8. Menerima berkat, memberi berkat

Saling menumpangkan tangan? oleh Michael Mulder Pada akhir percakapan kami, wanita itu duduk lebih dekat denganku. Dia bertanya: ”Maukah Anda berdoa bersamaku? Marilah Anda membuka diri untuk menerima berkat yang hendak diberikan Allah kepada Anda.” Kemudian dia menumpangkan tangan di atas kepalaku, dan setelah diam sejenak, dia mengatakan: ”Aku memberkati Anda dengan kasih Yesus. Aku memberkati Anda dengan kesabaran, supaya dapat memberi tanggapan yang lebih baik kepada anak-anak Anda. Aku memberkati Anda dengan belas kasihan Allah.”

1. Fenomena: saling memberkati

Perhatian untuk pokok ini

Kita mendengar tentang tindakan saling memberkati itu yang dilakukan dengan bermacam-macam cara. Misalnya, seorang ayah setiap malam memanggil semua anaknya untuk diberkatinya satu per satu. Ada kursus-kursus yang diberikan untuk mempraktikkan sikap ”hidup yang memberkati”, dengan ketrampilan yang konkret, yaitu: saling memberkati. Orang dapat berlatih untuk melakukannya, dan hidup rohaninya menjadi diperkaya karenanya. Sebuah nyanyian yang sangat terkenal berbunyi demikian: ”Aku memberkati engkau dalam nama Yesus.” Lagu itu diajarkan kepada anak-anak, dan dipraktikkan oleh orang-orang dewasa.

Di Belanda ada berbagai buku yang baru diterbitkan mengenai hal saling memberkati. Di dalamnya kekuatan kata ”memberkati” ditekankan dengan cara yang khusus. Buku itu ingin menguatkan praktik kehidupan kristiani, sehingga kita lebih banyak mengalami kekayaan berkat Allah. Banyak perhatian diberikan kepada sikap hidup orang yang percaya, yang disebutnya: ”sikap hidup yang memberkati”. ”Allah menghendaki supaya kita menunjukkan siapa Dia. Perbuatan kita, pembicaraan kita, bahkan pikiran dan doa kita harus makin menunjukkan kasih-Nya.” Kita harus belajar supaya sikap itu mewarnai seluruh hidup kita. Namun, itu bukansatu-satunya. Ada dorongan supaya setiap orang yang percaya, juga secara nyata-nyata memberi berkat kepada orang lain. Berkat itu dapat diisi dengan apa saja, tergantung dari kebutuhan atau penderitaan yang ada pada orang. Dengan cara itu ”sikap hidup yang memberkati” juga dijadikan konkret dalam pemberian berkat dengan cara yang terlihat dan terdengar. Berdasarkan konsep alkitabiah ”sifat keimaman semua orang percaya” maka disimpulkan bahwa semua orang di dalam jemaat berhak untuk memberi berkat.

Ada juga beberapa contoh yang melukiskan efek yang bisa diperoleh dari berkat seperti itu. Misalnya: ”Mega, seorang bayi yang berusia enam bulan, menangis terus-menerus setiap malam. Ketika dia masih dalam kandungan ibunya, kedua orang tuanya sangat mengharapkan kedatangannya, dan mereka berdoa tekun untuknya, dan tak pernah lupa pula untuk mengucap syukur. Dengan penuh kasih sayang dan kesabaran mereka merawatnya. Namun, karena tangisnya tidak kunjung reda setiap malam, dia dibawa ke rumah sakit.

Di situ para dokter tidak menemukan penyakit apa pun pada dirinya. Diagnosa mereka hanyalah bahwa gadis cilik itu menderita trauma kelahiran. Bersama dengan seorang teman kerja wanita, aku mengunjungi anak itu. Selama setengah jam kami bermain-main dengan dia, dan sambil bercakap-cakap dan bermain-main kami memberkati anak itu. Sejak saat itu Mega bisa tidur nyenyak, dan tangisnya tidak melebihi tangis anak-anak lain sebayanya. Demikianlah kehadiran berkat itu membawa damai, ketenangan, perkembangan rohani, dan hubungan yang lebih akrab dengan Allah. Aku sering melihat bahwa orang-orang yang menerima berkat, setelah itu lebih memahami hal-hal mengenai Allah.”

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul

Bagaimanakah kita menyikapi pendapat mengenai ”memberkati” itu? Pada satu segi, semua itu sangat menarik, karena gagasannya bahwa kita dapat mengecap pengalaman yang lebih dalam tentang berkat Allah. Pada masa kini ada bayak orang yang menimbulkan kerinduan besar untuk menjalani iman dengan cara yang lebih kaya dihayati mereka. Pengalaman-pengalaman seperti yang disebut di atas, menunjukkan bahwa menurut sebagian dari orang Kristen sekarang ini, pengetahuan alkitabiah tentang memberkati dapat membantu dalam memenuhi kerinduan itu. Menurut mereka, di sini ada kemungkinan-kemungkinan untuk memenuhi dengan lebih baik kebutuhan rohani yang kita lihat pada banyak orang pada zaman ini. Apabila kita merasakan dengan konkret tangan-tangan diletakkan pada kepala kita dan mendengar berkat itu diucapkan, maka kita langsung merasakan iman kita secara lebih konkret dan lebih bermakna. Karena itu, mereka bertanya, mungkinkah kita sebagai gereja-gereja terlalu mengabaikan kekayaan yang ada dalam berkat?

Pada segi lain, perkembangan ini membuat banyak orangragu-ragu. Apabila seorang datang kepada kita dengan keinginan untuk memberkati kita, apakah yang harus kita lakukan? Bolehkah dia melakukan itu dengan begitu saja? Apakah dalam tradisi gerejawi kita selama ini, kita memang kurang menyoroti berkat itu, atau apakah ada orang-orang yang mengklaim hal rohani yang tidak boleh mereka klaim?

