oleh Hans Maris
Di lingkungan karismatik ini sekurangnya aku mengalami sesuatu...
Apakah sebetulnya yang dimaksudkan dengan aliran-aliran Injili dan karismatik dalam agama Kristen pada zaman kita ini? Bagaimana cara berpikir orang-orang Kristen itu? Apakah sebetulnya ada teori tertentu di baliknya?
Justru bukan sesuatu yang bersifat teori, yang membuat banyak orang tertarik pada aliran-aliran itu, melainkan apa yang dapat dialami dengan nyata-nyata di lingkungan itu.
Aliran-aliran itu mempunyai daya tarik, juga bagi banyak orang Reformasi. Bukan karena apa yang dipikirkan di situ, tetapi karena apa yang terjadi di situ.
Orang-orang yang pergi ke situ menjadi berubah secara mencolok. Pengalaman menerima karunia-karunia luar biasa dari Roh, dirasakan sebagai suatu ”tambahan”, yang tidak pernah ada di gereja-gereja yang sejak dahulu sudah mapan.
Pertemuan-pertemuan dan ibadah-ibadah gereja di kaum karismatik bernafaskan semangat yang bebas, di mana Roh Allah langsung berbicara. Dibandingkan dengan itu, ibadah-ibadah ”resmi” di banyak gereja Protestan yang lain terasa kering dan membosankan.
Apakah itu disebabkan karena gereja Reformasi memiliki teori teologis yang berbeda? Ataukah alasannya hanya karena di situ hubungan dengan Allah kurang akrab dan hidup? Dalam abad yang lalu, banyak orang Kristen dari gereja-gereja yang sudah mapan sampai pada kesimpulan ini: kita merindukan sesuatu lain dan lebih. Kemudian tidak sedikit dari mereka mencari jalan keluarnya dengan bergabung dengan ”kelompok-kelompok” yang mencari yang sama dan yang kita sebut ”karismatik” (termasuk ”Pentakostal”) atau ”Injili”. Dan ternyata daya tarik begitu kuat, sehingga aliran-aliran ini mengalami pertumbuhan yang sangat raksasa.
Menguji roh-roh
Rasanya terlalu mudah kalau kita membiarkan saja keadaan itu, dan hanya mengacu pada pendapat umum yang menerangkan timbulnya sekte-sekte sebagai efek kelemahan di dalam gereja, misalnya kekurangan di bidang penghayatan iman dan kegembiraan kehidupan jemaat. Terbentuknya berbagai gerakan dan kelompok di dalam atau di luar gereja bukan hanya karena ada kekurangan-kekurangan pada gereja. Sebenarnya gereja secara teologis dan teoretis tidak salah, ajarannya cocok, tetapi ibadah hanya suam-kuku dan tidak hidup-hidup, dan daya tarik di bidang misioner sangat kurang. Efeknya jelas. Gereja itu membosankan dan anggota-anggotanya merasa tertarik kepada kelompok-kelompok Kristen yang lain pengalamannya. Namun, daya tarik kelompok-kelompok itu mungkin juga disebabkan oleh sesuatu hal yang lain. Mungkin saja kenyataan ada sebuah ”injil” yang ”menurut manusia” yang dikabarkan di situ. Dan mungkin karena itulah orang-orang tertarik. Bagaimanapun juga, kita perlu menguji roh-roh, sesuai tugas alkitabiah (1Yoh. 4: 1 dst.).
Adapun daya tarik gerakan karismatik dan Injili itu merupakan juga alasan bagi gereja untuk sekali lagi melihat ke dalam cermin.
Situasi memaksa gereja untuk menguji diri. Bukan hanya dalam cermin gerakan karismatik, tetapi dalam cermin firman Allah.
Apakah gereja kita masih sehat, baik di bidang ajarannya, maupun di bidang semangat dan kehidupannya? Apakah gereja masih oke, atau mungkin kekurangan sesuatu?
Apakah kita kekurangan sesuatu?
Pertanyaan apakah kita kekurangan sesuatu? sudah sejak dahulu timbul di dalam gereja. Seharusnya gereja Kristus sudah lebih dahulu dalam sejarahnya diperhadapkan dengan pertanyaan itu.
Ada baiknya bahwa pada zaman ini kita memperingatkan lagi jawaban-jawaban yang telah diberikan gereja pada masa lalu atas pertanyaan itu.
Apabila dalam gereja-gereja yang berpengakuan iman Reformasi tampaknya ada cara kekristenan karismatik yang menebarkan daya tariknya, kita harus betul-betul menyadari apa yang sedang kita hadapi. Sebab itu, kita berusaha melihat dengan jelas dua hal yang memainkan peran besar dalam agama Kristen karismatik, yaitu cara berbicara orang-orang dalam lingkungan itu, dan cara mereka memakai Alkitab.
Dalam bab ini, mula-mula digambarkan beberapa ”gerakan karismatik” yang sudah ada pada zaman dahulu; dan kemudian saya akan melukiskan motif-motif yang karakteristik di balikgerakan-gerakan itu pada masa lalu dan pada masa kini. Berdasarkan keyakinan alkitabiah dan Reformasi, saya ingin menambahkan sedikit bahan untuk direnungkan, dan yang juga dapat dipakai sebagai bantuan dalam menguji roh-roh karismatik.
Ciri khas bab ini menyebabkan bahwa saya sekali lagi membicarakan beberapa pokok, yang dalam bab-bab sebelumnya dalam buku ini sudah dibahas secara terpisah. Di sini kita akan membahasnya dalam kerangka pelukisan mengenai apa sebetulnya pemikiran dan pengalaman karismatik itu.
Bersikap kritis, juga terhadap gereja-gereja kita sendiri
Pertanyaan kritis yang diajukan kepada gereja-gereja yang sudah mapan, hendaknya dipertajam. Kaum Reformasi yang bermacam-macam denominasi itu, memiliki pengakuan iman yang mengandung sebuah warisan dari masa Reformasi abad ke-16. Justru dalam hubungan dengan tema buku ini, ada sangat banyak alasan untuk menyebut Reformasi itu gerakan kebangkitan yang paling besar dalam ke-500 tahun yang terakhir.
Mungkinkah kekuatan keyakinan iman dari dahulu itu, telah membeku di dalam diri kita, sehingga menjadi agama Kristen yang sedingin es batu? Memang ada berbagai keyakinan yang kukuh dan prinsip-prinsip yang tetap di dalam agama kita, tetapi apakah agama itu hidup? Gereja tidak bisa tetap bertahan dalam abad ke-21 ini, hanya dengan berpuas diri karena merasa benar. Kalau kita hendak menguji pikiran-pikiran orang lain, maka sekaligus kita harus juga menguji pikiran-pikiran kita sendiri! Dengan begitu yang diteliti bukan hanya teologi kita, tetapi juga semangat yang memenuhi hati kita!
Gerakan karismatik dalam abad Reformasi
Sudah dalam abad ke-16, Reformasi menghadapi sebagai semacam berat pengimbang berbagai pengelompokan, antara lain kaum Anabaptis (pembaptis-ulang) dan kaum Spiritual, yang dengan bangga mengaku telah menerima penyataan Roh Kudus dan pengaruh karya-Nya secara langsung. Di kalangankelompok-kelompok itu, sarana-sarana kasih karunia yang dipakai di dalam gereja makin diremehkan. Khususnya sarana anugerah yang terutama di dalam gereja-gereja Reformasi, yakni firman Allah.
Mudah dimengerti bahwa pergaulan antara kaum Protestan dan para Anabaptis itu kurang rukun. Bagi kaum Reformasi, pegangan iman yang paling sejati terletak dalam kejelasan Injil yang memusatkan anugerah Allah. Sedang di lingkungangerakan-gerakan lain itu, Alkitab kadang-kadang dipandang sebagai sesuatu yang hanya memainkan peran pembantu. Jadi, peran utama diberikan kepada karya Roh yang lain, seperti penyataan langsung. Juga pada zaman Reformasi itu, sering kaum Reformasi sangat dipersulit oleh penampilan-penampilan para pemimpin karismatik di depan umum, yang kadang-kadang spektakuler, juga oleh usaha mereka mempengaruhi massa secara besar-besaran.
Namun, ternyata Reformasi bertahan lebih lama daripadagerakan-gerakan di sekitarnya.
Meskipun begitu, dalam sejarah gereja (setelah masa pertama itu) berulang-ulang timbul kerinduan untuk memperoleh lebih banyak daripada hanya firman Allah. Berdasarkan ide bahwa firman Allah dan isinya belum cukup. Kerinduan ini disertai dengan merindukan juga lebih banyak daripada hanya Injil Kristus Yesus dan berita utamanya, pendamaian dengan Allah karena kasih karunia saja.
John Wesley (1703-1791) dan aliran metodis
Nama John Wesley masih sangat terkenal, meskipun dia lahir tiga abad yang lalu. Aliran metodis, yang dihasilkan oleh pekerjaannya bersama-sama dengan sahabatnya George Whitefield dalam arti tertentu telah membidani lahirnya aliran Injili pada zaman kita, dengan segala variasinya. Daya tarik metodisme sudah pasti berhubungan erat dengan tekanan kuat yang diletakkan oleh Wesley pada pengalaman dan penghayatan iman.
Wesley bergerak dalam garis Reformasi, ketika dia menggarisbawahi ketentuan bahwa untuk memperoleh penghapusan dosa dan pengampunan kesalahan, harus ada kepercayaan pribadi kepada Allah. Meskipun begitu, dalam pandangannya, iman menduduki tempat yang lain, yang ”kurang penting”. Menurut dia, di samping iman, masih ada sesuatu yang lain, yang lebih utama, yaitu, penerimaan keyakinan batin bahwa kita ini adalah anak Allah. Menurut Wesley hal yang lebih utama itu belum terdapat di dalam iman saja. Iman disebutnya ”pintu gerbang agama”. Yang menjadi pokok ialah apa yang datang sesudah masuk pintu gerbang itu, yaitu, agama batiniah, yang terutama dialami atau dirasakan.
