II. PEM-BELIS-AN di SUMBA TIMUR

Pengantar

Bab ini membahas belis di Sumba Timur, berlatar belakang masyarakat lokal, sebab harga kawin selalu berhubungan dengan aspek masyarakat yang lain. Tujuan bab ini adalah mempersiapkan suatu penilaian yang dapat dipertanggung jawabkan dalam Bagian 5.

Mendahului pokok-pokok yang konkret, maka bagian berikut adalah satu gambaran tentang lingkungan, penduduk, dan pemukiman di Sumba Timur. Secara khusus kami mela kukan penelitian terhadap wilayah Umalulu. Bagian berikut juga memba has tentang apakah Sumba Timur dapat dilihat sebagai bidang penelitian tersendiri.

Gambaran di bawah ini merupakan rekonstruksi keada an pada masa lalu. Di berbagai tempat, keadaan masa lalu dan masa kini belum jauh berbeda. Tetapi, waktu terus ber jalan, adat berubah, muncul masalah baru. Pada masa lalu dibutuhkan keseimbangan antar-kabihu, yang wujud dari pemberian timbal balik, sedangkan kebutuhan itu makin menghilang jika pemerintah menjamin kerukunan masyara kat. Dalam keadaan itu, belis dapat menjadi bis nis, sehingga timbul masalah baru.

Gereja Kristen telah berada di Sumba sejak akhir abad ke-19, dan gereja juga telah mempertanyakan arti dan wujud harta kawin. Gereja melarang anak perempuan yang masih kecil dinikahkan, gereja juga melarang menikahkan anak perempuan dan anak lakilaki dengan paksa; begitu pula dengan ”harga kawin” yang terlalu tinggi, yang mengakibatkan mudahnya terjadi hubungan seksual sebelum menikah. Gereja juga keberatan bila agama suku berperan dalam pengurusan nikah.

Pokok kontekstualisasi dan pokok kristenisasi dibahas singkat dalam akhir bab ini, sedang pembahasan lebih lanjut tersaji dalam penilaian pada Bagian 4 dan Bagian 5.

1. Tanah, Penduduk, dan Pemukiman di Sumba Timur

Sumba Timur dalam pandangan kami merupakan wilayah tersendiri. Bukan berarti bahwa masyarakat di Sumba Barat dan di Sumba Timur benar-benar asing satu sama lain. Mes kipun baha sanya berbeda, mereka saling memahami budaya tetangga.1 Tetapi, alasan untuk mempertahankan keunikan Sumba Timur adalah sebagai berikut:

Di Sumba Timur terdapat satu bahasa saja, yaitu bahasa Kambera, sekalipun dengan beberapa logat yang berbeda.2

Sumba Timur terkenal oleh hanya satu cara perkawinan preskriptif, yaitu cross-cousin yang matrilateral (MBD), sedangkan di Sumba Barat terdapat berbagai cara: makin ke barat makin besar perbedaan dengan adat Sumba Timur.3

Sejak dahulu, sebagian besar Sumba Barat lebih kaya dan lebih makmur daripada Sumba Timur. Tanah di Sumba Barat le bih subur dan penduduknya lebih padat. Sumba Timur terkenal karena padang dan ladang, Sumba Barat dahulu lebih banyak sawah nya. Karena itu, di Sumba Timur jenis hewan untuk adat bia sa nya kuda, sedangkan di Barat kerbau, yang penting untuk persawahan.4

Menurut semua orang Sumba Timur, mereka adalah ketu runan dari satu nenek moyang yang pertama kali menginjak pulau itu, yakni Umbu Walu Mandoko, sedangkan orang Sumba Barat berpendapat bahwa nenek moyang mereka lebih banyak. Menurut mitos, para leluhur mendarat lebih dahulu di Tanjung Sasar, bagian utara, sedang Umbu Walu Mandoko kemudian terus berlayar ke Teluk Waingapu, baru turun dari kapalnya.5

Pada tahun 1937 dan 1938, antropolog W. Keers telah melakukan penelitian terhadap penduduk Nusa Tenggara, dengan kesimpulan bahwa para penduduk Sumba Timur merupakan sukubangsa tersendiri.6

Gregory L. Forth telah menulis penelitiannya tentang Ke rajaan Rende,7 Sedangkan buku-buku dari Umbu Hina Kapita merupakan sumber yang penting untuk mengenal Sumba Timur. Dengan rinci ia menulis tentang kerajaan di Umalulu, yaitu Melolo, yang berbatasan dengan Rindi. Dia pernah bekerja sama dengan misionaris/ahli bahasa L. Onvlee.8 Pada tahun 1985 Kapita meraih gelar doktor di Vrije Universiteit di Amsterdam. Onvlee dan Kapita menerbitkan satu Kamus Besar Bahasa Kambera-Bahasa Belanda.9 Kapita berasal dari Mangili, Sumba Timur.

Rodney Needham menghasilkan satu studi tentang Mamboru, yang secara budaya merupakan daerah peralihan antara Sumba Timur dan Sumba Barat.10 Danielle Geirnaert melakukan pene litian tentang Laboya di Sumba Barat,11 dan Janet Hoskins tentang Kodi, juga di Sumba Barat.12 Satu bibliografi dibuat oleh Taro Goh dan diterbitkan oleh J.J. Fox.13

Bentangan alam

Tanah di Sumba gersang dan tidak subur, khususnya di bagian Timur. Luasnya 12.297 km², sekitar 7.000 km² termasuk bagian Timur. Pada tahun 2008 Sumba Timur berpenduduk 223.116 jiwa, berdasarkan data dari situs provinsi NTT. Mulai tahun 1990 areal yang luas di pesisir utara mulai dijadikan persawahan, dengan membendung sungai-sungai agar airnya dapat dialirkan ke daerah pertanian. Pulau Sumba, sama seperti Sabu dan Rote serta Pulau Timor, terletak pada busur kepulauan yang paling selatan di Indonesia. Pulau itu bukan daerah vulkanis, sebagian besar terdiri dari batu gamping atau karang.

Pada masa lalu jarang dibuat irigasi, hanya ada di be be rapa wilayah yang dimiliki oleh para bangsawan. Para penduduk umumnya hidup dari berburu dan mengambil hasil hutan, tetapi ada juga yang berkebun; tiap tahun sebagian hutan itu dibakar untuk dijadikan kebun selama dua sampai tiga tahun (pertanian berpindahpindah). Cara bertani seperti itu mengakibatkan erosi tanah yang hebat.

Kekayaan penduduk pada umumnya berupa hewan dan padang rumput. Hewan-hewan itu tidak perlu dipelihara secara in tensif. Sejumlah kuda dan kerbau dijinakkan, sedang yang lain di biarkan berkeliaran di padang, dan akan digiring jika akan dijual. Sapi ongole, yang pada mulanya dibawa dari India itu, bukan hewan asli Pulau Sumba, karena itu sapi tersebut tidak termasuk harta kawin.14

Kerbau dibutuhkan untuk membajak (rencah) sawah yang hendak ditanami padi. Menurut agama suku, kuda dan kerbau perlu disembelih pada upacara pemakaman, untuk kepentingan orang yang meninggal itu di negeri yang ke kal. Babi juga termasuk hewan asli. Pada umumnya yang memelihara babi adalah kaum perem puan. Pada upacara perkawinan, suku yang memberi perempuan juga wajib menye rahkan babi.

Kedatangan para leluhur

Menurut dongeng, para leluhur datang dari seberang laut. Tem pattempat yang dimaksud adalah Malaka, Jawa, Bali, Makasar, Bima, Ende, Sabu dan Rote. Menurut mitos itu, Flores pernah tersam bung dengan Tanjung Sasar, Sumba Utara, tetapi jembatan itu hancur karena disambar petir. Hal itu terjadi karena nenek moyang tidak suka hubungan lalu lintas dengan tempat tinggal semula terlalu erat.15 Rute yang disebut dalam mitos itu mendukung pengerti an umum bahwa pada permulaan tarikh masehi, bangsa-bangsa Asia yang datang melalui Semenanjung Malaka itu menduduki kepulauan Indonesia dan mengusir penduduk asli.16

Keers membedakan empat kelompok secara berturut-turut dari Asia Tenggara yang menduduki kepulauan Indo ne sia: Orang Weda, orang Negrito, orang Proto-Melayu dan orang Deutero-Melayu. Jarak yang mereka jelajahi untuk memasuki pedalaman kepulauan tidaklah sama. Kemungkinan tidak ada satu kelompok asli pun yang utuh di Kepu lauan Nusa Tenggara. Keers tidak mene mukan orang Weda di sana, yang mungkin dilihat hanya ciri-ciri mereka pada sebagian penduduk di Pegunungan Sumba Tengah di arah utara dari Lewa (W. Keers, hlm 22-23, 143-144). Orang Negrito adalah penduduk awal sebelum penduduk yang ada seka rang, tetapi orang Negrito asli tidak ditemukan lagi.