Tentu saja dalam hal ini kita harus meneliti apakah perhatian baru ini berdasarkan Alkitab, atau apakah hal itu muncul akibat budaya di mana kita hidup. Tidak dapat dipungkiri bahwa di banyak bidang kehidupan banyak perhatian diberikan kepada bentuk-bentuk baru untuk mengungkapkan perasaan-perasaan kita. Pada umumnya masyarakat sangat mencari dan merindukan ritual-ritual yang dikembangkan untuk menyalurkan emosi-emosi yang bergejolak. Misalnya ritual-ritual pada kejadian-kejadian penting dalam hidup mereka, dalam masa berkabung, atau ketika pada waktu menikah, atau pada waktu berpisah, atau ketika mereka mulai mendiami rumah yang baru, pindah, mengandung bayi, membeli tanah baru, kesuburan, bangun rumah, dsb.

Apakah cara memberkati yang alkitabiah mungkin memenuhi kerinduan itu? Ataukah ”tren” untuk saling memberkati itu terlalu banyak memusatkan kerinduan dan perasaan manusia, di mana kita lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kita sendiri dan mungkin bersifat memanipulasi Allah guna kepentingan kita?

Untuk dapat menemukan jawaban yang tepat ataspertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu membuka Alkitab. Apakah sebetulnya makna berkat Allah? Siapa yang berhak memberikan berkat itu?

Apakah arti dan ”kuasa” pemberian berkat itu? Hanya dengan mendengarkan dengan tulus pada firman Allah, maka kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai praktik ”saling memberkati” yang kita kembangkan atau hadapi.

2. Garis-garis alkitabiah

Allah yang berkuasa atas berkat

Kalau manusia menerima berkat dari Allah, itu adalah anugerah semata-mata, yang menunjukkan bahwa Allah berkenan menjadi Allah mereka. Hanya Allah yang memiliki berkat itu, dan hanya Dia dapat membagi-bagikannya. Sebab itu, berkat Allah hanya diberikan dalam rangka hubungan pribadi dengan Dia. Tidak pernah berkat itu merupakan kekuatan tersendiri, yang dapat dipakai manusia semaunya. Tidak pernah berkat itu menjadi semacam ”kekuatan hidup” yang dapat dialihkan kepada orang lain dengan cara yang magis. Berkat Allah senantiasa diterima dalam ikatan persekutuan dengan Tuhan. Lihat misalnya Kejadian 1:22-28; 2:3; 5:2; 9:1; 14:9; 24:19; 39:5; Mzm. 67:7; 128:5 dan seterusnya:

Allahlah yang mengaruniakan berkat-Nya. Dialah subjek berkat itu. Dan Dia membagikan berkat-Nya dalam ikatan persekutuan dengan diri-Nya. Sebuah pasal yang terkenal dalam Alkitab yang mengisahkan penerimaan berkat Allah, ialah Kejadian 32, tentang pergumulan Yakub di dekat Pniel. Kisah itu menunjukkan kepada kita bahwa tidak dengan sendirinya umat Allah diperkenankan hidup di bawah berkat Tuhan. Yakub berdoa: ”Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku.” (Kej. 32:26).

Memang, adalah anugerah semata bahwa manusia diperkenankan menerima berkat Allah. Namun, anugerah itu telah dijanjikan dengan jelas dalam perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Isi yang paling penting dari berkat Allah bagi umat-Nya dapat diringkas dalam satu kalimat: ”Aku akan menyertai engkau” (Kej. 17:7,8; 26:3 dst.).

Karena berkat Allah tidak mungkin datang dari tangan manusia, maka berkat yang diinginkan oleh seorang kepada yang lain, berbentuk sebuah doa, seperti: ”Moga-moga Allah Yang Mahakuasa memberkati engkau”, misalnya Kejadian 28:3. TUHANlah yang didoakan untuk memberikan berkat-Nya. Kadang-kadang doa itu disertai kata-kata bahwa TUHAN telah berjanji untuk memberikan berkat-Nya. Maka doa itu digarisbawahi dengan janji Allah itu.

Hal itu misalnya terlihat dalam Mazmur 3. Dalam mazmur ini Daud berpegang teguh pada hubungan-perjanjian antara TUHAN dengan umat-Nya. Pada akhir mazmur itu pegangan teguh Daud itu mendapat bentuk sebuah doa: ”Berkat-Mu atas umat-Mu” (Mzm. 3:9). Itulah dasar doa Daud, yaitu suatu janji yang telah diucapkan oleh Allah.

Berkat imamat dihubungkan dengan pelayanan pendamaian

Berkat Allah datang kepada manusia dengan cara yang khusus, yaitu dalam ibadah gereja. Dalam Perjanjian Lama ibadahnya tentu saja berlangsung dalam Kemah Suci dan kemudian dalam Bait Allah.

Allah memerintahkan kepada para imam di Israel untuk memberkati umat milik Allah. Dalam Bilangan 6, tercatat kata-kata berkat imamat yang sangat unik. Kata-kata itu telah diwahyukan oleh Allah secara harfiah kepada Musa. Hanya Harun dan anak anaknya laki-laki, dan di kemudian hari juga keturunan Lewi, diizinkan mengucapkan kata-kata itu (Ul. 10:8; 21:5).

Dalam kitab Imamat 9:22 tertulis bahwa dalam mengucapkan berkat itu, Harun mengangkat kedua tangannya. Yang paling penting dalam upacara itu ialah bahwa berkat itu harus diucapkan dari pinggir mezbah, yaitu setelah lebih dahulu dipersembahkan kurban bakaran dan kurban penghapus dosa. Dengan cara itu orang dapat melihat dengan jelas bahwa berkat Allah datang kepada umat-Nya dalam rangka ikatan persekutuan yang waktu itu dihayati dan tetap dipelihara di dalam ibadah Bait Allah. Berkat itu mempunyai sumber yang nyata: asalnya dari Allah. Berkat itu menunjuk kepada jalurnya sehingga berkat itu dapat sampai kepada manusia: melalui ibadah penghapusan dosa.