Penggambaran tentang pengalaman Wesley mengenai pembenaran dirinya adalah sangat khas. Tanggal 24 Mei 1738 boleh dianggap sebagai saat lahirnya ajaran metodisme. Wesley menulis:
”Kira-kira pukul 08.45 pagi, pada saat dia (yaitu Luther, yang Kata Pengantarnya pada Tafsiran terhadap surat kepada jemaat Roma sedang dibacakan, HM) menggambarkan perubahan yang dikerjakan Allah dalam hati kita oleh iman kepada Kristus, hatiku terasa hangat. Aku merasa bahwa aku percaya kepada Kristus, hanya kepada Kristus untuk memperoleh keselamatanku: lalu aku diberi keyakinan, bahwa Dia sudah menghapus segala dosaku, ya dosaku, dan bahwa aku telah diselamatkan-Nya dari hukum dosa dan maut” (Demikianlah kutipan dari Journal karangan Wesley, tertanggal 24 Mei 1738, lengkap dengan huruf-huruf miringnya).
Perbedaan antara Wesley dan kaum Reformasi ialah bahwa dia selalu mulai dengan manusia. Bagi dia, perasaan atau pengalaman, adalah ciri khas iman Kristen. Iman sendiri tidak cukup, melainkan iman menjadi lengkap setelah kita mengalami langsung anugerah Allah. Iman sebagai tanda adanya relasi dengan Kristus kurang mendapat tekanan ketimbang iman sebagai sarana untuk menerima atau mencapai ”sesuatu” yang melangkah lebih jauh.
Pada Wesley hal itu juga terungkap dalam tekanannya yang kuat pada proses pengudusan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya dalam kontak-kontak penggembalaan yang dijalinnya dalam jaringan para rekan sekerjanya, menunjukkan hal itu dengan jelas, seperti misalnya: ”Apakah Anda selalu berdoa? Apakah Anda setiap saat merasa bahagia dalam Allah?
Apakah Anda mengucap syukur kepada Allah dalam segala keadaan? Dalam menanggung rugi? Dalam rasa sakit? Dalam sakit-penyakit, dalam kepenatan, kekecewaan? Apakah Anda tidak menginginkan apa-apa? Apakah Anda tidak takut pada apa pun? Apakah Anda senantiasa merasakan kasih Allah dalam hati Anda? Apakah Anda bisa memberi kesaksian bahwa dalam apa pun yang Anda katakan atau lakukan, Anda menyenangkan hati Allah?”
Dengan pendekatan itu Wesley melancarkan desakan psikologis yang kuat pada orang-orang. Kehidupan Kristen didekati dengan cara yang menempatkan manusia dan pengalamannya di titik sentral. Intinya bukan iman yang terarah pada pengenalan tentang Kristus dan segala perbuatan-Nya yang besar seperti digarisbawahi oleh Reformasi melainkan pada apa yang dialami oleh orang-orang percaya menurut perasaan merekamasing-masing.
Dengan kata lain, yang penting untuk Wesley bukannya terutama iman, sebagaimana iman itu berfungsi ketika hanya dapat bergantung dari janji-janji Allah di dalam Kristus, dan sebagaimana iman itu telah mengalami perjuangan, pertumbuhan, dan juga penyerangan; tetapi yang jauh lebih penting baginya ialah hasilnya, yaitu kehidupan kristiani yang telah terwujud dan pengalaman yang merupakan bukti dari kebenaran iman.
Tidak mengherankan bahwa Wesley terpesona melihat tokoh Montanus (abad kedua sesudah Kristus). Wesley menganggap dia sebagai teladan besar di bidang kesalehan. Di sekitar tahun 160 sesudah Kristus, Montanus tampil di Asia Kecil sebagai nabi baru, bersama-sama dengan dua imam wanita, Maximila dan Priska. Wesley yakin bahwa ketiga orang itu telah menerima karunia untuk bernubuat, yang menyebabkan mereka menerima visiun-visiun mengenai Kristus dan mimpi-mimpi tentang hari kiamat (apokaliptik). Montanus menganggap dirinya sebagai nabi dan penyambung lidah Roh Kudus. Jadi seakan-akan dengan demikian edisi dari wahyu yang telah diterima oleh para rasul makin diperbaiki! Itulah sebabnya ”nubuat yang baru” itu memiliki wewenang yang lebih tinggi daripada apa yang telah diterima dalam tahap pewahyuan yang terdahulu, yaitu dalam hukum Taurat dan dalam Injil, kanon Alkitab yang tertulis itu. Dalam kenyataannya, dengan tibanya zaman Roh Kudus pada hari Pentakosta, zaman Kristus dianggap telah kedaluwarsa. Gereja telah menyatakan aliran Montanis itu sebagai ajaran palsu, antara lain karena telah mengurangi makna Kristus (lih. mis. buku Sejarah Gereja, karangan Eusebius dalam abad keempat). Meskipun begitu, pengaruh aliran Montanis masih bertahan lama, dan hal itu ikut disebabkan karena sekitar tahun Masehi 200, bapa gereja Tertulianus ikut bergabung dengan aliran itu. Adapun dia telah memberi pengaruh yang agak memperlunak segi-segi ekstrem pada aliran itu.
Gerakan Pengudusan dalam abad ke-19
Gerakan-gerakan kebangkitan dalam abad ke-18 di Inggris dan Amerika, yang ikut dipengaruhi oleh metodisme, melahirkan dalam abad ke-19 apa yang secara meringkas disebut ”Gerakan Pengudusan”.
Aliran ini memperlihatkan banyak pendekatan yang berbedabeda itu, melainkan ada satu pola dasar yang dapat dikenali: seorang Kristen, sesudah dia dilahirkan kembali dan menjadi percaya kepada Yesus Kristus, masih harus mengalami pengalaman yang lebih dalam, yang biasanya disebut ”baptisan dengan Roh Kudus”. Tidak semua orang menjelaskan pengalaman itu dengan cara yang sama, tetapi semua tokoh yang memimpin gerakan internasional itu mengaku telah menerima pengalaman yang sama, pengalaman yang lebih dalam, yang kadang-kadang digambarkan dengan jelas sebagai ”gelombang-gelombang listrik” yang mengaliri seluruh tubuh seperti ”aliran kasih yang membual-bual”.
Para wakil Gerakan Pengudusan ini mempunyai makna yang sangat penting sebagai pembuka jalan bagi Gerakan Pentakosta dan Gerakan Karismatik. Tulisan-tulisan sejumlah pengkhotbah yang terkenal seperti warga Afrika Selatan Andrew Murray (1828-1917) dan kedua warga Amerika, Charles G. Finney (1792-1875) dan Reuben A. Torrey (1865-1928) sampai sekarang pun masih tetap disebarluaskan dan dihargai tinggi di kalangan Pentakosta dan Karismatik. Tentang Torrey pernah dikatakan bahwa pendapat-pendapatnya sangat menunjang gerakan Pentakosta.
Terutama gagasannya bahwa seorang Kristen harus mengambil sendiri langkah-langkah yang diperlukan untuk menerima ”berkat ekstra” (second blessing) dari Roh Kudus yang sangat didambakan itu, telah memberi pengaruh yang sangat kuat. Torrey sendiri menentang keras ”gerakan lidah”, seperti pada awal abad-20 gerakan Pentakosta mulai disebut, tetapi model-pemikirannya justru memainkan peran utama dalam membidani gerakan itu.
Di dalamnya kita mengenali keyakinan Arminius (tokoh teologi abad ke-17) yang memberi peran menentukan pada kehendak manusia (”kehendak bebas”) untuk memperoleh berkat yang didambakan. Bukan anugerah Allah yang menentukan, melainkan langkah yang diambil manusia. Manusia harus mengambil keputusan bahwa dia tidak merasa puas lagi dengan ”hanya anugerah” (sola gratia) Tuhan Yesus Kristus.
Gerakan Pentakosta pada awal abad ke-20
Gerakan Pentakosta dimulai di sekitar pergantian abad 19 menjadi abad 20. Pada waktu itu banyak sekali pengkhotbah pengudusan yang mengadakan pertemuan-pertemuan kebangkitan. Salah seorang dari mereka ialah Charles F. Parham (1873-1929). Pada tahun-tahun 1900-an dia membuka sekolah Alkitab di Topeka (Kansas). Para mahasiswa di situ didesaknya supaya mempersiapkan diri secara rohani untuk menerima karunia-karunia yang sama seperti yang telah diterima oleh orang-orang percaya pada hari Pentakosta pertama di Yerusalem.
Dalam suasana yang ditandai oleh puasa dan berdoa selama berjam-jam dengan sangat emosional keadaan penuh ketegangan seperti itu telah dikembangkan selama berbulanbulan lahirlah Tahun Baru 1901. Pada saat itu di dalam lingkaran mahasiswa sekolah Alkitab itu menerima karunia yang sangat didambakan, yaitu karunia untuk berbicara dalam bahasa lidah, setelah Parham melakukan penumpangan tangan atas mereka.
Dia sendiri juga menerima karunia itu.
Suatu hal yang sangat penting ialah bagaimana Parham merumuskan dogma fundamental gerakan itu, yaitu bahwa bahasa lidah membentuk bukti penerimaan baptisan dengan Roh Kudus. Dalam arti itu dia boleh disebut bapa gerakan Pentakosta.
Kenyataan bahwa namanya tidak banyak lagi disebut, disebabkan karena pendapat-pendapatnya condong pada rasisme dan juga karena dia dicopot dari kedudukannya sebagai pemimpin gereja setelah ketahuan bahwa dia pernah melakukan pelanggaran di bidang seksual.
