak mengadakan perhitungan denganku mengenai kenyataan bahwa aku berulang kali tidak menunjukkan kasihku yang sempurna kepada segala perintah-Nya (bdk. Katekismus Heidelberg Minggu 44). Dan juga mengenai kenyataan bahwa dalam perkataanku ada kalanya aku tersandung, karena aku bukan manusia sempurna, ”Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; siapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia orang yang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yak. 3: 2). Aku cenderung untuk cepat memaafkan diriku sendiri ataskesalahan-kesalahan kecil seperti itu dengan mengatakan, ”Aku ini manusia saja.” Namun, bagi Allah kesalahan-kesalahan itu sangat besar. Juga pelanggaran yang kecil pun mendukakan hati-Nya. Pelanggaran yang menurut kita hanyalah ”kekhilafan”, bisa mengakibatkan api kasih-Nya berkobar-kobar menjadi nyala yang membakar habis segala-galanya. Seandainya Kristus tidak membela perkaraku hari demi hari, dan bertindak sebagai tameng yang menangkis penghakiman Allah yang tertuju kepadaku, maka nyawaku pasti tidak akan tertolong. Itulah inti yang paling dalam dari anugerah Allah. Setiap hari Dia menunjukkan kebaikan hati-Nya kepadaku dengan tidak menghukum aku.
Jadi: hidup dan mati. Itulah kedua hal yang sangat terkait dengan anugerah. Sebab karena anugerah kita selamat selamalamanya, dan tanpa anugerah kita binasa selama-lamanya.
Anugerah berurusan dengan hati Allah yang merupakan nyala api yang menghanguskan. Kita membutuhkan waktu sepanjang hidup untuk bertumbuh dalam kesadaran mengenai dalam dan akbarnya anugerah Allah. Sebab itu, hendaknya keinginan untuk menerima lebih banyak itu sangat baik, yaitu jika merupakan keinginan untuk mendapat wawasan yang lebih dalam tentang anugerah. Bertumbuh dalam anugerah bukan saja bertumbuh ke atas, tetapi juga bertumbuh ke dalam. Bukan saja bertumbuh kehangatan dan kebahagiaan, tetapi juga rasa sakit dan rasa sedih semakin bertumbuh. Sebab Roh Allah ingin semakin memperdalam pengenalan kita akan Allah, karena pengenalan itu cenderung dangkal. Dan bersamaan dengan itu pengenalan akan diri kita sendiri makin diperdalam.
Sebab Roh menyadarkan orang akan dosa, keadilan dan penghakiman. Aku semakin kecil di hadapan Allah; sedangkan Tuhan menjadi semakin besar di dalam anugerah-Nya. Bertumbuh dalam iman berarti semakin dihalau ke arah anugerah Kristus.
Mempersempit anugerah
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia kadang-kadang cenderung untuk mempersempit anugerah menjadi pengampunan dan penghapusan dosa sambil memisahkannya dari pembaruan.
Dengan lega dan gembira manusia menerima anugerah dan pengampunan Allah. Namun, kemudian kita tidak mengambil langkah selanjutnya, yaitu langkah untuk meraih pembaruan yang hendak diberikan Allah. Kecenderungan itu merupakan gejala kedangkalan. Barang siapa sungguh-sungguh merasa bagaimana Tuhan berduka atas dosa manusia, bukan hanya menginginkan pengampunan, tetapi juga perubahan, pembaruan. Sebab itu, proses perubahan itu dimulai oleh Roh Kristus, yang tinggal di dalam hati kita. Dia jugalah yang membangkitkan keinginan itu dalam hati kita. Keinginan untuk semakin banyak diperbarui menurut gambaran Kristus.
Apabila iman seorang Kristen atau jemaat suam-suam kuku, maka apakah mungkin hal itu sebagian besar disebabkan karena kurangnya atau tidak adanya keinginan akan pembaruan? Dan apakah mungkin pula bahwa iman yang suam-suam kuku itu, dan tidak adanya kehangatan yang dipancarkan oleh api dan kasih, adalah penyebab mengapa banyak orang pada zaman ini mulai mencari-cari pengalaman-pengalaman yang luar biasa.
