Bagaimanakah saya dipenuhi dengan Roh? oleh Henk ten Brinke
Kita mendengar orang-orang Kristen lain menceritakan pengalaman-pengalaman yang sangat memukau. Mereka pernah mengalami saat-saat di mana mereka dipenuhi oleh Roh Allah. Pengalaman tentang kasih Allah yang sungguh luar biasa! Mereka merasa benar-benar bahwa kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati mereka oleh Roh Kudus (Rm. 5:5).
Mendengar itu kita merasa iri sebab kita tentu saja jugaorang-orang Kristen. Kita percaya. Kita telah dibaptis. Kita telah sidi. Kita aktif di dalam jemaat gereja. Akan tetapi, entah mengapa, kita rindu untuk merasa lebih bersemangat, lebih bersukacita, dan untuk lebih mengabdi kepada Tuhan.
Bukankah kerinduan itu cocok dengan isi Alkitab? Bukankah Yesus telah berjanji bahwa Dia akan membaptis kita dengan Roh Kudus? Dan bukankah Perjanjian Baru sering berbicara ”dipenuhi” dengan Roh? Malahan hal itu merupakan perintah, ”Hendaklah kamu penuh dengan Roh” (Ef. 5:18). Mungkinkah yang dimaksudkan itu berhubungan erat dengan rasa bersemangat dan penuh sukacita?
Apakah hidup orang-orang yang Reformasi tradisional sudah sesuai dengan janji dan perintah itu?
Dalam bab ini akan dibahas apa yang dikatakan Alkitab tentang ”dibaptis” dengan Roh Kudus dan ”dipenuhi” dengan Roh. Dalam bab berikutnya, data-data alkitabiah akan diolah, yaitu apabila kita rindu untuk memiliki lebih banyak sukacita, lebih banyak rasa pengabdian, dan lebih bersemangat untuk Tuhan. Apakah yang dapat kita lakukan? Bagaimana kita dapat menaati seruan Petrus, ”Hendaklah kamu penuh dengan Roh”? (Ef. 5:18).
”Dipenuhi” = dipimpin
Apakah arti ucapan bahwa seorang ”dipenuhi” oleh atau ”penuh” dengan Roh Kudus? Kita membaca bahwa hal itu terjadi dengan Yesus sendiri (Luk. 4:1). Dan Lukas menulis hal yang sama tentang Barnabas, ”Barnabas adalah orang baik, penuh dengan Roh Kudus dan iman” (Kis. 11:24).
Tidak mungkin orang secara harfiah ”dipenuhi” dengan Roh. Roh itu bukan suatu cairan atau bahan yang lain. Jadi yang dimaksudkan pastilah harus kita mengerti secara kiasan.
Lukas memakai ungkapan ”penuh dengan” dalam hubungan yang lain. Dalam Lukas 5:12, ia berbicara tentang seorang yang ”penuh kusta”, seluruh tubuhnya terkena penyakit itu. Dan Elimas, tukang sihir, disebutnya penuh dengan rupa-rupa tipu muslihat dan kejahatan (Kis. 13:10). Tipu muslihat itu merupakan ciri khas utama bagi Elimas.
Sejajar dengan itu, Alkitab berbicara tentang orang-orang yang ”penuh” dengan Roh Kudus. ”dipenuhi”, atau ”penuh” dengan Roh Kudus berarti bahwa Anda seluruhnya dipimpin oleh Roh Allah; bahwa Roh Kudus mengarahkan dan menjiwai Anda.
Itulah juga maksud Paulus ketika dia menyerukan dalam Efesus 5:18, ”Hendaklah kamu penuh dengan Roh”. Paulus telah beberapa kali memakai kata ”penuh” (atau ”dipenuhi”) dalam suratnya kepada jemaat di Efesus. Dia menulis misalnya bahwa Kristus hendak ”memenuhi” (membuat penuh) semua dan segala sesuatu (Ef. 1:23).