Tahap penting yang kedua dalam sejarah, terbentuk oleh gerakan yang berkembang di sekitar seorang murid Parham, seorang pengkhotbah berkulit hitam bernama William J. Seymour (1870-1922). Pada tahun 1906 orang-orang datang dengan berbondong-bondong ke kebaktian-kebaktian yang diadakannya di jalan Azusa Street di Los Angeles. Di situ, dalam sebuah bekas pabrik yang kosong, tiga tahun lamanya diadakan kebaktian setiap hari siang maupun malam. Dari situlah tersebar pendapat tentang pengalaman bahasa lidah itu ke seluruh dunia, disertai pesan yang sugestif bahwa seorang Kristen yang tidak mendapat pengalaman khusus itu (karunia Roh berbahasa Lidah) adalah seorang Kristen yang sangat miskin imannya.
Gerakan karismatik sejak tahun-tahun 60-an
Sebetulnya, pada waktu awal itu, gerakan Pentakosta sama sekali tidak ingin membentuk gerakan tersendiri di samping atau bertentangan dengan gereja-gereja yang sudah ada. Yang mereka inginkan hanyalah membawa masuk pembaruan mereka itu ke dalam gereja. Namun, di antara gereja dan gerakan Pentakosta itu tetap menganga sebuah jurang.
Baru setengah abad kemudian, yaitu pada tahun-tahun 60-an dalam abad ke-20, ditempa sebuah jembatan menuju kegereja-gereja. Banyak pendeta gereja, dalam pergaulan mereka dengan para pemimpin gerakan Pentakosta, menerima pengalaman ”yang lebih tinggi” itu biasanya setelah mendapat penumpangan tangan. Mereka tidak meninggalkan gereja, tetapi membawa masuk pembaruan karismatik itu ke dalam gereja.Kesaksian-Kesaksian spektakuler tentang ungkapan-ungkapan dalam bahasa lidah, nubuat-nubuat dan penyembuhan-penyembuhan yang dilakukan di dalam gereja, menyebabkan orang-orang datang beribadah dengan berbondong-bondong. Gerakan Pentakosta, yang di Amerika Serikat dimulai dalam gereja-gereja Protestan, menyebar ke dunia internasional. Beberapa tahun kemudian juga di dalam gereja Katolik Roma gerakan itu merupakan aliran tersendiri. Mengenai pengalaman yang menjadi ciri khas gerakan itu, tidak ada perbedaan yang nyata antara orang-orang Kristen karismatik yang berasal dari golongan Protestan dan yang dari Katolik Roma. Second blessing itu, yang disebarluaskan beritanya ke mana-mana, dikenal sebagai pengalaman yang sama, yaitu ”satu jenis pengalaman Roh”.
Beberapa perbedaan antara gerakan Pentakosta dan Karismatik dapat ditunjukkan dalam kenyataan bahwa di dalam gereja-gereja yang membuka pintu untuk pengalaman karismatik, terdapat lebih banyak pengetahuan teologi, bahwa di situ gerakan oikumenis juga dirangkul, dan bahwa di situ pengalaman kerohanian ekstra itu dapat digabungkan dengan perhatian untukkonsekuensi-konsekuensi iman di bidang sosial dan politik. Mula-mula di kalangan orang Kristen Pentakosta tidak ada perhatian untuk aspek itu. Dalam ke-80 tahun yang pertama gerakan Pentakosta, hanya ada sedikit perenungan teologis atau keterlibatan sosial.
Namun, lambat laun terjadi perubahan. Sekarang para pendeta Pentakosta dan para pemimpin gereja Karismatik pada umumnya makin saling akrab. Juga dalam gerakan oikumenis, para pendeta Pentakosta makin memainkan peran.
Beberapa jalan baru untuk karismatik memasuki gereja kursus Alpha
Sementara itu pengaruh karismatik tidak hanya disebarkan melalui gerakan yang terbatas dan terorganisir di dalam gereja. Ada juga jalan-jalan lain untuk membawa masuk berbagai pola pikiran karismatik ke dalam gereja. Terdapat banyak titik-titik pertemuan dengan berbagai organisasi yang ingin menyebarluaskan pengalaman-pengalaman karismatik itu. Buku-buku yang dipasarkan oleh penerbit Karismatik makin bertumbuh, tidak selalu mempropagandakan gagasan-gagasan Karismatik, tetapi ada kalanya hal itu dilakukannya juga, dan tidak selalu orang mengenalinya sebagai karismatik.
Yang sangat berpengaruh (di dunia Barat) ialah kursusAlpha yang dipakai secara luas, dan yang didesain oleh pendeta Anglikan Nicky Gumbel. Kursus yang direncanakan dengan sangat bagus, khusus bagi orang-orang yang belum atau baru saja berkenalan dengan agama Kristen, dengan jelas menawarkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Dalam buku karangan Nicky Gumbel yang mendasarkan kursus-Alpha, Berbagai Pertanyaan dalam Kehidupan, dia berbicara dengan panjang lebar tentang pemenuhan dengan Roh Kudus, dengan cara seperti yang biasa dilakukan dalam gerakan Pentakosta. Pesannya sangat jelas: siapa yang hanya beragama Kristen saja, dan belum dipenuhi dengan Roh Kudus, dia pasti ”agak berdebu” alias tidak bersemangat, dalam keberadaannya sebagai orang Kristen. Baru sesudah mengalami pemenuhan dengan Roh Kudus, semuanya berubah.
Semangatnya akan berkobar-kobar. Pekerjaan di gereja menjadi penuh sukses dan tumbuh sangat subur. Memang semua orang Kristen telah menerima Roh Kudus, tetapi tidak setiap orang Kristen penuh dengan Roh Kudus. Pemenuhan dengan Roh digambarkan oleh Gumbel sebagai pengalaman yang hebat, seakan-akan orang yang bersangkutan diliputi sepenuhnya oleh kasih Allah. Dalam bab yang khusus diperuntukkannya guna membahas hal itu, dia memusatkan perhatiannya terutama pada karunia untuk berbicara dalam bahasa lidah. Dia mengatakan bahwa bahasa lidah itu memang tidak diberikan kepada semua orang. Meskipun begitu dia memberi kesan seakan-akan hal itu adalah peraturan yang tetap. Manusia sendiri harus ikut bekerja dengan Roh Kudus itu sama benar dengan apa yang tertulis dalam buku-buku gerakan Pentakosta dan mengambil ”langkah-langkah” yang diperlukan untuk secara nyata menerima pemenuhan dengan Roh yang disertai dengan karunia bahasa lidah. Dan semua orang harus bertekun supaya semakin banyak menerima kedua hal itu.
Nicky Gumbel mengutip Firman dari 1 Korintus 12: 3, yang mengatakan bahwa kita semua telah dibaptis dalam satu Roh dan diberi minum dari satu Roh. Dia menambahkannya dengan: ”Tidak ada orang Kristen kelas satu dan kelas dua. Semua orang Kristen menerima Roh. Semua orang Kristen menerima karunia-karunia rohani” (hlm. 134). Namun, dalam bab yang berikutnya yang berjudul ”Bagaimana aku dapat dipenuhi dengan Roh Kudus?”, dia terus membicarakan perbedaan besar antara mereka yang tidak dipenuhi dengan Roh Kudus dan mereka yang dipenuhi oleh-Nya. Itulah tepatnya contoh dari pembagian-dua di dalam jemaat. Pembagian itu merupakan ciri khas ajaran Pentakosta.
Kenyataan bahwa kursus itu mendapat sambutan yang begitu meriah, pasti disebabkan karena kursus itu mempunyai banyaksegi-segi yang berharga. Dan alasan mengapa kursus itu banyak dipakai dalam gereja-gereja yang berpengakuan Reformasi, pastilah karena bahannya telah disebarluaskan oleh kerjasama antara Yayasan New Wine (Anggur Baru) dan suatu organisasi pemberitaan Injil Gereja Hervormd Belanda. Hal itu bisa disebut aneh. Atau, mungkinkah itu menggambarkan betapa naifnya kita telah membawa masuk pola-pola pikiran karismatik ke dalam gereja-gereja?
a. Kristus dan Roh
Roh Kudus lebih daripada Yesus Kristus
Dalam pemikiran dan pengalaman karismatik, Roh Kuduslah yang menjadi titik pusat. Di sini boleh ditambahkan keterangan, bahwa bukan hanya lingkaran karismatik yang telah merenungkan segala seluk beluk kepribadian dan karya Roh Kudus. Juga pada zaman Reformasi orang sudah menyimaknya dengan sangat mendalam. Pentakosta perayaan pencurahan Roh Kudus amat berarti bagi kehidupan iman. Bukankah sejak itu gereja menjadi bait Roh Kudus? Selain itu selalu diingat bahwa Roh Kuduslah yang membawa orang-orang kepada Kristus. Dalam gerakan Pentakosta orang-orang membicarakan Roh Kudus dengan sangat khusus, tetapi justru dengan cara itu, kekayaan Roh Allah menjadi seakan-akan bersaing dengan iman kepada Yesus Kristus. Siapa yang percaya kepada Tuhan Yesus, tentu saja sudah hidup dengan benar, tetapi itu sama sekali belum cukup. Sebab, mereka yang mengenal Roh Kudus dengan lebih dalam dan yang menerima karunia-karunia-Nya, akan mendapat jauh lebih banyak peluang untuk memperoleh kekayaan rohani yang lebih melimpah daripada mereka yang berpegang teguh kepada apa yang dikatakan oleh Reformasi, yaitu, hanya Kristus saja (Solo Kristo).
Tentu saja orang Kristen karismatik mengakui bahwa Tuhan Yesus diperlukan untuk pengampunan dosa. Tetapi hal itu masih harus disusul dengan sesuatu yang jauh lebih besar. Pembicaraan dalam terminologi karismatik tentang apa yang berhubungan dengan Yesus Kristus, segera berbunyi seperti ”hanyalah” pengampunan, ”hanyalah” salib, ”hanyalah” anugerah. Baru pengenalan tentang Roh Kudus membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi (higher level). Pekerjaan Tuhan Yesus memang penting untuk penghapusan dosa, tetapi Roh Kudus membawa penggenapan segala janji:
Kemenangan atas maut dan penyakit; pencapaian kehidupan kristiani yang sempurna; pengalaman tentang hal-hal yang lebih tinggi dan yang indah melalui karunia-karunia khusus yang dibagibagikan oleh Roh Kudus, semua itu dapat Anda capai karena karya Roh Kudus.