Bermacam-macam makna

Kalau manusia saling memberkati, maknanya dapat bermacammacam. Makna itu tergantung dari cara berkat itu berhubungan dengan janji Allah, yaitu sumber dan pusat berkat itu.

Dalam Alkitab orang-orang saling memberkati dengan bermacam-macam cara. Namun, mereka semua tetap sadar bahwa berkat mempunyai pusat. Salam yang terkenal ialah: ”Kiranya TUHAN memberkati engkau dari Sion” (Mzm. 128:5). Kekuatan doaberkat itu berasal dari janji Allah di Sion, yang melalui berkat imam di dalam Bait Allah boleh diucapkan ke atas umat.

Dalam kenyataannya, doa-berkat yang saling diucapkan manusia, telah dijabarkan dari berkat yang bersumber dari ibadah Sion itu. Kekuatan pun tergantung dari ikatan dengan sumber berkat itu. Ada kalanya ikatan itu sangat akrab, seperti yang misalnya terdengar dalam nyanyian-nyanyian ziarah yang dinyanyikanorang-orang yang sedang menuju Bait Allah. Mereka saling mengucapkan berkat yang datang dari Sion, tempat tujuan mereka. Ada kalanya juga ikatan itu jauh kurang akrab, misalnya ketika para penyabit tanaman jelai saling memberi salam, ”TUHAN kiranya menyertai kamu” (Rut 2:4). Demikianlah kata ”berkat” bahkan dapat dipakai untuk setiap salam, dan menurut berdasarkan bahasa asli kitab Amsal 27:14, sang pujangga menasihati kita supaya pada waktu subuh, janganlah saling memberkati dengan suara nyaring, agar tubuh kita yang belum mandi itu tidak dilihat orang. ”Siapa yang memberkati sahabatnya dengan suara nyaring, sambil mandi pagi, hal itu akan dianggap sebagai kutuk baginya”.

Berkat sebagai nubuat

Dalam Alkitab kita membaca beberapa kali bahwa salah seorang bapak leluhur bangsa Israel memberkati anak-anaknya sebelum dia menutup mata. Berkat itu berhubungan dengan peran unik para leluhur itu di dalam sejarah keselamatan. Berkat itu memiliki makna nubuat, dan adalah Firman yang disampaikan atas nama Allah.

Bahkan dalam hubungan itu pun, tidak berarti bahwa berkat itu adalah semacam garansi, sehingga dilihat dari situ, berkat itu dapat dipandang secara lepas dari ikatan dengan Allah, dan lepas juga dari tanggung jawab yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh misalnya: meskipun Ishak dalam Kejadian 27:28-29,mula-mula memberkati Yakub anaknya, dengan cara nubuat, tetapi dalam pasal berikutnya, yaitu Kejadian 28:3, berkatnya diberikan format yang biasa, sebagai doa: ”Moga-moga Allah Yang Mahakuasa memberkati engkau, membuat engkau beranak cucu...”.

Jadi, apa yang mula-mula diucapkan sebagai nubuat, dibekalkan kepada Yakub sebagai doa. Dengan demikian sifat unik pada berkat dalam Kejadian 27, telah digarisbawahi dengan sangat jelas.

Memberkati Allah

Adapun bukan hanya kita sebagai manusia boleh menerima berkat dari Allah. Manusia pun dapat ”memberkati” Allah.

Hal itu mengandung arti bahwa kita mengakui tangan Allah yang memberkati, dan kita memuliakan Dia (memberkati Dia) karena perbuatan-Nya itu. Dengan jalan ”memberkati” itu, Allah dimuliakan. Dapat dikata bahwa dengan demikian sepotong dari kemuliaan perbuatan-Nya dikembalikan kepada-Nya.

Kedua makna dari kata memberkati itu, berdiri berdampingan dalam 1 Raja-raja 8:14-15. Di situ tertulis, ”Kemudian berpalinglah raja lalu memberkati seluruh jemaah Israel, sedang segenap jemaah Israel berdiri. Ia berkata: ”Terpujilah (diberkatilah)

TUHAN, Allah Israel, yang telah menyelesaikan dengan tanganNya apa yang difirmankan-Nya dengan mulut-Nya kepada Daud, ayahku, demikian...”. Bagi pengertian penulis Alkitab, berkat yang diucapkan Salomo atas bangsa itu, sama benar dengan doa yang kemudian menyusul. Apa yang mungkin kita hayati sebagai dua makna, bagi orang Israel yang percaya, keduanya sama saja. Dia hanya memiliki satu kata yang sama untuk itu!

Dalam Perjanjian Baru kata ”memberkati” itu paling sering dipakai dalam arti ”terpujilah Tuhan”. Namun, dalam terjemahannya ke dalam bahasa yang lain sering kata itu tidak dikenali sebagai ”memberkati”, karena memakai kata-kata seperti ”terpujilah Dia”, atau ungkapan lain yang menunjukkan rasa syukur atau ucapan pujian kepada Tuhan.