Buah Roh yang tumbuh dari Kristus, ialah obat manjur melawan keadaan yang suam-suam kuku. Bayangkan saja, sebuah jemaat yang secara bersatu minta supaya bertumbuh dan berbuah. Yang dijawab doanya dan menerima apa yang diminta dengan melimpah, sehingga buah Roh mulai matang. BuahNya kasih, kegembiraan dan damai sejahtera, kesabaran dan keramahan, kemurahan hati dan kesetiaan, kelemahlembutan dan pengendalian diri. Jemaat seperti itu tidak akan merindukan pengalaman-pengalaman yang luar biasa. Sebab Allah dengan jelas ada di tengah-tengah mereka. Dalam jemaat seperti itu, sudah pasti terjadi peristiwa-peristiwa yang indah. Jemaat seperti itu memberi rasa kekeluargaan yang hangat. Dan kepala keluarga itu ialah Allah. Di mana buah Roh mulai menjadi matang, di situ ada pengalaman. Dan di situ pula keinginan akan pengalaman yang luar biasa, akan semakin berkurang.
Kesabaran, keramahan, kesetiaan, kelemahlembutan...
Sebuah jemaat boleh saja merindukan pembaruan. Namun, pada saat yang sama jemaat itu terdiri dari orang-orang yang setiap hari melakukan dosa, dan mereka masih sering tersandung dalam pergumulan melawan dosa itu. Mereka harus berjuang melawan manusia yang lama. Di mana ada anugerah dan buah Roh, di situ orang-orang Kristen belajar untuk bergaul dengan anugerah dan buah Roh itu. Mereka semakin biasa untuk tidak lagi bersikap sombong terhadap saudara-saudara mereka seiman, atau terhadapgereja-gereja yang menurut mereka ”belum sampai ke taraf sejauh kita”.
Sebab buah Roh ialah: kesabaran. Juga: keramahan. Juga: kesetiaan.
Juga: tindakan menghakimi dengan hati yang lemah lembut.
Kesetiaan juga adalah buah Roh. Artinya: setia kawan terhadap persekutuan Kristen yang menaungi kita, meskipun di situ kekuatannya tidak seberapa, dan para anggotanya menunjukkan banyak kelemahan. Sangat menyakitkan bagi siapa pun kalau mendengar berita tentang orang yang meninggalkan jemaat; bukan karena dalam jemaat itu orang-orang tidak setia kepada firman Allah, tetapi karena menurut orang itu jemaat lain itu dapat memberikan jauh lebih banyak. Di sini kita tidak boleh menilai situasi-situasi perorangan. Namun, banyaknya kasus ”pindahan” dari satu jemaat ke jemaat yang lain, dan mudahnya hal itu sering terjadi, menimbulkan pertanyaan: apakah artinya kesetiaan dan rasa setia kawan kepada saudara-saudara seiman?
Ada orang-orang Kristen yang membanggakan berbagai pengalaman luar biasa yang telah mereka terima. Dan kalau seorang saudara seiman mengajukan pertanyaan mengenai hal itu atau mengatakan bahwa dia tidak mengenal pengalaman seperti itu, maka sering jawabannya berbunyi: ”Sayang sekali, tetapi Anda tak dapat mengerti, karena Anda belum sampai ke taraf saya.”
Dengan demikian orang itu bukan saja menempatkan pengalamannya itu di luar diskusi, tetapi dia juga bersikap seakanakan dia lebih hebat daripada saudaranya.
Menganggap diri sendiri lebih hebat daripada orang-orang Kristen lain pada dasarnya sangat bertentangan dengan hakiki anugerah. Ciri khas anugerah yang tidak pernah boleh berubah ialah: jangan pernah membanggakan pertumbuhan Anda!
Sebaliknya, sadarilah bahwa Anda masih berulang kali berdosa, tersandung, dan jatuh. Lalu dengan tangan yang hampa begitu, datanglah ke hadapan takhta anugerah Allah. Untuk hidup dari kebaikan-Nya yang tidak layak Anda terima. Hanya sikap itu akan mematangkan buah Roh yang disebut di atas.