Dan melalui baptisan dengan (atau dalam) Roh Kudus, seorang Kristen dibawa ke tingkat Roh Kudus yang lebih tinggi itu. Baru sesudah itu dapat dikatakan bahwa kita mengenal Roh Kudus sebagai pribadi yang tinggal di hati kita, dan yang memenuhi kita dengan kehidupan Ilahi-Nya sendiri.
Dengan senang hati saya menambahkan bahwa saya telah berjumpa dengan banyak orang dalam gerakan-gerakan itu, yang dengan tulus mengaku percaya sepenuhnya kepada Tuhan Yesus dan yang berbicara dengan baik tentang Dia. Banyak di antara mereka kita menyapa sebagai saudara dan saudari, justru karena nama Kristus itu! Namun, pemberitaan Injil yang mereka terima, berulang kali menimbulkan kesan bahwa kita memerlukan sesuatu yang lebih banyak daripada hanya nama itu. Tidak selalu orang mengatakan dengan terus terang bahwa Roh Kudus dapat memberi sesuatu yang melebihi apa yang diberikan Tuhan Yesus. Akan tetapi, ada kalanya mereka mengatakannya dengan sangat jelas, seperti yang kita lihat pada Montanus, dan seperti telah dilakukan oleh Joachim dari Fiore yang hidup dalam abad pertengahan. Dia mengajarkan bahwa zaman Roh Kudus telah tiba dan bahwa karena itu zaman Bapa (Perjanjian Lama) dan zaman Anak (Perjanjian Baru) sudah berlalu. Apabila kaum teolog karismatik sependapat dengan jalan pikiran itu, mereka menggarisbawahi praktik yang mengharapkan lebih dari Roh dan kurang dari Yesus Kristus.
Tekanan yang diberikan kepada Roh Kudus ini selalu menimbulkan pertanyaan yang mendesak ke depan, apakah dengan demikian Tuhan Yesus tidak tergeser keluar dari pusat perhatian? Apakah sungguh benar, dan apakah itu sesuai dengan Alkitab, bahwa dibandingkan dengan Yesus Kristus, Roh Kudus dapat memberi sesuatu yang lebih berarti, dan yang berbeda?
Disoroti dengan terang Alkitab
Gagasan bahwa Roh Kudus membawa kita ke tingkat yang lebih tinggi daripada Tuhan Yesus, tentu saja harus kita teliti dengan disoroti oleh terang Alkitab. Maka banyak keterangan tentang pemberitaan Firman, yang terutama terdapat dalam Perjanjian Baru, membuat kita waspada. Dan yang penting di antara keterangan-keterangan itu ialah justru surat Rasul Paulus di mana dengan panjang lebar dia membahas karunia-karunia Roh.
Itulah surat pertama kepada jemaat di Korintus. Dalam 1 Korintus 2: 2 kita membaca bagaimana Paulus mengatakan dalam satu kalimat, berita mana yang terpenting baginya, dan yang selalu disampaikannya, Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Ada juga surat lain yang berisi tema tentang kepenuhan, yaitu surat Paulus kepada jemaat di Kolose. Dalam surat itu, hanya satu kali Paulus menyebut Roh Kudus, dan caranya pun sambil lalu (Kol. 1: 18). Dan langsung sesudah itu menyusul keterangan bahwa kepenuhan Allah telah dianugerahkan kepada kita di dalam Kristus.
”Seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia” (Kol. 1:19). Paulus menunjukkan betapa beratnya perjuangan yang dilakukannya untuk jemaat-jemaat, supaya hati mereka terhibur dan mereka bersatu dalam kasih, sehingga mereka memperoleh segala kekayaan dan keyakinan pengertian, dan mengenal rahasia Allah, yaitu Kristus, sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan (Kol. 2: 2-3). Dalam pasal yang sama itu Paulus menggambarkan dipimpin oleh Roh Kudus! bahaya bahwa jemaat akan mengarahkan perhatian mereka padapengalaman-pengalaman ”yang lebih tinggi”. Tampaknya hal seperti itu telah berpengaruh juga pada jemaat di Kolose. Paulus menguraikan kerinduan para anggota jemaat itu sebagai berikut: ”seperti orang yang mengagung-agungkan penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi” (Kol. 2: 18). Dan kekeliruan orang itu tertulis langsung sesudahnya: sedangkan ia tidak berpegang teguh kepada Kepala” (Kol. 2: 19).
Tampaknya di situlah letak bahayanya bahwa kita akan berpaling dan menjauh dari sang Kepala, yaitu Kristus.
Barang siapa menghayati benar-benar kata-kata seperti itu tentang Kristus dan tentu saja seluruh Perjanjian Baru terisi penuh dengan kemuliaan-Nya menyadari bahwa bukanlah hal yang remeh, apabila kita membiarkan saja Tuhan Yesus Kristus disembunyikan di belakang Roh-Nya. Lagipula hal itu juga sama sekali tidak cocok dengan cara Yesus sendiri memberi janji mengenai Roh. Ketika Dia berjanji akan mengirim ”sang Penghibur”, Dia menunjukkan dengan jelas, bahwa pekerjaan Roh ialah memuliakan Dia, yaitu Kristus! Roh itu akan memberitakan kepada kita apa yang diterima-Nya dari Kristus (Yoh. 16: 14,15). Pekerjaan Roh yang keluar dari Bapa, ialah untuk bersaksi tentang Yesus Kristus (Yoh. 15: 26)!
Ketika Yesus, beberapa saat sebelum penderitaan-Nya yang dahsyat, berdoa untuk para murid-Nya dan juga untuk semua orang yang percaya kepada-Nya melalui pemberitaan para murid itu, Dia juga berdoa supaya mereka mendapat bagian dari kemuliaan-Nya, dan supaya dengan demikian mereka akan menjadi satu: ”agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh. 17: 20-23).
Allah telah memenuhi doa Yesus. Dan itu sesuai dengan keterangan bahwa Roh Kudus telah diutus, yang telah mewujudkan semua itu selama abad-abad berlalu. Namun, ”kemuliaan”, yaitu hal yang penting, tetap dikenal sebagai kemuliaan Kristus. Dialah yang tetap menjadi pusat perhatian! Tidak mungkin bahwa Roh Kudus akan menceritakan ”kisah yang berbeda” dengan kisah yang penuh dengan Yesus! Mustahil bahwa pemberitaan tentang Roh menjadi lebih penting daripada pemberitaan tentang Tuhan Yesus!
Dipimpin oleh hikmat Roh Allah, rasul Paulus melihat bahaya yang mengancam jemaat di Korintus, yaitu bahwapenyesatan-penyesatan akan mengakibatkan ”pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati [dan yang mutlak] kepada Kristus” (2Kor. 11: 3). Kata-kata itu berhubungan dengan anjuran supaya jemaat waspada, karena penyesatan itu dapat berkaitan dengan khotbah tentang ”Yesus yang lain”, ”roh yang lain” dan ”Injil yang lain” (2Kor. 11: 4).
Yang paling jelas dari semuanya itu ialah satu hal, yaitu: kita tidak dapat dan tidak perlu memiliki pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan tentang Kristus yang kita imani.
Kalau pembicaraan kita tentang Roh Kudus tampaknya mengarah pada pengetahuan yang lebih tinggi itu, maka pembicaraan itu menyimpang dari jalan yang ditunjuk Alkitab!
b. Iman dan pengalaman
Mengalami!! Lebih bermakna daripada percaya?
Aspek lain dari pengertian ”lebih”, yang mencolok dalam pemberitaan karismatik, ialah tekanan yang diletakkan pada apa yang dapat Anda alami. Ada kalanya orang-orang diberitahu tentang ”peristiwa hebat” yang dapat dialami oleh seorang yang mempercayakan diri pada pengalaman dengan Roh.
Sejarah gerakan Pentakosta dan gerakan Karismatik menunjukkan bahwa keduanya bertujuan untuk menyebarluaskan pengalaman dengan baptisan roh dan bahasa lidah. Dalamtahun-tahun pertama gerakan Pentakosta, terjadi banyak konflik dan bahkan perpecahan dalam gerakan itu. Dan yang menyebabkannya hampir tidak pernah masalah tentang isi kepercayaan yang mereka akui, melainkan masalah tentang pengalaman-pengalaman yang spesifik. Yaitu, apakah hanya ada satu pengalaman ekstra yang membawa seorang ke tingkat iman yang lebih tinggi, atau masihkah ada pengalaman ekstra yang kedua? Dengan kata lain: apakah yang menjadi pokok pada pengalaman dengan baptisan roh. Pengudusan? Ataukah kekuatan untuk bersaksi? Ada sementara orang yang mengatakan, pengudusan ialah sesuatu yang berlangsung seumur hidup, jadi pengalaman yang istimewa tidak diperlukan untuk itu. Ada lagi orang lain yang mengatakan, baptisan roh untuk pengudusan harus dibedakan dari baptisan roh untuk mendapat kekuatan untuk bersaksi. Dengan demikian tidak hanya ada ”berkat yang kedua”, tetapi juga pengalaman ekstra yang ketiga!
Mula-mula secara umum orang berpendapat bahwa setiap orang yang menerima pengalaman baptisan dengan Roh Kudus, harus juga berbicara dalam bahasa lidah sebagai bukti baptisan itu. Di kemudian hari ada orang-orang yang mengatakan bahwa kemampuan untuk berbahasa lidah itu tidak diperlukan oleh semua orang. Meskipun timbul perselisihan seperti itu, tetapi bagaimanapun seluruh perhatian terarah kepada pengalaman memperoleh baptisan Roh. Itulah yang menjadi pokok! Campur tangan yang luar biasa oleh Roh itulah yang menjadikan seorang berbeda dari orang-orang Kristen ”biasa”, yang ”hanya” percaya saja.
Dalam belahan kedua abad ke-20, lambat laun terdapat juga kaum teolog dalam gerakan Pentakosta maupun dalam gerakan Karismatik, yang menyelidiki Perjanjian Baru secara lebih teliti.