Keers mengatakan, di Sumba Barat mereka bercampur dengan orang Proto-Melayu. Orang Deutero-Melayu tidak sampai ke Nusa Tenggara Timur (W. Keers, hlm 144). Menurut Keers, penduduk Sumba dapat dibedakan dalam dua kelompok: yang satu disebut orang Sumba Timur, meskipun mereka juga ditemukan di Sumba Barat, dalam bentuk yang sudah bercampur. Kelompok yang lain disebut orang Sabu. Dalam hal ini, ia tidak menunjukkan orang

Sabu yang sebagai pendatang menduduki di pesisir pantai, sejak abad ke-18, tetapi para penduduk asli yang datang ke Sumba dan meneruskan perjalanan ke Sabu. Hubungan yang bersejarah ini pada umumnya tidak disadari oleh orang-orang Sumba. Di Pulau Sumba para penduduk asli ber campur aduk dengan para penduduk baru yang tidak berkeberatan disebut orang Sumba. Di Pulau Sabu penduduk tetap mempunyai ciri asli, sekalipun menurut Keers, ada juga kemungkinan terdapat unsur Deutero-Melayu. Di Sabu mereka menganggap Tan jung Sasar di Sumba sebagai tempat pendaratan nenek mo yang dan kampung jiwa (W. Keers, hlm 29, 30, 144, 145). Keers tidak memberi tanggal kedatangan orang yang disebutnya orang Sabu itu. Tidak jelas apakah bangsawan di Sumba, yang menurutnya mungkin berasal dari para punggawa Kerajaan Majapahit, tergolong pada kelompok orang Sabu ini. Tepat lah kesimpulan Keers bahwa bangsawan di Sumba maupun orang Sabu di Sabu mempunyai ciriciri Hindustan.

Sejarah menjadi hidup kembali dalam kebiasaan-kebia saan dan peribahasa-peribahasa. Misalnya, hanya para bang sawan saja yang di perbolehkan memakai kain sutra, seperti dahulu di istana kerajaan Majapahit. Kabihu-kabihu (suku-suku) yang terkemuka dalam suatu wilayah disebut hanggulah-hangaji, artinya: Tahta Maja pahit dan Raja Bima. Karena kedua kerajaan itulah yang menguasai Sumba pada abad ke-14 dan ke-15.17

Ada yang mempertahankan pendapat bahwa dalam suatu wilayah, bangsawan yang disapa dengan sebutan Ratu adalah penguasa lama yang diganti oleh raja.18 Alasan untuk tidak mendukung pendapat itu adalah bahwa dahulu ratu diberi peran yang penting dalam pembagian tugas di kampung. Tetapi, para ratu mempunyai hamba, sebagaimana bangsa wan lainnya. Menurut ka mi, lebih tepat kalau hamba-hamba itu dianggap sebagai sisa pen duduk asli.

Menurut mitos, para leluhur datang dari seberang laut secara ber-kabihu.19 Kemudian kelompok-kelompok suku itu bermusyawarah tentang bagaimana cara mengatur ke hidupan bermasyarakat; pembagian tanah dan aturan-aturan yang bersifat keagamaan. Musyawarah itu terjadi di Tanjung Sasar dan juga di Teluk Waingapu. Tetapi, sangat diragukan emigrasi itu berlangsung dengan harmonis dan telah melalui musyawarah. Mitos itu membuktikan bahwa suku-suku Sumba menganggap dirinya bersatu. Mungkin kegemaran dan kepercayaan pada angka 4 dan 8 menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa suku-suku makin memekar dan terus dibagi dua, atau karena mereka menyenangi paralelisme dalam bahasa sastra.20

Menurut mitos, para leluhur itu pandai berlayar,21 tetapi di kemudian hari, orang Sumba tidak menguasai kepandaian itu. Pada abad-abad lampau perkawinan antara orang Sumba dengan orang Ende atau orang Sabu sering terjadi. Pada zaman berikutnya hal itu tidak terjadi lagi karena orang Ende dan orang Sabu merebut bagianbagian Pulau Sumba dan membangun kotanya sendiri di pesisir pantai. Merekalah yang menangkap ikan dan berdagang bersama dengan beberapa orang Arab. Kayu cendana dan kuda diekspor. Orang Ende terkenal karena memperjualbelikan budak.

Paraingu dan Kabihu

Pada zaman dahulu beberapa kabihu (suku) tinggal bersama di satu paraingu (kampung). Masing-masing kabihu mempunyai peran dan tanggung jawab sendiri,22 dan tiap kabihu terbagi lagi dalam be berapa uma (rumah), masing-masing juga dengan tugas khusus. Jadi, kata uma itu bukan saja menunjuk pada bangunan yang merupakan rumah tinggal untuk beberapa pasangan suami istri, melainkan juga merupakan bagian dari suku yang pada mulanya tinggal dalam rumah yang besar yang atapnya menyerupai menara. Hamba-hamba terhitung dalam kabihu tuan mereka.

Menurut gambaran Needham, paraingu mempunyai tiga makna, yaitu: 1) Paraingu dihuni oleh satu atau lebih kabihu; 2) dalam tiap paraingu ada uma bokulu (rumah besar), sebagai pusat pemerintahan setempat; 3) dalam tiap kabihu terdapat juga uma ratu (uma imam).23

Paraingu itu terletak di atas bukit yang mudah untuk dipertahankan, misalnya di bukit-bukit di dekat muara sungai, dan juga di pegunungan di pedalaman. Di sekitar paraingu terletak lahan paraingu, dengan rumah-rumah kebun, dan adakalanya dibentuk perkampungan-perkampungan (kotaku). Pada mulanya padang yang terletak di antara dataran pantai dan pegunungan tidak di huni karena tidak aman, terutama sejak abad ke-16 senjata agak mudah di Peroleh

.

Mitos Sumba Timur jarang menceritakan tentang pahla wan yang memenggal kepala musuhnya, sekalipun terdapat andungu (pohon tempurung kepala) di tiap paraingu yang membuktikan praktik tersebut.24 Zendeling D.K. Wielenga menyinggung ada nya andungu itu, kemudian menceritakan tentang perang untuk mendapatkan kepala musuh,25 tetapi kami juga mendengar bahwa perang antar-paraingu hanya dilakukan secara verbal.

Geirnaert menguraikan adat pemenggalan kepala itu.26 Sumber-sumber tertulis yang berasal dari Sumba Timur menyatakan hal yang sama, yaitu laporan Penilik Pemerin tah Hindia Belanda dan misionaris yang dibuat 100 tahun lalu. Seingat saya, orang tidak pernah berbi cara tentang hal itu; apakah itu membuktikan hasil dari pengkristenan sejak akhir abad ke-19, ataukah mereka menyembunyikan tindakan-tindakan kekerasan yang per nah terjadi? Dugaan itu tidak masuk akal sebab terdengar banyak desas-desus tentang kekerasan lain, misalnya bahwa sampai sekarang orang merasa khawatir akan diculik orang suruhan para bang sawan, untuk dijadikan kurban pada pemakaman bangsawan. Di wilayah Melolo diceritakan tentang kecelakaan yang disengaja, yaitu pada suatu upacara pemakaman di Rende, di mana sebuah batu kuburan ketika sedang ditarik jatuh di atas belasan orang yang sedang membantu menarik batu itu karena tali (sengaja) sudah setengah putus. Dengan tipu daya itu tercapailah pengurbanan jiwa dengan maksud agar jiwa-jiwa itu akan melayani bangsawan yang meninggal tersebut di alamnya.

Karena penduduknya berasal dari golongan-golongan masyarakat yang lebih tua, apakah mungkin pemenggalan ke pala di Sumba Barat biasa terjadi sampai awal abad ke-20? Hoskins juga menunjukkan perbedaan antara adat pemenggalan kepala di Barat dan di Timur, misalnya dalam perang antara suku pantai (Kodi) dan suku di pegunungan.27

Sejak dahulu terjadi perburuan budak di Indonesia, an tara lain yang dilakukan oleh VOC28, yang lebih sering terjadi pada abad ke18 dan ke-19. Khususnya terjadi di pantai utara Sumba. Wilayah itu diserang orang Ende dan orang Makasar. Baik mereka sendiri yang datang menyerbu maupun mengajak suku Sumba untuk memerangi suku lain dan memperjualbelikan budak jarahan.

Sejak masa itu beberapa paraingu secara bersama telah membentuk suatu wilayah di bawah pimpinan seorang raja. Kemudian orang Belanda memperlakukan raja-raja itu sebagai pemimpin otonom. Sejak pasifikasi (tahun 1906) lama-kelamaan seluruh pulau telah dihuni, dan kabihu-kabihu makin tersebar di berbagai desa atau perkampungan.29

Wilayah Umalulu (Melolo)

Pada awal abad ke-20, kampung adat yang lama di wilayah Umalulu terbakar, dan sejak itu para kabihu tinggal di tempat-tem pat yang sejak dahulu telah diberikan kepada masing-masing kabihu berdasarkan musyawarah bersama. Kampung yang lama itu dibagi empat, masing-masing dihuni oleh beberapa suku. Kata kabihu (suku) dapat diterjemahkan juga dengan sudut, pojok, atau seperempat bagian (quarter).

Empat kabihu ratu, yang terpenting adalah Watuwaya, yang mendiami wilayah tersendiri. Kabihu raja Palai Malamba bersama suku yang berada di bawahnya, juga mempunyai bagian tersendiri. Kabihu raja Watu Pelitu yang datang kemu dian ke wilayah Umalulu tinggal di sampingnya, selain itu terdapat satu lagi kelompok suku lain yang tinggal di antara kedua suku raja sebagai penengah.

Nenek moyang yang pertama berjuang dengan tipu daya untuk mendapatkan posisi-posisi utama: kabihu raja Palai Malamba adalah keturunan dari seorang nenek moyang yang menang, tetapi yang kemudian mengalah ketika mengundang kabihu yang kuat bernama Watu Pelitu untuk tinggal di Umalulu. Kabihu ratu Watuwaya juga merupakan keturunan seorang leluhur yang kuat. Si pemenang disebut mangu tanangu (tuan tanah) dan julukan itu tetap dimiliki oleh kabihu ratu, sedang kekuasaan untuk memerintah dipegang oleh kabihu raja. Palai Malamba dengan segera harus membagi kuasa itu dengan Watu Pelitu, sedang Watuwaya juga dianggap menjadi kabihu ratu untuk Watu Pelitu30.

