1 Judul lengkap: J.A. Boersema, Huwelijksbetalingen. Een antropologischethisch onderzoek naar de bruidsprijs op Oost-Sumba, Zoetermeer 1997.
2 Awal-mula sejarah gereja-gereja yang bercorak Reformed di Sumba adalah pekabaran Injil yang dilakukan oleh Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereeniging (1881-1884) dan Christelijke Gereformeerde Kerk (1884-1892), kemudian oleh Gereformeerde Kerken in Nederland (1892-1947, dst). Dari karya pekabaran Injil ini lahir beberapa gereja yang terbesar, di antaranya adalah Gereja Kristen Sumba, yang dapat dicirikan sebagai gereja rakyat. Anggotanya berjumlah sekitar 175.000 jiwa, ataukira-kira sepertiga penduduk Pulau Sumba. Pada akhir 1930-an Zending GKN di Sumba mengalami keretakan, akibatnya lahirlah dua gereja lain, yaitu Gereja-gereja Bebas Sumba Timur (sekitar 2.000 jiwa) dan Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia (GGRI) di NTT, dengan jumlah warga sekitar 5.500 jiwa. Wilayah GGRI NTT ini meliputi Sumba-Timur, Pulau Sabu, kota Kupang (Timor). Pada tahun 1979-1988, penulis mengemban tugas dosen utusan untuk GGRI NTT di Pulau Sumba, dan sejak tahun 2004 ia menjadi dosen terbang (paruh waktu).
3 Jack Goody dan S.J. Tambiah, Bridewealth and dowry, 1973, hlm 1, 16; John L. Comaroff, ”Introduction”, dalam The meaning of marriage payments, 1980, hlm 1-47.
4 Jack Goody, The development of the family and marriage in Europe, 1983, hlm 19, 20.
7 Bnd Julia Ballot, Heiratstransaktionen in Afrika südlich der Sahara, 1985, hlm 528-535.
8 A. de Ruijter, Een speurtocht naar het denken, 1979. Bahkan diuraikan bahwa struktur-struktur yang mendasari pemikiran kita merupakan bagian dari kondisi hidup manusiawi yang fisis dan khimis. Prinsip pemikiran yang penting adalah polaritas (perlawanan) dan resiprositas (ketimbalbalikan). Demi kian juga dikatakannya dalam karyanya Break down or breakthrough, 1987.
9 F.A.E. van Wouden, Sociale structuurtypen in de Groote Oost, 1935. Pada tahun 1968 diterbitkan terjemahan dalam bahasa Inggris dan bebera pa tahun lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ungkap an “konnubium asimetris” merupakan ungkapan pent ing. Konnubium berarti sebuah relasi tetap antara dua atau lebih suku. Simetris berarti bahwa dua suku berhubungan melalui perkawinan timbal balik; pertukaran antara laki-laki dan perempuan yang bersaudara diperbolehkan. Di Indonesia Timur ditemukan sistem asimetris, yang tidak mengenal pertukaran langsung. Dibutuhkan satu suku ketiga, yang menerima perempuan dari yang pertama dan memberikannya kepada yang kedua (untuk terjemahan-terjemahan, lih Daftar referensi).
10 H.F. Vermeulen, P.E. de Josselin de Jong and the Leiden tradition, 1987, hlm 33.
11 James J. Fox (ed.), The flow of life, 1980.
12 H.F. Vermeulen, o.c.; S.A. Niessen, Motifs of life in Toba-Batak texts and textiles, 1985, hlm 1, 3.
13 Bnd Niessen, o.c., hlm 1, 3.
14 Reimar Schefold, The unequal brothers-in-law, 1986, hlm 69-86.
15 S.J. Tambiah, Dowry and Bridewealth and the Property Rights of Women in South Asia, 1973, hlm 59-169.
16 D.H. Rheubottom, Dowry and Wedding Celebrations in Yugoslav Mace donia, 1980.
17 Adam Kuper, Wives for cattle, 1982.18 Goody, Bridewealth and Dowry in Africa and Eurasia, 1973.
19 Mary de Haas, Is there anything more to say about lobolo? 1987.20 Goody, o.c.,hlm 7.
21 Denise O’Brien, Weibliche Ehemänner in Südbantu-Gesellschaften, 1985.
22 Kuper, o.c., ps 9.
23 Goody, o.c., hlm 5.
24 R.H. Barnes, Marriage, Exchange and the Meaning of Corporations in Eastern Indonesia, 1980.
25 Reimar Schefold, The meaningful transformation, 1989; J.D.M. Platen kamp,
26 Reimar Schefold, Der Segen der Braut, 1985; Reimar Schefold, Lia.
27 F.C. Kamma, Dit wonderlijke werk, II (terjemahan: Ajaib di mata kita), F.C. Kamma, De Messiaanse Korèri-bewegingen (translation: Koreri, Messianic Move ments in The Biak-Numfor Area.
28 Niessen, o.c.
29 L. Onvlee, Cultuur als antwoord, 1973, hlm 138.
30 Niessen, o.c., 109. Studi Kasus Pastoral, I, 1985, hlm 28-30.
31 Schefold, Der Segen der Braut, hlm 494, 496.
32 Begitu juga D. Geirnaert-Martin, The woven land of Laboya, 1992, hlm xxii. Niessen mengutip M. Adams, yang meneliti tenunan-tenunan Sumba Timur dan berkesimpulan bahwa proses penenunan kain diban dingkan dengan masa hidup seorang manusia, Niessen, o.c., hlm 232. Kesimpulan yang sama diambil oleh Geirnaert tentang Laboya (Sumba Barat), o.c., hlm 23.
33 Bahasa-bahasa Papua dan Halmahera Utara tidak termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, yang mencakup bahasa-bahasa Melayu di Indonesia dan bahasa Polinesia di Lautan Pasifik. Robert A. Blust, De taalkundige bestudering van Indonesië, 1985, hlm 23-49.
34 Platenkamp, o.c.
35 A. Hueting, Geschiedenis der zending op het eiland Halmaheira.
36 D. Geirnaert, The woven land of Laboya, 409. Tetapi, dalam hal tersebut Geirnaert tidak tegas.
37 Van Wouden, Locale groepen en dubbele afstamming in Kodi, 1956.
38 Nico L. Kana, Dunia orang Sawu, hlm 127-128.
39 Kana berkata bahwa pembagian sesuai dengan hubi tidak mengakibatkan perbedaan kasta seperti di Bali, o.c., hlm 123.
40 Onvlee, Mannelijk en vrouwelijk in de sociale organisatie van Soemba, 1980: Van Wouden, 1935, beranggapan bahwa mungkin saja keduanya eksogam, tetapi J.P.B. de Josselin de Jong pada waktu itu telah menolak pandangan itu.
41 Bnd James J. Fox (ed.), The flow of life, 1980. Fox bukan penganut strukturalisme, dan juga tidak berkehendak menafsir tiap budaya di IndonesiaTimur menurut pola yang sama. Hanya, di dalam tiap per bedaan itu tampaklah “the flow of life”, sekalipun bukan dalam arti fisik, seperti yang dinyatakan oleh A.C. Kruyt, Het animisme in den Indischen Archipel, 1906. Praduga tentang sesuatu zat kehidupan yang diteruskan secara fisik telah dilawan oleh J. van Baal, dalam Symbols for communication, 1971, hlm 71-75.
42 D.H. Doko dalam laporannya ke panitia peneliti adat GGRI 1989, hlm 5.
43 Informasi lisan dari Pdt. D.H. Doko.
44 Kana, o.c., hlm 49, 51.
45 Goody, The development of the family and marriage in Europe, 1983, hlm 35, 36.
46 Kamma, Dit wonderlijke werk, II, 1976, hlm 469.
47 Kamma, De Messiaanse Korèri-bewegingen, hlm 281.
51 Roel Kuipers, Huwelijk in Melanesië, 1994, membahas Pedoman ajaran Alkitab tentang perkawinan. G.G.R.I. (Papua).
52 Studi Kasus Pastoral, I, hlm 52-69.53 James Haire, The character and theological struggle of the church in Halmaheira, 1981, hlm 228 (terjemahan: Sifat dan Pergumulan Gereja di Halmahera),1941-1979, Jakarta.
54 Haire, o.c., hlm 62-63.
55 Hueting, o.c., hlm 282-291. Tentang zending yang tidak konsisten, lihat juga Platenkamp, o.c., hlm 252, dan 223-224.
56 F.D. Wellem, Injil dan Marapu, 1995.
57 Informasi lisan dari Pdt. D.H. Doko.
58 Pdt. D. Dida di Waingapu (Sumba), dari Gereja-gereja Bebas, dalam percakapan pada tahun 1983, menyebut dua masalah. Bagi anggota gereja asal Sumba, harta kawin (belis); bagi anggota gereja asal Sabu ritus ”pembungkus penghinaan”.
tersebut disebut dengan satu kata dalam la, sedangkan yia barangkali adalah ungkapan umum untuk sebuah hubungan keluarga, dan dapat diikat juga pada suku kata lain untuk menunjuk anggo ta keluarga lain. Bahkan, mungkin yia menunjuk ke satu sis tem bilateral, demikian juga layia.112 Menurut Forth, perkem bangan preskriptifsimetris ke preskriptif-asimetris di Anakalang dan Wanokaka di
1 Rodney Needham, Principles and Variations in the Structure of Sumbanese
2 Marian Klamer, Kambera, 1994, hlm 3, menyebut bahasa Kambera sebagai bahasa satu-satunya di Sumba Timur. Di Mangili dan Wajelu terdapat logat tersendiri. Di Sumba Barat orang dari Anakalang, Mam boru dan Wanukaka mengerti pembicaraan dalam bahasa Kambera, dan sebaliknya. Terdapat perbedaan besar dengan bahasa Wewewa dan Kodi di Sumba Barat. L. Onvlee, Enige opmerkingen aangaande Sumbase taal en literatuur, 1936, hlm 165.
3 Rodney Needham, o.c, 1980, hlm 35.
4 D. Geirnaert-Martin, The woven land of Laboya, 1992, hlm 13.
5 Umbu Hina Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, 1976, hlm 14; dan juga Masyarakat Sumba dan adat istiadatnya, 1976, hlm 14.
6 W. Keers, An anthropological survey of the Eastern little Sunda islands, 1948.
7 Gregory L. Forth, Rindi, 1981.
8 Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, 1976, hlm 83-174 membahas tentang Uma lulu. Selain buku-buku yang telah disebutkan, di terbitkannya juga Pamangu ndewa/perjamuan dewa, 1986. Dia turut terlibat dalam penerbitan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa
9 Onvlee, Kamberaas (Oost-Soembaas) Nederlands woordenboek, 1984.
10 Needham, Mamboru, 1987. Menyangkut ciri wilayah peralihan itulah studi Needham pada 1980, hlm 22-23, demikian dikatakan Onvlee, o.c., 1936, hlm 165.