Beberapa orang di antaranya mis. Gordon D. Fee dan Henry I.
Lederle mengakui bahwa seluruh gagasan tentang ”berkat yang kedua” (second blessing) adalah berdasarkan pembacaan firman Allah secara keliru.
Kesimpulan apakah yang diambil dari kesadaran yang hebat itu? Bukan: kalau begitu jelas ada sesuatu yang salah dengan dasar gereja kita, yaitu dasarnya bahwa harus ada pengalaman ekstra.
Bukan, melainkan kesimpulan yang berikut: ”Kalau second blessing memang tidak berdasarkan Alkitab, maka kita harus memberi interpretasi lain terhadap ”baptisan roh” itu yang merupakan titik sentral pengalaman karismatik kita”. Jadi, yang diberi tanda tanya bukan wajarnya pengalaman itu sendiri. Sekarang hanya diberi penjelasan yang lain mengenai pengalaman Pentakosta!
Pengalaman mengenai baptisan roh telah digambarkan dengan cara-cara yang saling berbeda. Biasanya hal itu disebut sebagai peristiwa jasmani yang sangat emosional. Sering orang yang bersangkutan dikuasai sepenuhnya oleh pengalaman itu.
Dia merasa seakan-akan gelombang-gelombang listrik mengaliri tubuhnya, dan ada kalanya dia terbanting ke tanah. Maka mulailah bahasa roh meluncur keluar dari mulutnya, bagaikan air jeram, penuh kata-kata yang tak dikenal, yang kadang-kadang diucapkan dengan sangat nyaring. Dalam kebanyakan kesaksian, pengalaman itu menunjuk pada sebuah kekuatan supernatural yang sangat hebat. Dalam pemberitaan atau kesaksianorang-orang yang pernah mengalami peristiwa seperti itu, maka yang sering terjadi ialah bahwa cerita tentang pengalaman yang ajaib itu, tetap menduduki tempat yang penting.
Dibandingkan dengan dasa warsa yang pertama, sekarang ini tekanan yang diletakkan pada bahasa lidah tampaknya agak berkurang meskipun dalam kursus-Alpha misalnya, tekanan itu cukup kuat. Dalam keseluruhannya, orang-orang memberi lebih banyak perhatian pada karunia-karunia Roh yang lain, tetapi yang masih tetap paling disukai ialah segi-seginya yang spektakuler.
Hal itu juga tampak jelas dalam kesaksian-kesaksian tentang penyembuhan, atau tentang nubuat, atau tentang bermacammacam keajaiban-keajaiban.
Gerakan Pentakosta dan gerakan Karismatik sudah memberi bermacam-macam makna pada baptisan dengan Roh Kudus. Mereka menghubungkannya dengan pengudusan, dengan kekuatan untuk bersaksi, dengan penyembahan, dan dengan sejumlah efek seperti kegembiraan, kemenangan dalam perang rohani dan lain sebagainya. Namun, dengan satu atau lain cara, baptisan dengan Roh selalu merupakan pengalaman dengan sesuatu yang ”ekstra”.
Dengan baptisan itu orang memperoleh lebih, dan selalu dalam arti sesuatu yang luar biasa, yang dapat dialami! Dan efeknya tidak bisa tidak, ialah bahwa orang yang tidak pernah mengalami baptisan Roh atau tidak pernah mengalami pemenuhan dengan Roh pastilah merasa dirinya sebagai orang Kristen kelas dua.
Ia mencari, berusaha, berdoa, bergumul, apa saja, tetapi tidak mengalaminya, lalu sangat kecewa dan putus asa.
Celakanya ialah bahwa pembicaraan tentang hal itu dengan para pengikut gagasan-gagasan karismatik itu yang telah mengalami atau melihat segala gejala Roh itu, akan gagal karena mereka sudah menolak segala kritik, meskipun kritik itu berdasarkan Alkitab.
Pengalaman mereka lebih berwibawa daripada Alkitab. Kata mereka: orang yang tidak pernah mendapat pengalaman seperti itu, tidak mungkin mengertinya dan tidak berhak mengkritiknya...
Dan kalau seorang yang Reformasi mengetengahkan bahwa dengan alasan-alasan yang baik, dia dapat mengatakan bahwa dia mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, tetapi tidak cemburu bahwa dia tidak mendapat pengalaman baptisan roh itu, maka segera percakapan itu mereka akhiri. Mereka berdalih bahwa pengalaman itu sendiri tidak dapat dibicarakan, meskipun dasar yang menunjangnya sudah runtuh seluruhnya setelah disorot dengan terang Alkitab.
Disoroti dengan terang Alkitab
Yang paling sulit kita terima dalam pendekatan dengan pengalaman itu ialah, bahwa iman sebagai pegangan kepada Kristus, dan kepada Kitab Suci mendapat tempat di tingkat yang lebih rendah.
Makna iman menjadi kurang diperhatikan. Padahal dalam Perjanjian Baru tampak jelas bahwa justru di dalam iman terletak perbedaan yang mendalam antara diselamatkan dan tidak diselamatkan.
Berulang kali kita mendengar dalam Injil Yohanes kata-kata Yesus yang menegaskan bahwa barang siapa percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3: 15-18, 36; 5: 24; 6: 29,35,40,47). Iman adalah pintu masuk menuju keselamatan sepenuhnya. Kita akan terbawa terlalu jauh kalau menggambarkan hal itu berdasarkan keseluruhan Perjanjian Baru. H. Ridderbos telah meringkas surat-surat Paulus dengan singkat dan tegas, ketika dikatakannya: ”Kita boleh yakin bahwa iman mengandung makna yang meliputi segala-galanya sebagai cara kehidupan manusia yang baru” (H. Ridderbos, Paulus, hlm. 260).
Kalau ditelusuri bagaimana dalam Perjanjian Baru dibicarakan tentang iman, maka akan menjadi jelas bahwa justru di dalam iman, kita menerima kepenuhan keselamatan di dalam Kristus. Iman bukan sebuah jalan untuk memperoleh hal yang inti atau yang tinggi, bukan! Sambil beriman, kita sudah memiliki kepenuhan, inti, yang tinggi, semua, cukup! Iman ialah kata yang mengungkapkan bahwa karena anugerah, maka manusia menerima relasi pribadi dengan Yesus Kristus dan dengan Allah Bapa. Itulah yang cukup!
Namun...
Secara sangat hidup iman digambarkan di beberapa tempat dalam Perjanjian Baru, sebagai kepercayaan hati manusia kepada Allah. Biarlah ada serangan, kesedihan, dan perjuangan melawan dosa, tetapi lanjutannya ialah kata ”namun” yang dihubungkan dengan iman yang membawa penghiburan dan dorongan semangat. Iman ialah pegangan kita kepada anugerah Allah, meskipun kita tahu bahwa hukum menghakimi kita (Rm. 7). Justru iman yang boleh menggantungkan diri sepenuhnya kepada Kristus, dan berpegang teguh pada kesetiaan Allah, yang akan menyempurnakan pekerjaan yang telah dimulai-Nya (Rm. 8: 29). Dasar dari kidung kemenangan dalam Roma 8 tidak terdapat dalam sesuatu yang tertambat kuat dalam pengalamanku, melainkan dalam pekerjaan penyelamatan Allah. ”Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Rm. 8: 32). Kata-kata itu ialah khas bahasa iman. Demikian juga kalau perkataan yang sungguh hebat itu terdengar: ”Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita” (Rm. 8: 37). Maka menggema juga situasi dalam ayat sebelumnya, sebagai situasi yang tidak perlu menimbulkan rasa heran pada orang-orang Kristen, yaitu, oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.”
Tampaknya kemenangannya justru terletak dalam kata yang penuh iman itu, yaitu kata ”tetapi” dan ”namun”. Kemenangan itu terletak dalam apa yang tertambat kuat dalam Kristus dan dalam Allah.
Roh iman
Yang penting di sini ialah bahwa kita jangan memisahkan Roh Kudus dari iman! Roh Kudus ialah Roh iman (2 Kor. 4: 13). Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Korintus tentang pekerjaan khusus yang dilakukan Roh, dia mengatakan, jemaat telah menerima Roh yang berasal dari Allah ”supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita.” (1 Kor. 2: 12). Dalam kata-kata ini, dan juga kata-kata lain, kita mendengar bahwa Roh Kudus melibatkan hidup kita dengan apa yang ada di luar kita. Roh membuat kita hidup dari pengenalan tentang Kristus yang telah disalibkan. Dan itu sama benar dengan kehidupan oleh iman.
Kehidupan itu tidak berdasarkan sesuatu di dalam kita, tetapi berdasarkan sesuatu di luar kita. Itulah yang menghidupi orang yang percaya. Kata-kata seperti percaya, berharap, mengharapkan, menerima, semuanya mengandung unsur yang sama, yaitu bahwa harta kita tidak terletak dalam hati kita sendiri, melainkan dalam janji-janji Allah, di dalam karya Kristus yang sudah selesai. Tentu saja dengan cara itu, percaya ialah sepenuhnya sebuah kata yang menunjukkan ”pengalaman”! Kalau Katekismus Heidelberg (dalam hari Minggu 7) menggambarkan iman dengan kata-kata keyakinan dan pengetahuan, maka janganlah kita menjadikannya sebuah kegiatan pemikiran, sesuatu yang rasional. Kata itu tidak hanya digabungkan dengan apa yang kita kenal, tetapi juga Siapa yang kita kenal! Sebab itu namanya juga percaya! Jadi, beriman sejati memang adalah juga sesuatu di dalam kita! Iman bukanlah milik yang otomatis bagi seorang yang dibesarkan sesuai isi Alkitab. Di baliknya ada perubahan hati kita! Secara alami (juga orang yang teratur beribadah ke gereja) tidak atau tidak mau memiliki iman.