Watuwaya bersama kabihu ratu lainnya berhak memiliki sejalur lahan yang sempit memanjang yang melintasi seluruh wilayah, dari pantai sampai batas pegunungan.31 Kedua suku raja, bersama dengan suku bawahan mereka, membagi tanah yang lain. Baru pada zaman Hindia Belanda kerajaan menjadi satu di bawah Watu Pelitu. Raja yang ada sekarang dikenal sebagai Raja Pau, salah satu kampung perkebunan yang dikembangkan menjadi kampung raja.

Satu kabihu dapat memekarkan diri dan yang sebagian juga dapat berpindah tempat. Watu Pelitu sebenarnya da tang dari Kanatang (Sumba Tengah), demikian juga Ana Mburungu di Rende kemudian ada yang tinggal di Kanatang. Tetapi, kesatuan kabihu tetap terpelihara. Keluarga yang kaya sering berusaha menikahi perempuan yang memang dari suku yang tepat, tetapi sedapat mungkin dari luar wilayahnya sendiri.32 Watu Pelitu mengambil perempuan, antara lain dari Wajelu, sebab pilihan tersebut paling menguntungkan dan tidak mengakibatkan ketegangan33. Watu waya mengambil perempuan dari wilayah pegunungan, di Massu, dari kabihu Anawaru.34

Perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu dijunjung tinggi. Seorang maramba (julukan bangsawan yang tertinggi) tidak lagi dianggap maramba jika dia tidak menikah dengan anak dari saudara laki-laki ibunya. Tetapi, jika dia mendapatkan seorang istri seperti itu, apalagi kalau perempuan itu berasal dari tempat yang jauh, dia akan berbahagia dan namanya akan menjadi makin besar.35

Agama orang Sumba disebut agama Marapu.36 Mereka menyembah nenek moyang, tetapi di samping nenek moyang ada khalik yang disegani yang posisinya lebih tinggi daripada nenek moyang. Secara sederhana orang Kristen sering merasa cukup jika penyembahan kepada nenek moyang diganti dengan iman kepada Kristus, sedangkan sikap terha dap khalik itu tidak perlu diubah.

Pada saat ini orang Sumba dengan terbuka berani menyatakan bahwa mereka memeluk kepercayaan Marapu, padahal beberapa dasawarsa yang lalu mereka tidak berani mengungkapkan nya, karena khawatir dianggap sebagai ko munis yang tidak beragama, atau dianggap kurang berpen di dikan karena menganut agama yang tidak diakui. Seperti diketahui, agama yang diakui secara resmi adalah yang percaya kepada satu ilah dan mempunyai kitab-kitab suci. Tetapi, sama seperti kepercayaan orang suku Batak, Dayak, dan Toraja yang telah berhasil mendapat pengakuan pemerintah, orang Sumba juga berharap kepercayaan mereka akan diakui dikemudian hari.

Allah dan Jiwa

Dewa tertinggi disebut dengan berbagai nama yang dapat mene rangkan pandangan orang Sumba terhadap ilah.

”Ina Pakawurungu-Ama Pakawurungu”: ibu dan bapak yang namanya hanya boleh dibisikkan; ilah itu yang mencip takan manusia pertama.37 Bukan berarti bahwa dewa itu dianggap wanita sekaligus lelaki, karena paralelisme itulah merupakan bahasa sas tra, tetapi sekaligus membuktikan bahwa dualisme lelaki/wanita dalam pandangan orang Sumba sangat penting.38 Paralelisme kelihatan juga pada kabihu-kabihu yang bertugas untuk memperdamaikan dan menebus dosa: ”Ina Tolumata-Ama Wai Maringi”: ibu daging mentah, dan bapak air sejuk. Kabihu pertama menanggung hukuman, kabihu kedua membawa keselamatan, dan bersama merekalah penengah antara ilah dan manusia.39

Ndewa mbulungu-Pahomba mbulungu”: ”dewa/somba satu-satunya” atau ”Ndewa luri-pahomba luri”: ”dewa/somba yang hidup”. Dewa dan somba menunjukkan jiwa, sedangkan jiwa itu ada pada dewa tertinggi, tetapi juga ada pada tiap manu sia. Dewa menun jukkan jiwa seorang manusia yang hidup. Somba40 adalah bayangan dari nenek moyang yang sudah lama meninggal yang namanya tidak dikenal lagi dan yang sudah bersatu dengan dewa tertinggi.41 Rupanya jiwa mempunyai dua segi: yang satu terarah kepada dunia manusia (dewa), yang lain kepada dunia dewa (somba).

Dewa tertinggi itu tidak pernah diundang secara langsung, tetapi selalu melalui marapu, sebagai penengah.42 Seper ti telah dikatakan, menurut beberapa orang Kristen, marapu memang tidak boleh disembah, tetapi dewa tertinggi boleh karena sama dengan Allah yang kita kenal dari Alkitab. Menurut mereka, sebenarnya orang Kristen mengembalikan kepada Allah segala hormat dan hak yang telah dirampas dari-Nya oleh penganut agama marapu.

Pada tahun 1987, Konferensi GGRI NTT membahas pokok itu, dan menentang mereka yang mengatakan bahwa orang Sumba dan orang Kristen pada hakikatnya menyembah kepada ilah yang sama. Sebab, menurut konferensi itu, jelas bahwa mitos tentang dewa tertinggi itu bertentangan dengan isi Alkitab.

Ada satu dongeng tentang penciptaan; pada mulanya tercipta dua orang, kemudian diceritakan tentang delapan pa sangan yang menjadi perintis penduduk di bumi. Sesudah tempat kediaman semula yang ada di atas terlalu sempit maka pulau-pulau dihamburkan dari surga untuk didiami manusia.43 Tetapi, Allah yang benar adalah Allah Bapa dari Yesus Kristus, siapa saja yang menyangkal Anak adalah penyembah berhala, sekalipun ia mengaku adanya Allah.44

Gambar tentang ilah yang terdapat dalam mitos orang Sumba memang menyerupai lukisan Alkitab. Mungkin kah penghuni Pulau Sumba yang pertama telah membawa pengetahuan itu dari tempat asalnya, sama seperti pengetahuan itu telah disebarkan ke seluruh dunia, bertolak dari tempat tinggal manusia yang pertama?

Jadi, nenek moyang pertama didewakan, seperti Umbu Walu >Mandoko dan yang lainnya. Mereka dipanggil marapu ratu: marapu yang raja. Merekalah penengah antara ilah dan manusia, sekalipun kebanyakan nenek moyang yang agung itu tidak dikenal namanya.

Mereka disembah para raja pada upacara-upacara yang diadakan untuk seluruh wilayah.45 Umumnya persembahan diarahkan kepada marapu yang rendah, nenek moyang kabihu. Tetapi, terdapat kabihu-kabihu tertentu yang secara khusus terikat pada marapu yang tinggi. Menurut Kapita, Umbu Walu Mandoko sebenarnya patut disapa dengan Umbu Harandàpa Walu Mandoko, apalagi ada Umbu besar dengan nama tersebut yang tinggal di surga, dan Umbu kecil dengan nama yang sama yang tinggal di bumi. Yang disebut terakhir, hanya disembah oleh kabihu-kabihu tertentu, sedangkan Umbu besar disembah oleh semua kabihu.46

Salah satu kabihu khusus itu bernama Wai Mbidi. Dalam persiapan untuk konferensi tahun 1987, seorang peserta (H. Lindiwara) menulis bahwa menurut kabihu itu, nenek moyang merekalah yang telah naik ke surga, yaitu Umbu Harandàpa. Karena itu, mereka selalu berbicara tentang Umbu Harandàpa la Awangu (yang di surga) dan Umbu Harandàpa la Tana (yang di bumi). Ke simpulannya adalah bahwa yang diakui sebagai pencipta dalam agama suku tidak lain adalah nenek moyang.

Yang lebih mengherankan bagi peserta konferensi adalah ucapan U. Ngg. Rawambaku bahwa filsafat Sumba mengakui adanya reinkarnasi. Terjadi pendamaian terus-menerus an tara pencipta dan ciptaannya. Seseorang yang meninggal dunia akan lahir lagi kemudian. Tidak ada yang tetap tinggal di surga.

Ibadat

Dalam tiap paraingu ditemukan satu rumah ibadat, tetapi di kampung-kampung yang termasuk wilayah paraingu itu tidak ada ru mah ibadat. Hanya, dalam tiap kampung bahkan di depan rumah maupun di dalam rumah terdapat tempat persembahan. Yang di depan rumah disebut katoda (sebatang kayu di antara dua batu datar) dan di dalam rumah terdapat sengkalan yang diikat di tiang utama penyangga atap. Di bawah bubungan rumah yang berme nara itu terdapat semacam loteng, yang katanya merupakan tempat tinggal marapu.