11 Menyangkut bahasa maka Laboya merupakan satu kekecualian di Sumba Barat, Onvlee, o.c.,1936, 165; Geirnaert, o.c., hlm 2.
12 Janet Hoskins, The play of time, 1993.13 Taro Goh, Sumba bibliography, 1991. Goh melakukan penelitian lapangan di Kapunduk, Sumba bagian barat daya dan meninggal dunia pada tahun 1988.
14 Onvlee, De betekenis van vee en veebezit, 1952, hlm 16.
15 Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 13; Masyarakat Sumba, hlm 12-13.
16 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 21. Pada penggalian di Melolo ditemukan tempurung kepala dan tulang-belulang yang kelihatannya berasal dari sekelompok penduduk yang merupakan campuran ras ”Palae Melanesia” dan ras ”Melayu”, yang menurut Van Heekeren, sampai saat ini dapat ditemukan di kepulauan Indonesia, lebih ke arah Timur dan juga di Kaledonia Baru. Melihat benda-benda yang terdapat dalam makam itu maka penemuan itu dapat digolongkan ke dalam Zaman Perunggu, H.R. van Heekeren, The urn cemetery at Melolo, 1956. Hanya, pada tahun 1972 Van Heekeren menunjuk waktu terjadinya per abuan-perabuan tersebut ke Zaman Neolit (sekitar 1000 SM). dan tidak lagi ke Zaman Perunggu (sekitar 500 SM-1000 M), sesuai dengan karangan Hoskins, o.c, hlm 127.Tulang-Tulang itu ternyata dimakamkan ulang, dan baru pada saat yang tepat disimpan dalam perabuan yang bentuknya panjang tetapi sempit. Kapak batu, menurut Van Heekeren, sesuai dengan budaya Dongson dari Zaman Perunggu. Tempat perabuan itu letaknya di Melolo, dekat pantai, letaknya sama dengan kota Melolo sekarang, suatu tempat yang pada abad-abad terakhir ini dihuni oleh orang Sabu. Tempat orang Sumba asli, yaitu Paraingu Umalulu, letaknya di seberang sungai Melolo, ke arah pedalaman. Pemakaman tersebut bukanlah pemakaman orang Sabu, dan bukan juga dari orang Sumba di Paraingu Umalulu. Van Heekeren bersama C.A.R.D. Snell, yang telah meneliti tempurung kepala itu, berkesimpulan bahwa hasil penggalian di Melolo berasal dari satu bangsa keturunan bangsa Negro bercampur dengan Melayu. Orang Negro yang dimaksudkan ditemukan pada bangsa Palae-melanesia (atau Austro-melanesia). Kata H.J.T. Bijlmer, Een anthropologische exploratietocht naar Insulinde’s zui doosthoek, 1930, berdasarkan penelitian di Flores, Sumba dan Timor, adalah bahwa orang Sumba kini bercorak Melayu (proto-Melayu) dan hanya sedikit bercorak Melanesia, seperti kelompok-kelompok di Flores dan Timor. Bijlmer telah meneliti warna kulit, ciri rambut, dan bentuk tempurung kepala. Penelitiannya dilakukan di lembaga pemasyarakatan di Waingapu. Ia berpendapat bahwa seluruh penduduk Sumba terdiri dari satu suku bangsa.
17 Needham, o.c., 1987, hlm 20, 21; Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 16-17. D.K. Kolit, Pengaruh Majapahit atas kebudayaan Nusa Tenggara Timur (seri IPS, Kupang).
18 P.J. Lambooy, Sporen van oudere bevolking op Soemba, 1927 (Bekas-bekas penduduk asli di Sumba). Menurutnya, sebagian dari penduduk lama bukan datang melalui Tanjung Sasar, melainkan dari Timur. Ratu adalah penguasa yang berasal dari penduduk yang lama itu, sedangkan raja berasal dari pendatang yang kemudian. Masing-masing mempunyai kampung jiwa tersendiri. Hanya, pandangan itu tidak meyakinkan. Orang Sumba Timur menganggap kampung jiwa mereka terdapat di Masu, dekat Tana Rara. Di sana gong dibunyikan jika ada orang yang meninggal dunia, di mana saja di Sumba Timur. Di samping itu, mereka bercerita tentang nenek moyang yang mendarat di Tanjung Sasar. Mungkin pandangan Lambooy didukung oleh dongeng dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Di Lewa (Sumba Tengah) tidak disinggung tentang asal dari Bima atau Makassar. Seorang ibu yang sedang melahirkan meminta apakah jiwa anaknya boleh datang dari Endi Hambarai (Ende, Manggarai, di Flores), sama seperti ucapan perempuan Sabu. Tidak benar, kata Lambooy, bahwa orang Sabu kulitnya lebih hitam dan lebih bersifat Negrito daripada orang Sumba. Orang Sabu lebih menyerupai orang Hindustan, itu juga mereka katakan sendiri, Keers, o.c., hlm 135.
19 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 14.
20 Fox, To speak in pairs, 1988; 5 dari 10 karangan dipersembahkan kepada bahasa-bahasa Sumba.
21 Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 16.22 Dengan demikian dalam tiap paraingu terdapat lebih dari satu kabihu ratu. F.D. Wellem bahkan mengatakan bahwa idealnya tiap kabihu mempunyai ratu sendiri, Injil dan Marapu, 2004, hlm 50. Menurut infor masi yang kami dapat, hal itu tidak benar.
23 Needham, o.c., 1987, hlm 62.
24 Bahkan kadang-kadang ada dua, seperti di Umalulu: sebatang pohon pendek (lelaki) dan sebatang pohon panjang yang bercabang (wanita), tempat tempurung kepala digantung, Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 93.
25 D.K. Wielenga, De zending op Soemba, 1949, hlm 83, 126; dan Oemboe Dongga, 1928, hlm 56-71. Di sana dia menceritakan tentangperistiwa-peristiwa yang terjadi di Sumba Barat.
26 Geirnaert, o.c., hlm 30, 48, 142, 169, 263.
27 Hoskins, o.c., hlm 309, catatan kaki 3. Dengan mengutip dari dua sumbangan yang dikarangnya dalam Headhunting and the Social Imagination. Ritual War fare in Southeast Asia.
29 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 16.30 Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 107, 109, 118. 31 Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 148. Di sini juga letaknya Wai Marangu, pusat kegiatan gerejawi GGRI, yang dibangun sejak tahun 1980. Sejak dahulu lahan di sekitar tempat itu diduduki oleh suku bawahan, Parainabakal. Watuwaya disebut tuan tanah. Hanya, hak itu tidak dimiliki oleh secara pribadi tetapi dipegang oleh keempat kabihuratu, Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 25.
32 Kapita, Sumba di dalam jangkauan jaman, hlm 167.33 Selain dari Raja Pau, almarhum Pdt U. Nggandi Rawambaku juga ber asal dari Watu Pelitu.
34 Almarhum Pdt. L. Kondamara dan anaknya, almarhum Pdt. Mk.Ndj Watuwaya berasal dari kabihu Watuwaya. Menurut Pdt. U.Ngg. Rawambaku, ajaran Alkitab (Perjanjian Lama) bahwa raja tidak boleh menjadi imam seirama dengan adat Sumba. Watuwaya harus diikutsertakan pada transaksi tanah tapi tidak berkuasa mutlak dalam hal itu, lih Forth, o.c., hlm 5, 238-239.
35 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 122-123.36 Menurut Onvlee dan Kapita, ma dan ra merupakan awalan yang memperkuatkan artinya, sedangkan arti pu adalah: agung. Jadi, marapu berarti ”yang sangat agung”. Kata ”ratu” artinya hampir sama: awalan ra dengan kata tu, yaitu: yang dipertuan. Kapita: Masyarakat Sumba, hlm 87.
37 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 11.
38 Forth, Fashioned speech, full communication, 1988, hlm 130: ”... ritual language provides a rich source of material for the study of eastern Sumbanese symbolic thought, not least of all because parallellistic or, more generally, dyadic language coexists in this society with an elaborate system of dual symbolic classification which incorporates a dual istic cosmology”.
39 Kapita, Pamangu ndewa, hlm 138.40 Di Sumba Barat, Laboya, disebut mawo: Geirnaert, o.c., hlm 60, 64, 70-72, 85.
41 Kapita, Pamangu ndewa, hlm 132.
42 Janet Hoskins menulis Etiquette in Kodi spirit communication, 1988, hlm 30, dengan sub-judul ”The lips told to pronounce, the mouth told to speak”: ungkapan itu menunjuk ke marapu. Forth menunjukkan bahwa bahasa ritual menggunakan juga kajangu: seseorang tidak disebut secara langsung, tetapi diberi sebuah selimut, sebuah pengapanan, khususnya para dewa, a.w., 1988, hlm 135-137.
43 H. Lindiwara, di konferensi 1987.
44 Di konferensi dikutip ayat-ayat seperti Mzm 147:20; Mat 6:32; Ef 2:12 dengan maksud untuk menunjukkan perbedaan antara Allah dan berhala. Pembicara lain mengatakan bahwa bangsa-bangsa telah berdosa dalam hal tidak memuliakan Allah, sekalipun mereka mengenal-Nya, dengan mengutip Mzm 19; Yes 65:1-4; Rm 1:18-23.
45 Nooteboom, o.c., pasal XVI.
46 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 15.
47 Onvlee, Cultuur als antwoord, 1973, hlm 19, 138, 148. Pengalaman penulis adalah, bila pada masa paceklik orang kampung hendak menjual daging, mereka akan menawarkannya ke kampung Kristen, di mana adat tidak berlaku dan hukuman dari nenek moyang tidak perlu ditakuti.
48 Geirnaert, o.c., hlm 27, mengatakan bahwa binatang yang disembelih itu merupakan pembawa kabar antara yang mati dan yang hidup.
49 Forth, Rindi, hlm 75, kontra Wielenga yang mengatakan bahwa hanya manusialah yang dianggap mempunyai hamangu.
50 Onvlee, Grondrechten in verband met de structuur van een landschap, 1935, hlm 62 (hak tanah berhubungan dengan struktur kehidupan masyarakat dalam sebuah wilayah).
51 Kapita melukiskan beberapa cara pesta ini, dalam karangannya Pamangu ndewa (memberi makan kepada dewa),yaitu cara Melolo dan cara Mangili. Onvlee tinggal lama sekali di Sumba tetapi tidak pernah dapat menghadiri pesta itu, bnd. Onvlee, Kabisu-Marapu, 1969, hlm 105. Dengan alasan pesta itu memiliki nilai budaya, maka akhir-akhir ini pesta seperti itu diadakansekali-sekali.