Sebab itu percaya adalah hal yang sungguh luar biasa. Percaya ialah memeluk Kristus dan karya-Nya: penghapusan dosa kita dengan darah-Nya. Percaya ialah yang menganggap Kristus sebagai Dia satu-satunya yang lebih berharga bagi kita daripada apa pun di dunia ini.
Seperti bunyi Pengakuan Iman Belanda (art. 22): ”Kita percaya, bahwa, agar kita memperoleh pengetahuan yang benar tentang rahasia itu, Roh Kudus menyalakan di dalam hati kita iman yang benar, yang memeluk Yesus Kristus bersama segala jasa-Nya, menjadikan sebagai milik kita, dan tidak lagi mencari barang apa pun di luar Dia.”
Di samping itu selalu ada juga sifat kesementaraan di dalam iman. Yang ”sudah ada” ialah pengenalan tentang Kristus dan Bapanya, dan kepercayaan kepada Keduanya; tetapi ada juga unsur ”belum”. Kesempurnaan penyelamatan belum ada; kita menyadari bahwa sekarang ini kita masih harus berhadapan dengan dosa dan pergumulan.
Iman membawa kita kepada puncak tertinggi, yaitu kepenuhan keselamatan. Dan itu berarti juga bahwa kita dibawa kepada kepastian masa depan. Dapat dikata bahwa semua pengalaman mengenai pengenalan akan Allah dan akan Kristus dalam hidup kita, dapat diuraikan di dalam semua konjugasi kata kerja ”percaya” itu.
Sebetulnya kita harus mencurigai apa saja yang ditempatkan di atas hal percaya itu. Hidup yang diberikan Roh Kudus kepada manusia, selalu hanya tergantung dari iman saja. Hidup itu tidak mungkin mengungguli iman, dan tidak mungkin pula mengungguli pengenalan akan Kristus.
c. Anugerah dan kekuatan
Kekuatan lebih daripada anugerah?
Suatu hal yang mencolok ialah bahwa dalam gerakan-gerakan yang dibicarakan di sini, pengalaman dengan kekuatan Allah mendapat lebih banyak tekanan daripada makna anugerah. Hal itu sudah diteliti dalam sebuah studi baru-baru ini (lihat Samuel Yull Lee, Grace and power in pentecostal and charismatic theology Anugerah dan kekuatan dalam teologi Pentakosta dan karismatik).
Ia mengungkapkan d.a.l. dua hipotesis (yang dilampirkan pada disertasinya), demikian bunyinya:
”Sifat khas pada gerakan Pentakosta maupun gerakan Karismatik ialah bahwa keduanya lebih berkonsentrasi pada kekuatan rohani ketimbang pada anugerah Ilahi, meskipun anugerah itu tidak mereka pungkiri secara tegas.”
”Daya tarik gerakan Pentakosta dan gerakan Karismatik yang lebih mengutamakan kekuatan, khususnya kekuatan dan pekerjaan Roh Kudus, telah mengakibatkan pemilahan antara Kristus sebagai sumber anugerah dan Roh sebagai sumber kekuatan.”
Bagaimana pengertian kekuatan itu berdiri sentral dalam teologi Pentakosta, justru menjadi sangat jelas kalau ditempatkan berhadap-hadapan dengan pengertian anugerah. Pada zaman Reformasi, Luther dan Calvin telah menolak sebuah pendapat tentang anugerah, yang sangat dominan dalam abad-abad sebelum mereka. Dalam ajaran sakramen Katolik Roma pada zaman dahulu dan sekarang juga anugerah hadir di gereja hampir secara materiel, yaitu sebagai semacam kekuatan yang dapat dibagi-bagikan oleh gereja. Reformasi menemukan kembali bahwa dalam pengertian anugerah secara alkitabiah, yang menjadi pokok ialah perkenan Allah. Anugerah Allah menempatkan manusia dalam hubungan yang benar dengan Kristus. Nah, relasi itulah yang menjadi pokok dalam anugerah. Kenyataan bahwa dari situ lahir kekuatan Roh Kudus yang memperbarui, yang dengan sungguh-sungguh juga memperbarui manusia, tidak terpisah dari anugerah itu. Realitas kekuatan anugerah berasal dari kebaikan hati Allah, yaitu sikap-Nya yang penuh anugerah dalam Kristus terhadap manusia yang berdosa. Dengan kata lain, pengudusan hidup adalah bagian dan juga buah pembenaran.
Namun, pengudusan itu tidak mungkin terjadi lebih dahulu. Yang selalu terjadi lebih dahulu ialah pembenaran, dan pembenaran itu terdiri dari pemberian kebenaran Kristus kepada manusia yang tidak layak menerimanya. Pandangan terhadap anugerah sebagai kebaikan hati Allah ini, sudah mulai terancam bahaya dalam gerakan perlawanan yang dilancarkan oleh golongan Anabaptis dalam abad ke-16, dan selain itu juga dalam berbagai aliran yang timbul dalamabad-abad kemudian. Akan tetapi, baru dalam gerakan Pentakosta dan gerakan karismatik dalam abad ke-20, bahaya itu menjadi sungguh besar.
Karena yang mendapat tekanan ialah baptisan roh, maka yang menjadi pokok ialah kekuatan yang dialami dari baptisan itu. Sedangkan anugerah Allah hanya dipandang sebagai salah satu persyaratan untuk menerima kekuatan itu. Dan pada kenyataannya, anugerah dan pembenaran akhirnya menghilang dari jangkauan pandangan.
Sesudah gelombang ”pertama” (gerakan Pentakosta) dan gelombang ”kedua” (gerakan Karismatik dari tahun-tahun 60-an), ada gerakan yang disebut ”gelombang ketiga”. Di dalam gelombang ini orang-orang memberi tekanan besar pada ”kekuatan”. Tokoh-tokoh utama yang mewakilinya ialah C.
Peter Wagner dari gerakan pertumbuhan jemaat dan John Wimber, pendiri Vineyard Christian Fellowship, persekutuan yang pada tahun 1994 melahirkan ”Toronto-blessing”, dengan bagian-bagiannya, seperti karunia ”tertawa suci” dan lain-lain.
Dalam banyak buku John Wimber menekankan kepentingan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat. Hal itu merupakan ciri khas gelombang ke-3 ini. Pada kenyataannya dia sudah tidak lagi percaya bahwa anugerah dan kekuatan Allah yang menyelamatkan itu dibagi-bagikan Allah melalui pemberitaan Injil sebagai sarana anugerah Pada dirinya, anugerah Allah telah sama sekali terdesak oleh pendapatnya tentang kekuatan.
Sifat spektakuler dari pemberitaan mengenai kekuatan itu telah menjadi titik tengah dalam lingkaran di sekitar ”Torontoblessing”. Rodney Howard-Browne menyebut dirinya pelayan bar Roh Kudus. Di situ tak pernah terdengar kata anugerah lagi. Pada kenyataannya, orang percaya harus memantulkan kekuatan dan kemuliaan Ilahi, apabila dia menerima dan memakai karunia-karunia yang supernatural. Injil yang memberitakan pendamaian dan anugerah hampir tidak tampak lagi dalam gambar itu.
Tekanan berat yang diletakkan pada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh manusia untuk menerima kekuatan atau pengalaman itu, membuat semboyan Reformasi sola gratia sama sekali tidak berdaya. Seakan-akan kebaikan hati Allah, yang telah dinyatakan kepada kita di dalam Kristus Yesus dan karya-Nya yang telah sempurna di dunia, tidak memadai bagi kekuatan rohani yang diperlukan dalam kehidupan kristiani.
Disoroti oleh terang Alkitab
Dalam banyak bagian naskah Perjanjian Baru terdengar bahwa kita ini sebetulnya tidak layak menerima anugerah Allah.
Anugerah itu kelihatan dalam kenyataan bahwa banyak orang bertobat kepada Allah (Kis. 11: 23), juga tampak dalam kenyataan bahwa anugerah Allah itu sama sekali bertolak belakang dengan perbuatan-perbuatan kita (Rm. 11: 6), dan anugerah itu juga terlihat dalam pengaruh pemberitaan Injil terhadap banyak orang (2Kor. 4: 15). Anugerah berada dalam konteks yang sama dengan perkenan Allah (2Kor. 6: 1,2). Anugerah yang luar biasa dari Allah itu terlihat juga dalam pengaruh Injil terhadap jemaat, sehingga para anggotanya rela memberi bantuan kepada saudara-saudara seiman yang memerlukannya (2Kor. 9: 14). Pujian sama yang diberikan kepada anugerah itu terjadi bersamaan dengan pemberian kemuliaan bagi nama Kristus di dalam orang-orang percaya (2Tes. 1: 12). Di mana juga, anugerah itu, maupun pengaruhnya, tidak pernah berfungsi lepas dari kebaikan hati dan kemurahan hati Allah dalam AnakNya.
Sebab itu sangat sering anugerah itu menunjuk kepada relasi dengan Kristus. Sebuah gabungan tetap dari berbagai pengertian ialah ”Anugerah di dalam Kristus” (Rm. 5: 15; 1Kor. 1: 4; Gal. 2: 20-21; Ef. 1: 6-7; 2Tim. 1: 9). Kebesaran Injil Allah di dalam Kristus, sebagai anugerah yang ajaib bagi orang-orang berdosa dan orang-orang fasik, tidak pernah boleh menghilang di balik cakrawala. Hal itu terjadi, kalau orang-orang begitu kuat terfokus pada kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam manusia.
Kita tidak usah takut pada pengertian kekuatan! Kata itu sungguh-sungguh bersifat alkitabiah. Namun, dalam Kitab-Kitab Suci kata itu tidak terpisah dari pembicaraan tentang Kristus dan tentang anugerah Allah di dalam Dia. Bisa dikatakan bahwa dalam spiritualitas Pentakosta ”kekuatan” berfungsi dengan cara yang menempatkan manusia di tempat yang sentral.
Rasul Paulus berbicara tentang kekuatan yang berhubungan erat dengan Roh, pemberitaannya disampaikannya dengan kata-kata yang membuktikan bahwa Roh berkuasa (1Kor. 2: 4).