Berkat dihubungkan dengan Kristus

Seperti halnya berkat Allah dalam Perjanjian Lama khususnya diucapkan ke atas umat melalui mezbah dan ibadahnya, demikian pula berkat dalam Perjanjian Baru datang kepada kita khususnya melalui perbuatan Kristus yang melaluinya kita memperoleh pendamaian. Seluruh perbuatan Kristus dapat diringkas dengan kata ”berkat”. Petrus mengatakan kepada orang-orang Yahudi yang datang dengan berbondong-bondong kepadanya setelah hari Pentakosta: ”Bagi kamulah pertama-tama Allah membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia memberkati kamu dengan membuat kamumasing-masing berbalik dari segala kejahatanmu.” (Kis. 3: 26). Ketika Paulus pergi ke Roma, maka yang paling penting yang dibawanya ialah berkat Kristus sepenuhnya (Rm. 15: 29). Mereka yang boleh masuk ke dalam Kerajaan-Nya, telah mendapat sebutan yang khusus, yaitu ”orang yang diberkati oleh Bapa-Ku” (Mat. 25: 34). Sebutan itu ditulis di samping orang-orang yang terkutuk; itulah mereka yang tidak mewarisi Kerajaan Allah, karena mereka tidak hidup dengan Kristus. Berkat yang melalui Kristus datang ke dalam hati manusia ini, sebetulnya adalah penggenapan berkat yang telah dijanjikan kepada Abraham. Dalam Kejadian 12 sudah ada harapan bahwa kelak semua bangsa akan diberkati dengan cara yang sama seperti Abraham. Itu berarti bahwa semua bangsa dapat memperoleh bagian dari janji Allah yang berbunyi: ”Aku akan menjadi Allahmu” (bdk. Kej. 18: 18; 22: 18). Oleh kedatangan Kristus pengharapan itu dipenuhi pada saat pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kis. 3: 25; Gal. 3: 8-14; Ibr. 6: 14). Berkat itu bersifat ”rohani” (Ef. 1: 3). Berkat ini didatangkan ke dalam hati manusia oleh Roh. Dalam semua naskah di atas itu, pengertian berkat dihubungkan dengan karya Kristus dengan cara yang unik. Berkat itu mengandung arti bahwa Allah hendak menyertai mereka yang dihubungkan oleh iman dengan Kristus. Karena Dialah, maka ada anugerah, kasih dan damai sejahtera Allah (2Kor. 13:13).

Siapa yang diberkati, akan memberkati

Barang siapa yang dengan cara ini telah menerima berkat Allah, akan juga ingin menyebarkan berkat Allah itu. Jadi itu berarti: barang siapa berhubungan dengan Allah melalui berkat itu, ingin agar orang lain juga menikmati berkat yang sama. Dia akan berusaha keras untuk memperlihatkan kepada orang lain apa artinya ”disertai-oleh-Allah” .

Sungguh menarik bahwa perintah dalam Perjanjian Baru untuk memberkati orang lain selalu terarah kepada orang-orang luar. Beberapa kali orang-orang Kristen dalam Perjanjian Baru diperintahkan untuk memberkati. Dalam perintah itu yang selalu disebut bukan sikap kita terhadap para anggota jemaat atau para sahabat kita, tetapi justru terhadap mereka yang bersikap negatif terhadap jemaat.

Yesus mengatakan, ”Berkatilah orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang berbuat jahat terhadap kamu.” (Luk. 6:28). Naskah yang paralel dengan itu, yaitu Matius 5:44, menunjukkan bahwa yang dimaksudkan Yesus ialah memang sikap hati kita: ”Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Hal yang sama dianjurkan oleh para rasul kepadajemaat-jemaat. Roma 12: 14 berbunyi: ”Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” Sikap hidup yang sama itu disarankan juga oleh Paulus kepada jemaat di Korintus, sambil menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh: ”Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah” (1Kor. 4: 12,13).

Contoh yang paling jelas mengenai hal itu telah diberikan oleh Kristus sendiri. ”Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkan diri-Nya kepada Dia yang menghakimi dengan adil” (1Ptr. 2: 23). Dia, yang di atas kayu salib bahkan masih berdoa bagi musuh-musuh-Nya, ialah norma dan sumber kuasa kita. Dari situlah kita dapat menimba kekuatan apabila kita sendiri dianiaya. Sebab itu Petrus dapat menyarankan sikap yang sama kepada jemaat: ”Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.” (1Ptr. 3: 9).

Barang siapa menyadari apa artinya untuk mendapat bagian dari warisan Allah, dengan lain kata, bagian dari berkat yang berisi ”disertai oleh Allah”, tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan mengikuti teladan Kristus, supaya makin banyak orang akan juga mewarisi berkat itu.

Pada akhirnya, pembagian berkat itu sendiri tidak diputuskan dan dikuasai oleh manusia. Bahkan juga tidak oleh Kristus, ketika Dia berdoa untuk para penganiaya-Nya. Hanya TUHAN Allah sendiri berkuasa atas berkat-Nya. Demikianlah titik tolak garis-garis utama alkitabiah ini tetap berlaku sepenuhnya, juga pada perintah untuk saling memberkati: Berkat itu sepenuhnya terletak di tangan Allah.

Berkat keuangan: kolekte untuk Yerusalem

Secara sangat konkret, buah berkat Allah dapat terungkap dalam bantuan keuangan bagi saudara-saudari seiman yang berkekurangan. Pemberian seperti itu bahkan dapat disebut dengan singkat ”berkat”. Hal seperti itu terjadi dalam 2 Korintus 9: 5 dan seterusnya. TB dan BIMK menerjemahkannya sebagai ”pemberian”. Padahal kata aslinya ialah eulogia, yaitu ”berkat”. Jemaat di Korintus memberkati jemaat di Yerusalem. Bagaimana tepatnya mereka melakukannya? Caranya ialah begini, setiap minggu mereka mengumpulkan sejumlah uang sebagai kolekte, dan beberapa waktu kemudian, uang itu mereka kirimkan.

Sehubungan dengan itu, Paulus mengatakan, ”Camkanlah ini:

Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak (berkat-berkat), akan menuai banyak (berkat-berkat) juga”.

Sekali lagi tampak jelas bahwa pada kata memberkati, kita tidak dapat hanya memikirkan satu macam perbuatan saja. Tergantung dari konteks di mana kata itu dipakai, maka pengertiannya mendapat warna dan makna yang berbeda-beda.

3. Berkat pada masa kita

Sesudah garis-garis utama alkitabiah ini, timbul lagi pertanyaan berikut: apakah arti dan tempat berkat dalam kehidupan iman kita pada zaman ini? Dengan cara manakah kita sekarang boleh menerima dan memberikan berkat?