56 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 32.57 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 31.58 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 36-37.59 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 45.60 Geirnaert, o.c., hlm 16, 18, 167, 210; J. Vel, The Uma-economy, 1994, hlm 79.
61 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 62.
62 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 114.
63 Vel, The Uma-economy, 1994, hlm 82 cacatan kaki 7.
64 Onvlee pernah mengatakan bahwa hendaknya gereja hanya melarang setiap perkawinan yang dalam pandangan masyarakat pun tidak dapat disetujui: Onvlee, Cultuur als ant woord, 1961, hlm 278.
65 Nooteboom, o.c., hoofdstuk xvi.
66 G.W. Locher, dengan mengutip P.E. de Josselin de Jong, dalam prakata terjemahan bahasa Inggris terhadap penelitian Van Wouden dari 1935, F.A.E. van Wouden, Types of social structure in Eastern Indonesia, 1968, hlm ix.
67 Fox, “Introduction”, in: The flow of life, hlm 5-6.; lih hlm 46, catatan kaki 103.
68 Onvlee, Mannelijk en vrouwelijk in de sociale organisatie van Soemba, 1980.
69 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 117-118.
70 Wielenga, De zending op Soemba, 1949, 52, 53.
71 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 147.72 Bahkan, menurut Geirnaert, kedua belah pihak memberikan hamba. Keluarga wanita menyerahkan hamba sebagai hadiah untuk rumah tangga baru, o.c., hlm 195, 241.
73 Uma Teba, dari kabihu Watu Pelitu di Umalulu, adalah keturunan hamba seorang perempuan yang berasal dari kabihu Teba di Wajelu, yang menikah dengan seorang maramba dari Watu Pelitu: Kapita, a.w., hlm 97.
74 Sesuai dengan keterangan B.N. Radjah.
75 Forth menekankan dualisme dalam pola berpikir orang Sumba, Forth, Time and temporal classification in Rindi, Eastern Sumba, 1983. Schefold menunjukkan prinsip-prinsip umum yang menentukan kenyataan-ke nyataan yang bermacam-macam itu. Seperti prinsip asimetris, yang muncul dalam pertentangan-pertentangan yang saling mengisi. Terdapat tiga oposisi: antara kedua kelompok dalam hubungan perkawinan, an tara tua dan muda dalam sebuah kelompok keturunan, dan antara autochton dan allochton: \Future tasks for cultural anthropology, dalam: Bijdragen, hlm 818.
76 Vel, The Uma-economy, 1994, hlm 81.
77 Geirnaert, o.c., hlm 193-197. Needham, Mamboru, hlm 119-125; Forth, Rindi, hlm 214-235. Forth menyinggung teori bahwa para hamba berasal dari penduduk asli, a.w., hlm 217.
78 Geirnaert, a.w., hlm 193. Di Laboya tidak ada yang disebut hamba, sedangkan di Sumba Timur, ada.
79 C.J.G. Holtzappel, Het verband tussen desa en rijksorganisatie in preko loniaal Java, 1986, hlm 59, 87 menerangkan bentuk-bentuk sosial seperti feodalisme dan pemerintahan patrimonial, sesuai dengan Max Weber, Wirtschaft und Gesellschaft, hlm 59, 87.
80 Elly Touwen-Bouwsma, Staat, Islam en lokale leiders in West-Madura, 1988, hlm 18, dalam hal itu mengutip R.M. Keesing, Kingroups and social structure, New York 1975.
81 Holtzappel, o.c., hlm 719.
82 Needham, Mamboru, hlm 93.
83 Needham, o.c., hlm 123.
84 Needham, o.c., hlm 94-98.85 Nooteboom, o.c.,hoofdstuk xviii.
86 Bnd Max Weber, Wirtschaft und Gesellschaft, 1956; Janet Hoskins: ”Both ascetism and the mystical concentration of power in a single center are alien to the Sumbanese symbolic world. In sharp contrast to the centralized Javanese polity, in Sumba those who legitimate power do not exercise it”, o.c., hlm 322.
90 Pandangan Forth menyangkut Rende berbeda, ia mengatakan bahwa para hamba tidak sepenuhnya terhisab di kabihu, o.c., hlm 216. Tetapi, keterangan Kapita sama dengan karangan Nooteboom dan Needham, o.c., hlm 94-96. Needham menunjukkan bahwa tingkat seseorang tidak tergantung pada kabihu, tetapi pada uma. Timbul pertanyaan apakah itu berlaku juga untuk hamba atau hanya menyangkut perbedaan tingkat antara bangsawan dan orang merdeka.
91 Forth, Rindi, hlm 221. Penilaian Forth terhadap karangan Needham mengenai Memboro sangat kritis, dalam Anthropos, 1989, hlm 303-306.
92 Forth, a.w., hlm 229.
93 Demikian keterangan B.N. Radjah.
94 Kapita, o.c., hlm 135.
95 Needham, Mamboru, hlm 154, Kapita tentang Sumba Timur dalam Masyarakat Sumba, hlm 41.
96 Informasi dikumpulkan oleh D.H. Doko untuk konferensi para pejabat gerejawi GGRI tahun 1987.
97 Keterangan lisan, dari Sumba-Timur, bnd Needham Mamboru, hlm 151.98 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 126.99 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 139-140.100 Begitu kata Nootebom, o.c., hlm xvi. Forth, o.c., hlm 235, menunjukkan kekeliruan Nooteboom. Vel, bersama E.W. Keane, berpendapat bahwa golongan tingkat terutama ditentukan oleh darah dan bahwa menurut orang Sumba darah dialirkan dari ibu, o.c., hlm 82. Dari penilaian Needham jelas bahwa untuk menentukan tingkat, kedua belah pihak sama-sama diperhatikan, Mamboru, hlm 154.
101 Keturunan matrilineal dari leluhur bangsawan yang perempuan terhisab pada duwu yang sama. Hanya, menurut Geirnaert duwu itu tak dapat dilihat sebagai kelompok matrilineal tertentu. Tetapi, duwu memang turut menentukan golongan tingkat seseorang, berbeda dengan kabihu atau uma, o.c., hlm 211-212. Hanya orang dari golongan atas mengenal duwu mereka, o.c., hlm214, sedangkan di Sabu hubi seseorang dikenal secara umum.
102 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 121-122
103 Bnd A.A. Yewangoe, Pendamaian, 1983, hlm 44.
104 P. Kloos, Culturele antropologie, 1976, hlm 70
105 Onvlee, Verwantschapsbetrekkingen, 1930, hlm 49. Begitu dalam Cultuur als antwoord, hlm 24.
106 Geirnaert, o.c., hlm 41.
107 Needham, Mamboru, hlm 188.
108 Needham, Circulating connubium in Eastern Sumba, 1957, hlm 168-178.
109 Forth in: Anthropos 1989, hlm 303-306. dengan mengutip disertasinya tentang Rindi, hlm 409.
110 Forth, From symmetry to asymmetry, 1990.
111 Forth, Rindi; Forth, From symmetry to asymmetry, Forth, Time and tem poral classification in Rindi, 1983.
112 Forth, ”Layia” (FZS, ZH, m.s.), 1985.
113 Seperti jelas sekali di Laboya, Geirnaert, o.c., hlm 206, 209.
114 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 114.
115 Needham, Principles and Variations in the Structure of Sumbanese Society, 1980.
123 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 128; Vel, The uma-economy, 1994, hlm 65.
124 Forth, o.c., hlm 362.
125 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 128.
126 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 62, 128.
127 Forth, o.c., hlm 368-373.
128 Geirnaert, o.c., hlm 185. Menurutnya, hal itu tampak dari pemberian yang berbeda itu: penerima perempuan menyerahkan daging, yang menunjukkan hidup baru sesudah penyucian, dan pemberi perempuan menyerahkan kain, yang menunjukkan kemampuan perempuan untuk mengaitkan dewa dan mawo guna memberikan keturunan, o.c., hlm 266-267. Kata orang Laboya, perempuan tahu menenun mawo, yaitu jiwa yang tidak berpribadi, bersama dengan dewa, jiwa yang berpribadi, sehingga dalam rahim tercipta hidup baru.
129 Geirnaert, o.c., hlm26. 130 Vel, o.c., hlm 11: ”The reason for the Lawondanese to prefer a mode of exchange in which transactions serve long term relations, is, that these relations are the best guarantee for the social security of the individual, and for the long term survival of the larger social unit to which he or she belongs”, o.c., hlm 52.
132 Vel, o.c., hlm 62-73. Juga dalam Tussen ruilen en rekenen. Agrarisch sociaal werk in de veranderende economie van Sumba, (Allerwegen 5), 1991 (artinya: antara menukar dan menghitung).
133 Wellem, Injil dan Marapu, 2004, hlm 66-75. Hanya, ia mengatakan, bahwa sesudah belis diberikan, perempuan itu dibawa ke rumah laki-laki, di mana pesta juga diadakan, o.c., hlm67. Hal itu tidak didukung oleh gambaran yang diberikannya. Apakah hal itu adalah praktik orang Sabu?
134 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 123-125.
135 Forth, o.c., hlm 374-394.
136 Dalam pembicaraan itu wunang menggunakan bahasa sastra. Keba nyakan wunang itu termasuk hamba, atauma, dari orang kaya. Forth pernah menunjukkan bahwa kata wunang juga berarti salah satu bagian alat tenun, Fashioned speech, full communication, 1987, hlm 145. Perkataan seakanakan ditenun, dijalin oleh kedua wunang yang mendekatkan kedua pihak. Mereka duduk di tengah, tamu-tamu di teras depan, dan tuan rumah di teras belakang.
137 Demikian juga Geirnaert: mamuli menggantikan kesuburan perempuan yang diberikan oleh keluarganya. Ada juga mamuli yang tetap tinggal di dalam rumah untuk merepresentasikan bapak ibu leluhur yang telah meninggal, o.c., hlm 260.
138 Informasi dari D.H. Doko.
139 Onvlee, Uit de levensgang van de mens, 1969, hlm 85.
140 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 132.
141 Forth, o.c., hlm 365, 366, bnd 94-98
142 Onvlee, Uit de levensgang van de mens, hlm 92.
143 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 128.144 Keterangan Onvlee agak samar-samar: hlm 91 kembali membedakan katiku wili dari aya wili dan eri wili.
145 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 125.
146 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 130. Onvlee, Uit de levensgang van de mens, 1969, hlm 87-88.
147 Begitu juga Forth, o.c., hlm 379.148 Menurut informasi yang dikumpulkan oleh D.H. Doko.149 Lih 3.7. Menyangkut angka 2, 4, 8, lih M.J. Adams, Structural Aspects of East
151 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 131.