Penyembahan dilakukan melalui doa dan persembahan. Yang bersembahyang itu adalah ratu yang berbicara dalam bahasa Kambera yang tinggi. Persembahan-persembahan hampir selalu berupa hewan. Penyembelihan binatang dilakukan pada peristiwa kelahiran, pada upacara yang menandakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja dan dewasa muda, pada tiap tahap upacara perkawinan, dan upa cara pemakaman. Dilakukan juga pada saat menerima tamu, khususnya jika terjadi pertemuan an tara pemberi perempuan (yera) dan pengambil perempuan (layia). Di sam ping itu penyembelihan binatang juga dilakukan bila mulai membangun rumah, membuka lahan perkebunan dan masa panen. Penyembelihan binatang itu juga disertai dengan upacara memang gil marapu dan menenung, melalui pengamatan tali perut. Sebagi an kecil dari hidangan yang akan dimakan bersama, akan diletakkan pada sengkalan dan katoda untuk dihidangkan kepada marapu. Penyembelihan tidak boleh dilakukan dengan sesuka hati.47

Menurut orang Sumba yang beragama marapu, melalui hewan yang disembelih itu ia berhubungan dengan nenek moyangnya.48 Di samping itu, penyembelihan binatang diang gap penting dalam rangka pemberian timbal balik. C. Lèvi-Strauss telah menekankan betapa besar peran pertukaran itu sebagai alat komunikasi antarkelompok.

Manusia hendak hidup selaras dengan alam, tanah, ta naman, dan binatang: pada hakikatnya segala makhluk hidup mempunyai hamangu.49 Sebatang pohon dapat dirobohkan jika tuan tanah menyetujuinya. Dan tuan tanah itu bukan saja kabihu yang berhak atas tanah itu, melainkan juga marapu, atau roh nenek moyang dari kabihu itu, yang kepadanya harus diberi persembahan. Bila orang hendak menarik batu besar untuk dijadikan batu kuburan, orang juga perlu memberi persembahan kepada tuan tanah tersebut, agar ia melepaskan batu itu.50

Darah manusia berkaitan dengan tanah yang didiaminya, dan yang menghasilkan pangan baginya. Selama hubungan antar keluarga tetap murni, maka hubungan baik antara manusia dan tanah juga terjamin. Sebab, tuan tanah adalah nenek moyang suku. Hendaknya anggota suku menikah dengan anggota suatu suku yang menurut adat dan mitos merupakan pasangan yang benar. Dalam hal ini marapumarapu akan menjamin adanya hujan dan keturunan nya akan memperolah hasil dari tanah. Berkat yang diberikan oleh marapu terlihat pada lahirnya keturunan yang akan mendiami tanah suku dan yang akan memberi persembahan kepada marapu. Dalam satu wawancara,

Raja Pau mengatakan bahwa hendaknya banyak binatang disembelih agar darahnya menyuburkan tanah.

Adakalanya penjelasan yang diberikan berbelit-belit, sehingga ada pemahaman yang berbeda terhadap pertanyaan, ”ditujukan kepada siapa sebenarnya permintaan berkat pada salah satu katoda?” Jelas, kepada katoda yang berada di depan rumah supaya nenek moyang yang diserukan melindungi keluarga mereka sehingga terhindar dari bencana dan perse lisihan, dan diberikan ke suburan. Tetapi, di padang luas juga terdapat katoda, dalam bentuk batubatu yang disusun di bawah pohon. Di situlah pada zaman dahulu tempat pamangu ndewa, sebuah pesta yang dirayakan tiap delapan tahun sekali, yang menurut Onvlee bukan marapu yang dipanggil, melainkan ndewa-pahomba,51 sedangkan menurut Forth, marapu dan ndewa-pahomba tidak perlu dibedakan.52

Menurut kami, yang lebih tepat, keyakinan orang Sumba yang beragama suku adalah bahwa marapu dan ndewa-pahomba diang gap berbeda. Dalam kehidupan beragama sehari-hari, marapu-marapu itu yang lebih dipentingkan, yang juga tampak dalam mitos. Ceritacerita dongeng itu sering dikembangkan dari fakta historis, dan kemudian disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan suku. Sumber informasi mengatakan bahwa pahomba di padang luas itu adalah tempat bermantra (pembantaran), agar pengaruh buruk dan kutuk dari dewa dapat dihindari.

3. Garis Ketaranan

Kabihu dan Uma

Bagian ini membahas tentang keturunan, khususnya dalam arti pembagian ke dalam kelompok-kelompok. Siapa yang di anggap terhitung dalam kelompok keturunan yang mana? Dapatkah seseorang dianggap termasuk dalam dua kelom pok keturunan, dari pihak ayahnya dan sekaligus dari pihak ibunya? Menurut konsep FAS, inilah ciri khas budaya Indo nesia, dan memang demikian keadaan di Sabu maupun di Kodi, Sumba Barat.

Pada hakikatnya paragraf ini membahas kabihu yang merupakan satu kelompok yang bersifat eksogam dan yang berasal dari leluhur yang sama secara patrilineal. Tetapi, penguraian ini tidak mencukupi, karena perempuan terhitung pada kabihu suaminya, sejak hari perkawinan yang sah dilakukan. Begitu juga anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian juga orang-orang bawahan yang bekerja pada keluarga tersebut, termasuk dalam kabihu tuan mereka. Para hamba menyembah nenek moyang yang sama, karena mereka juga mempunyai kewajiban keagamaan yang sama, demikian menurut Kapita.53 Satu kabihu dapat terdiri dari bangsawan, orang-orang merdeka, dan hamba. Tetapi, di dalam uma, sebagai bagian suku yang lebih kecil, semua anggota mempunyai posisi yang setara.54

Selain mempunyai arti suku, kata kabihu dapat diartikan sebagai sudut/pojok atau seperempat bagian (quarter),55 kare na dahulu tiap kabihu mendiami sudut tertentu dalam paraingu. Meskipun kabihu itu merupakan bagian dari paraingu, tetap ia berdiri sendiri. Pada upacara perkawinan atau pemakaman, kabihu-kabihu dari paraingu yang lain hanya terlibat secara tidak langsung. Pada mulanya seluruh tanah dan segala tugas dalam wilayah dibagi antara kabihu masing-masing.56

Menurut Kapita, masyarakat Sumba dapat dibagi menu rut tiga cara: menurut paraingu, kabihu, dan golongan masya rakat.57 Hen dak nya ketiga prinsip itu tidak dicampur aduk. Penggolongan masyarakat akan dibahas dalam bagian berikut.

Tanah adalah milik kabihu. Keturunan dirunut melalui garis patrilineal dan hak waris juga dialihkan melalui garis keturunan. Jadi, tiap kabihu terbagi sesuai dengan jumlah uma. Perempuan tentu akan masuk uma suaminya, dan sebaiknya dia berasal dari satu uma yang dalam kabihu tempat asalnya sama penting dengan uma suaminya. Uma itu bukan saja sebagian dari kabihu, tetapi sekaligus rumah tinggal. Rumah itu didiami oleh beberapa rumah tangga yang masing-masing mempunyai bilik sendiri. Rumah merupakan inti kehidupan bermasyarakat dan dapat disebut dunia dalam skala kecil. Di dalam bubungan atap berdiam roh nenek moyang, di lantai (kaheli) berada manusia, sedangkan hewan diikat di bawah rumah. Empat tiang besar (kambaniru) menopang atap, sedang bentuk rumah adalah segi empat. Keempat tiang tersebut masing-masing berhubungan dengan tanggung jawab tertentu. Yang satu merupakan tempat untuk berdoa, yang kedua tempat bermusyawarah, yang ketiga tempat untuk memasak, dan yang ke empat tempat untuk menyediakan ma kanan ternak. Keempat fungsi itu sesuai dengan empat golongan masyarakat: ratu (imam), maramba (raja), kabihu (orang merdeka), dan ata (hamba).58

Menarik sekali, istilah atau kata kabihu dapat diartikan juga sebagai salah satu dari keempat golongan, yaitu ”orang merdeka”. Artinya, dalam pandangan orang Sumba, golongan orang merdeka itu merupakan inti dari masyarakat!

Dalam kehidupan seseorang hal yang terpenting ialah bahwa dia tergolong dalam salah satu kabihu, bukan dalam hal hu bung annya dengan ratu atau maramba. Tau kabihu, yaitu orang merdeka, harus menjunjung tinggi nama kabihu. Kabihu adalah ke hormatan mereka, tempat mereka menerima hak dan kewajiban untuk kehidupan bermasyarakat dan hak dan kewajiban atas ke turunannya.59

Geirnaert maupun J. Vel membedakan antara uma dalam arti rumah dan dalam arti lineage (subklen): untuk arti yang kedua mereka menulis Uma, untuk yang pertama uma.60

Platenkamp pernah mengatakan bahwa pembedaan-pem bedaan yang lazim seperti klen dan lineage (subklen) ti dak sesuai untuk Indonesia Timur. Geirnaert memang tidak menggunakan ungkap anungkapan klen dan lineage, tetapi tidak juga mendukung Platenkamp.

Anak-anak masuk dalam kabihu ayah. Dia mempunyai hak waris dalam kabihu ayah, asalkan belis sudah dibayar lunas. Jika tidak, mereka tetap terhisab dalam kabihu ibu, sama seperti ibunya.