Penggeseran terhadap anugerah
Dengan latar belakang itu, maka perkembangannya akan fatal, apabila perhatian orang-orang Kristen semakin tergeser dari kemurahan hati Allah yang tak layak diterima orang yang berdosa itu, ke arah kekuatan dan kekuasaan Allah yang ada di dalam manusia. Dalam hal itu orang tidak lagi membicarakan anugerah secara berhubungan dengan pengampunan dan penghapusan dosa, melainkan sebagai berhubungan dengan kekuatan, penyataan-penyataan, mukjizat dan tanda-tanda. Orang-orang makin sering berbicara tentang penerimaan kekuatan, dan semakin jarang tentang penerimaan pengampunan. Kita melihat bahwa dalam beberapa lingkungan Kristen, permohonan ampun atas dosa-dosa makin jarang terdengar dalam doa mereka sehari-hari, padahal itu adalah salah satu dari enam permohonan di dalam doa yang diajarkan Kristus kepada kita. Apabila ”keinginan untuk menerima lebih banyak” semakin sering diwarnai dan diolah seperti itu, maka dengan sangat tegas kita harus menolaknya. Apabila orang hanya berbicara tentang anugerah Allah yang berkaitan dengan kekuasaan dan kekuatan, maka mereka merenggut makna yang hakiki dari anugerah Allah itu. Dan di mana hal itu terjadi, di situ hilanglah kedalaman wawasan yang ada di dalam kehidupan dengan Allah.
Versi baru ”legalisme”
Pengharapan orang untuk memperoleh keselamatan melalui penaatan saksama Hukum Allah juga disebut sikap ”legalistis”. Sikap itu berlawanan dengan inti Injil mengenai anugerah Allah. Legalisme ditemukan dalam Alkitab, misalnya pada kaum Farisi.
Baru-baru ini seorang pendeta jemaat yang beraliran karismatik mengatakan: ”Sebuah jemaat yang sama sekali tidak menerima tanda-tanda, harus dengan sungguh-sungguh bertanya kepada dirinya apakah dia masih setia menaati perintah-perintah dasar Tuhan”. Dalam ucapan itu kita melihat kecenderungan akan legalitas yang baru. Demikianlah orang-orang Kristen dan gereja-gereja yang ”biasa”, diukur dengan ukuran karismatik. Orang baru taat kepada tugas yang diberikan Kristus, kalau dia menunjukkantanda-tanda, seperti misalnya berbicara dalam bahasa lidah, berdoa untuk penyembuhan dengan cara yang luar biasa, mengusir roh jahat dan seterusnya.
Seperti telah dilakukan dalam buku ini, kita sebagai orang Kristen dapat berdiskusi tentang makna tanda-tanda itu, dan apakahtanda-tanda itu masih tetap berlaku. Namun, orang yang seperti kutipan di atas tadi mengklaim bahwa dia setia kepada perintah Tuhan, sedangkan orang-orang lain tidak, membuat hukum yang baru.
Yaitu hukum yang mengharuskan orang menunjukkan tanda-tanda yang luar biasa. Namun, hukum itu sama sekali berlawanan dengan Injil anugerah. Hukum itu adalah bentuk perampasan kemerdekaan terhadap saudara-saudara seiman yang berusaha hidup dalam kemerdekaan Kristus. Hukum itu menciptakan konfrontasi dan persaingan antara orang Kristen yang satu dengan yang lain.
Ada tugas yang menyuruh kita mematikan pekerjaan-pekerjaan kedagingan dan mematangkan buah Roh. Di samping itu Roh membagi-bagikan karunia-karunia. Hal itu sudah dilakukan-Nya berabad-abad lamanya sesuai kehendak-Nya dan sesuai tujuanNya yang pada masa dan keadaan itu dicapai-Nya. Jadi, jangan menyuruh-nyuruh Dia, jangan mengklaim apa-apa, jangan memaksa Dia untuk memberikan apa-apa. Biarlah Dia menentukan sendiri apa yang hendak dilakukan-Nya. Juga hal itu termasuk dalam hidup dari anugerah.
Hanya Kristus! Itulah pengakuan yang tegas dan sangat indah. Akan tetapi, itu dapat juga menjadi seruan yang diisi dengan sangat berbeda-beda.
Sekarang ini misalnya orang menaruh banyak perhatian kepada hubungan pribadi dengan Kristus. Dan itu pada hakikatnya sangat tepat. Kristus ”di dalam” kita, itu adalah tema yang penting dalam Alkitab. Namun, apakah maksudnya sebenarnya?
Kita ingin menjelaskan makna ungkapan ”hanya Kristus” itu dengan bantuan tiga pembedaan: Kristus di luar kita, di atas kita dan di dalam kita.