Kita menerima berkat Allah dalam ibadah gereja. Yang perlu diingat ialah bahwa jangan sampai kita meremehkan makna berkat itu. Sebab itu saya hendak mulai dengan pokok itu.

Selanjutnya akan dibahas pertanyaan apakah kita dapat juga saling memberkati di luar ibadah gereja.

Berkat di dalam ibadah gereja

Pada awal ibadah gereja, jemaat Kristus menerima salam pemberkatan, seperti yang kita jumpai pada awal banyak surat dalam Perjanjian Baru. Pada akhir ibadah itu, jemaat menerima berkat. Hal itu mirip dengan kebaktian-kebaktian di rumah ibadat Yahudi pada zaman dahulu sampai sekarang. Liturgi Yahudi itu merupakan akar dari liturgi Kristen kita.

Kita tidak tahu kapan tepatnya kata-kata berkat imamat juga diucapkan oleh para pelayan Firman di dalam jemaat Kristen.

Kenyataan bahwa hanya pelayan yang memimpin ibadah mengucapkan berkat itu, berhubungan dengan pendapat mengenai jabatan-jabatan gerejawi yang telah dikembangkan dalam abad-abad pertama gereja Kristen.

Alkitab sendiri memberi beberapa petunjuk jelas mengenai hal itu. Perbedaan besar antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru timbul dari kenyataan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah penggenapan yang sempurna dari segala apa yang harus dilakukan oleh para imam, para raja dan para nabi dalam Perjanjian Lama. Sebab itu, struktur jabatan dalam jemaat Kristen tidak mungkin sama lagi dengan strukturnya dalam Perjanjian Lama. Banyak unsur jabatan Perjanjian Lama dapat dikenakan pada setiap orang percaya. Siapa yang oleh iman terikat erat dengan Kristus, mulai mencerminkan sifat-sifat-Nya sebagai imam, nabi, dan raja. Itulah kekayaan gereja sesudah Pentakosta.

Demikianlah dalam Perjanjian Baru menjadi tampak lagi sesuatu dari tempat yang dimaksudkan Allah bagi semua manusia sejak penciptaan. Maksud Allah ialah bahwa mereka akan melayani Dia sebagai imam, memuji-muji nama-Nya sebagai nabi, dan mewakili Dia sebagai wakil Raja di bumi ciptaan-Nya ini (bdk. Kis. 2: 17 dst.; Rm. 12: 1; 1Ptr. 2: 9; Why. 22: 5).

Meskipun begitu, hal itu tidak menghapus kenyataan bahwa sejak awal dalam jemaat Kristen telah diangkat lagi pejabat-pejabat khusus untuk melengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan (Ef. 4:12). Para pemangku jabatan itu mendapat tugas untuk menggalakkan kehidupan dengan Tuhan, juga untuk mengkoordinasinya, memeliharanya dan membangunnya. Dengan demikian mereka memberi bimbingan rohani. Dan mereka dapat juga ditegur mengenai pelaksanaan tugas itu. Mereka bertanggung jawab untuk menggembalakan kawanan dan berjaga-jaga agar kawanan itu jangan disesatkan oleh ajaran-ajaran palsu (Kis. 20: 28-30). Salah satu jalan untuk itu ialah menjelaskan isi Kitab Suci dan menerapkannya (mis. 2Tim. 3: 14-16). Para tua-tua yang mengkhususkan diri untuk melakukan pekerjaan itu, harus memikul tanggung jawab ganda, yang juga disertai dengan bentuk wewenang tertentu. Wewenang itu tidak lahir dari mutu-mutu pribadi, melainkan diilhamkan oleh tugas khusus yang mereka emban untuk menjelaskan dan menerapkan firman Allah (bdk. mis. Ef. 4: 11-16; 1Tes. 5: 12,13; 1Tim. 5: 17-19;

Ibr. 13: 7; 1Ptr. 5: 1-5). Karena pekerjaan mereka, maka mereka dekat dengan firman Allah dan sesuai dengan itu, mereka juga dianggap bertanggung jawab atas penyampaian Firman itu.

Sejumlah unsur dari tanggungjawab khusus itu (yang dipikul oleh para imam dan nabi dalam Perjanjian Lama) kembali lagi dalam pekerjaan mereka.

Dari data-data alkitabiah itu sudah kelihatan bahwa ada berbagai doa-berkat, masing-masing dengan muatan dan makna yang berbeda-beda. Jelas juga bahwa kata-kata berkat imamat dalam Bilangan 6 sejak dahulu selalu memiliki tempat yang penting dalam ibadah umat Allah. Berkat itu hanya boleh diucapkan oleh para pemangku jabatan yang diangkat oleh Allah, dan hanya dalam hubungan erat dengan keseluruhan ibadah, di mana upacara penghapusan dosa mempunyai makna yang sangat penting.

Maka sesuai dengan itulah, gereja dapat menugaskan para gembala jemaat dalam Perjanjian Baru untuk mengucapkan berkat imamat itu pada akhir ibadah setelah Firman penghapusan dosa diberitakan. Sejak dahulu kala, Allah telah menghubungkan janji-Nya mengenai berkat-Nya dengan ibadah pendamaian itu.

Sejak dahulu kala pula, kata-kata berkat itu disertai dengan gerakan tangan. Hal itu sudah dilakukan dari permulaan yang paling awal, ketika Harun memberkati umat dalam Imamat 9: 22.

Dia melakukannya dengan mengangkat kedua tangannya, sebagai penumpangan tangan yang berlaku bagi seluruh bangsa Israel.

Jadi, gereja mengikuti sepenuhnya garis alkitabiah, apabila berkat imamat dan berkat rasuli (2Kor. 13: 13) dibekalkan kepada jemaat pada akhir kebaktian gereja, disertai jaminan akan janji Allah, yaitu, sama pastinya seperti kedua tangan pelayan Firman ditumpangkan ke atas seluruh jemaat, begitu pasti juga janji berkat Allah berlaku bagi para hadirin.