Dalam kata yang dipakai Paulus di sini terkandung juga arti ”memimpin”. Bacalah Yeremia 23:24 (dalam Septuaginta, terjemahan Yunani, kata yang sama dipakai Paulus dalam surat kepada Efesus), ”Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman TUHAN.” Artinya di sini jelas, kuasa Allah sampai ke segala ujung alam semesta; Dia menguasai segala-galanya, jadi tak seorang pun dapat menyembunyikan diri daripada-Nya.
Demikianlah Kristus ingin ”memenuhi” semua memimpin semua. Dan demikianlah Paulus berseru kepada para pembacanya supaya membiarkan diri ”dipenuhi” oleh Roh. Cara lain untuk mengatakan ”dipenuhi” dengan Roh ialah ”hidup oleh Roh” (Gal. 5:16, 25).
Namun, ada kemungkinan juga bahwa bukan Roh, melainkan Iblis ”memenuhi” (menguasai, memimpin) hati seseorang. Itulah yang dikatakan Petrus kepada Ananias, ”Mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus (Kis. 5:3).” Dalam naskah Yunani, Lukas memakai kata kerja yang sama seperti yang dipakainya dalam Efesus 5:18.
Yohanes Pembaptis dan Yesus ”Pembaptis”
Yohanes Pembaptis telah memberitahukan bahwa Yesus akan ”membaptis” dengan Roh Kudus, dengan ungkapan berikut ini, ”Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus.” (Mrk. 1:8; lihat juga Mat. 3:11; Luk. 3:16; Yoh. 1:33). Mengapa Yohanes mengatakannya dengan cara itu?
Apa yang dimaksudkannya?
Yohanes membuat perbandingan dengan apa yang dilakukannya sendiri. Dia membaptis. Kata ”membaptis” berarti ”membenamkan”. Yohanes membenamkan orang-orang di dalam air sungai Yordan. Itu tindakan yang bersifat simbolis; suatu tanda yang menandai ”pembasuhan” dari dosa-dosa dan pembaruan hidup. Jadi, sebuah tanda. Yohanes dapat memberikan tanda itu pada seorang, tetapi apa yang ditunjukkan tanda itu tidak dapat direalisasikannya. Itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Dan Yohanes tidak dapat memberikan Roh Kudus kepada manusia.
Apa yang tidak dapat dilakukan oleh Yohanes, sanggup dilakukan oleh Yesus. Dia yang ”lebih kuat”, yang datang sesudah Yohanes. Yohanes membenamkan orang-orang di dalam air, tetapi Yesus akan ”membenamkan” orang-orang di dalam Roh Kudus! Sebetulnya ungkapan itu aneh. Seorang dapat dibenamkan dalam suatu cairan (air), tetapi bagaimana dia dapat dibenamkan dalam Roh Kudus? Dari situ tampak bahwa Yohanes memakai kata ”dibenamkan” dalam arti kiasannya. Untuk memperlihatkan hal itu kita menulis kata itu di antara tanda petik tunggal, seperti yang telah saya lakukan selama ini. ”Aku membaptis kamu dengan (membenamkan kamu dalam) air, tetapi Dia akan ”membaptis kamu dengan” (”membenamkan kamu dalam”) Roh Kudus.”
Yohanes adalah seorang pembaptis dalam arti yang harfiah, sedangkan Yesus adalah Pembaptis dalam arti kiasan. Yohanes Pembaptis membaptis dengan air, sedangkan ”Yesus Pembaptis” membaptis dengan Roh Kudus.
”Dibaptis” = kelimpahan
Apakah maksud Yohanes dengan pemakaian kata ”dibaptis” itu? Inilah maksudnya: aku tidak dapat memberikan Roh Kudus, tetapi Yesus dapat memberikan-Nya! Dan Dia akan melakukannya secara berkelimpahan (seakan-akan ”dibenamkan”). Itulah artinya kata ”membenamkan” dibandingkan dengan kata yang lebih netral ”memberikan”. Kata itu menekankan bahwa Yesus akan memberikan Roh dengan cara yang berlimpah-limpah.