Namun, alangkah eratnya hubungan pemberitaan itu dengan pesan yang inti tentang Yesus Kristus, yaitu ”Dia yang disalibkan” (ay. 2). Pemberitaan Paulus itu sungguh-sungguh sesuai dengan maksud pesan yang inti itu. Sama dengan itu ialah konteks dalam 1 Tesalonika 1: 5. Di situ dikatakan tentang jemaat itu bahwa ”di semua tempat telah tersebar kabar tentang imanmu kepada Allah” (ay. 8). Bukan manusia yang menjadi pusat, tetapi Allah, dan Kristus!
Roh yang mana? Kekuatan yang mana?
Seorang tokoh terkenal yang mewakili ”gelombang ketiga” ialah Benny Hinn, yang telah menyebarluaskan ”Toronto-blessing” ke seluruh dunia. Dia menunjukkan otoritasnya dalam beberapa nubuat yang diucapkannya. Pada tahun 1989 dia bernubuat bahwa pada tahun 1994 atau 1995 atau sebelumnya, Allah akan membinasakan gerakan homoseksualitas di Amerika dengan api. Selain itu dia mengumumkan bahwa pada 3 Maret 2003 akan terjadi peristiwa supernatural yang hebat di seluruh dunia.
Kalau kita membaca kitab Ulangan 18: 20-22 (bdk. Ul. 13: 1-5 dan Yer. 14: 14 dst.; 23: 31,32), kita akan tahu bagaimana harus menilai perbuatannya, setelah terbukti bahwanubuat-nubuatnya tidak terwujud. Selain itu, kenyataan bahwa Benny Hinn mengatakan bahwa bakat-bakatnya yang khusus itu berasal dari tugas-tugas yang diterimanya melalui visiun dari orang-orang mati yang telah dijumpainya di kerajaan orang mati, membuatnya seorang spiritis (pemanggil roh)! Dia menceritakan tentang visiun itu pada tahun 1998 dalam pertemuan-pertemuan di Honolulu.
Sebelumnya, pada tahun 1991, diungkapkannya bahwa dia telah berziarah ke makam wanita dari golongan Pentakosta yang pandai menyembuhkan, Aimee Semple McPherson (yang meninggal tahun 1944), untuk menerima ”pengurapan” khusus di situ.
Informasi semacam itu menimbulkan pertanyaan yang sangat urgen mengenai roh yang mana dan kekuatan yang mana yang dimaksudkan dalam ulah pemimpin-pemimpin seperti itu.
Kalau dalam Ulangan 18, TUHAN begitu keras melarang umatNya untuk mencari kontak dengan orang-orang mati, maka kita boleh menegaskan bahwa tidak mungkinlah Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus mengangkat seorang melalui jalan ini untuk menjadi ”pemberita Injil yang pandai menyembuhkan”.
Kekuatan dalam dan pemberitaan Injil
Di mana pun kekuatan Roh berhubungan dengan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat, kita melihat dengan jelas bahwa menurut rasul Paulus, seluruhnya terjadi untuk kepentingan pemberitaan Firman (Rm. 15: 15-19). Paulus bahkan bertindak hati-hati supaya jangan tampil di mana nama Kristus sudah diberitakan (ay. 20)! Menurut ”logika Pentakosta”, di tempat-tempat Kristus telah diberitakan, di situ harus ditambahkan lagi berita tentang kekuatan Roh. Gagasan seperti itu tidak dikenal oleh rasul Paulus yang jelas dibimbing oleh Roh Allah.
Gambaran-gambaran ini hanya merupakan beberapa keterangan ringkas untuk menandai masalah itu. Sebetulnya hal itu dapat diperjelas secara lebih luas dan lengkap berdasarkan Perjanjian Baru.
d. Pertumbuhan dan kemenangan Kemenangan lebih daripada pertumbuhan Bidang lain di mana kita dapat mengenali ciri khas karismatik ”lebih daripada cukup” ialah di bidang yang spektakuler. Di salah satu bab dalam buku ini telah dibahas tentang bahasa lidah dan beberapa fenomena lain yang menarik perhatian banyak orang dan meninggalkan kesan pada mereka. Sugesti yang diberikan dalam kebaktian-kebaktian penyembuhan dan pengusiran roh jahat, membuat orang-orang terkesima. ”Benar atau tidak teologinya, pokoknya keajaiban itu telah terjadi!” Tanggapan seperti itu sering kita dengar. Bukankah terjadinya keajaiban membuktikan kebenaran penyembuh itu?
Dengan cara itu, dasar kehidupan Kristen diletakkan terutama dalam pengalaman-pengalaman yang hebat, yang terus menerus terjadi, dengan silih berganti. Ceritanya tidak pernah habis mengenai kemenangan, kebahagiaan, dan perbuatan-perbuatan luar biasa yang dapat dilakukan di dalam iman.
Dan selalu ada hal-hal yang istimewa, yang dapat diceritakan!
Dan kalau tidak ada, maka semestinya ada masalah. Kalau seorang anggota jemaat Pentakosta sedang sedih, dan tidak adahal-hal hebat yang dapat diceritakannya, ada kemungkinan bahwa dia akan tetap berseru ”haleluya” di dalam pertemuan jemaat, padahal tampak jelas bahwa hatinya sedang risau. Namun, dia tahan berhaleluya sebab itulah yang diharapkan orang lain.
Kalau kehidupan Anda untuk sementara waktu tidak merupakan serangkaian kejadian dan kemenangan yang gilang-gemilang, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan tentu saja hal itu tidak boleh terjadi. Beberapa kali ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa mereka memutuskan untuk selalu menyinarkan cahaya kemenangan, sebab tidak ingin dipersoalkan bahwa mereka ”tidak berada di dalam Tuhan”. Soalnya, kemungkinannya lebih besar untuk mendapat teguran seperti itu daripada menerima bantuan penggembalaan yang mendukung mereka, yaitu bantuan yang menunjukkan jalan menuju Tuhan dalam pergumulan atau pencobaan yang sedang mereka hadapi pada saat itu.
Disoroti oleh terang Alkitab
Alkitab tidak melukiskan kehidupan seorang Kristen sebagai perjalanan yang selalu penuh sukses dan kebahagiaan. Yang pertama ialah bahwa segala penyembuhan dan mukjizat lain yang diceritakan dalam kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul, terutama adalah tanda-tanda. Jadi, yang penting bukan hal-hal luar biasa yang dapat dialami oleh manusia, melainkan tanda-tanda yang menunjukkan siapa Yesus Kristus itu. Kerajaan-Nya telah datang!
Dialah Pribadi, yang sebagai Juru Selamat akan membuat semuanya baru. Tanda-tanda itu tidak mengatakan bahwa sebetulnya segala kesukaran dan penyakit dan pergumulan tidak dapat lagi terjadi di dalam kehidupan anak Allah. Tanda-tanda itu mengajarkan kepada kita supaya kita selalu memperhatikan Juru Selamat, dan kehidupan yang berasal dari Dia dan yang kita jalani bersama Dia.
Ketika di dalam Alkitab orang banyak itu khusus mengikuti dia scara berbondong-bondong, mereka mendatangitanda-tanda karena sifatnya yang spektakuler. Yesus menegur mereka dengan mengatakan: ”Jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, kamu tidak percaya” (Yoh. 4: 48). Untuk belajar mengenal Yesus dengan sungguh-sungguh, kita harus melalui jalan yang sangat berbeda, yaitu jalan di mana kita mengakui kesalahan, di mana kita menyadari bahwa kita membutuhkan anugerah. Percaya bukan berarti bahwa kita melalui jalan yang penuh dengan tontonan yang mengesankan, melainkan jalan di mana kita bertumbuh dalam anugerah dan dalam pengenalan akan Kristus (2Ptr. 3: 18).
Pertumbuhan bukan berarti bahwa kita menjadi lebih penting dan terpandang, atau lebih mampu menceritakan ”pengalamanpengalaman yang hebat”, melainkan bahwa kita lebih mengenal kasih Kristus, yang melampaui segala pengetahuan (Ef. 3: 18,19). Hal itu sesuai dengan wawasan Yohanes Pembaptis, yang mengatakan tentang Kristus: ”Dia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3: 30).
Juga di sini patokannya ialah bahwa ”hidup kami ini adalah hidup berdasarkan iman, bukan berdasarkan apa yang kelihatan” (2Kor. 5: 7). Dalam pasal ini yang dibicarakan ialah realitas tentang kematian. Paulus tidak menganggap kematian itu sebuah masalah yang enteng, seakan-akan seorang Kristen dengan mudah saja melangkah ke dunia orang mati. Kata-kata seperti ”penderitaan”, keluhan”, ”beratnya tekanan”, ”kemah yang dibongkar”, mudah dikenali dalam konteks ini. Penghiburan yang diperoleh dari Firman ialah kepastian bahwa melalui pembongkaran itu, kita akan diberi tempat kediaman yang baru. Bukan tanpa maksud Paulus menambahkan juga penghiburan dalam surat penggembalaan itu, bahwa Allah ”justru mempersiapkan kita untuk hal itu dan sebagai jaminannya Dia mengaruniakan Roh kepada kita” (2Kor. 5: 5). Setiap kata yang disebut tadi, menggerogoti hati manusia, juga hatiorang-orang percaya, maka di dalam iman, Allah akan mengaruniakan pertolongan dari Roh Kudus, supaya mereka jangan putus asa, dan tetap mengharapkan masa depan itu. Bagian yang nyata dari seorang Kristen ialah pengharapannya yang besar. Namun, dalam terang Kitab Suci, dia tidak perlu berperilaku seakan-akan dia sudah menikmati masa depan itu, tanpa merasa ragu dan takut sedikit pun.
Hidup dalam iman berarti bahwa ada kepercayaan dan penghiburan dalam pergumulan hidup yang dialami manusia.