152 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 135. Menarik cerita Nooteboom (1940) bahwa pada waktu ”masuk minta” telah diserahkan seorang hamba perempuan yang berhak untuk menikah dengan seorang dari kabihu pengantinlaki-laki. Sesudah majikannya menikah ia akan melayani dia di kabihu tempat ia baru masuk. Selain itu, selama pesta nikah ia merepresentasikan pengantin perempuan, yang sementara itu masih bebas bergaul dalam pesta itu, o.c., hlm xiii.
153 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 130.
154 Onvlee, Mannelijk en vrouwelijk in de sociale organisatie van Soemba, 1980.
155 Wellem, Injil dan Marapu, 2004, hlm 51, menyebut dua batang kayu, yang satu bercabang dan yang lain tidak, masing-masing melam bangkan unsurlaki-laki dan unsur perempuan. Apakah ia mencampuradukkan katoda dengan seluk-beluk andunga, yaitu pohon tempat menggantungkan tengkorak kepala musuh?
156 Onvlee, Naar aanleiding van de stuwdam in Mangili, 1949.
157 Adams, o.c., hlm 220.
158 Schefold yakin tentang adanya prinsip-prinsip penentu yang mendasari berbagai babat (kategori) dalam kehidupan suku, dan juga yakin bahwa prinsip tentang unsur-unsur yang berlawanan (oposisi) yang saling memperlengkapi mendasari dualisme sosio-kosmis ”which is informed by gender categories”, ”Future tasks for Cultural Anthropology”, dalam Bijdragen , hlm 188. Geirnaert, oc., 33, 78, 81, 87, 93, 131-133, 213, 214, 241, 242. Hoskins menulis tentang benda yang baka (laki-laki) dan benda yang fana (perempuan) dalam harga kawin, o.c., 140, tetapi juga menjelaskan bahwa julukan laki-laki dan perempuan kadang-kadang dibe rikan karena bentuknya.
159 Pada kursus di Lai Handangu, hlm 26, 27 Maret 1983. Disebut nama Pdt. S.J.P. Goossens. Apakah peraturan ini sesuai dengan alam pikiran orang Sumba yang kolektif, maupun dengan kesukaan mereka mengatur? Vel dan Van Veldhuizen, o.c., 1995, hlm 232-233, berpendapat juga bahwa ”perbaikan nikah”, yaitu pengakuan dosa bahkan pembayaran denda kepada gereja (yang tidak penulis kenal) mirip dengan pengakuan dan denda adat.
162 Pemuda-pemuda dari Sabu menceritakan bahwa sunat di kalangan mereka kadang-kadang masih dilakukan, sebagai mode baru, untuk mengaktualisasikan diri. Wellem berpendapat bahwa sunat tetap dila kukan demi kesuburan dan menentang pandangan Lambooy yang pernah mengemukakan bahwa seseorang akan diterima dalam kabihu dan persekutuan dengan marapu melalui sunat itu, o.c., 59. Menurut Wellem kebiasaan itu dalam GKS dibiarkan saja asal tidak disertai dengan ritual marapu, o.c., hlm 372.
163 Geirnaert tidak menyembunyikan bagaimana ia sendiri membawa per sembahan untuk marapu, dan sebagai balasan ia menerima banyak informasi dari para ratu, o.c., hlm xxv.
164 Dalam hal ini Forth tidak meyakini apakah seks di luar nikah merugikan pengurusan nikah, o.c., hlm 336, 349. Hoskins, o.c., hlm 180, memastikan bahwa belis lebih tinggi, sebagai denda karena sebagai suatu pelanggaran.
165 Geirnaert, o.c., hlm 240. 166 Forth, o.c., hlm 336; Geirnaert, o.c., hlm 216. Dikatakan bahwa: Diharapkan seseorang yang mendapat anak pada perempuan yang tidak bersuami, membayar belis kepada orang tua perempuan itu. Jikalau tidak, makaanak-anak itu tetap terhitung dalam uma ibunya. Seorang laki-laki lain dapat mem-belis-nya dan menjadikannya anaknya.
167 Di Sumba Timur ”kawin duduk” dan ”bawa lari” itu lazim, bahkan dilem bagakan, begitu juga di daerah lainnya: Dinah Bergink, Het vluchthuwelijk bij de Tolaki, 1988.
168 J.A.C. Vel dan L.R. van Veldhuizen, Sociaal-economisch werk, 1995, hlm 209 dengan mengutip L. Miedema yang mengeluh bahwa pemu da sangat terbatas dalam perkembangan ekonomisnya: karena ia ber gantung pada keluarga dalam hal belis. Menurut saya, penyebab keter gantungan bukan hanya untuk keperluan belis saja. Sebab pada akhir nya keluarga akan menerima kembali suatu balasan yang memadai. Masalahnya ialah persetujuan keluarga dengan calon. Kalau disetujui pasti akan ditemukan jalan untuk mensukseskan perkawinan.
169 Tetapi, Vel dan Van Veldhuizen, o.c.. hlm 232, bahkan melihat suatu urutan hukum: pada tingkat pertama hukum adat, pada tingkat kedua hukum gereja dan pada tingkat ketiga hukum negara. Dalam hal itu mereka menganggap bahwa ”kawin duduk” sebelum adat selesai ada lah cara yang biasa, dan bahwa perlawanan dari gereja terhadap hal itu merupakan unsur baru dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau memang demikian, penulis berpendapat bahwa urutan tersebut tentu berbeda.
170 Sumbangan Umbu H. Kapita dalam pertemuan itu telah diterbitkan dalam Masyarakat Sumba.
171 Forth, o.c., hlm 369.
172 Vel, The uma-economy, 1994, hlm vi, 45.
173 Di Laboya, dahulu, balasan untuk seekor kerbau adalah sebuah kain tradisional. Tetapi, sekarang dengan adanya impor dan tenunan pabrik, harga kain telah turun. Padahal, sehelai kain tetap merupakan balasan untuk seekor kerbau, Geirnaert, o.c., hlm 13, 111, 237.
174 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 121.
175 Geirnaert, o.c., hlm 133, dan 21 v.
1 Millar Burrows, The basis of Israelite marriage, 1938, hlm 48, 49.
2 Karel van der Toorn, Van haar wieg tot haar graf, 1987, hlm 58-61.
3 Otto Procksch, Die Genesis, 1924, hlm 152; G.Ch. Aalders, Het boek Genesis, II, 1936, hlm 150.
4 R. Patai, Family, Love and the Bible, 1959, hlm 55.
5 Morgernstern, o.c., 1931, hlm 50, 51
6 Sekalipun ada penafsir yang menyangkal bahwa ini adalah harga kawin, Aalders, o.c., hlm 149, menurut penulis, pendapat ini dapat diperta hankan, bahwa memang inilah maksud pemberian itu: sebab tanda yang diminta dari Tuhan telah diberikan kepada hamba itu.
7 F.M.Th. Böhl, Genesis, I, 1923, hlm 158. Di kota Nuzi, Mesopotamia, sering terjadi bahwa saudara laki-laki meneruskan isi kawin yang diterimanya kepada pengantin perempuan, K. Grosz, Dowry and Brideprice in Nuzi, 1981, hlm 172.
8 T.L. Thompson, The historicity of the patriarchal narratives, 1974, hlm 249 v.
11 C.H. Gordon, The story of Jacob and Laban in the light of the Nuzi-tablets, 1937, hlm 25-27.
12 Burrows, op.c., hlm 43, 44. Kontra: E. Lipinski, 1982.
13 Burrows, The complaint of Laban’s Daughters, 1937, hlm 259-276. Kontra pandangan Burrows mengenai perkawinan errebu: Thompson, o.c., hlm 274-275.
14 Morgenstern, o.c., 1931, hlm 54 mencatat bahwa nama ibunya disebut khusus dan saudara kandungnya Simeon dan Lewi yang membelanya. Menurut dia, hal itu membuktikan adanya perkawinan beena bagi Yakub, tetapi menurut penulis hal seperti itu biasa dalam sebuah perkawinan poligami.
15 Hamilton, o.c., hlm 361.
16 Menurut J. Kroeze, Het boek Jozua, 1968, hlm 177, kepahlawanan Otniel dalam perang itu adalah mohar yang diberikan oleh Kaleb. Keterangan itu didasarkan pada keyakinan bahwa mohar merupakan pembayaran bagi perempuan, sedangkan penulis berpendapat bahwa penjelasan tentang mohar sebagai pemberian tidak langsung, adalah lebih tepat.
17 Bnd pula Mi 1:14. Dari kata kerja šlkh, mengirim. Karena šillukhim itu dapat dipandang sebagai hadiah yang dikirim bersama dengan pengantin perempuan kepada suaminya. Menurut Van der Woude, mak sudnya adalah sebuah hadiah dari ayah kepada anaknya perempuan yang hendak menikah: A.S. van der Woude, 1 Reg. 20:34, 1964, hlm 188-191. Mungkin šlkh juga dapat diterjemahkan dengan ”memberi”, demikian menurut Van der Woude dengan mengutip Kej 38:16. Bnd juga Van der Woude, Micha, 1976, hlm 55 v.
18 Georg Beer, Exodus, 1939, hlm 115; G. te Stroete O.S.A., Exodus, 1966, hlm 174; W.H. Gispen, Exodus, II, 1939, hlm 97. Menurut Eckart Otto, Körperverletzung oder Ver letzung von Besitzrechten?, 1993, pandangan ini didasari oleh suatu hipotesis yang telah ditinggalkan, mengenai perkawinan beli, oleh P. Koschaker. Otto menunjuk Ul 22:28 untuk menjelaskan bahwa Kel 22:15, 16 membahas tentang pelecehan inte gritas fisik, bukan penggagahan hak milik. Satu alasan lain ialah penyusunan hukum-hukum dalam Kel 21:2-22:26. Menurutnya, peraturan itu berisi hukum-hukum yang membahas pembalasan (21:32-22:14), didahului maupun disusuli oleh peraturan mengenai pelecehan fisik, yaitu ten tang melukai dan menggodai (21:18-31 dan 22:15, 16), di seputar itu tercantum kejahatan yang dibalas dengan hukuman mati (21:12-17; 22:17-19), sedangkan lingkaran paling luas mengandung hukum-hukum sosial (21:2-11; 22:20-26). Kata kerja dalam Kel 22 adalah pth pi. Menurut L. Koehler, W. Baumgartner, Hebräisches und Aramäisches Lexikon, III, 1983, hlm 925 artinya adalah menggodai, membujuk, bukan memperkosa atau menggagahi. Dalam Ul 22:28 tertulis tps, artinya ”memegang”, ”merampas”, lih o.c., hlm iv; 1990, hlm 1637. Apakah kata-kata kerja itu menunjukkan bahwa Ul 22 menyebut kejahatan yang lebih kejam? Mungkin tidak, malah sebaliknya. Sebab penolakan oleh si ayah dalam Kel 22 menunjukkan sebuah pelanggaran besar, begitu yang dikatakan dalam Kel 22, bnd E. Otto, catatan kaki 31, sedangkan tps dalam Ul 22 memang menunjukkan kekerasan tetapi tidak berarti bahwa anak perempuan itu sama sekali tidak mau.