Hal itu sesuai dengan nubuat Yoel bahwa Allah akan mencurahkan Roh-Nya (Yl. 2: 28) jadi, memberi dengan berlimpah. Dan di kemudian hari, Yesus sendiri membenarkan nubuat itu dengan berseru, ”Siapa saja yang percaya kepada-Ku..., Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup. Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya...” (Yoh. 7:38, 39).
Dibaptis dengan Roh Kudus dan dibaptis dengan air
Adakah hubungan antara ”dibaptis” dengan Roh Kudus dan dibaptis dengan air? Tentu, banyak sekali hubungannya!
Paulus beberapa kali mengartikan pekerjaan Roh sebagai ”membasuh”. Hal itu mengisyaratkan baptisan. Yang hanya dilambangkan oleh baptisan (dibasuh dari dosa-dosa dan diperbarui), itulah yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Roh!
Dalam Titus 3:5, Paulus berbicara tentang ”permandian kelahiran kembali dan pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus”. Di sini Paulus menggambarkan pekerjaan Roh Kudus sebagai permandian. Roh ”yang sudah dilimpahkanNya kepada kita” (ay. 6) membasuh bersih hidup kita seperti dimandikan dengan pancuran.
1 Korintus 6:11, ”Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.” Di sini Paulus juga menggambarkan pekerjaan Tuhan Yesus Kristus dan Roh Allah sebagai pembasuhan.
Pekerjaan Roh yang disifatkan sebagai ”membasuh” hal itu sejalan dengan Perjanjian Lama, Allah berjanji akan mentahirkan umat-Nya dari segala kenajisan mereka, dan Dia akan melakukannya melalui Roh-Nya (bdk. Yeh. 36:25-27; lih. #4). Kalau manusia ”dibaptis” dengan Roh maka dosa-dosanya dibasuh bersih. Itu berarti, pengampunan dan pembaruan.
Itulah tepatnya makna baptisan. Bukankah baptisan adalah lambang pembasuhan dari ”kenajisan jiwa kita”, tidak hanya berbicara tentang pengampunan dosa, tetapi juga tentang pembaruan oleh Roh Kudus (lihatlah formulir Reformasi untuk membaptis anak-anak, dan juga Katekismus Heidelberg, s/j 70).
Jadi, baptisan dengan air menandai ”baptisan” dengan Roh Kudus.
”Dibaptis” = ”dipenuhi”
Apakah ”dibaptis” dengan Roh Kudus berbeda dengan ”dipenuhi” dengan Roh Kudus? Tidak. Kedua ungkapan itu mengandung arti yang sama. Itu adalah dua istilah yang mengatakan bahwa Kristus memberikan Roh-Nya dan bahwa kita menerima Roh itu. Kedua kiasan itu saling berselang-seling.
Hal itu jelas terlihat dalam Kisah Para Rasul 1 dan 2. Yesus memberitahu, ”Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.” (Kis. 1:5). Dan ketika hal itu terjadi beberapa hari kemudian, Lukas menulis, ”Lalu mereka semua dipenuhi dengan Roh Kudus” (Kis. 2:4).
Dalam Kisah Para Rasul 1, Yesus membandingkan apa yang akan dilakukan-Nya dengan pekerjaan Yohanes. Itulah sebabnya kata ”membaptis” bersifat kiasan. Dalam Kisah Para Rasul 2, perbandingan itu tidak ada lagi. Karena itu, tidak perlu lagi kata kerja ”membaptis” dipakai secara kiasan. Dan itulah sebabnya, kata ”dipenuhi” yang dipakai di situ1.
Kedua istilah mengungkapkan hal yang sama, yaitu Yesus Kristus sejak Pentakosta memberikan Roh-Nya kepada gereja-Nya.
Tekanan yang kuat pada istilah ”membaptis” ialah bahwa hal itu terjadi secara melimpah. Dan tekanan kuat pada istilah ”memenuhi” ialah bahwa manusia yang diberikan Roh, dipimpin sepenuhnya oleh Roh itu. Atau dengan kata lain, ”membaptis” menunjuk kepada kelimpahan Roh serta menunjuk pada pengaruh Roh.