Pendeta dan penatua

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah pemberian berkat pada akhir ibadah gereja hanya boleh dilakukan seorang pendeta yang melayani firman Allah. Pernah diadakan diskusi dalam gereja tentang pertanyaan apakah seorang penatua boleh memberkati jemaat dengan cara yang sama. Alasan yang utama mengapa pemberkatan dilakukan ialah janji Allah, yang berhubungan dengan ibadah penghapusan dosa. Jadi, pemberkatan itu tidak tergantung dari pribadi sang pelayan Firman.

Mengingat bahwa juga dalam kebaktian yang dipimpin seorang penatua, jemaat Tuhan bersekutu di sekeliling firman Allah, dan ibadah penghapusan dosa hadir sepenuhnya, maka juga seorang penatua boleh mengucapkan berkat Allah sepenuhnya.

Menghayati berkat ibadah

Semakin ibadah gereja menjadi pusat kehidupan kita, semakin pula kita akan merasakan secara konkret bahwa berkat Tuhan menjadikan hidup kita penuh arti. Dalam ibadah kita diberi makan oleh firman Allah, oleh Yesus Kristus sendiri. Dengan cara itu aku mulai menyadari apa artinya bahwa Allah mau menjadi Allahku.

Kesadaran itu merupakan inti untuk mengalami berkat seperti yang dimaksudkan Alkitab.

Kalau kita benar-benar menghayatinya, maka kita melihat apa artinya hidup di bawah berkat TUHAN. Dengan cara itu kita dapat mengenali berkat itu dalam hidup kita sehari-hari. Pertama-tama kita memikirkan keterikatan rohani kita dengan Yesus Kristus, memikirkan pendamaian hidup kita dengan Allah dan memikirkan janji-janji Allah untuk masa depan. Namun, kita menghayati juga bahwa dalam hidup kita ditunjukkan arah berdasarkan Firman yang mulai terbuka di dalam persekutuan jemaat. Dengan demikian kita dapat mengalami secara konkret apa artinya bahwa Dia meluruskan jalan kita, kalau kita memberitahu semua perbuatan kita kepada-Nya. Dan seperti kadang-kadang juga terjadi dalam firman Allah, kita dapat menikmati materi sebagai berkat. Namun, kita sekaligus menyadari bahwa hal ini juga mengandung bahaya yang besar dan dapat menjadi kutukan. Kalau seluruh hidup kita tidak dihubungkan erat-erat dengan Allah, maka segala kekayaan rohani dan jasmani akan merosot menjadi kutukan. Apabila seluruh kehidupan dialami bersama dengan Tuhan, kita akan melihat berkat Tuhan di dalam kekayaan dan kemiskinan, dalam kesehatan dan penyakit, karena di dalam semua itu, Dia ada bersama aku.

Dia selalu ”Immanuel”, cuma kata itu saja mengandung inti pusat berkat Allah. Untuk itu kita harus selalu berpaling kembali kepada pusat dari mana datangnya segala berkat itu dan kembali menyadari dampaknya bagi kita.

Kalau kita mengalami berkat Allah dengan cara begitu, maka berkat itu tidak pernah menjadi kekuasaan yang bisa kita pakai semaunya. Dan yang pasti tidak benar juga ialah pendapat bahwa berkat Allah hanya dapat dilihat secara langsung di dalam hal-hal yang positif.

Berkat itu memberi kepada kita sebuah janji, tetapi juga dengan jelas mengajukan pertanyaan kepada kita, apakah TUHAN yang berkuasa atas berkat-Nya, benar-benar adalah pusat hidup kita?

Apakah kita memberi tempat kepada-Nya di pusat kehidupan kita? Untuk menjawab pertanyaan itu, maka kita harus bertahan membuka terus-menerus firman Allah, bersama-sama dengan jemaat, dan memasang telinga kita pada pelayanan pendamaian di dalam ibadah.

Saling memberkati?

Apakah orang-orang percaya boleh saling memberkati? Sesudah kita mempelajari data-data alkitabiah, jawabannya bisa sangat sederhana: hal itu tergantung dari isi dan caranya seorang ingin memahami berkat itu.

Kalau orang-orang saling memberkati seperti Boas memberkati para penyabit bawahannya (”TUHAN kiranya menyertai kamu”), dan seperti mereka memberkati dia kembali (”TUHAN kiranya memberkati tuan”, Rut 2: 4), hal itu memberi arti yang sangat dalam pada salam yang kita berikan seorang kepada yang lain; sebab isinya melekat kepada arti berkat yang dilukiskan di dalam Alkitab. Itulah dasarnya.

Orang percaya yang terikat dengan Kristus, boleh juga maju selangkah lagi. Seperti orang-orang dalam Perjanjian Lama saling mendoakan supaya diberkati TUHAN dari Sion (Mzm. 128: 5), begitu juga dalam Perjanjian Baru orang-orang percaya saling mendoakan supaya mendapat berkat yang melalui Kristus datang kepada manusia. Kita yakin bahwa orang-orang dalam jemaat Kristen yang mula-mula, saling menyalami dengan cara seperti itu.

Pada akhir surat-surat mereka, para rasul menghubungkan banyak arti pada pemberian salam, yang dapat berbentuk sebagai ucapan berkat, misalnya ”anugerah menyertai kamu” dan lain sebagainya.

Ketika para anggota jemaat disarankan supaya saling menyalami, maka pastilah kata-kata seperti itulah yang terdengar.Kadang-Kadang salam seperti itu dapat disertai dengan suatu gerakan, misalnya ”ciuman kudus” (2Kor. 13: 12).