Seseorang yang telah menjadi janda dapat dinikahi oleh saudara suaminya, sebab dia telah termasuk dalam kabihu suami. Tetapi, hal itu bukan keharusan. Hanya, seandainya seseorang dari kabihu lain ingin menikahinya, dia perlu berpindah dahulu ke kabihu tempat asalnya dan berusaha agar belis yang dahulu diterima untuknya dikembalikan. Setelah semua dilakukan, dia dapat menikah kembali dan si perempuan akan masuk ke kabihu suami barunya dengan pem-belis-an. Jika belis yang dahulu diterima tidak dikembalikan, maka laki-laki terpaksa harus masuk ke kabihu suami yang telah meninggal. Jelas bahwa untuk itu perlu perse tujuan dari keluarganya sendiri dan dari kabihu yang dia masuki.61

Garis keturunan perempuan

Keturunan melalui garis perempuan tidak diprioritaskan di Sumba, namun tetap diingat juga. Tentu akan timbul ber bagai masalah ka lau garis keturunan perempuan diabaikan total. Bila anak menjadi yatim piatu sedangkan kakek nenek dari pihak ayah juga telah meninggal maka kakek nenek dari pihak ibu akan mengasuh anak-anak itu.62 Menurut pengalaman Jacqueline Vel, ibu-ibu dapat bercerita tentang nenek moyang mereka, hanya saja cerita itu sulit diikuti karena berkisar pada banyak kabihu yang berbeda, begitu cerita sampai pada penjelasan mengenai paraingu. Karena tempat ia tinggal dengan suaminya berbeda dengan tempat lahirnya dan berbeda juga dengan tempat lahir ibunya.63

Sekitar 1982/1983 dalam GGRI NTT terjadi perselisihan menyangkut seorang laki-laki yang menurut orang telah menikahi bibi nya, suatu hal yang kata mereka dilarang dalam Imamat 18:13. Terjemahan LAI mengatakan ”saudara perempuan” ibunya.

”Saudara” dalam bahasa Indonesia bukan saja saudara sekandung, jadi bukan saja sibling. Dan istri laki-laki tersebut bukan saudara kandung ibunya. Sedangkan apa yang dibahas dalam Imamat 18:13 sesuai konteksnya, benar-benar saudara kandung seorang ibu. Ayat 6 menyatakan bahwa yang di maksudkan adalah kerabat dekat.

Laki-laki tersebut adalah cucu seseorang yang berpoligami. Calon istrinya adalah anak kakeknya dari istri yang satu. Ia sendiri adalah cucu dari istri yang lain. Kedua istri itu berasal dari kabihu

yang berbeda, katakanlah B dan C. Sedangkan kabihu kakek itu kami sebut A. Anak-anak dari kedua istri itu termasuk kabihu A. Begitu juga calon istri yang dimaksud itu sama dengan ibu dari bakal suami itu sebelum si ibu itu menikah. Tetapi ayah dari si laki-laki datang dari kabihu D, istrinya akan terhitung dalam kabihu D sesudah menikah, begitu juga anak mereka, yang menjadi pokok permasalahan. Perkawinan yang dipermasalahkan itu adalah perkawinan eksogami, yaitu dari kabihu D dengan kabihu A. Pemerintah tidak berkeberatan64 dan gereja mula-mula pun tidak.

Akan tetapi, kemudian perkawinan itu dipermasalahkan karena: a. Imamat 18 membuat orang bingung, sebab ditafsirkan dengan salah, yaitu ungkapan ”saudara perempuan” diartikan secara luas, bukan hanya dalam pengertian sibling.

b. Sebagian anggota gereja memperhatikan garis turunan perempuan dan karena itu mereka berkeberatan. Dalam kabihu A memang ibu laki-laki itu bersaudara dengan calon istri anaknya.

Klasis memutuskan bahwa perkawinan seperti ini sebenarnya tidak dianjurkan sebab terdapat hubungan darah, tetapi sekaligus mengatakan bahwa perkawinan itu juga tidak dapat dilarang. Bukan berdasarkan Alkitab dan juga bukan berdasarkan undang-undang negara.

Menyangkut hubungan darah, perlu disadari bahwa dilihat dari segi biologis hubungan darah ditemukan pula pada perkawinan MBD, yang adalah perkawinan yang sangat di sukai di Sumba.

Pada tahun 1935, Van Wouden menyimpulkan bahwa terdapat juga garis keturunan yang bersifat matrilineal, demikian juga Nooteboom menyatakan hal yang sama pada tahun 1940, sekalipun belakangan ini keturunan unilineal kembar tidak begitu tampak lagi di Sumba.65 Timbul pertanyaan, apakah dapat dibuktikan bahwa keturunan unilineal kembar betul-betul pernah ada. Menurut Van Wouden, dapat disimpulkan bahwa sama seperti garis patrilineal yang terdapat connubium (perkawinan) yang berputar secara asimetris antara sekurang-kurangnya tiga suku, demikian juga terdapat connubium dari tiga suku atau lebih kalau mengikuti garis matrilineal.66 Akan tetapi, peneliti Nooteboom yang agaknya sependapat dengan Van Wouden ternyata mempunyai keyakinan yang berbeda. Nooteboom menyangka bahwa keturunan matrilineal adalah berhubungan dengan golongan masyarakat dan berbentuk endogami.

Ketika membahas Sabu, telah terlihat dalam studi ini bahwa keturunan unilineal kembar di sana ada, walaupun garis patrilineal dianggap lebih penting daripada garis matri lineal. Jadi, kelompok matrilineal dalam hubi dan wini di Sabu tidak diprioritaskan, begitu juga dalam duwu di Laboya dan vala di Kodi.

Pada tahun 1951/1952, Van Wouden melakukan peneli tian sendiri di Kodi dan mendapatkan bahwa di Kodi tidak terdapat aliansi yang asimetris, seperti di Sumba Timur. Dia menyim pulkan bahwa unsur-unsur yang dirumuskannya sebagai prinsip asasi pada tahun 1935, hanya diikuti secara relatif saja di wilayah ma sing-masing. Dia mengatakan bahwa di Sumba Timur klen atau lineage (subklen) dikaitkan dengan sistem hubungan perkawinan yang unilateral, sedangkan peran garis matrilineal hanya sedikit saja. Sebaliknya, di Kodi tidak terdapat pilihan perempuan yang preskriptif, tetapi sistem bilineal sangat kuat. Ketika itu Van Wouden kehilangan motivasi untuk merancang sebuah pola struk tur masyarakat yang asli. Menurut dia terdapat keterkaitan antara sistem yang agaknya saling berlawanan, tetapi sulit dipastikan bagaimana perkembangannya secara historis.67

Pada tahun 1980, Onvlee mengatakan bahwa dia sering menggumuli arti vala, yang terdapat di Kodi, yakni kelompok matrilineal. Lembaga itu sulit ditentukan artinya, karena ti dak ada rumah vala, tidak ada tanah vala, tidak ada upacara vala, juga tidak ada petugas vala. Tidak dapat disangkal bahwa vala itu berhubungan dengan perkawinan FSD (father sisters daughter), yang ada di Kodi (dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayah).

Sekalipun sistem di Kodi bersifat kekecualian, namun Onvlee berpendapat bahwa di seluruh Sumba garis keturunan matrilineal dihormati, atas dasar alasan-alasan yang berikut:

Kelompok yang memberikan perempuan dominan. Saudara lelaki ibu (tuya) amat penting dalam pendidikan anak.Di salah satu kambaniru diserukan nama dari ”marapu yang mengikuti”, yang artinya marapu dari rumah tempat asal perempuan.

Seseorang yang tidak mempunyai saudara perempuan dalam pandangan orang Sumba tidak mempunyai keluarga.

Kelompok tempat asal ibu dianggap sumber hidup: ka dangkadang orang sakit dibawa ke sana untuk mendapat kesembuhan.

Perkawinan MBD telah mengungkapkan pentingnya garis keturunan perempuan. Orang mengiaskan bahwa mereka tidak suka membuka ladang yang baru dan tidak mau membakar hutan baru. Jelas sudah di Kodi justru terjadi hal yang demikian. Sebab, jaringan hubungan diperluas dengan tidak menanyakan hu bungan yang sudah ada.68

Kawin sumbang (inses)

Sapaan terhadap saudara laki-laki ayah berbeda dengan saudara lakilaki ibu. Tetapi, dalam bahasa di Barat (Inggris) keduanya di panggil dengan nama yang sama: uncle yang artinya om. Tidak demikian di Sumba. Saudara laki-laki ayah disapa ama, sama seperti ayah sendiri. Adik ayah dalam bahasa Indonesia selain paman disebut bapak kecil dan dianggap berpengaruh bagi anak saudaranya. Justru dialah yang paling sering bermain dengan si anak dari antara saudara-saudara ayahnya karena dia masih muda. Hanya, dalam hal-hal adat, saudara ibu lebih penting. Sebutan bagi saudara laki-laki ibu adalah tuya.

Seorang anak laki-laki bebas bermain dengan anak-anak laki-laki saudara ayah, tetapi tidak dengan anak perempuannya. Dikhawatirkan akan dapat terjadi ”kawin sumbang” (inses).

Pada umumnya tidak terjadi kontak dengan anak-anak dari saudara ibu, yang tinggal di tempat lain. Tetapi, bila terjadi kontak maka anak laki-laki tidak perlu menjauh dari anak perempuan saudara ibu. Kawin sumbang tidak akan terjadi, malahan perkawinan dengan mereka itu didorong oleh adat.69

4. Perbedaan Tingkat

Masyarakat Sumba terdiri dari beberapa golongan yang berbeda tingkat yaitu: yang dipertuan (umbu), orang merdeka (tau kabihu), dan hamba (ata). Ada juga imam (ratu) yang dianggap tingkat tersendiri, tetapi biasanya tergolong dalam tingkat pertama.

Latar belakang sejarah hanya dapat diduga-duga. Wielenga mengatakan bahwa menurut mitos, para hamba dibawa dari seberang laut.70

Menurut Kapita, memang terdapat dongeng seperti itu, tetapi ada mitos lain yang mengatakan bahwa hamba ada lah keturunan para penduduk asli yang dikalahkan oleh pendatang.71 Menurut kami, keterangan terakhir lebih dapat diterima. Telah diuraikan di atas bahwa terdapat satu lapisan penduduk yang asli.