Apakah yang boleh kita harapkan setelah kita ”dibaptis” atau ”dipenuhi” dengan Roh? Apakah maksud Allah dengan pemberian itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita lebih dahulu kembali kepada Perjanjian Lama. Sebab pemberian Roh itu sudah diberitahu pada waktu Perjanjian Lama diikrarkan. Lebih kuat lagi, ”baptisan” atau ”pemenuhan” dengan Roh Kudus mewujudkan apa yang selama ini dimaksudkan Allah dengan membuat perjanjian dengan manusia. Langkah kembali kepada Perjanjian Lama ini sangat penting. Hal ini karena terdapat bahaya bahwa istilah-istilah seperti ”dibaptis” dan ”dipenuhi” dengan Roh akan kita isi sesuai ide kita sendiri. Biasanya Anda sudah mengiringi kata-kata seperti itu dengan pikiran tertentu (misalnya, karena dipengaruhi oleh cara lingkungan karismatik untuk membicarakan hal itu), lalu ide itu begitu saja diterapkan Anda dalam bagian-bagian Alkitab yang bersangkutan. Untuk menghindarinya, mari kita memandang dari perspektif Perjanjian Lama ke arah Perjanjian Baru, dan bertanya apakah maksud Tuhan dengan pemberian Roh?
Abraham
Apakah tujuan Allah ketika membuat perjanjian dengan Abram dan keturunannya? ”Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun... supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” (Kej. 17:7). Allah menginginkan relasi yang timbal balik, Dia menjadi Allah Abraham dan keturunannya; dan keturunannya itu menjadi umat-Nya yang khusus. Dan tentu saja untuk itu Abraham (dan keturunannya) harus menjalani hidup yang layak di hadapan Allah. ”Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej. 17:1).
Israel
Perjanjian itu memasuki tahap khusus ketika keturunan Abraham berdiri di kaki gunung Sinai. Sekali lagi Allah menegaskan, umat ini ialah umat-Ku. Sejalan dengan itu mereka harus hidup dengan menaati perintah-Ku. ”Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa,...” (Kel. 19:5). Dan sebaliknya, Allah mau menjadi Allah umat itu. Demikianlah Dia memperkenalkan diri, ”Akulah TUHAN, Allahmu,...” (Kel. 20:2).
Garis yang menurun
Seluruh sejarah perjanjian yang lama (perjanjian yang dibuat Tuhan di atas gunung Sinai) adalah satu usaha untuk mencapai tujuannya, yaitu bahwa Tuhan menjadi Allah Israel dan Israel menjadi umat Tuhan termasuk kehidupan yang sesuai dengan itu.
Akan tetapi, biasanya realitasnya berbeda. Memang ada beberapa pengecualian yang positif. Masa pemerintahan Daud dan Salomo, misalnya. Dan juga zaman pemerintahan raja Hizkia. Dalam setiap zaman selalu ada orang-orang yang sangat beriman, yaitu ”orang-orang yang benar”. Namun, garis sejarah perjanjian yang lama itu terus-menerus turun naik. Ingatlah kepada zamanhakim-hakim, dan kepada sebagian besar periode raja-raja dan nabi-nabi.
Tidak henti-hentinya Allah perlu mengutus nabi-nabi untuk memanggil orang-orang kembali ke jalan yang benar. Para nabi itu berseru-seru, bertobatlah, hiduplah bersama Allahmu biarlah kamu menjadi umat Allah, seperti Dia pun mau menjadi Allahmu!
Tampaknya sebagian besar bangsa itu tidak benar-benar tersentuh oleh seruan itu. Tampaknya batin mereka tidak berubah.
Secara lahir mereka memang disunat, tetapi tidak secara batin.