Gerakan seperti penumpangan tangan tidak disebut dalam hubungan ini. Hal itu hanya diperuntukkan bagi doa berkat yang bersifat lebih khusus. Dua kali Paulus menunjuk kepada cara Timotius ditahbiskan sebagai hamba Tuhan. Hal itu disertai penumpangan tangan antara lain juga oleh Paulus (1Tim. 4: 14; 2Tim. 1: 6).

Dalam agama Yahudi sering dijumpai gerakan seperti menumpangkan tangan. Gerakan itu mengungkapkan kemauan untuk mengalihkan sesuatu kepada orang lain, dan membuat keakrabannya terasa. Dengan cara itu para orang tua Yahudi, pada waktu malam sebelum hari Sabat, memberkati anak-anak mereka, yaitu dengan menumpangkan tangan di atas kepala anak-anak itu. Sungguh menarik untuk mendengar bunyi perumusan berkat itu. Bentuknya seperti doa, sama dengan kata-kata berkat yang kita jumpai dalam Alkitab.

Bagi seorang anak laki-laki berkat itu berbunyi: ”Allah kiranya membuat engkau seperti Efraim dan Manasye”. Hal itu mengacu kepada kata-kata nubuat dalam Kejadian 48: 20, di mana dikatakan bahwa pada masa depan Israel akan memberkati dengan mengucapkan kata-kata itu. Bagi anak perempuan perumusannya disesuaikan seperti berikut: ”Allah kiranya membuat engkau seperti Sara, Ribka, Rahel dan Lea”.

Entah apakah gerakan penumpangan tangan itu sangat dihargai atau tidak, yang jelas ialah bahwa semua bentuk berkat yang telah disebut itu, artinya tidak lebih atau kurang daripada penyampaian harapan atau doa agar Tuhan menurunkan berkat yang hanya dapat diberikan oleh-Nya. Arti itu berlaku untuk Alkitab, dan juga berlaku untuk agama Yahudi. Bagi kita pada zaman ini, tidak lain: itulah artinya. Berkat itu memperoleh makna dan isinya dari janji Allah. Tidak mungkin sebuah janji menjadi tergantung dari sebuah ucapan berkat, malahan sebaliknya yang benar: ucapan berkat itu hanya berfungsi jika berdasarkan sebuah janji. Pekerjaan Allah tidak tergantung dari perbuatan manusia. Mustahillah yang sebaliknya.

Aku memberkati engkau dengan....

Dalam terang semuanya ini, timbullah berbagai pertanyaan penting yang menyangkut cara yang ditemukan pada zaman ini tentang memberi berkat. Seandainya kita memberkati sesama dengan bentuk sebuah janji yang konkret, maka kita membangkitkan pengharapan yang sangat besar kepada dia. Kita tahu dan pernah mengalami bahwa juga pada zaman ini Tuhan dapat melakukan mukjizat dan mau memenuhi harapan-harapan yang konkret.

Namun, Alkitab tidak memberikan alasan untuk menimbulkan secara aktif harapan-harapan seperti itu, seakan-akan kita ini berhak untuk saling memberkati dengan sebuah janji apa saja isinya.

Bentuk-bentuk seperti ”aku memberkati engkau dengan kasih Allah” atau ucapan semacam itu, tidak dijumpai di dalam Alkitab.

Dalam arti itu, maka tindakan yang bijaksana ialah untuk merelatifkan dengan kuat kebiasaan ”memberkati” itu, kalau tidak berhubungan dengan tugas yang jelas-jelas dari Allah. Orang yang memberkati, tidak melakukan lebih daripada orang yang berdoa supaya berkat Allah turun dan berharap supaya orang lain menerimanya. Bentuk yang cocok dalam hal itu ialah: kiranya Tuhan memberkati engkau. Allah sendiri yang adalah subjek pemberkatan. Dialah yang berkuasa atas berkat-Nya.

Suatu gagasan yang sungguh amat keliru ialah apabila seorang berpikir bahwa dia dapat menentukan pemberian berkat itu. Hal itu bukan hanya keliru sehubungan dengan berkat itu, tetapi dapat juga mengakibatkan rusaknya hubungan seorang dengan yang lain. Kalau seorang ayah setiap hari memberkati anaknya, maka dia dapat mempengaruhi anaknya dengan kuasa rohani, yang jauh melampaui hubungan antara anak dan orang tuanya seperti yang dianjurkan dalam Efesus 6. Ada kemungkinan bahwa si anak merasa tergantung secara rohani dari ayahnya, sehingga timbul bahaya bahwa dia dapat dimanipulasi oleh sang ayah.

Apabila perumusan itu berbunyi: aku memberkati engkau dengan..., maka secara formal pengungkapan itu menunjukkan kuasa untuk memberkati, dan bukan doa supaya diberkati.

Berkaitan dengan isinya, hal itu tidak cocok dengan garis yang digambarkan berdasarkan Alkitab. Dan kalau selanjutnya melalui penumpangan tangan itu dibangkitkan sugesti, bahwa via gerakan itu benar-benar terjadi pengalihan kekuatan, maka batas dengan dunia manipulasi sihir telah dilanggar dengan cara yang tidak alkitabiah.

Cara berpikir seperti itu menempatkan berkat dalam kerangka pengalaman iman yang berbau sihir, yang benar-benar bertentangan dengan makna berkat, seperti yang dibicarakan oleh firman Allah. Dalam agama-agama di sekitar Israel, sebuah kata berkat atau kata kutukan dapat memberi pengaruh sebagai kuasa sihir atau perbuatan suangi. Namun, di dalam relasi dengan Tuhan lain sekali berkat itu: umat-Nya tidak menyerahkan diri kepada tangan manusia, melainkan kepada tangan Allah.