19 Dalam 1Sam 18:17 ditemukan kata kerja ’mr’, dalam dua arti: ”meng ucapkan”, dan ”berkata dalam hati”. Pertentangan dalam kedua arti itu merupakan inti nas tersebut.
20 Daud menyebut kata khay (suku, kabihu), yang diterangkan dengan mišpakhat ’abi: keluarga besar dari pihak ayahnya.
21 Dikatakan sebenarnya: Bištayim: artinya: untuk kali yang kedua, atau: dengan cara yang kedua.
22 Richard G. Bowman, The fortune of King David/The fate of queen Michal, 1991, hlm 104 berkata bahwa Saul menanggapi ucapan Daud sebagai ungkapan tentang kemiskinannya, sehingga ia tidak dapat membayar mohar, dan karena itu diizinkan membawa kulit khatan musuh.
23 David J.A. Clines, The story of Michal, wife of David, 1991, hlm 136: melalui seratus yang pertama itu maka Mikhal telah menjadi istri Daud, seratus yang lain itu adalah makeweight.
25 Neufeld, o.c., hlm 95-96.
26 Begitu Joh. de Groot, 1 Samuël, 1934, hlm 145, dan Clines, Michal observed, 1991, hlm 24-63. Hanya saja, Clines menukar ungkapan dowry (hlm 28) (isi kawin) dan brideprice (hlm 31) (harta kawin). Satu hal yang tidak dihiraukan Clines adalah bahwa Saul dalam menawarkan Merab tidak menyebut mohar. Karena itu, ia dapat memberikannya kepada orang lain, sedangkan dalam kasus Mikhal suatu mohar memang dise pakati sehingga Saul harus menepati janjinya ketika Daud kembali dari mengalahkan orang Filistin.
27 Hilma Granqvist, Marriage conditions in a Palestinian village, 1931.28 Granqvist (139) menunjuk J. Wellhausen, Die Ehe bei den Araber, dalam Nach richten von der Köningl. Gesellschaft der Wissenschaften und der Georg-August-Universität zu Göttingen, Göttingen 1893, hlm 434. Menurut Wellhausen, bahkan sebelum munculnya agama Islam, mahr tidak ditujukan kepada wali, tetapi kepada calon pengantin perempuan. Alquran meneruskan adat itu. Granqvist menceritakan bahwa anak perempuan kadang-kadang juga menuntut bagiannya melalui sebuah surat keterangan dari ayahnya bahwa tanah yang diberikan memang miliknya, agar ayahnya tidak menggunakan untuk dirinya sendiri; Granqvist (hlm 128) mengutip Kej 31:15.
29 M. David, Vorm en wezen van de huwelijkssluiting naar de oud-Oosterse rechtsopvatting, 1934.
30 David, o.c., hlm 20.
31 Burrows, The basis of Israelite marriage, 1938.
32 Burrows, o.c., hlm 1-8, 14.
33 Burrows, o.c., hlm 11.
34 Burrows, o.c., hlm 29.
35 Burrows, o.c., hlm 63-65.
36 E. Neufeld, Ancient Hebrew Marriage Laws, 1944, hlm 94-11737 Neufeld, o.c., hlm 94.
38 David R. Mace, Hebrew marriage, 1953
39 Mace, o.c., hlm 165, sedangkan pandangan evolusionistis, yang dilawan nya adalah dari J.F.Mc. Lennan, Primitive Marriage, Londen 1865.
40 Mace, o.c., hlm 23, 172.
41 Mace, o.c., hlm 176.
42 R. de Vaux, Les Institutions de l’Ancient Testament, I, 1959,hlm 45-58.43 K. Grosz, Dowry and Brideprice in Nuzi, 1981. 44 Lipinzki, o.c.45 Bnd Burrows, o.c., hlm 15; Mace, o.c., hlm 169. 46 Van der Toorn, Van haar wieg tot haar graf, 1987.47 Van den Toorn, o.c., hlm 58-61.
49 D.A. Leggett, The Levirate and Goel Institution, 1974, hlm 292, 293. J.A. Loader, Of barley, bulls, land and levirate, 1994, hlm 132 mengutip seorang penafsir dari abad ke-10, Salmon ben Yehoram: Tiap levir adalah go’el,(penebus), tetapi tidak tiap go’el seorang levir. Menurut W.A. van Es, “De eigendom in de Pentateuch”, 1909, hlm 231-237, hak waris telah diatur sebelum hukum Taurat diberikan melalui adat nenek moyang, sedangkan hak pemilikan tanah baru diatur sesudah menduduki tanah Kanaan.
50 Sebutan-sebutan ini menurut Patai dapat menunjukkan baik kesatuan keluarga yang besar maupun yang kecil, o.c., hlm 17-19. Begitu dalam 1Sam 18:18 telah ditemukan sebutan khay (klen), yang diterangkan sebagai ”keturunan ayahku”. Di samping itu terdapat matstsè, yaitu suku. Menyangkut endogami: apakah yang dimaksudkan endogami-suku atau ”endogami keluarga”? Berdasarkan Bil 27 opsi yang terakhir lebih menarik. W.H. Gispen, Numeri, II., hlm 312, berkata bahwa pilihan oleh anak perempuan terbatas pada misypakhah.
51 Benar keterangan Neufeld bahwa inilah penjelasan dari ”tinggal bersa masama”, o.c., hlm 40.
53 Dan juga, kasus Rut itu tidak mengena dengan perkawinan ipar, tetapi perkawinan penebusan (ge´ulla, lih di bawah), bnd msl S.R. Driver, A Critical and exegetical commentary on Deuteronomy, 1902, hlm 285. Bukan kata kerja khlts melainkan sylp.
54 M. David membahas perkawinan ipar dalam Vorm en wezen van de huwelijkssluiting, 1934, hlm 5. Dasarnya ialah bahwa keluarga melebihi individu. David, dalam kete rangannya tahun 1934, dalam Kitab Rut ditemukan suatu campuran dari perkawinan ipar dan penebusan (ge´ulla). Tetapi, dalam sebuah publikasi lain ia memberi keterangan yang berbeda, dan menyebut perkawinan Boas dan Rut itu sebuah ”perkawinan keluarga”, M. David, Het huwelijk van Ruth, Leiden 1941, hlm 2; J.P. Lettinga, Jona/Ruth, 1996, hlm 33, tentang khesed, hlm26; Leggett, a.w., hlm 288-291; J. Schoneveld, De betekenis van lossing, 1956, hlm 3, 11.
55 David, Het huwelijk van Ruth, hlm 7, 8.
56 Epstein, o.c., hlm 77-92. M. David menyangkal adanya perkawinan tersebut. Seperti telah diuraikan, dia mengemukakan adanya ”perkawinan-keluarga”, Het huwelijk van Ruth, 13, 14. Menurut dia tidak logis bahwa di samping perkawinan ipar terdapat pula perkawinan-ge’ulla’, sebab keduanya bertujuan sa ma, yaitu mengurus seorang janda dan mempertahankan nama suaminya yang telah meninggal. Penulis berta nya, mengapa tidak logis? Bahkan lebih tepat jika perkawinan ipar dilihat sebagai bentuk khusus dari perkawinan-ge’ulla’. Mungkin dapat dikatakan bahwa dalam kasus seorang ipar, terdapat suatu ke wajiban hukum apalagi ia harus tinggal dekat (Ul 25) dan dalam hal-hal lain merupakan kewajiban moral.
57 Epstein, o.c., hlm 85.
58 Patai, o.c., hlm 87, dengan menunjuk Rut 3:9, yang menceritakan ten tang adat perkawinan di Semenanjung Sinai, yaitu selimut laki-laki di berikan untuk menudungi kepala pengantin perempuan. Laki-laki itu sebelumnya telah mengirimkan kain itu kepada ayah perempuan dan bila dia diantarkan ke suaminya, dia akan diselubungi dengan kain itu.
59 David berkata bahwa sesuai dengan naskah Masoret, kekurangan huruf iod, kalau hendak dibaca: sayap-sayap (bentuknya dualis). Dan sayap-sayap itu menunjukkan perlindungan. Tetapi, pada umumnya dibaca sebagai kata tunggal, yang tidak membutuhkan huruf iod itu, dan dengan demikian terjemahannya adalah: ”menghamparkan kain kepada seseorang” (Yeh 16:8), yang menyatakan perkawinan, lihat David, Het huwelijk van Ruth, hlm 9. Dan David sendiri memang memilih yang dualis, dengan arti perlindungan sematamata, sebab menurut dia Rut tidak meminta kepada Boas untuk menikahnya. H.J. Schilder berpendapat bahwa sayap-sayap Tuhan (ps 2) menjadi wu jud nyata dalam kain selimut tempat tidur Boaz. Yaitu Rut ingin tidur bersama dengan Boas, Richteren en Ruth, 1981, hlm 64, sedangkan J.P. Lettinga tidak mengikuti penulisan para Masoret dan membaca kata tunggal, di mana sayap adalah punca jubah, dan hendak menunjuk jubah seluruhnya. Maksud Rut: Mengambil aku, menjadi istrimu. Me nurut Lettinga, hal menyingkapkan selimut dari kaki Boas secara tidak langsung juga merupakan permohonan Rut untuk diambil menjadi istri, apalagi perkataan itu dalam 3:4 dan 3:7 adalah eufemisme (perkataan halus) untuk hubungan seks, o.c., hlm 27.
60 Epstein, o.c., hlm 87: Anak itu adalah ultimate go’el, sebab ia meng amankan harta pusaka dari tangan kaum keluarga yang mau mengam bilnya dan memper tahankan nama keluarga yang asli: nama Elimelekh.