Padahal itulah sejak dahulu yang menjadi maksud Allah, bahwa yang harus disunat adalah hati mereka (Ul. 10:16; Yer. 4:4; bdk. Rm. 2:29). Agama mereka memang hal yang lahiriah, melainkan tidak berguna kalau tidak dialami dari lubuk hati mereka.
Itu sudah? Tidak ada harapan lagi?
Sesudah berlalunya semua abad sejarah perjanjian lama itu maka hanya ada satu kesimpulan yang dapat ditarik. Israel tidak berhasil untuk menjadi umat Allah. Tujuan Allah ternyata tidak dapat tercapai. Dan itu bukan kesalahan Allah, tetapi kesalahan umat-Nya.
Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali mengusir umat-Nya dari tanah mereka. Yerusalem jatuh ke tangan musuh. Bait Allah dihancurkan. Rakyat digiring ke pembuangan. Tamatlah ceritanya?
Tetapi ternyata tidak!
Itulah kejutan pada akhir perjanjian Sinai ketika Israel masuk masa pembuangan. Yehezkiel, nabi dalam periode pembuangan itu, boleh mengumumkan kata-kata Allah ini, ”Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu. Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih, yang akan mentahirkan kamu; dari segala kenajisanmu dan dari semua berhala-berhalamu Aku akan mentahirkan kamu. Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. RohKu akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.
Dan kamu akan diam di dalam negeri yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu dan kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu” (Yeh. 36:24-28).
Perhatikan baik-baik apa yang ditulis dalam Yehezkiel tadi!
Janji utama dalam perjanjian yang lama
Apa yang dinubuatkan oleh Yehezkiel itu ialah janji utama dalam perjanjian yang lama: Allah akan memberikan Roh-Nya kepada umat-Nya.
Dengan demikian Allah akan menghapus kegagalan perjanjian yang lama. Meskipun sangat tidak terduga (karena seluruh bangsa Israel dibuang ke Babel dan Asyur), tetap ada lanjutannya, yaitu ”permulaan yang baru”, sebuah perjanjian yang baru.
Yeremia juga diperkenankan untuk bernubuat tentang hal itu.
”Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN. Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka” (Yer. 31:31-34).
Perjanjian yang baru, dosa-dosa diampuni, dan orang-orang akan diperbarui dari dalam batin mereka. Hukum Allah bukan sesuatu yang hanya datang dari luar; tetapi dari dalam hati mereka, orang-orang ingin hidup menuruti hukum itu. Dan hasilnya ialah terwujudnya ”cita-cita” Allah yang sejak semula, yaitu sejak Abram, ”Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umatKu”. Roh Allah menjamin kepastian bahwa cita-cita itu tercapai dan bahwa perjanjian yang baru tidak akan macet, seperti halnya dengan perjanjian yang lama.
Yohanes Pembaptis mengatakan, ”Dialah Itu!”
Tentu saja, janji dari perjanjian yang lama ini telah membangkitkan pengharapan yang sangat menegangkan! Yohanes Pembaptis telah sangat mengejutkan ketika dia diperkenankan memperkenalkan Yesus kepada orang-orang. Yesus, Dia yang dihinggapi oleh Roh, dan yang tetap didiami oleh Roh, Dialah yang akan menggenapi janji yang dahulu itu! ”Dialah yang akan membaptis dengan Roh Kudus” (Yoh. 1:33).
Yesuslah yang menjamin suatu permulaan baru perjanjian Allah dengan umat-Nya. Yesuslah yang meletakkan dasar bagi pengampunan dosa. Dan Dialah yang ”membaptis” dan ”memenuhi” dengan Roh Kudus. Dialah yang telah membuat umat Allah hendak hidup sesuai kehendak Allah.
Realitas perjanjian yang baru
Dalam Perjanjian Baru kita membaca bagaimana nubuat para nabi menjadi kenyataan. Paulus misalnya mengatakan kepada jemaat di Roma, ”Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tidak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah.