Perlu ditambahkan bahwa pada mulanya hamba dibe rikan sebagai harta kawin.72 Kemungkinan keturunan mereka telah menjadi satu kelompok tetap dalam kabihu di mana mereka termasuk di dalamnya, adakalanya mereka merupakan uma tersendiri.73

Ada penjelasan lain yang mengatakan bahwa tiap kabihu membutuhkan semacam pemerintahan, karena itu muncullah satu uma yang menguasai uma-uma yang lain.74

Menurut kami, keterangan yang berbeda-beda tersebut tidak perlu dianggap bertentangan. Dapat dimengerti bahwa golongan bawah itu, para hamba, adalah keturunan pendu duk asli yang dikalahkan, atau masuk kabihu sebagai harta kawin, sedangkan per bedaan kaum ningrat dan kaum merdeka memenuhi keinginan masyarakat untuk mempunyai pemerintah. Apalagi, dualisme yang bersifat sosial75 adalah kesukaan orang Sumba.

E.W. Keane telah meneliti budaya Anakalang, dan J. Vel meneliti budaya Lawonda; kedua wilayah tersebut terletak di Sumba Tengah. Vel mengatakan bahwa di Lawonda, ketiga golongan itu ditemukan di dalam kabihu yang sama. Ia mengutip Keane yang berpendapat bahwa pada dasarnya semua orang sederajat dan latar belakang perbudakan adalah utang. Seseorang dapat menjadi milik tuan yang kepadanya ia berutang atau milik dari dia yang menebus utang baginya. Jadi, kaum ningrat dan kaum hamba muncul pada waktu yang bersamaan.76

Kami berpendapat bahwa keterangan Keane sesuai dengan sebagian kasus perhambaan, begitu juga keterangan yang menunjukkan latar belakang pemikiran dualistis dan asimetris. Dalam penelitian-penelitian tentang Laboya, Mam boru, dan Rende, pada kenyataannya penggolongan di bahas secara rinci, tetapi keterangan bersejarah tidak ada.77 Perbudakan seperti di Laboya tidak tampak sebagaimana di Sumba Timur.78

Feodalisme dan Pemerintahan Patrimonial

Penggolongan masyarakat di Sumba berlainan dengan feo dalisme seperti pada Abad Pertengahan di Eropa. Feodalisme berarti bahwa raja-raja besar telah mengadakan perjanjian (feudum) dengan raja-raja yang berada di bawah kekuasaan mereka. Tetapi, keadaan di Sumba lebih tepat dibandingkan dengan keadaan di Eropa pada wilayah tertentu, di mana seorang tuan berhak atas bawahannya. Meskipun mereka tidak selalu tinggal di rumah/benteng si tuan, tetapi mereka dianggap bagian dalam rumah tangga tuannya. Ke nyataan itu disebut pemerintahan patrimonial.79

Unsur feodalisme memang ditemukan di Sumba pada masa lalu, yaitu bahwa dalam wilayah tertentu seorang ma ramba dari salah satu kabihu di wilayah itu menjadi raja atas seluruh wilayah tersebut. Tetapi, raja itu tidak mempunyai hak milik atas orang-orang wilayah itu, sama seperti raja di Eropa juga tidak. Hak milik itu berada pada pemimpin kabihu. Raja dihormati oleh semua penduduk sewilayah tertentu dan juga berhak memanggil mereka untuk berperang. Hak milik atas tanah tidak berada pada raja, tetapi pada kabihu.

C.J.G. Holtzappel melukiskan keadaan sosial di Jawa kuno dengan ungkapan ”pemerintahan patrimonial”, bersama munculnya negara seperti Majapahit dan Mataram. Tetapi, perlu dibedakan antara keadaan di Sumba (dan penggolongan masyarakat) dengan bentuk yang dimaksud di Jawa.

Garis turunan di Jawa bersifat bilateral seperti juga di Eropa.

Dan karena itu, tidak terdapat kelompok-kelompok keturunan tertentu,80 seperti kabihu di Sumba. Dalam kera jaan-kerajaan di Jawa,

seluruh penduduk merasa bagian dari rumah tangga raja itu. Kedudukan sosial ditentukan oleh jauh dekatnya hubungan dengan keraton. Sama seperti di Madura, sekalipun hubungannya tidak sekuat keraton jawa; Bali telah mengenal raja-rajanya, dan juga Bima di Sumbawa. Tetapi, masyarakat Sumba tidak meng anggap dirinya satu rumah tangga, sekalipun semua berasal dari nenek moyang yang sama. Kehidupan bermasyarakat berpusat di paraing-paraing dari kabihu-kabihu yang terisolasi itu, dan berkisar pada perkawinan antara kabihu yang eksogam.

Raja-raja di Sumba tidak mempunyai tentara tetap. Untuk urusan perang, raja memanggil orang sekabihunya dan yang berkeluarga dengan mereka itu. Sedangkan tentara tetap merupakan inti dari organisasi fiskal dan kepengurusan raja di Jawa.81

Raja-raja di Jawa terkenal sebagai pendiri bangunan seperti candi, jalan raya, tanggul, bendungan, dan sebagainya. Prakarsa itu tidak ada pada raja-raja di Sumba. Proyek per sawahan diurus oleh uma,82 dan candi tidak pernah ada sebab agama Hindu maupun Islam tidak sampai ke Pulau Sumba. Masing-masing kabihu mempunyai uma ratu-nya dalam paraingu.

Hak tanah ada pada kabihu, bukan pada uma, dan bukan juga pada raja. Pun seorang raja tidak dapat memberikan tanah kepada seseorang.

Kata dalam bahasa Sumba yang menunjukkan orang merdeka adalah kabihu. Mungkin kenyataan itu yang membuktikan bahwa orang merdeka merupakan inti kabihu, bukan raja. Kabihukabihu bukan bagian dari suatu rumah tangga besar yang berada di bawah kekuasaan seorang raja. Malah sebaliknya, kabihu-kabihu saling mencari dan membangun bersama paraingu sambil membagi tugas. Golongan-golongan masyarakat tidak dianggap setara atas dasar sama-sama berhubungan dengan raja karena masing-masing kabihu mempunyai pembagian golongan sendiri yang terlihat pada uma-uma, meskipun terdapat juga kabihu yang tidak mempunyai golongan ningrat.83

Kami menentang beberapa alasan yang agaknya mendu kung adanya ”pemerintahan patrimonial” di Sumba.

Bukankah kabihu dapat berarti: sudut atau bagian; jadi, sebagian dari keseluruhan? Pendapat kami, keseluruhan itu dibentuk dari beberapa bagian, tetapi tidak demikian pendapat yang mengatakan bahwa bagian-bagian itu diturunkan dari keseluruhan.

Sebuah kabihu dapat berpencar, tetapi dapat juga menyatu.84 Kenyataan itu tidak perlu berarti bahwa kabihu di lihat sebagai bagian dari keseluruhan. Hal-hal itu dapat di pahami juga sebagai pembuktian tujuan kabihu yang utama, yakni bertahan dan ber kembang melalui perkawinan dan keturunan.

Bukankah pernah ada raja di Sumba yang berkuasa atas wilayah yang besar? Bahkan berkuasa sampai sekarang mes kipun seca ra nonformal, misalnya di Umalulu, Rende, dan Karera. Apakah wilayah tersebut bukan oikos (Yunani: rumah tangga) yang besar?

Sekali lagi kami katakan bahwa kenyataan ini dapat di artikan juga sebaliknya. Kami mengikuti keterangan Noote boom (1940), dia mengatakan dalam setiap parangu, masing-masing kabihu mempunyai peran sendiri-sendiri. Dari pembagian tugas itulah tersusun urutan. Ritual berperang lebih utama daripada ritual memohon/berdoa untuk meminta hujan. Kalau urutan seperti itu telah berkembang maka suatu perkawinan dengan kabihu yang perannya lebih rendah lama-kelamaan ditolak, sehingga perlu mencari wanita dari kabihu yang sama penting dari paraing yang lain. Hal seperti itu dapat mengakibatkan terjadinya perang. Ke pala paraing yang menang menerima ritual yang diselenggarakan dan menjadi tugas kabihu dalam paraing yang telah kalah. Dengan demikian, terbentuklah sebuah wilayah/daerah, dan kabihu yang tugasnya berperang dalam paraing yang menang menjadi keluarga raja.85

Apalagi, oikos adalah suatu keseluruhan yang berpusat pada keluarga raja dan terarah kepadanya. Maksudnya bukan penam bahan modal, tetapi pemeliharaan keluarga raja. Unsur itu yang tidak ditemukan di Sumba.86

Perbudakan di Sumba

Ketika terjadi pasifikasi di Sumba yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda (1906), perbudakan dilarang. Pasi fikasi diang gap perlu agar perang saudara di antara paraing berhenti. Dalam perang itu terjadi juga perampasan. Ja rahan yang dicari antara lain adalah orang-orang yang akan dijadikan budak, yang akan dijual kepada pedagang Arab atau pedagang dari Ende.87

Penganiayaan sering terjadi, namun bukan terhadap hamba yang sudah lama menjadi bagian dalam rumah tangga tuan nya, melainkan terhadap budak belian.88

Pada masa kini ancaman penculikan sudah tidak ada lagi.