Kristus di luar kita
Roh Kudus minta perhatian kita untuk pribadi dan karya Yesus Kristus. Sebab dengan demikian Dia merupakan dasar bagi apa yang disebut Luther ”pertukaran yang menyenangkan”. Kristus dijadikan orang berdosa, supaya kita dapat berdiri di hadapan Allah dengan cemerlang, tanpa cacat cela. Kristus menjadi orang asing, ”orang buangan”, supaya kita sebagai anak-anak yang tercinta boleh masuk ke dalam rumah Bapa untuk hidup bersama Dia. Kristus mendapatkan neraka. Kita memperoleh surga. Dia telah mempertaruhkan segala-galanya bagi kita. Nyawa-Nya telah diserahkan-Nya pada maut. Darah-Nya tercurah bagi kita di kayu salib. Dengan demikian hanya karena Dialah, kita selamat.
Kristus di luar kita untuk keselamatan kita.
Pekerjaan pengganti ini telah dilakukan Kristus di luar kita.
Itulah asas gereja. Hal itu tidak dapat dipungkiri dan adalah inti iman kita. Keselamatan tidak mungkin ada dalam diri kita sendiri. Ada di luar kita. Juga tidak mungkin ada dalam perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan. Juga tidak ada dalam pengalaman kita. Hanya ada di dalam Kristus saja.
Dialah lebih dari cukup bagi kita.
Kristus di atas kita
Beberapa saat sebelum kenaikan-Nya ke surga, Yesus mengatakan kepada para murid-Nya: ”Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi”. Alangkah bahagianya dunia ini seandainya segala-galanya dan semua orang dengan rela takluk kepada-Nya.
Maka perdamaian pasti akan menaungi seluruh dunia. Semua hal akan menjadi baik lagi dan harmonis. Pendek kata: keadaan bumi akan menjadi sungguh-sungguh utuh dan sempurna. Meskipun sampai sekarang hal itu belum menjadi kenyataan, tetapi tepatlah kata Dr. Abraham Kuyper: ”Tidak ada sejengkal pun dari kehidupan ini yang tidak dimiliki oleh Kristus”. Jadi hal itu tidak hanya berlaku untuk kehidupan gerejawi, melainkan menyangkut segala-galanya yang diciptakan oleh Allah. Sebab itu orang-orang Kristen harus terlibat kuat dalam pemeliharaan ciptaan Allah, dalam kehidupan sosial dan politik. Kristus telah mengangkat mereka menjadi ”garam” dunia, garam yang memberi cita rasa dan yang mencegah kebusukan (Mat. 5: 13).
Gereja tidak boleh hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri.
Dia tidak boleh menunjukkan mentalitas yang hanya terarah kepada diri sendiri. Para anggotanya juga harus mengarah keluar. Dan bukan hanya untuk ikut-ikutan dengan salah satu program penginjilan yang diorganisasi secara besar-besaran.
Namun, biasa-biasa saja, di jalan di depan rumah-rumah mereka sendiri, di daerah pemukiman sendiri. Mereka harus berusaha keras untuk menjadi tetangga yang ramah, atau rekan sekerja yang bisa dipercaya, pokoknya sebagai orang Kristen yang tidak bercela. Semuanya di dunia ini, bahkan lapangan sepak bola, dan apa pun yang dirundingkan di ruang pengurus klub sepak bola, terletak di dalam wilayah kekuasaan Kristus, dan menjadi bagian dari ciptaan Allah Bapa, di mana juga Roh Kudus terlibat dengan intensif.
Mungkinkah pada saat ini gereja terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri saja? Dan hanya menanggapi masalah-masalah yang terjadi di dalam gereja saja? Mungkinkah perhatian banyak anggota gereja dipersempit terus-menerus sampai padahal-hal yang hanya berhubungan dengan kerohanian, sedangkan masalah politik atau kemasyarakatan dikesampingkan karena dianggap kurang atau tidak penting?
Mungkin ada baiknya apabila para anggota gereja berusaha untuk menghabiskan setidaknya separuh dari waktu luang mereka di luar gereja? Misalnya, dalam kegiatan biasa di daerah pemukiman, dalam politik setempat, dalam dewan pengawasan sebuah rumah sakit, dan lain sebagainya? Dalam masyarakat yang sudah terpecah-pecah ini, di mana setiap bidang memiliki hukumnya sendiri, dengan peraturan dan pola perilakunya masing-masing, kita ditantang untuk menduduki tempat sebagai seorang Kristen yang tidak bercela.
Bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen dalam budaya yang sudah menjadi materialistis dan terpecah-pecah ini? Bagaimana posisi kita dalam segala perselisihan yang gampang merusakan kehidupan bersama-sama sebagai masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan itu, dan memberi isian pada jawabannya, diperlukan lebih banyak tenaga, daya pikir dan semangat dari para anggota gereja.
Kristus di dalam kita
Alkitab menggambarkan sebuah hubungan yang intensif antara Kristus dan aku. Kita ini adalah carang-carang pada pokok anggur, yaitu Kristus, ”namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”(Gal. 2: 20).
Itu adalah bahasa kasih. Kristus telah ikut campur dengan hidupku. Dia terjalin dalam hidupku. Memang Dia tetap berbeda dengan kita. Dia adalah tetap Kristus. Kita pun tetap adalah kita. Tidak terjadi pembauran antara Kristus dan kita. Itu sangat penting untuk diingat!
Dia ”di dalam” kita berarti adanya ikatan yang kuat dan akrab antara Dia dan kita.
Dan barang siapa ada di dalam Dia, dan tetap tinggal di dalam Dia, akan menghasilkan banyak buah.
Apakah kita berusaha keras untuk itu? Apakah seluruh pikiran kita terarah pada usaha itu? Dapatkah kita mengatakan bersamasama dengan Paulus bahwa kita mengejar tujuan itu? Supaya hanya Kristus yang semata-mata berkuasa di dalam hidupku?
Ketika Kristus hidup di bumi ini, Dia tidak menyukai orang-orang yang selalu menonjol-nonjolkan kehebatan dankarunia-karunia mereka. Begitu juga tidak disukai-Nya orang-orang yang ingin menjadi ”sahabat dunia” ini. Hati-Nya memang selalu diliputi belas kasihan kalau melihat kaum yang lemah dan mudah disakiti orang. Kalau Dia ada di dalam kita dan kita ingin mengikuti-Nya, maka kita akan menolong yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka (Yak. 1: 27). Dan dengan nyata-nyata kita akan membantu orang-orang yang lapar dan dahaga, orang-orang asing dan pencari suaka, orang-orang yang miskin dan yang merana di dalam penjara-penjara (Mat. 25: 31-45). Apabila Kristus ada di dalam kita, maka tidak mungkin iman kita membuat kita sombong kalau kita berhasil mencapai prestasi yang mengagumkan. Sebaliknya, secara konkret kita akan mengunjungi orang-orang yang terlantar dan yang tidak diperhatikan siapa pun, dan terutama orang-orang yang sudah kehilangan Allah dalam hidup mereka (Luk. 19: 10).
Bukankah gereja dalam abad-abad pertama bertumbuh paling subur karena kehidupan para anggotanya yang dengan cara ini ada di dalam Dia? Dan karena Dia ada di dalam mereka?
Kemuliaan hanya kepada Allah. Itulah ”semboyan” pada zaman Reformasi dan pada semua abad sebelum dan sesudahnya. Ada baiknya kalau sekarang ini kita merenungkannya lagi untuk dapat menghayati sepenuhnya makna dan kekuatannya.
Bukan aku...
”Andalah yang penting!” Itulah satu-satunya pesan yang disampaikan kepada kita melalui banyak media. Kitalah titik pusat dalam alam semesta. Semuanya berputar di sekeliling ”aku” . ”Egonomi” (bukan ”ekonomi”, melainkan ”ego”, yaitu ”Aku”
> ”Akunomi”) ialah istilah dari dunia periklanan dan pemasaran, yang menunjukkan bahwa segala-galanya harus disesuaikan dengan kebutuhan pribadi orang. Norma yang harus diikuti oleh segala-galanya ialah: rasa nyamanku, kehidupanku, kepuasanku!
Itulah arah pandangan yang gampang ditemukan dalam masyarakat. Kita mendapat kesan bahwa pengaruh budaya modern dan materialistis ini sangat kuat meresap dalam kehidupan banyak orang Kristen. Yang penting ialah apakah aku bahagia dengan imanku, apakah imanku itu menyentuh hatiku, apakah ada gunanya bagiku, apakah aku menerima pengalaman yang luar biasa itu, dan seterusnya. Tidak secara kebetulan telah lahir istilah-istilah baru (khususnya juga dalam dunia Barat) seperti ”iman kemakmuran” dan ”iman SPA” (iman yang menjamin pengalaman nyaman seperti dalam SPA).