61 Epstein, o.c., hlm 220.
62 R.T. Kuiper, Leviticus XVIII, 1872.
63 Neufeld, o.c., hlm 191, 192.
64 Mace, o.c., hlm 153.65 K. Elliger, Leviticus, 1966, hlm 239. Sebelumnya, Elliger menulis dalam Zeit-
66 S. Gerstenberger, Das dritte Buch Mose. Leviticus, 1993, hlm 227.67 R. Ziskind, The missing daughter in Leviticus xviii, 1996, hlm 128.68 W. H. Gispen, Leviticus, 1950, hlm 259, 260, 269, 270.69 Elliger,
70 Neufeld, o.c., hlm 55-59; Van den Toorn, o.c., hlm 56, 66.
71 Th.C. Vriezen, Onderzoek naar de paradijsvoorstelling, 1937, hlm 170 v; C. Westermann, Genesis, 1970, hlm 317 v.
72 J. Bimson, De wereld van het Oude Testament, 1989, 119, dengan menunjuk Kej 11:29; 24:24; 29:10.
73 Wenham, o.c., 1987, hlm 70; V.P. Hamilton, The book of Genesis. Ch. 1-17, 1990, hlm 180, 181.
74 Para rabi (guru) Yahudi sangat berkhayal tentang kejadian tersebut. Tuhan telah mengenakan perhiasan, memintal rambut Hawa, baru membawanya kepada Adam. Bandingkan dengan Hermann L. Strack, P. Billerbeck, Das Evangelium nach Matthäus, 1922, hlm 503, 504, dalam penjelasan tentang Mat 9:15. Di sini penjelasannya lebih jelas lagi mengenai paranimf, atau sahabat pengantin laki-laki, dalam Yoh 3:29.
76 Bnd J. van Bruggen dalam tafsiran tentang Mrk 10:9 dan Mat 19:6.
77 Granqvist, o.c., 66-72, J. Wellhausen, o.c., hlm 436, dikutip oleh Granqvist, hlm 78. Wellhausen: ”Es wird also nicht eine eigenthümliche Verwandtenheirath, zwischen Geschwisterkindern von Vaters aber nicht von Mutterseite, empfohlen, sondern vielmehr die Endogamie”.
78 Mace, o.c., hlm 145-148.
79 Patai, o.c., hlm 13-15.
80 Patai, o.c., hlm 23-28.
81 Patai, o.c., 28-34.
82 A. Niebergall, Ehe und Eheschliessung, 1985, hlm 5, 13, 21. Menurut Tobit 1:9, Tobit mengatakan bahwa dia telah menikah dengan Anna, yang berasal dari keluarga sendiri, dan yang telah melahirkan baginya Tobias. N. Poulssen, Tobit, 1968, menerangkan: ”Dalam memilih seorang calon, rupanya Tobit melangkah lebih jauh dibandingkan dengan hukum yang hanya melarang seseorang menikah dengan orang dari bangsa lain (…) Persis sesuai dengan contoh bapa-bapa leluhur, dia menikah di dalam sukunya, bahkan di dalam keluarga (....) Sebagai jaminan terhadap kehilangan harta milik dan terganggunya gaya hidup, maka perkawinan endogami sangat penting, baik dalam masa bapa-bapa leluhur maupun dalam masa Pembuangan”. Dalam 4:12, Tobit berkata, ketika berpisah dengan anaknya Tobias, “(...) pertama-tama: mengambil seorang istri dari keturunan ayah-ayahmu.” 7:2 menceritakan bahwa kakak sepupu dari ayahnya akan menjadi ayah mertuanya. Mereka semua dari suku Naftali.
83 Epstein, o.c., hlm 145 vv.
84 F.M.Th. Böhl, Genesis, I, 1923, hlm 153; dan Genesis, II, 1925, hlm 58, 59.85 Epstein, a.w., hlm 156-158.
86 Menurut M. Noth, o.c., hlm 71, mereka berasal dari salah satu tempat di bagian Timur wilayah Laut Tengah, tetapi kurang jelas siapa mereka sebenarnya.
87 Dikutip oleh B. Holwerda, Seminarie-dictaat Richteren, II, z.j., hlm 20; J. de Fraine, Rechters, 1955, hlm 91, tidak dapat dibuktikan juga cara perkawinan-beena, yang selalu diprasangkakan oleh Morgenstern (lih 3.2.1), begitu juga menurut dia dalam kasus Simson, o.c., hlm 92.
88 A. van Selms, The best man and bride-from Sumer to St. John.89 H.H. Grosheide, Ezra-Nehemia, 1963, hlm 251.
90 Grosheide, o.c., hlm 286; J. de Fraine, Esdras en Nehemias, 1961, hlm 70.
91 D. Deden, De kleine profeten, 1953, hlm 24.
92 C. van Gelderen, W.H. Gispen, Het boek Hosea, 1953, hlm 24; Hans Walter Wolff, Dodekapropheton, I, Hosea, 1965, hlm 13; dan C. van Leeuwen, Hosea, 1968, hlm 31.
93 Van Gelderen, Gispen, o.c., hlm 74-75; Wolff, o.c., hlm 75-77; C. van Leeuwen, Hosea (De prediking van het Oude Testament), hlm 87, 88.
94 Wolff, o.c., hlm 64.95 Kata depan b’ adalah b-pretii (harga); bnd Koehler-Baumgartner, I, hlm 101. 96 Patai, o.c, hlm 122, menerangkan: Anak yang ditemukan itu diletakkan di sana oleh ayahnya. Seorang patriark di Timur Tengah berkuasa mutlak atas keluarganya. Bahwa tali pusarnya tidak dipotong, itu berarti bahwa anak perempuan itu tidak dikehendaki. ”Menutup aurat” dalam Yeh 16 menyatakan kekhususan: menutupi kemiskinan. Relasi yang digambarkan adalah relasi kasih, bukan hubungan seks. Ini bukan puisi yang memuji kasih mesra seperti Kidung Agung.
97 Walther Zimmerli, Ezechiel, I, 1969, hlm 351.
98 Zimmerli, o.c., hlm 351.
99 Hans Conzelmann, Der erste Brief an die Korinther, 1969, hlm 139: “Die Frage der Korinther muss gelautet haben: Ist Geschlechtsverkehr (überhaupt) erlaubt?”
100 Untuk menerangkan tujuan dan arti ”gambar Allah”, K. Schilder memandangnya sebagai seorang raja muda atau gubernur dari Tuhan Allah di bumi ini. Bnd K. Schilder, Heidelbergsche Catechismus I, 1947, hlm 220-312. Claus Westermann, Genesis, 1968, hlm 203-214 menguraikan berbagai pendapat, a.l. tentang manusia sebagai perwakilan Allah. Westermann sendiri fokus pada struktur ayat 26-30 (hlm 215). Bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah bukan suatu pelengkap pada penciptaan, melainkan justru menghayati dan menjelaskan pen ciptaan manusia. Manusia diciptakan sedemikian rupa hingga dia bisa berkomunikasi dengan Allah dan mendengar sambil melakukan pang gilan-Nya (hlm 218). J. Kamphuis, Uit verlies winst, 1985, hlm 21-24, membahas keberatan-keberatan Westermann terhadap keterangan yang berkisar pada perwakilan (raja muda, gubernur) dan menganggapnya tidak kuat.
101 Granqvist, o.c., 60; bnd De Vaux, o.c., hlm 52-52: ada anak yang dijodoh kan, tetapi banyak juga yang memilih sendiri berdasarkan cinta.
102 Patai, o.c., hlm 42. Pada suku-suku Bedoein di padang gurun rasa cinta dijunjung tinggi, dan dipuji, dengan puisi yang menyerupai Kidung Agung.
103 Patai, o.c., hlm 60, dst.
104 Mace, o.c., hlm 222, 231, 232, 240.
105 1:6; 2:16-17; 5:1; 7:12; 8:5b. Dalam 1:6 seorang perempuan mengatakan bahwa dia tidak menjaga kebun anggurnya sendiri.Yang dimaksud bukanlah bahwa ia kehilangan keperawanannya, tetapi dia harus bekerja keras dalam kebun anggur orangtuanya. Dalam 2:16-17 dan 8:14 dia tidak mengajak kekasihnya untuk melakukan hubungan seks, tetapi untuk datang dengan cepat sekali bagaikan kijang. 5:1 adalah jawaban si laki-laki terhadap nyanyian kekasihnya dalam 4:16. Kedatangannya tidak dengan sendirinya bermaksud untuk tidur bersama. Malahan 5:2 justru adalah bukti bahwa mereka belum menikah. Demikian juga dalam 7:12 maksudnya tidak tidur bersama; apakah ”memberikan cinta” (natan dodim) tidak dapat ditafsirkan secara berbeda? Sama seperti 1:2-4; 4:10; dan 5:1. ”bermalam” (lin) (7:11) dapat diartikan ”beristirahat”, ”berada bersama”, lihat H.M. Ohmann, Hooglied. De koning te rijk, 1988, hlm 90. Memang pengalimatan-pengalimatan tersebut cukup merangsang, pasti kedua kekasih juga tidak menyembunyikan keinginan nafsu mereka, bnd 5:2-7. Dalam 8:5b arti kata kerja `rr po menurut M.A. van den Oudenrijn, Het Hooglied, 1962, ”menelanjangkan”. Tetapi, terje mahan ”membangkitkan” juga dapat dibenarkan. Pada hari pesta kawin, mempelai perempuan mengungkapkan dalam nyanyiannya, betapa dia mengingat dengan baik hari pertama ia menimbulkan rasa cinta kekasihnya, Ohmann, o.c., hlm 93. Kata kerja `rr po dalam arti ”membangkitkan” itu juga terdapat dalam corus (refrein) Kidung Agung yang terkenal: “jangan membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya” (2:7; 3:5; 8:4).
106 Lihat Van den Oudenrijn, o.c., hlm 9.
107 Ohmann memperlihatkan bahwa rumah orang tua laki-laki, yang di maksud, o.c., hlm 92, 93.
108 Tentang mereka itu dan usaha pimpinan kota untuk memberantas percabulan oleh wanita yang berselubung, lihat Ohmann, o.c., hlm 75; Gillis Gerleman, Ruth. Das Hohelied, 1965, hlm 169.
113 Hermann L. Strack dan Paul Billerbeck, Das Evangelium nach Markus, Lukas und Johannes und die Apostelgeschichte, 1924, hlm 393-395.
114 J. van Bruggen, Matteus, 1990, hlm 34-36.
115 Dalam perkataan malaikat terkandung kata paralambanein (mengambil) yang pada umumnya diartikan sebagai: menikahi. Namun, Yusuf dan Maria memilih hidup bersama secara tidak resmi lebih dahulu, walaupun tanpa melakukan persetubuhan (ay 25). Dalam ayat 24 paralambanein tidak mungkin diterjemahkan dengan nikah, karena belum ada pesta perkawinan. Bila demikian, tidak mungkin dikatakan kalau Maria masih bertunangan dengan Yusuf (Luk 2:5). Langkah yang tidak resmi itu bukan hal yang terlalu luar biasa pada masa itu, Strack-Billerbeck menunjukkan bahwa justru di Galilea sering terjadi hal yang demikian, o.c., hlm 45-47, apalagi keadaan Maria menuntut tindakan yang khusus. Berbeda lagi keterangan Van Bruggen, Kristus di bumi, 2001, hlm 147, yang menafsirkan mengenai hal itu sebagai berikut: Lukas melukiskan keadaan nyata: Yusuf meng anggap Maria masih bertunangan dengan nya, karena mereka belum bersetubuh.