Dengan mengutus Anak-Nya sendiri sama seperti manusia yang berdosa dan untuk menghapuskan dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh” (Rm. 8:3-4). ”Apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tidak berdaya oleh daging” yang meringkaskan seluruh sejarah perjanjian yang lama. Hukum Taurat gagal membuat orang-orang sungguh-sungguh menaati hukum itu. Salahnya tidak terletak pada hukum, tetapi pada manusia yang berdosa (”kedagingan”). Hukum Taurat kalah menghadapi hal itu (hukum itu ”tidak berdaya”). Namun, apa yang tidak mungkin dilakukan oleh hukum Taurat, berhasil dilakukan oleh Roh Allah. Apa yang dituntut oleh hukum (”tuntutan hukum Taurat”) telah kita lakukan karena kita hidup ”menurut Roh”.
Dengan demikian, Roh memungkinkan bahwa Allah dan umatNya saling terikat untuk selama-lamanya dan akan hidup kekal bersama-sama, ”Aku Allahmu, dan kamu umat-Ku.” Jadi, ”baptisan” atau ”pemenuhan” dengan Roh Kudus bersambungan persis dengan apa yang sejak dahulu menjadi maksud dan tujuan Allah dengan perjanjian-Nya.
Awal tanpa akhir
Kapankah ”baptisan roh” dialami oleh gereja? Apakah hal itu sudah terjadi pada hari Pentakosta yang pertama? Ataukah setiap orang harus mengalami dalam hidupnya?
Pada hari Pentakosta yang pertama Yesus mulai dengan ”membenamkan” manusia di dalam Roh-Nya dan ”memenuhi” mereka dengan Roh itu. Petrus menjelaskan hal itu sebagai berikut, ”Sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima dari Bapa, Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya Roh itu seperti yang kamu lihat dan dengar di sini” (Kis. 2:33). Dan dia menunjuk kepada janji yang adalah inti perjanjian yang lama, ”Sebab bagi kamulah janji itu (yaitu Roh Kudus yang dijanjikan) dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis. 2:39).
Apakah dengan kejadian itu selesai sudah ”pembaptisan”, atau ”pemenuhan”, atau ”pencurahan” Roh? Tidak. Itu bukan hal yang hanya dilakukan Yesus pada hari Pentakosta yang pertama itu. Dan penerimaan Roh, atau pemenuhan dengan Roh, bukan sesuatu yang terjadi pada hari itu sekali untuk selamanya.
Memang benar bahwa berbagai tanda-tanda yang menyertai kejadian itu hanya dijumpai pada hari Pentakosta yang pertama itu, yaitu lidah-lidah seperti lidah api; bunyi seperti tiupan angin keras; para pengikut Yesus yang dalam bermacam-macam bahasa bercerita tentang perbuatan-perbuatan besar Allah.
Akan tetapi, ”’membaptis’ gereja-Nya dalam Roh-Nya”, itulah yang tetap dilakukan oleh Kristus secara terus-menerus sejak hari Pentakosta yang pertama dahulu itu. Semua orang yang mau menerima Injil Yesus Kristus karena percaya kepada pemberitaannya, akan memperoleh Roh yang telah dijanjikan (Gal. 3:2-5,14). Kisah tentang Kornelius membuktikan hal itu. Ketika orang yang bukan Yahudi itu menerima Yesus sebagai penyelamatnya, Roh Kudus juga ”turun” ke atas dia dan ke atas seisi rumahnya (Kis. 10:44).
Ketika Kornelius dan seisi rumahnya dipenuhi oleh Roh, mereka berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain. Sesuatu yang terjadi dalam rumah Kornelius itu mengingatkan Petrus kepada apa yang terjadi pada hari Pentakosta yang pertama di Yerusalem (Kis. 11:15). Petrus memang perlu mengingat itu karena sekarang untuk pertama kalinya seorang yang bukan Yahudi ditambahkan kepada umat Allah. Bayangkan betapa sulitnya bagi Petrus sebagai orang Yahudi untuk menerima kenyataan bahwa keselamatan juga dapat diperoleh seorang Roma!