Hamba-hamba yang turun-temurun termasuk dalam rumah tangga bangsawan adakalanya merasa tidak senang bila ikatan itu dilepaskan, karena mereka termasuk orang kepercayaan tuannya. Menurut Kapita, situasi di Sumba berbeda dengan keadaan di Jawa atau di Timor. Di Sumba, para hamba sering duduk di samping tuannya dan diperlakukan dengan baik.89 Kapita juga mengatakan bahwa si hamba juga menikah di tempat tuannya menikah, artinya dia mendapat istri dari kabihu tempat tuannya mengambil perempuan, sehingga dia juga termasuk kabihu dari umbu.90

Berbeda dengan Needham, Forth tidak begitu menekankan adanya perhambaan di Sumba. Dia mengatakan bahwa selama di Rende, dia memang mendengar tentang penjualan hamba, teta pi yang benar ialah bahwa hamba perempuan dinikahkan dan tuan nya menerima belis.91

Forth juga mengatakan, bahkan orang merdeka yang ingin menikah membutuhkan persetujuan dari raja.92 Di daerah Rindi pengaruh keluarga raja di Parai Yawang memang sangat kuat. Tetapi, orang lain berkata bahwa dalam hal perkawinan, raja hanya diberitahu sebagai penghormatan dan mendapat bingkisan, seba gaimana yang dilakukan sekarang terhadap kepala desa. Per setujuan resmi tidak lagi diperlukan.93

Dalam situasi tertentu para hamba dapat mewarisi harta tuannya, yakni bila tuannya tidak mempunyai anak, tetapi kedudukan/tingkatan sebagai tuan tidak dapat diwariskan kepada bawahannya.94 Menurut Kapita, seorang hamba dapat menjadi merdeka jika dia secara pribadi dapat membiayai perkawinannya. Arti nya, dia dapat membebaskan diri dari ikatan moral. Tetapi, jika ia memilih agar tuannya yang mengatur perkawinannya maka ikatan moral dengan tuannya tetap ada.

Perbedaan tingkat dan perkawinan

R. Needham telah meneliti dengan saksama, bagaimana tingkat/kedudukan dari keturunan yang orangtuanya berbeda tingkat dalam masyarakat Memboro. Jika seorang umbu menikahi perem puan dari tingkat yang lebih rendah, mes ki pun kabihu-nya sesuai, anak-anak mereka tidak lagi dianggap sebagai bangsawan.95 Dahulu anak-anak seperti itu dianggap tidak layak disapa umbu dan rambu, tetapi pada saat ini julukan itu telah menjadi sapaan umum.

Pada masa lalu, dalam kasus perkawinan dengan perempuan dari kalangan rendah, juga dibutuhkan upacara pendamaian agar marapu dari kabihu suami itu ditenangkan. Laki-laki yang melakukan perkawinan semacam itu akan dihukum secara adat dengan larangan membangun rumah dengan beranda di depan, seperti rumah pada umumnya. Bagi mereka yang mendapat hukuman itu, diatur agar be randa rumah mereka berada di samping, untuk menandai penyelewengan mereka.96

Jikalau perempuan dari kalangan bangsawan kawin dengan laki-laki dari kalangan lebih rendah, sesudah belis diterima, ia beralih ke kabihu suaminya dan martabatnya turun, sedangkan ting katan suaminya tidak naik. Sebenarnya perkawinan seperti ini dipantangkan, pemberian belis lebih tinggi daripada biasanya, dan sebagian dari belis itu dapat dianggap sebagai denda.97 Jika perkawinan yang dipantangkan itu tetap dilaksanakan maka akan dianggap melawan kehendak keluarga, dan akibatnya dapat sampai pada pengucilan dari hubungan keluarga. Hal itu merupakan hal yang amat berat dirasakan.98

Gadis-gadis dari kalangan atas sangat sulit untuk dijadikan istri. Bila tidak ada yang sanggup membayar belis yang tinggi, mereka akan tetap melajang. Kecuali kalau keluarganya menyetujui pinangan seorang laki-laki dari golongan biasa dan mengadakan upacara perkawinan secara sederhana. Hal ini biasanya terjadi bila si perempuan sudah berumur.

Anak tunggal perempuan dari golongan ningrat sangat dipersulit untuk mendapat suami yang dianggap sesuai, karena si anak perempuan adalah ahli waris. Bila tidak ada anak laki-laki dalam keluarga itu maka anak perempuan yang akan mendapat warisan. Supaya warisan itu tetap dalam tangan keluarga, adakalanya keluarga mencari seorang suami untuk anak mereka dari antara anak laki-laki saudara perempuan ayah si perempuan itu. Terjadilah suatu perkawinan cross-cousin yang patrilateral. Bentuk ini sangat luar biasa. Si laki-laki itu beralih ke kabihu ayah istrinya. Anak-anak mereka terhisab pada kabihu itu, kecuali jika disepakati bahwa anakanak itu akan dibagi pada kedua kabihu.99

Golongan tingkat dan garis keturunan perempuan

Menurut beberapa ahli antropologi, golongan tingkat/kedudukan diwarisi dari garis ibu, sedang kabihu dari garis ayah.100 Seandainya benar demikian, tepatlah tesis Van Wouden mengenai sistem keturunan di Sumba, sebagai sistem unilineal kembar. Tetapi, tidak sesederhana itu. Pembandingan dengan budaya Sabu membantu kita untuk memahaminya, sebab di sana ada keturunan matrilineal dalam hubi dan wini. Tetapi, yang ini bukan golongan tingkat yang juga ditemukan di Sabu. Demikian juga di Kodi, vala yang eksogam itu tidak bersangkut-paut dengan perbedaan tingkat, hanya duwu di Laboya yang dapat mendukung pandangan tersebut.101 Di Sumba Timur dan di Memboro, justru uma seseorang yang menentukan tingkatnya. Kelompok matrilineal tidak ada, meskipun tingkat ibu benar-benar diperhatikan.

Berbeda dengan penguraian kedudukan/tingkat dari garis matrilineal, ada penjelasan yang lebih tepat, yakni perbedaan tingkat berlatarbelakang sejarah, sering kali karena perang dan perebutan. Tetapi, terus berkembang karena dalam pola ber pikir orang Sumba terdapat kegemaran pada dualisme dan asimetri. Jadi, bukan butir 2, tetapi butir 3 dari konsep FAS yang berperan.

5. Harga Kawin

Umbu Hina Kapita melukiskan maksud perkawinan sebagai berikut: tuntutan dewa harus digenapi, mereka ingin manusia mempunyai keturunan. Melalui perkawinan, manusia harus memelihara keluarga dan pengaruh dalam masyarakat. Ka rena itu, diharapkan laki-laki mengambil anak mamaknya, atau setidaknya anak saudara mamaknya dalam uma atau kabihu asal ibunya. Juga diupayakan perkawinan antara orang yang sederajat. Dengan demikian, ber kat leluhur dan dewa dapat diperoleh terus-menerus.102

Seorang yang tidak kawin kurang dihargai, baik di bumi, maupun di dunia atas. Manusia menginginkan keseimbangan dengan sesama manusia juga dengan dewa.103

Pentingnya eksogami telah diungkapkan oleh E.B. Tylor, bahwa semua berkisar pada the simple practical alternative between marrying out and being killed out104. Di Sumba Timur ditemukan suatu perkawinan cross-cousin matrilateral yang preskriptif, artinya terdapat suatu hubungan yang asimetris dan suatu connubium (perkawinan) yang berputar terus.

Di Sumba Timur kewajiban eksogami itu berlaku untuk kabihu, jadi bukan saja untuk keluarga atau uma. Dan adat mengatur juga dari kabihu mana seharusnya seseorang mengambil istri. Harga kawin ditujukan terutama kepada uma, tetapi dalam pemilihan istri, kabihu harus diperhatikan.

Preskripsinya ialah bahwa sedapat mungkin anak perempuan (yang akan dijadikan istri) diambil dari salah satu anak saudara ibu (mamak, tuya). Melalui perkawinan MBD itu, konon, seseorang kembali ke mata air tempat dari mana dia berasal.105

Hubungan yang asimetris

Suatu kabihu tidak mungkin menyerahkan baik perempuan maupun laki-laki kepada kabihu yang sama. Perkawinan tukar tidak boleh. Pemberi perempuan, yera, dianggap lebih tinggi daripada kabihu yang menerima, layia atau ana kawini, dan pada perkawinan berikutnya tidak mungkin ia berhadapan dengan kabihu yang sama dalam kedudukan yang berbeda. Jadi, tidak diperkenankan mengambil perempuan dari kabihu yang sekaligus adalah kabihu pengambil perempuan, tetapi juga tidak boleh dari kabihu yang adalah pemberi perempuan untuk kabihu yang memberikan perem puan kepada kabihu sendiri karena dapat menjadi pengambil perempuan untuk kabihu sendiri.

Struktur ini mirip dengan budaya Batak Toba. Hanya saja, kabihu tidak dipandang sebagai salah satu dari tiga unsur yang berhubungan seperti di Batak Toba. Karena terdapat lebih dari satu calon pengambil perempuan dan juga lebih dari satu calon pemberi perempuan. Orang Sumba lebih suka berbicara tentang dua bagian daripada tiga bagian. Kabihu-kabihu yang lain dibagi antara calon pemberi perempuan dan calon pengambil perempuan. Bahwa dengan sendirinya terdapat juga kabihu yang ketiga dalam sistem itu, yaitu kabihu sendiri, sudah jelas dengan sendirinya dan tidak perlu diberi penekanan.106

Menurut Needham, perkawinan MBD yang preskriptif adalah satu pola yang sangat sederhana, hampir yang paling sederhana, sebab hanya simetris tulen yang lebih sederhana lagi,107 tetapi itu membutuhkan adanya perkawinan tukar dan pembagian suku dalam dua moieties (bagian-bagian yang besarnya sama).