...tetapi Dia
Allah ialah Yang Mahakudus. Dia bukan saja lebih besar dan lebih hebat daripada manusia dalam hal kekuasaan, kasih, hikmat dan kebaikan, kesabaran dan murah hati. Dia adalah Allah dalam semuanya itu. Tidak terukur perbedaan antara Dia dan kita.
Tidak terbandingkan keunggulan Dia dalam segala-galanya. Dia bukan saja titik tengah yang bercahaya gemilang. Dia adalah titik tertinggi yang bersinar terang benderang!
Seharusnya dengan sendirinya seluruh alam semesta dan seluruh umat manusia hidup dengan berpaling sepenuhnya kepada-Nya. Seharusnya semua wajah tertuju kepada-Nya. Semua hati terarah kepada-Nya. Segala perhatian terpusat kepada-Nya.
Ya Tuhan, bagaimana aku dapat belajar untuk lebih mengenal Engkau? Ya Tuhan, apakah yang Kau ingin aku lakukan? Ya Tuhan bagaimana aku dapat menyenangkan hati-Mu?
Pendek kata, seharusnya dengan sendirinya Dia menjadi pusat segala-galanya.
Apakah kita merasakan perbedaannya?
Bukan aku yang menjadi pokok, yaitu apa yang aku alami atau aku rasakan. Itu sama sekali tidak penting dibandingkan dengan yang lain itu. Yang Lain itu ialah Tuhan Allah! Yang penting ialah apakah Dia menerima penghormatan dari kita, apakah Dia merasakan kasih kita, apakah Dia mendapat kehangatan dari hati kita yang berdetak bagi-Nya, apakah dengan senang Dia dapat memandang kehidupan kita yang taat dan murni, yang kita jalani bagi Dia. Itulah pertanyaan yang besar dalam hidup kita, bagaimana aku ini harus hidup sehingga Allah mendapat penghormatan melalui hidupku? Alangkah indahnya kalau Dia berkenan kepadaku!
Kalau kita mempelajari firman Allah, maka kita akan melihat betapa akbarnya Allah dari segala abad itu, betapa akbar segala perbuatan dan rencana-Nya. Maka kita pun akan menyadari bahwa dibandingkan dengan itu, segala rencana kecil kita, segala rasa sakit, segala keterampilan dan kekurangan kita, sama sekali tidak ada apa-apanya.
Bukankah kita perlu dibebaskan dari diri kita sendiri? Dan dari segala perhatian yang kita curahkan bagi kita sendiri?
Dengan demikian kita dapat menjalani hidup ini dengan penuh perhatian bagi-Nya Pendek kata: kita akan dapat menjalani hidup yang benar- benar terarah pada pemberian hormat kepada-Nya.
Buku ini berjudul ”LEBIH DARI CUKUP!” Jawabannya jelas: kita sudah memperoleh lebih dari cukup.
Buku ini ditulis untuk menjawab kerinduan yang makin kuat dan yang terus disiarkan dalam kalangan orang karismatik.
Mereka terus menimbulkan perasaan bahwa di dalam banyak gereja belum ada cukup, terutama di bidang hal-hal spektakuler dari Roh Kudus. Mereka membuat banyak gereja ragu-ragu dan bertanya diri apakah memang sudah cukup kalau hanya percaya saja, hanya Alkitab saja, hanya kasih karunia saja.
Mungkin Reformasi akbar, walaupun baik arahnya, toh memungkiri sesuatu yang lebih di bidang karunia-karunia, dan pemulihan karismatik seperti yang terdapat dalam Alkitab.
Dengan buku ini para penulis ingin menggairahkan dan menghidupkan orang-orang Kristen
- yang menjalani iman seperti melakukan sejumlah kewajiban ritual secara otomatis, misalnya dalam ibadah pada hari Minggu;Orang-orang seperti itu seakan-akan sudah puas dengan hanya ”setengah Kristus”. Itulah yang sudah lebih dari cukup bagi mereka. Siapakah yang dapat menyangkal bahwa ”hanya” sebagai Perantara dan Penghapus dosa-dosa kita saja, Kristus sudah teramat besar artinya bagi kita? Meskipun begitu, mereka terlalu cepat merasa puas. Mereka sudah merasa cukup, padahal Kristus justru masih ingin melangkah lebih jauh lagi bersama mereka. Dia ingin agar mereka
- berdasarkan pembenaran menuju kepada pengudusan;Kristus tidak mau bekerja dengan setengah-setengah, dan Dia tidak mau juga menjadi Juru Selamat hanya setengah-setengah saja. Yakni pengampunan dan pembaruan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, melainkan merupakan kesatuan.