Baptisan Roh ini, yang disertai karunia untuk berkata-kata dalam bahasa lain, meyakinkan Petrus tentang hal itu. Sebab itu di kemudian hari dia mengatakan, ”Jadi, jika Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada kita pada waktu kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah Dia?” (Kis. 11:17).
Percaya kepada Yesus dan ”dibaptis” dengan Roh-Nya
Tidak mungkin orang percaya kepada Yesus tanpa menerima Roh, ”Jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus” (Rm. 8:9). Sebab itu, dalam khotbahnya pada hari Pentakosta, Petrus menyebut kedua hal itu sekaligus sebagai dua kata yang berpasangan, ”Hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus” (Kis. 2:38).
Kisah yang diceritakan Lukas dalam Kisah Para Rasul 19, membenarkan ketetapan di atas itu. Ketika Paulus ada di Efesus, dia bertemu dengan orang-orang yang telah menerima baptisan Yohanes. Mereka belum mendengar bahwa Roh Kudus sudah datang. Paulus menjelaskan kepada mereka bahwa Yohanes telah menunjuk kepada Seorang yang akan datang kemudian daripadanya; kepada Dialah mereka harus percaya. Ketika orang-orang Efesus itu menerima pemberitaan Injil Paulus, dan membiarkan diri mereka dibaptis maka Roh Kudus juga dicurahkan ke atas mereka. Kedua perkara berikut tidak dapat dipisahkan, yaitu:
Percaya kepada Yesus Kristus yang ”membaptis” dalam Roh Kudus, dan menerima Roh Kudus. Itulah latar belakang pertanyaan Paulus, ”Sudahkah kamu menerima Roh Kudus, ketika kamu percaya?”
Pertanyaan itu menyiratkan kenyataan bahwa ”percaya kepada Yesus” selalu terhubung dengan ”menerima Roh Kudus”.
Percaya kepada Yesus dan ”dibaptis” dengan Roh-Nya tetap bersatu. Satu-satunya pengecualian pada ketentuan itu, sejauh pengetahuan kita, ialah kejadian di Samaria (Kis. 8:4-17). Di daerah itu ada orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, dan telah dibaptis dalam nama-Nya, tetapi belum menerima Roh Kudus. Baru setelah Petrus dan Yohanes datang dari Yerusalem, dan berdoa minta Roh Kudus, serta menumpangkan tangan di atasorang-orang itu maka mereka menerima Roh Kudus.
Apakah yang membuat mereka mengalami kelambatan itu?
Untuk itu telah diberi berbagai keterangan. Saya rasa, alasan yang paling wajar di antaranya ialah ini: sesudah Yerusalem, sekarang Samaria mendapat giliran untuk menerima pemberitaan Injil (bdk. Kis. 1:8; yang dibicarakan di sini ialah perubahan sejarah keselamatan yang unik). Akan tetapi, bangsa Yahudi dan bangsa Samaria sudah sejak berabad-abad dipisahkan oleh sebuah tembok permusuhan (”orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria” (Yoh. 4:9)). Seandainya Roh Kudus langsung diberikan kepada orang-orang percaya di Samaria, pastilah timbul bahaya besar bahwa permusuhan yang sudah berusia berabad-abad itu akan terus berlanjut. Hal itu dicegah karena gereja di Yerusalem mengirimkan beberapa utusan, yang menunjukkan solidaritas mereka dengan berdoa bersama-sama, supaya orang-orang itu pun boleh menerima Roh Kudus. Dengan demikian baik orang Yahudi maupun orang Samaria dibaptis ”dengan satu Roh menjadi satu tubuh” (1Kor. 12:13) dan mengalami berlangsungnya keselamatan dari Israel kepada Samaria, kepada semua bangsa.
Penuh dengan Roh Kudus dan dipenuhi oleh Roh Kudus
Jadi, ”penuh dengan Roh Kudus” merupakan sifat khas yang umum dari orang Kristen (seperti juga pada Yesus). Hal itu misalnya dikatakan tentang Stefanus (Kis. 6:5) dan Barnabas (Kis. 11:24).