Kemenangan sudah pasti akan diraih. Roh menjadi jaminan untuk itu. Dan selain itu, karena Allah memberi anugerah-Nya, maka ada juga pengalaman akan kasih dan kemenangan. Namun, orang yang mengatakan bahwa dia sudah tidak perlu lagi berjuang, telah memperkecilkan Alkitabnya (lihat Luk. 13: 24; 1Tim. 6: 12). Hal yang sama berlaku bagi apa yang tertulis tentang pertumbuhan, yaitu bahwa pertumbuhan adalah bagian dari iman (Ef. 4: 16; Flp. 3: 12; Kol. 2: 19; 1Ptr. 2: 2; 2Ptr. 3: 18).
Dalam seluruh surat kepada jemaat Ibrani terdengar nasihat supaya kita bertekun (di tengah pergumulan) dan seruan supaya dalam bertekun itu, mata kita tertuju hanya kepada Yesus, sang Pemimpin dan Penyempurna iman kita (Ibr. 12: 2). Sesuatu bentuk agama Kristen yang penuh hal-hal yang spektakuler, sebetulnya tidak memerlukan Dia lagi. Sebaliknya, jemaat Tuhan Yesus yang dilukiskan dalam Perjanjian Baru tetap sangat membutuhkan Dia.
e. Dosa: perjuangan dan kemenangan
”Lebih” kemenangan daripada perjuangan
Keterangan di atas diperuncing secara spesifik kalau dihubungkan dengan dosa. Dalam sebagian gerakan Pentakosta terdapat kecenderungan untuk meraih kesempurnaan (menjadi perfeksionis), yaitu bahwa dalam hidup ini orang dapat mencapai keadaan tanpa dosa. Sudah pasti warisan metodisme memainkan peran di sini. Dalam hal itu, seperti John Wesley, orang-orang itu harus memperhitungkan kenyataan bahwa pengertian tentang dosa telah didefinisikan secara agak terbatas. Katanya dosa ialah ketidaktaatan yang dilakukan dengan sengaja dan penuh niat. Kelemahan dan ketidaksempurnaan dalam kemampuan untuk menerapkan hukum Allah di dalam hidup kita, tidak dianggap sebagai dosa. Hal itu kita menilai sebagai pengertian yang dangkal tentang dosa. Yang sangat mencolok ialah bahwa patokan untuk apa yang harus disebut dosa, tidak terletak dalam hukum Allah melainkan dalam kesadaran kita.
Jadi, di sini juga manusia diberi tempat yang sentral, dan bukan Allah.
Hal ”kurang memperhatikan dosa” cocok dengan ciri-ciri lain spiritualitas ini. Kalau tidak ada banyak perhatian untuk anugerah dan pembenaran, maka dengan sendirinya dosa tidak banyak dibicarakan. ”Hidup penuh kemenangan” cukup mudah didefinisikan ke arah kemenangan atas dosa, tanpa dibahas secara mendalam.
Ada contoh-contoh tentang pendeta-pendeta Pentakosta yang merasa yakin bahwa doa yang kelima dalam Doa Bapa Kami (”Ampunilah kami akan kesalahan kami”) tidak perlu lagi disebut.
Memang tidak semua orang dalam gerakan itu dengan tegas mengikuti teologi yang perfeksionis. Meskipun begitu masalah dosa jarang dibicarakan, apalagi sebagai sesuatu yang dalam kehidupan seorang Kristen selalu menimbulkan pergumulan.
Saya tidak bisa melupakan ucapan karakteristik seorang istri pendeta Pentakosta setempat, ketika sekitar 30 tahun lalu saya bercakap-cakap dengannya. Ketika kami mulai berbicara tentang dosa dalam kehidupan seorang Kristen, dia menjawab: ”Sebetulnya kami tidak pernah membicarakan hal itu. Kami ini selalu gembira.”
Disoroti oleh terang Alkitab
Dalam pertumbuhan rohani seorang manusia, seruan seperti yang diucapkan rasul Paulus dalam Roma 7, adalah sangat wajar:
”Aku, manusia celaka!” (Rm. 7: 24). Soalnya, kita ini seumur hidup berjuang melawan ”manusia lama”, yaitu sifat kita yang penuh dosa, dan yang tidak habis-habisnya muncul lagi di dalam hati kita.Surat-Surat kepada berbagai jemaat yang kita jumpai dalam Perjanjian Baru, berisi banyak nasihat praktis yang justru berhubungan dengan perjuangan melawan dosa itu. Yang menarik ialah bahwa nasihat-nasihat itu selalu ditujukan kepada seluruh jemaat. Tidak pernah ada sebuah pembatasan, seperti misalnya: nasihat ini hanya untuk orang-orang yang masih harus bergumul melawan egoisme dan kekurangan-kekurangan yang lain... Jadi, kalau kita sudah mengenal Kristus dengan iman yang tulus, maka tampaknya kita masing-masing masih tetap perlu untuk bertumbuh dan untuk berjuang.
Dan suatu kenyataan yang sungguh sarat dengan arti ialah bahwa Tuhan Yesus dalam mengajarkan pola tetap untuk berdoa, juga mengikutsertakan permohonan ”ampunilah kami akan kesalahan kami”. Orang yang berpikir bahwa dia dapat melampaui bagian itu, pada saat itu juga melakukan kesalahan karena bersikap sombong.
Katekismus dalam Hari Minggu ke-21 mengakui dalam hubungan dengan pengampunan dosa bahwa ”watakku yang berdosa yang sepanjang hidup menjadi lawan bagiku”. Itulah kenyataan hidup manusia, yang tetap ada. Yang juga tetap ada: bahwa Allah (karena Kristus) sama sekali tidak lagi hendak mengingatnya... Pengakuan itu mengandung banyak hikmat pastoral dan rohani yang alkitabiah.
Dosa ada dan watak dosa ada, tetapi akan diampuni. Lagi pula rasul Yohanes yang banyak memberitakan kasih, merumuskannya dengan sangat tajam: ”Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh. 1: 8; bdk. ay. 10). Surat yang sama (a.l. 1Yoh. 1: 6; 3: 6) menegaskan dengan jelas bahwa seorang Kristen tidak mungkin mendapat surat kuasa dari Alkitab untuk berbuat dosa. Jadi, itu juga berarti perjuangan melawan dosa selama seorang Kristen hidup.
Kesadaran itu membuat kita semakin lama semakin bergantung dari anugerah Allah semata.
f. Buah-buah dan karunia-karunia
Karunia lebih daripada buah
Perhatian melimpah yang dalam ajaran Pentakosta diberikan kepada Roh, terarah dengan jelas kepada usaha memperbesar kemungkinan-kemungkinan agar orang-orang percaya menerima pengalaman rohani. Dengan demikian karunia-karunia, atau ”karismata”, lebih melayani manusia daripada melayani Kristus dan jemaat. Kita sudah melihat tekanan besar yang diletakkan pada aspek pengalaman dan pertunjukan hal-hal yang spektakuler.
Jadi, berdasarkan pendekatan itu pun karismata mendapat banyak perhatian. Sebab itu terutama karunia-karunia yang lebih ”sensasional” menjadi pusat perhatian, seperti bahasa lidah dan penyembuhan-penyembuhan. Sebaliknya, karunia-karunia yang disebut oleh Paulus dalam Roma 12: 6-8 kurang mendapat perhatian. Soalnya karunia-karunia itu ”biasa-biasa” saja, seperti mengajar, membimbing, melayani, bersikap sederhana, tekun, suka berbagi dengan orang lain, dan bermurah hati. Dan orang yang melakukannya, tidak menjadi orang yang luar biasa....
Disoroti oleh terang Alkitab
Dalam 1 Korintus 12-14 Paulus meletakkan tekanannya pada tujuan karunia-karunia itu. Tujuannya ialah pembangunan tubuh Kristus, yaitu jemaat. Jadi yang utama ialah sikap yang mengabdi, dan bukan usaha mencapai tingkat-tingkat pengalaman manusia yang lebih tinggi. Dan justru kecenderungan itulah yang disoroti oleh Paulus dalam diskusi yang diadakannya dengan jemaat di Korintus. Ternyata dalam jemaat itu ada keinginan besar untuk memperoleh karunia-karunia yang menjadikan seorang berbeda dengan yang lain. Khususnya karunia untuk berbicara dalam bahasa lain tampaknya sangat didambakan orang. Itulah sebabnya secara konsekuen, sang rasul menempatkannya paling akhir dalam rangkaian karunia yang disebutnya dalam pasal 12 (1Kor. 12: 10,30)!
Pendapat bahwa karunia-karunia roh harus melayani kepentingan manusia, adalah salah sama sekali. Sebabkarunia-karunia anugerah itu bertujuan untuk menjadikan manusia terampil untuk pelayanan bagi Allah dan pelayanan kepada jemaat.
Jemaat yang begitu ingin menerima karunia-karunia, sudah langsung diberitahu oleh rasul bahwa mereka tidak kekurangan dalam karunia anugerah apa pun (1Kor. 1: 7). Pemberitahuan itu sesuai dengan peringatan kepada jemaat lain, bahwa kehidupan rohani berjalan ke arah yang benar apabila kita menyembah Allah di dalam Roh, bermegah dalam Yesus Kristus, dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah (Flp. 3: 3). Karunia-karunia membuat kita bersedia untuk melayani seorang akan yang lain, untuk menomorsatukan kepentingan orang lain, jadi untuk menjadi yang terkecil di antara saudara-saudari (1Ptr. 4: 10).
Bukan manusia dengan karunia-karunianya dan tingkat-tingkat rohaninya yang tinggi, yang harus menjadi pusat perhatian gereja, melainkan Yesus Kristus. Di dalam Dia kita memiliki segalagalanya! Yakni di dalam anugerah-Nya, di dalam karya-Nya yang disempurnakan-Nya di Golgota. Di dalam Roh-Nya, yang menimba semuanya dari Dia, dan yang memuliakan Dia!
Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas bersama
1. Ceritakanlah di mana dan bagaimana Anda berkenalan dengan pikiran-pikiran karismatik.Dr. J.W.. Maris (1941) adalah guru besar di Universitas Teologi Gereja-gereja Kristen Gereformeerd di Apeldoorn.