Dengan judul LEBIH DARI CUKUP! ini kami hendak menantang orang-orang Kristen di kalangan gereja yang merasa sudah cukup puas. Yang dimaksudkan ialah orang-orang Kristen yang cenderung mengesampingkan apa saja yang berbau pembaruan, pertumbuhan atau kehidupan iman yang penuh semangat, karena menganggapnya tidak perlu, bahkan menjemukan.
Hendaknya para pembaca buku ini menilai apakah kami telah berhasil dalam usaha ini.
Sekaligus buku ini hendak menyapa orang-orang Kristen yang merindukan kehidupan iman yang berkobar-kobar dan berapi-api. Yaitu orang-orang Kristen di antara kita yang menaruh harapan tinggi pada tanda-tanda danpengalaman-pengalaman yang luar biasa. Kerinduan itu dapat begitu kuat, sehingga mereka memberi suatu tambahan pada pemberitaan Alkitab, sesuatu yang tidak ada di dalam Alkitab. Tanda-tanda yang tampak dalam situasi historis tertentu dalam sejarah gereja yang mula-mula, ditampilkan sebagai hal yang dituntut untuk segala zaman. Demikian misalnya mereka mengklaim
- bahwa Allah berkehendak supaya kita membuka diri untuk menerima pesan-pesan khusus bagi hidup kita pribadi atau hidup orang lain;Mereka mengambil jarak dari orang-orang Kristen ”yang biasa”, yang tidak dapat membanggakan segala pengalaman atau karunia itu. Dengan demikian entah disengaja atau tidak mereka membuat banyak orang Kristen merasa bingung dan tidak yakin.
Mereka kurang memperhatikan realitas bahwa masih banyak kebobrokan dan juga bahwa kemuliaan yang akan datang itu ”belumlah tiba”. Namun, kalau ada orang yang menyanggah pendapat mereka, dia akan segera dituduh bahwa imannya terlalu kecil dan pengharapannya terlalu sedikit! Sayangnya, dengan demikian orang-orang Kristen terancam untuk tidak dapat mengandalkan siapa pun, kecuali diri mereka sendiri dan iman mereka sendiri.
Selain itu, orang-orang Kristen yang bersaksi tentang ”pengalaman lebih” (berkat kedua/second blessing) yang telah mereka terima, merasa lebih tinggi daripada orang Kristen lain meskipun itu sama sekali bukan maksud mereka. Bagaimanapun sisi balik dari kesaksian tentang pengalaman yang ”lebih” itu, ialah bahwa orang Kristen yang tidak mengalaminya, dengan sendirinya merasa adanya ”kekurangan”. Sebab itu segala pembicaraan tentang ”pengalaman yang lebih” itu (juga yang disertai dengan rendah hati), kedengarannya sombong dan menghakimi. Saya kira ada baiknya kalau kata ”lebih” itu secara konsekuen diganti dengan kata ”lain”. Supaya yang dibicarakan bukan tentang pengalaman yang lebih, tetapi tentang pengalaman yang lain...
Kami ingin menekankan sesuatu kepada saudara-saudara seiman yang bersikap positif terhadap pengaruh-pengaruh karismatik, yaitu supaya mereka menyadari satu hal, yaitu: bahwa pemikiran itu sendiri dan cara energik yang dipakai untuk menyampaikannya, mengancam kesatuan dan akan membawa perpecahan di antara orang-orang Kristen. Dalam sejarah sudah beberapa kali terjadi perpecahan antara gereja di satu pihak dan gerakan kaum fanatik di pihak lain. Dan kaum fanatik itu biasanya sibuk melakukan hal-hal yang pada zaman ini dilakukan juga oleh jemaat Pentakosta dan gerakan karismatik.