Akan tetapi, di samping itu kita membaca bahwa juga sesudah hari Pentakosta yang pertama, ada orang-orang (yang sekali lagi) dipenuhi dengan Roh. Kitab Kisah Para Rasul memberi lima contoh mengenai hal itu (Kis. 4:8; 4:31; 9:17-22; 13:9-12; dan 13:52). Dalam semua situasi itu, yang dibicarakan ialah suatu ”pemenuhan” dengan Roh sehubungan dengan pemberian kesaksian tentang Yesus, pemberitaan Injil, yang dilakukan di tengah-tengah perlawanan. Paulus mendesak orang-orang Kristen di Efesus supaya membiarkan diri mereka dipenuhi oleh Roh Kudus (Ef. 5:18).
Dari bentuk kata kerja Yunaninya kita dapat menjabarkan bahwa yang dimaksudkan ialah bahwa mereka harus selalu melakukan hal itu, ”Hendaklah kamu (berulang kali) penuh dengan Roh”. Juga dari situ tampak bahwa ”dipenuhi oleh” atau ”penuh dengan” Roh Kudus bukan sesuatu yang terjadi ”sekali untuk selamanya”.
Bahwa Kristus ”membaptis” dalam, atau ”memenuhi” dengan Roh adalah suatu kenyataan yang tidak berkesudahan sejak hari Pentakosta. Disertai dengan keterangan bahwa orang-orang dapat berulang-ulang ”dipenuhi” lagi.
Kita membaca tentang peristiwa-peristiwa baru di mana orang ”dipenuhi” dengan Roh, tetapi tidak tentang kejadian-kejadian baru di mana orang ”dibaptis” dengan Roh. Mengapa begitu?
Hal itu pertama-tama berhubungan dengan kenyataan bahwa ungkapan ”membaptis dengan Roh”, seperti dikatakan lebih dulu, mendapat artinya dari perbandingan dengan pekerjaan Yohanes Pembaptis. Selain itu, istilah ”membaptis” kurang cocok untuk menunjuk kepada kejadian-kejadian yang berulangulang karena ”membaptis” (justru melalui hubungan dengan baptisan Yohanes Pembaptis itu), mengandung dengan kuat gagasan tentang kejadian yang hanya satu kali terjadi. Sebab itu ”membaptis dengan Roh Kudus” merupakan ungkapan yang cocok untuk menunjuk kepada keseluruhan pekerjaan Kristus sejak hari Pentakosta, tetapi tidak untuk menggambarkan kejadian-kejadian tersendiri di dalam keseluruhan itu.
Ada orang-orang yang dengan segenap hati ingin hidup bersama Allah dan untuk Allah. Ada orang-orang yang menganggap perintah-perintah Allah bukan beban berat, melainkan suatu kebahagiaan. Ada jemaat yang bertekad untuk menjadi jemaat Tuhan walaupun dengan jatuh dan bangun. Ada orang-orang Kristen yang menyinarkan cahaya penuh kasih terhadap Allah, terhadap sesama orang Kristen, dan terhadap sesamanya yang bukan Kristen. Setiap kali kita menjumpai hal-hal seperti itu kepada orang-orang Kristen dan jemaat-jemaat, kita menyadari bahwa memang benar Yesus Kristus masih tetap ”memenuhi” para pengikut-Nya dengan Roh-Nya. Sampai saat ini pun gereja masih, tetapi dan ternyata ”dibaptis” dengan Roh.
Bagaimana aku secara pribadi bergabung dengan kenyataan itu?
Bagaimana aku secara pribadi dipenuhi dengan Roh? Bab yang berikut akan membahas pertanyaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas
1. Apakah Anda mengenali rasa cemburu yang digambarkan dalam #1? Atau sama sekali tidak? Kalau tidak, dapatkah Anda membayangkan bahwa orang lain merasakan kecemburuan itu?Drs. H. ten Brinke (1959) adalah pendeta jemaat di Belgia, Brussel.