116 Mace, o.c., hlm180; Neufeld, o.c., hlm148-151. Menurut Neufeld, dua orang sahabat ikut sampai ke dalam kamar tidur untuk menyaksikan keperawanan, dengan memperhatikan kain tempat kedua mempelai telah berbaring (atau mungkin keterangan dari perempuan-perempuan yang dilibatkan). Yoh 3:29 menyinggung tentang sukacita dari sahabat pengantin, atas suara pengantin laki-laki, yang mengungkapkan betapa besar gembiranya atas istrinya itu. Seandainya kedapatan mempelai perempuan sudah tidak perawan, sahabat mempelai itu akan mendu kungnya untuk menyampaikan dakwaan pada ayah perempuan itu.
117 Mace, o.c., hlm180; Patai, o.c., hlm56-59.118 Sebagaimana ditunjukkan oleh Hermann L. Strack dan P. Billerbeck, Das Evangelium nach Matthäus, 1922, hlm504-506 (tafsiran tentang Mat 9:15).
119 Van Bruggen, Matteus, hlm426; Patai o.c., hlm 13.
120 Patai, o.c., hlm94. 121 Mace, o.c., hlm231, 240. Menurut Mace, standar mengenai perkawinan ini lebih tinggi karena alat vital laki-laki dikerat sebagai tanda perjanjian dengan Tuhan. Menurut penulis, justru sebaliknya: Israel bermoral tinggi karena perjanjian itu.
122 M. David, De Codex Hammoerabi en zijn verhouding tot de wetsbepaling in Exodus.
123 J.G. Aalders, De verhouding tussen het verbondsboek van Mozes en de Codex Hammurabi, 1959, hlm44.
124 Aalders, o.c., hlm 45, 46. Menurut Codex Hammurabi, seorang hamba tidak berharga. Seorang yang membunuhnya tidak kena utang darah, hanya rugi uang. Tetapi, dalam hukum-hukum di Kitab Keluaran, ada juga jaminan keadilan bagi seorang hamba.
125 Bnd Ziskind, o.c., hlm 128. Menurut Epstein, o.c., hlm 4-9, di Israel poligami bukan satu hal yang biasa. Mungkin mendapat pengaruh dari Mesir atau Kanaan. Pada dasarnya di Israel maupun di Babel, jarang terjadi poligami.
126 Van Bruggen, Ambten in de apostolische kerk, 1984, hlm119-140.
127 Zie Van Bruggen, Het huwelijk gewogen, 1978, hlm133-136.
1 Seperti F.D. Wellem, Injil dan Marapu. Suatu studi historis-teologis tentang perjumpaan Injil dengan masyarakat Sumba pada periode 1876?1990, Jakarta 2004.
2 H. Reenders, Zending voor de oorlog, 1995; J.G. Luinstra, Oorlog en zelfstandig-wording, 1995.
3 J.A. Boersema, ’1892’ en de zending, 1992.
4 Th. van den End, Enkele opmerkingen, 1988; J.A. Boersema, Een halve eeuw zending, 1996.
5 Bnd Wellem, o.c., hlm 164. Penginjil-penginjil yang bekerja sama dengan para zendeling sering kali berasal dari Ambon dan Sabu. Pendidikan mereka baik, tetapi mereka tidak diteguhkan menjadi pendeta, sekalipun mereka adalah orang kepercayaan jemaat.
6 Menurut Reenders, o.c., hlm 20.7 D. Pol, Midden-Java ten Zuiden, 1922, hlm 320. 8 Pada tahun 1928 Jemaat Melolo menulis kepada deputi-deputi Zending di Belanda, bahwa jemaat itu bertekad untuk swadaya. Selama beberapa tahun pemeliharaan berjalan baik, kemudian mereka sering menghindar dari kewajiban terhadap penginjilnya, bnd Van den End, Sumber-sumber zending
14 Dalam karangannya tentang Hoofdddienst (”pelayanan pokok”) dalam Merkwaar dig denken, 1933, hlm 57-68.
15 ”Waar de velden wit zijn”, hlm 67, dst16 P.N. Holtrop, ”Columbus of Columba?”, 1991.17 Van den End, ”Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Kristen Sumba 1859-1972”, hlm 566-571, menerbitkan satu rangkuman ten tangpelajaran-pelajaran yang diberikan Bergema, Januari-Agustus 1939, dan tidak tampak bahwa pokok ”budaya” diajarkan pada kesempatan itu. Hal itu menurut penulis tidak berarti bahwa Bergema tidak mungkin mendiskusikan visi terhadap budaya dengan siswa-siswanya seperti dalam laporan tersebut.
22 P.N. Holtrop; J.A.C. Vel, ”Evangelie en paraingu”, 1995, hlm 243-246.23 Chr.G.F. de Jong, “Recensie”, 1995.24 Van den End, Enkele opmerkingen.; B. Plaisier, ”Over bruggen en grenzen”,
25 Contoh bahwa S.J.P. Goossens mendengar pendapat K.Tanahomba. Justru para guru Injil kadang-kadang sangat tegas menolak adat lama, demikian juga di Tana Toraja, bnd Van den End ”De zendelingen, de Toraja-adat en
26 Plaisier, o.c., hlm 653.
27 Wellem, o.c., hlm 146, 147.
28 Wellem, o.c., hlm 187.
29 Anak saudara zendeling D.K. Wielenga. Dari 1946-1976 beliau mengajar sebagai dosen misiologi di TUK Kampen, akademi dari GKV.
30 D.K. Wielenga J.D.Zn, Sanctorum communio, 1971, hlm 76, 77.31 S.J.P. Goossens, Aangaande dan het eten der dingen die den afgoden geofferd zijn, 1936.
32 Reenders, Zending voor de oorlog, 1995, hlm 31.
33 Wellem, o.c., hlm 222.34 Wellem, o.c., hlm 40, catatan kaki 15.35 D.K. Wielenga pernah menyampaikan pandangan seorang raja, yang mengkhawatirkan bahwa penginjilan akan menimbulkan revolusi, kare na tekanan atas penciptaan manusia dari sebuah pasangan suami istri. Wielenga bercerita ia menerangkan kepadanya bahwa kemudian terjadi diferensiasi dan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, Van den End, Sumber-sumber
36 Van den End, o.c., hlm 527.
37 Wielenga, De zending op Soemba, 1949, hlm 265-269.
38 Tetapi, mereka menyadari kebenaran dalam suatu ungkapan Dr. Onvlee, ketika dia harus menyelesaikan suatu masalah dalam perkawinan salah seorang ”piara”-nya: “betapa perlu kita berhati-hati dengan memakai asas kebebasan dalam usaha pendidikan kita. Sikap hati-hati itu perlu baik terhadap orang tua dan kerabat maupun terhadap anak didik kita, pria dan wanita (...). Masih lama lagi keputusan dalam hal-hal ini akan tetap terletak di tangan kaum kerabat, dan kami waspada jangan sampai kami menggerogoti hubungan itu. Satu-satunya jalan yang tersedia bagi kami ialah memberi hubungan itu bobot kesusilaan”, Van den End, Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Kristen Sumba 1859-1972, hlm 432, 433.
39 J.A.C. Vel dan L.R. van Veldhuizen, Sociaal-economisch werk, 1995, hlm 201-203, 207, 208.
40 Wellem, o.c., hlm 204.
41 Van den End, Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Kristen Sumba 1859-1972, hlm 391.
42 P.P. Goossens, Geschiedenis van de Zending op Oost-Sumba, 1992, 1993. Di hlm nr. 153, 9: ”Saya sebut juga catatan perempuan, sesuai adat kini yang telah tercacat; orang Kristen menjual putri-putri kepada laki-laki dan keluarganya” (laporan dari 1936, bnd Van den End, o.c., hlm 405) dan pada hlm nr. 153, 10 sebuah kutipan dari 1935 tentang Oemboe Katoe (lih par 4.3):
43 Bnd laporan H. Bergema, Oost-Soemba, 1939, dan laporan panitia Sinode GKV 1946 (lih Acta 1946), yang telah menilai pekerjaan Goossens. Selain dari Colenbrander dan Luijendijk juga patut disebut L.P. Krijger, dosen pada pendidikan teologi di Karuni.
44 Van den End, o.c., hlm 390, 391.
45 Van den End, o.c., hlm 447.
46 Van den End, o.c., hlm 583.
47 Wielenga, o.c., hlm 62.
48 Bnd Hermann-Josef May (red), Die Insel Sumba, hlm 102-114.
49 May, Marapu und Karitu, 1982, hlm 89-92. Bnd hlm 85 tentang anak-anak yang telah dinikahkan sejak lahir agar melunasi utang (wiri bara, dalam bh Sumba Timur).
50 L.B. van Straten, De indonesische bruidsschat, 1927, hlm 4.51 Van Straten, o.c.; R.H. Barnes, Marriage, Exchange and the Meaning of Corporations in Eastern Indonesia, 1980, hlm 93-122, khusus 94-97 dan 118, 119.
52 Rodney Needham, Mamboru, 1987, hlm 143.
53 Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba, 1976, hlm 131.
54 L. Onvlee, Cultuur als antwoord, 1973, hlm 269.
55 Bnd G.L. Forth, Rindi, 1981, hlm 370, dan D. Geirnaert-Martin, The woven land of Laboya, 1992, hlm 212.
56 Van den End, Enkele opmerkingen, hlm 182; bnd Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Kristen Sumba 1859-1972, hlm 563, 583.
57 Demikian informasi dari Pdt. K. Retangu di Tana Rara. Pdt. Retangu pada kon flik 1951 berpihak pada Pdt. Goossens dan penginjil Tanahomba. Kemudian dia pindah ke GGRI. Menurut Retangu, kritik terhadap Goossens dan Tanahomba datangnya dari orang Sumba yang terkenal sebagai orang Kristen yang sungguh-sungguh, misalnya Umbu Tunggu Bili dari Mamboru, lih. tentang dia: Wielenga, De zending op Soemba, 1949, hlm 238, 239.