Apakah dengan demikian kita harus menolak cara beriman yang penuh semangat dan hangat? Sama sekali tidak! Kita justru merindukan gereja yang dengan gembira dan penuh keyakinan mengungkapkan pengharapan yang ada di dalam dirinya (1Ptr. 3: 15). Namun, sambil berbuat begitu, kita tetap yakin bahwa kita menerima lebih dari cukup dengan apa yang diberikan Allah kepada kita dalam Kitab Suci, dalam Kristus, dan dalam berita mengenai anugerah, iman dan pertobatan. Kita juga percaya bahwa kita boleh menyerahkan kepada Tuhan Allah sendiri apakah Dia memberi mukjizat dan tanda-tanda, (atau tidak) dan kapan Dia memberikannya. Jangan pernah kita menantang-Nya atau memaksa-Nya untuk melakukan hal-hal yang tak pernah dijanjikan-Nya kepada kita. Kita ini sudah merasa telah menerima sangat cukup dalam segala fakta sejarah penyelamatan-Nya dan janji-Nya, dan jaminan Roh Kudus. Kita juga merasa telah menerima lebih dari cukup dengan Kitab Suci, dengan beratusratus halamannya penuh kata-kata, yang boleh kita simak, jelaskan, renungkan dan terapkan pada diri kita sendiri. Khususnya karena di dalam Kitab Suci itu kita belajar mengenal kasih dan kekuatan Dia yang sanggup untuk melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan (Ef. 3: 20). Kita percaya bahwa semboyan Reformasi Sola Scriptura masih tetap berlaku di dalam abad ke-21 ini, dan sampai Kristus akan kembali. Cukuplah itu!
Kita mendambakan sebuah gereja Firman, yaitu gereja yang berpegang teguh kepada firman Allah sebagai pedomannya yang satu-satunya. Kita merindukan orang-orang Kristen yang pada masa-masa gelap tanpa Allah, dapat berdiri kukuh karena berakar kuat di dalam Kitab Suci. Orang-orang seperti itu kuat dan sehat secara rohani. Begitu kuat dan sehatnya, sehingga mereka dapat melawan budaya yang terasing dari Allah dan melawan pendapat yang keliru pada zaman mereka.
Kita mendambakan gereja yang tidak mengizinkanorang-orang semaunya memberitakan gagasan-gagasan yang tidak alkitabiah, dan mengganggu kerukunan di antara orang-orang Kristen sehingga merusak jemaat Allah. Anak-anak Allah tidak boleh mengejar hal-hal yang terlalu besar dan terlalu ajaib bagi mereka (Mzm. 131). Hendaknya mereka tetap berpegang dengan teguh dan tenang pada Kitab Suci, tanpa menyeleweng ke kanan atau ke kiri. Hendaknya mereka dengan lahap minum kata-kata Allah sebagai air yang memberi hidup, sehingga meresap di dalam hati mereka. Supaya Roh Allah dengan kentara menggerakkan hati mereka. Dan supaya Dia membentuk mereka menjadi persekutuan yang dengan penuh kasih saling berbagi iman kepada saudara-saudara seiman, dan juga kepadaorang-orang lain. Persekutuan yang ingin berbicara dengan hangat dan spontan tentang perbuatan-perbuatan besar Allah. Dan yang mengikuti teladan Kristus, yang tanpa memikirkan kepentinganNya sendiri melayani Allah dan manusia dengan penuh kasih.
Melayani, tanpa terhalang oleh rasionalisme, formalisme, tradisionalisme, materialisme.
Gereja seperti itu boleh merasa terhibur oleh Firman yang telah diberikan Allah kepada rasul-Nya yang paling besar, yaitu Paulus. Rasul itu pernah menerima penglihatan dan penyataan dari Tuhan. Dia pernah diangkat sampai ke tingkat yang ketiga surga. Dia pernah dibawa ke Firdaus dan mendengar kata-kata yang tidak boleh disampaikannya kepada siapa pun (2Kor. 12: 1-5). Ketika rasul yang besar ini memohon supaya Allah mencabut suatu duri dari dalam dagingnya, agar dengan demikian dia dapat melayani Allah dengan lebih kuat, jawaban yang diberikan Allah membawanya kembali kepada inti pemberitaannya sendiri. Allah menjawab, ”Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12: 9).
Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas bersama
1. Ciri yang mana di antara semua ciri khas budaya yang disebut dalam bagian pertama bab ini, yang paling besar dampak baliknya terhadap para anggota gereja Anda? Dan terhadap diri Anda sendiri?Drs. J. van Benthem (1960) dan Drs. K. de Vries (1959) adalah pendeta-pendeta Gereja-Gereja Reformasi di Belanda.