Meskipun semuanya itu, orang percaya mengalihkan berkat

Menurut Perjanjian Baru, cara paling benar yang boleh dipakai orang percaya untuk menyampaikan berkat Allah kepada orang lain, harus dicari dalam sikap hidup kita yang tampak secara konkret terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita hanya dapat menyampaikan berkat Allah, kalau kita sendiri terlebih dahulu menimba dari sumber berkat itu. Hal itu akan tampak dalam cara kita menyikapi masa-masa yang baik maupun yang tidak baik, cara kita bergaul dengan karunia-karunia maupunkekurangan-kekurangan. Berkat Allah tidak hanya terlihat dalam masa-masa yang mujur; kalau demikian halnya, maka itu memberi gambaran yang keliru tentang kehidupan dengan Allah. Yang penting ialah: kita harus menunjukkan bahwa kekuatan hidup kita tidak terletak dalam kehebatan kita, melainkan dalam anugerah yang semakin kita rasakan di dalam kelemahan. Makna berkat Allah juga terlihat jelas dalam cara kita menyikapi kesalahan. Berkat itu tidak membuat kita manusia yang berbeda, melainkan manusia dengan perspektif yang berbeda. Dengan demikian kita bahkan dapat ”memberkati” orang-orang yang tidak mengerti tentang apa yang menggerakkan hati kita.

Itulah hal pertama yang ditunjukkan oleh Alkitab, apabila kita berbicara tentang penyampaian berkat dan dampaknya di lingkungan kita.

Selain itu kita dapat juga menjadi berkat bagi orang lain dalam jemaat, dengan berdoa supaya berkat Allah turun, dan dengan mengarahkan orang itu supaya mereka mengharapkan berkat itu. Dan dalam hubungan dengan pelayanan pendamaian dalam ibadah Minggu, kita dapat mengungkapkan keinginan untuk menjadi berkat untuk sesama kita, dengan menyampaikan berkat itu atas nama Allah, dengan cara yang kasat mata. Asal pada saat itu kita sadar betul bahwa berkat itu bukan tambahan pada apa yang telah dijanjikan Allah, melainkan suatu pengarahan pada janji itu, dan penjabaran dari janji Allah itu.

# 4. Kesimpulan

Jadi, makna berkat pada masa kini tergantung dari janji Allah.

Berkat itu tidak mungkin melangkah lebih jauh daripada apa yang telah dijanjikan Allah. Melalui berkat yang atas nama Allah boleh diberikan dalam kerangka ibadah penghapusan dosa, janji Allah digarisbawahi, yaitu janji bahwa Dia berkenan menjadi Allah kita. Melalui gerakan penumpangan tangan (pengangkatan tangan), janji itu juga didekatkan secara kasat mata. Di dalam berkat itu kita berdoa supaya Allah menggenapi janji-Nya, dan sekaligus jemaat diyakinkan bahwa Allah pasti akan menggenapinya. Sebab itu dalam ibadah gereja, jemaat selalu diminta untuk menerima berkat itu dengan hati yang penuh iman (misalnya dengan kata Hadapkan hatimu sekarang kepada Allah), dan pemberian keyakinan itu juga disertai dengan gerakan pengangkatan tangan untuk memperlihatkan akta memberkati. Juga di luar ibadah gereja, berkat itu dapat mempunyai makna.

Orang-orang percaya boleh saling menunjuk pada janji Allah dan saling meyakinkan tentang penggenapannya. Dalam kenyataannya, hal itu terjadi kalau seorang misalnya menerima sebuah kartu selamat, di mana dia dirujuk pada janji Allah yang penuh berkat itu, dan di mana tertulis bahwa ada orang yang berdoa untuk dia. Kekayaan yang luar biasa itu dapat diringkas dengan singkat dalam salamkata-kata: Tuhan memberkati! Dengan merujuk kepada berkat Allah, kita saling menunjuk kepada Allah sendiri yang memberkati. Dan itulah yang menjadi pokok. Hanya Dia yang boleh memberikan berkat-Nya.

Apabila garis alkitabiah ini tidak dihayati dengan baik, timbul bahaya yang nyata bahwa sebuah tindakan memberkati yang tersendiri, dapat dipahami sebagai semacam tindakan magis, yang hasilnya kebalikannya dari apa yang dimaksudkan oleh berkat Allah. Secara langsung atau tidak langsung orang-orang dapat dikesankan bahwa mereka tergantung dari tangan manusia.

Akibatnya buruk: melaluinya mereka dipisahkan dari kepercayaan sepenuhnya pada tangan Allah, dan pada janji Allah yang sudah cukup bagi seluruh hidup kita.

Untuk janji itu, yang secara sangat mendalam diringkas dengan kata-kata ”Aku akan menjadi Allahmu”, kita boleh memuliakan Allah. Justru di dalam puji-pujian memuliakan Allah itu, berkat-Nya dapat dialami dengan setinggi-tingginya. Dengan demikian Allah diberkati kita karena berkat-Nya.

Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas

1. Dapatkah Anda mengatakan dalam satu kalimat apa makna berkat Allah bagi Anda? Bahaslah perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di antara jawaban-jawabannya.
2. Dapatkah kita ”mengklaim” berkat Allah, dengan jalan menyampaikannya dengan suatu cara tertentu kepada orang lain? Bahaslah dalam hubungan ini perbedaan dalam perumusan antara: ”Aku memberkati engkau dengan kasih Allah” dan ”Kiranya Tuhan memberkati engkau”.
3. Dapatkah kita merasakan adanya perbedaan antara berkat pada akhir ibadah gereja dan berkat yang secara langsung diucapkan orang terhadap Anda? Kalau kita merasakan perbedaan itu, dapatkah kita menunjukkan di mana letaknya perbedaan itu? Dan dampaknya?
4. Apakah menurut Anda hubungan antara berkat Allah yang boleh kita terima, dan berkat yang boleh kita ucapkan untuk memberkati Allah?

Drs. M.C. Mulder (1960) adalah pendeta Gereja Gereformeerd Kristen di Belanda.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk ten Brinke, J.W. Maris, dkk.
  3. ISBN:
    978-602-0904-42-9
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak, 2004
  5. Penerbit:
    Literatur Perkantas