58 Tentang penolakan terhadap belis oleh Tanahomba, lih. H. Bergema, Oost Soemba, 1939, 38. Selama Perang Dunia II, Tanahomba berada di Belanda bersama Pdt. Goossens, istrinya diberikan kepada orang lain. Pada tahun 1953 Tanahomba adalah pendeta di Kananggar dan sekaligus sebagai ketua majelis, yang mengadakan siasat terhadap Penginjil L. Kondamara, yang adalah ketua yayasan sekolah. Keluarga Kondamara, yaitu kabihu Watuwaya dari Umalulu, berkeluarga juga dengan kabihu dari keluarga Raja di Kananggar, yaitu Anawaru. Sebagian dari laporan Bergema termuat dalam Van den End, o.c., hlm 559-565.
59 Inilah inti kritik dari P.J. Luijendijk dan T. van Dijk dalam Wielenga, o.c., hlm 224-231, dan juga dalam laporan Bergema.
60 Sebagaimana yang disampaikan oleh Panitia Sinode Pertama Gerefor meerde Kerken (vrijgemaakt) di Belanda (1946), yang ditugaskan untuk merumuskan konsep keputusan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Sumba Timur. Menurut panitia tersebut, laporan Bergema sangat negatif terhadap Goossens, padahal menurut kami tidak demikian, bnd Acta, 1946, hlm 204-239.
61 Reenders, Zending voor de oorlog, 1995, hlm 19, menulis bahwamasalah-masalah di jemaat Melolo, tempat kerja Pdt. Goossens, telah timbul sejak tahun 1934. Puluhan orang disiasat tanpa muyawarah dengan zendeling lain, berdasarkan kawin duduk, makan daging persembahan, dan pembelisan. Wellem, o.c., hlm 190,memberitahukan bahwa pada tahun 1934, sepuluh orang dikenai skorsing tanpa musyawarah, dan pada tahun 1935, 63 orang, dengan alasan yang sama. Mengherankan bahwa Goossens dalam surat pembelaannya, Openbare scheurmakingop Sumba mengatakan tentang lawannya di Melolo, L.D. Gah, hanya bahwa dia telah menikahkan seorang gadis yang berumur sepuluh tahun.
62 P.P. Goossens, o.c., nr. 157, 2, 3.
63 B.N. Radjah, Sejarah GGRI-N.T.T, 1989, hlm 4, mengenai L.D. Gah.
64 P.P. Goossens, o.c., nr. 153, 10-14.
65 P.P. Goossens, o.c., nr. 154, 15 berkata dengan benar, ”S.J.P. Goossens terlalu fanatik dalam perkara Umbu Katu (memang dengan alasan yang saya dukung), dan kurang menghargai alasan yang sama mulianya dari rekan kerjanya, yang tidak dapat disetujuinya”. P.P. Goossens juga dengan tepat mengatakan bahwa masalah Umbu Katu merugikan Gereja Kananggar, karena dengan perkara itu sidang pekerja zending telah membuat keputusan berdasarkan rasa sentimen. Menurut saya, masalah Melolo tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah Umbu Katu, karena perbedaan pandangan menyangkut Melolo berkisar tentang pokok siasat. Tetapi, menurut P.P. Goossens, Melolo terpengaruh juga oleh masalah Umbu Katu, lih. o.c., nr. 155, 2.
66 Radjah, o.c., hlm 4.
67 P.P. Goossens telah mendengar dari Pdt. P.J. Luijendijk bahwa dia kemudian menyesalkan penolakannya terhadap kemandirian Kananggar. Sebab menu rut mereka,Kananggar juga layak dimandirikan, o.c., nr. 154, 15. Saya mendapat informasi yang sama dari Pdt. Luijendijk pada tahun 1980.
68 Tetapi sayang, mereka mempercepat kemandirian beberapa hari, sehingga panitia dari Jawa (Bergema, Bavinck) terlambat datang dan membuat mereka kurang senang, lih. Bergema, Oost-Sumba, 1939, hlm 15.
69 Radjah, o.c., hlm 6.70 S.J.P. Goossens, ”Openbare scheurmaking op Sumba” (1939), hlm 25.71 Van den End, o.c., hlm 572-580.72 Menyangkut hal ini telah diteliti brosur-brosur: Z.O.Z., z.j.; Synode van de Kerken van Oost-Sumba 1957; G. Goossens, De eer vergeten, de vlag verlaten? z.j.; G. Goossens, Vrijgemaakten, waarheen?, z.j.; G. Goossens, Even een schijn werper, z.j.
73 Dalam pertemuan antara utusan-utusan GGRI dengan Majelis Gereja Tana Rara, 16 dan 17 Agustus 1972, diputuskan bahwa ”tuntutan dalam pem-belis-an harus dihapus, tetapi apa yang diberikan sebagai peng hormatan dari pihak laki-laki tidak boleh ditolak”. Selanjutnya juga dikatakan bahwa ”Penilaian yang biasa dilakukan dalam masyarakat kafir Sumba mengenai ata, kabihu, maramba atau suku lain yang menyangkut pertunangan atau perkawinan tidak boleh ada lagi dalam kehidupan orang-orang Kristen (Kol. 3:11)”.
74 Wellem, o.c., hlm 452.75 Klasis 13, juli 1964: Wiri bara tidak boleh dilakukan, karena
76 Geirnaert, o.c., hlm 234. Tetapi, di Gereja Katolik Roma masih ada, lihat May, Marapu und Karitu, 1982, hlm 85.
77 Kursus bagi majelis gereja di Lai Handangu, tanggal 27 Maret 1983.78 Aturan Gereja yang berlaku di dalam Gereja-gereja Bebas Sumba Timur dgs, 1977, art. 79. ”Dewan-dewan gereja harus menilik dan menjaga supaya nikah, yang aturan
79 Pdt. D. Dida, 1983.
80 Van den End, o.c., hlm 867.
81 Klasis Gunung, 1985. Majelis Gereja Lai Handangu, 1981, telah mene kankan juga bahwa perkawinan gerejawi dapat dilangsungkan, juga bila kedua keluarga belum menyelesaikan adat secara tuntas, asal mereka menyetujuinya.
83 David J. Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi. Makna, metode, dan model, Jakarta 2006.
84 Shoki Coe, o.c., hlm 21 v.
85 Misalnya S.B. Bevans, Models of contextual theology, 1992, hlm 3 v.
86 M. Hamel, Bibel. Mission, Ökumene, 1993, dari sudut pandang orto doks membahas secara kritis perkembangan pemikiran mengenai kon tekstualisasi.
87 B.C.E. Fleming, dalam sebuah penilaian injili menyangkut kontekstualisasi, mempertahankan tentang apa yang disebutnya konteks-indigenisasi. Menurut nya, hal ini bertentangan dengan 1) ”kontekstualistis secara teknis”, sebagaimana dipraktikkan oleh TEF, dan 2) ”konteksualisasi po puler”, yang bertolak bukan dari teologi politik, melainkan dari Alkitab, hanya dengan prasangka bahwa Firman Allah juga dapat ditemukan di luar Alkitab. Menurut yang disebut di bawah 1) dan 2) konteks, termasuk isi pemberitaan, sedangkan konteks-indigenisasi (dari Fleming) bukan demikian. B.C.E. Fleming, Contextualization of theology, 1980.
88 J.H. Bavinck, Inleiding in de zendingswetenschap, 1954, hlm 168; Plaisier, Over bruggen en grenzen, 1993, 3 hlm 39. Plaisier menunjukkan bahwa Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dalam pekerjaan zending di tengah orang Toraja di Sulawesi Selatan berbeda dengan praktik pekerjaan zending pietis, msl di Jawa Barat, yang mendirikan kampung-kampung Kristen, sekalipun GZB juga berlatar belakang pietis. Tetapi, GZB di Sulteng mengikuti praktik Kruyt dan Adriani di Poso dan menganut teori A. Kuyper. Tidak dapat disangkal bahwa di Sumba juga didirikan kampung-kampung baru khusus Kristen, dengan tujuan membuka lokasi untuk sekolah pertanian/pusat penyuluhan, dan/atau sekolah teologi mis.: Lewa (pusat Gereja Kristen Sumba), Parai Puluhamu (pusat Gereja-gereja Bebas), Wai Marangu (pusat GGRI). Kedua pusat terakhir juga dimaksudkan untuk dijadikan pusat resettlement, untuk penduduk dari tanah gersang di gunung pedalaman. Secara tidak langsung memang tercipta sebuah kampung Kristen. Parai Puluhamu juga berfungsi untuk menampung gadis-gadis dan perempuan muda yang merasa khawatir akan dinikahkan oleh keluarga. Dalam hal itu, Parai Puluhamu lebih dari sebuah resettlement dan menjadi enklave Kristen.
89 C.H. Kraft, Christianity in Culture, 1979.
90 Contoh-contoh kontekstualisasi yang disebut Wellem, o.c., hlm 268-274, mengenai Sumba: arsitektur gedung gereja, upacara yang berlaku di GKS untuk menerima seorang yang baru bertobat dalam tubuh jemaat, lambang GKS, yaitu penunggang kuda putih, lagu Sumba dalam nyanyian gerejawi.
91 Plaisier, o.c., hlm 636-641.
92 Plaisier, o.c., hlm 287-299, 571-574, 641.
93 Sependapat dengan Nicholls, dan juga Th. Oosterhuis, Met beide benen op de grond, 1995.
94 Hesselgrave, Rommen, o.c., hlm 54
95 Hesselgrave, Rommen, o.c., hlm 190.
96 Bevans, o.c., hlm 30-62.
97 J.C. Hoekendijk, Kerk en volk in de Duitse zendingswetenschap, 1948. Di hlm 90-95 Hoekendijk menguraikan Missionslehre, karya G. Warneck; pada hlm 107 Hoekendijk bersama ahli lain berkesimpulan bahwa Roh Kudus dikesampingkan dan diganti oleh ”natura”: alam.
98 S. Griffioen, Geen relativismegeen universalisme! 1988, hlm 32, 33, 36.
99 J. Douma, De predikant en het Schriftberoep, 1992; dan juga Het Schriftberoep in de ethiek, z.j.
100 Kedua formulir dicantumkan dalam Buku Gereja, yang diterbitkan oleh GGRI-NTT pada tahun 1990.
101 Formulir tahun 1975 itu adalah saduran Tata Cara Peneguhan Nikah yang sejak abad ke-16 dipakai oleh Gereja Gereformeerd (Hervormd) di negeri Belanda dan oleh semua gereja Calvinis lainnya yang lahir sesudahnya. Naskah formulir asli ini dicantumkan dalam Th. van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm 496-501.
1 Raphael Patai, Family, Love and the Bible, 1960, hlm 17. Di hlm 223 vv, Patai membandingkan perkawinan di Timur Tengah dengan perkawinan dinegara-negara Barat. Dia lebih menyukai pola kekeluargaan Timur yang mengindahkan keluarga besar dan dia menunjukkan kegagalan pola masyarakat Amerika.
2 J. Douma, Seksualiteit en huwelijk, 1993, hlm 110-143.