Connubium (perkawinan) yang berputar dan harta kawin

Perkawinan-perkawinan diselenggarakan menurut pola putar. Penye rahan perempuan dilakukan dalam satu arah, penyerahan pemberian dilakukan pada arah yang berlawanan. Sistem seperti itu akan menghindari pengertian bahwa harta kawin adalah uang pembeli. Sebab, tiap perkawinan ditem patkan dalam sirkulasi antar-kabihu.

Pada tahun 1957, Needham sekali lagi mengevaluasi penelitian Nooteboom tentang Sumba Timur.108 Menurut Needham, data-data yang dikumpulkan Nooteboom menguatkan argumen-argumen Lèvi-Strauss tentang pertukaran yang umum (asimetris). Ke simpulan Needham:

1. Di Sumba Timur terdapat connubium (perkawinan) yang berputar.
2. Kelompok-kelompok lokal yang eksogam biasanya adalah kabihu patrilineal, tetapi dapat juga lineage, uma, di dalam kabihu itu.
3. Uma-uma dalam kabihu yang sama, mungkin mempunyai hubungan keluarga yang berbeda.
4. Klen, kabihu, adalah eksogam.
5. Kadang-kadang terjadi pertukaran perempuan antara dua kabihu, sedangkan unit yang eksogam dalam hal itu adalah uma, dan antara uma-uma yang bersangkutan tidak akan terjadi pertukaran perempuan.
6. Hubungan-hubungan perkawinan salah satu kelompok bukan dengan sendirinya antara kabihu dan kabihu, bisa juga antara kabihu dan uma.
7. Salah satu kelompok mungkin memberikan perempuan kepada berbagai kelompok lain dan juga mengambilnya dari berbagai kelompok lain.

Menurut Forth, berkaitan dengan adanya hubungan yang berputar itu, pendapat Needham tidak meyakinkan.109 Satu tahun kemudian Forth menerbitkan sebuah studi khusus tentang materi itu sambil meneliti istilah-istilah kekerabatan di Sumba: mamu (bibi, saudara perempuan ayah, tetapi juga suaminya) dan tuya (paman, saudara laki-laki ibu, tetapi juga istrinya). Melalui pembandingan dengan bahasa-bahasa yang berdekatan, kesimpulannya adalah bahwa istilah-istilah kekerabatan itu dapat diterangkan sebagai pembuktian bahwa dahulu terdapat hubungan preskriptif yang sime tris di Indo nesia Timur.110

Yang penting diperhatikan dari penilaian Forth adalah bahwa wawasan orang Sumba bertolak dari dualisme laki-laki-perempuan (mini-kawini).111 Tidak dapat disangkal bahwa orang Sumba menilai tiap pengurusan perkawinan seba gai hasil dari dualisme dan bukan dari hubungan yang tripolar.

Forth menyampaikan argumentasi bahwa sebelum ada sistem asimetris terdapat sistem simetris. Landasannya ada lah adanya satu istilah kekerabatan lain, yaitu layia. Kata itu sekarang biasa digunakan untuk pihak pengambil perempuan, dan sesuai dengan sistem tripolar yang asimetris. Tetapi, sebenarnya istilah itu menunjuk ke suami saudara perempuan dari pihak ayah maupun anak laki-laki dari saudara perempuan. Di seluruh Sumba, kedua anggota keluarga

Sumba Barat diteruskan ke non preskriptif. Pertanyaan penulis adalah, apakah non preskriptif merupakan tahap yang terakhir atau justru yang pertama.

Perkawinan preferensi lainnya di Sumba

Terdapat sebuah variasi pada preferensi (kecenderungan) dalam hal perkawinan di Sumba, hanya saja yang tetap berlaku adalah bahwa istri masuk kabihu suaminya, juga keturunan menurut garis bapak (patrilineal); selain itu selalu ada belis. Kabihu, sebagai patriklen, merupakan pengertian umum di seluruh Sumba. Variasinya terletak dalam preferensi, khususnya di Sumba Barat, sekalipun perkawinan MBD juga paling diinginkan di sana.113

Di Sumba Timur perkawinan FSD (dengan anak perempuan saudara perempuan bapak) tidak ditemukan. Bahkan kalau hal itu terjadi, akan disebut membalikkan adat,114 kecuali dalam hal keluarga bangsawan yang tidak ada ahli waris laki-laki (lihat di atas). Tetapi, di Sumba Barat terdapat perkawinan FSD.115

Perkawinan parallel-cousin (FBD atau MSD) lebih rumit lagi.

Perkawinan FBD sama dengan endogami, yang dipantangkan di Sumba sebab tidak memperkuat hubungan. Sedangkan perkawinan MSD di Sumba Barat ditemukan, sekalipun jarang, sedang di Sumba Timur tidak ada. Tidak ada pemberian timbal balik dan tidak ada kemungkinan mewujudkan keseimbangan.

6. Kekerabatan

6.1. Pemberi Perempuan Sebagai Pemberi Hidup

Pasal sebelum ini telah membahas tentang terciptanya hu bungan keluarga melalui perkawinan. Pasal ini berkisar pada praktik di dalam hubungan keluarga yang sudah ada. Di sana tiap perjumpaan ditentukan oleh fakta apakah orang yang ditemuinya adalah yera (pemberi perempuan) atau layia (penerima perempuan). Yera selalu mendapat prioritas dan penghormatan.

Keturunan dan kekerabatan sering dipandang dengan cara yang sama, sebab keduanya diibaratkan dengan mata air dan sungainya. Si pemberi perempuan bukan saja merupakan sumber untuk seorang perempuan yang menikah, melainkan juga sumber bagi seluruh kabihu penerima perempuan.116

Pihak pengambil perempuan disebut layia, tetapi juga ana kawini. Tetapi, ana kawini adalah juga anak perempuan. Jadi, ketergantungan pengambil perempuan terhadap pemberi perempuan disetarakan dengan ketergantungan anak pada orang tua. Demikian pula praktik di Batak Toba, pihak pengambil perempuan dinamakan boru, yang artinya juga anak perempuan.

Menurut Forth, perbedaan antara kekerabatan dan ke turunan dalam pandangan orang Sumba adalah: dalam hal kekerabatan (jadi, antara affines), darah dialirkan hanya mela lui perempuan, sedangkan dalam hal keturunan (jadi, antara agnates), darah meng alir baik melalui laki-laki maupun melalui perempuan.

Dalam hal keturunan, jelas pengaliran darah hanya dari satu arah, yaitu dari orangtua ke anak. Orang Sumba ingin mewujudkan yang sama pada kekerabatan.117 Karena itu, di Sumba Timur tidak ada perkawinan tukar atau yang mirip dengan itu (FSD), tidak juga perkawinan, yang di dalamnya dapat dikatakan tidak terdapat pengaliran darah, seperti pada endogami (FBD) atau perkawinan yang di dalamnya darah mengalir hanya dari satu kabihu (MSD).

Sekalipun demikian, pantas bila Forth mengatakan bahwa di antara para bangsawan terdapat semacam endoga mi.118 Perkawinan MBD disukai, tetapi juga prinsip perkawinan dengan sesama bangsawan. Kemungkinan-kemungkinan mendapat jodoh yang sesuai bagi mereka yang dipertuan itu sangat kecil. Forth juga pernah berkata bahwa tidak mengherankan bila dia sering menemukan kalangan bangsa wan yang tidak memiliki keturunan.119

Pada perkawinan, bukan hanya perempuan dan anaknya yang masuk kabihu suaminya. Ibunya dan bibi-bibinya memberikan perabot dan pakaian, dan tentu saja dia membawa milik pribadinya. Semua itu menjadi harta milik kabihu yang ke dalamnya dia masuk. Para perempuan dari pihak pemberi perempuan juga memberi hadiah untuk para perempuan dari keluarga laki-laki. Tidak berarti bahwa milik perempuan tetap menjadi milik si perempuan, sebab milik perempuan termasuk dalam milik kabihu. Jika si perempuan diberi sawah oleh orangtuanya maka pada saat perempuan itu meninggal, sawah tersebut menjadi milik suaminya.120

Sekali lagi: hindarilah kawin sumbang (inses)

Dalam pergaulan antara yera dan layia terdapat pantangan; kawin sumbang harus dihindari. Pepatah lama berkata:

  • Seorang perempuan tidak boleh mengambil sirih dari pundi layia-nya,
  • Seorang laki-laki tidak boleh mengambil dari bakul yeranya.121
  • Layia dan yera menunjukkan seluruh kabihu, termasuk perem puan yang telah diterima dalam kabihu melalui perkawinan. Suami saudara perempuan seorang laki-laki (layia) tidak boleh menyentuh istri saudara laki-laki si perempuan (yera). Jika ia disuguhi sirih oleh perempuan yang dimaksud di atas, tempat sirih harus disorongkan ke depannya. Jika si laki-laki menyentuh perempuan itu, sikap tersebut dapat diartikan seolah-olah ia mau mengawini lebih dari satu orang dari dalam kabihu itu.122

Dalam prakteknya, tempat duduk laki-laki dan perempuan dalam Ibadah Minggu sering diatur terpisah. Pertemuan di meja Perja muan Malam Kudus juga diatur dengan saksama.

6.2. Pemberian Timbal Balik

Bukan tidak mungkin timbul pikiran bahwa pihak pengambil perempuan (layia) tidak lagi berutang kepada pemberi perem puan (yera), sesudah belis lunas. Tetapi, yera juga memberikan balasan. Jadi, akhirnya pemberian yera (wanita + balasan itu) melebihi pemberian layia (belis). Oleh karena itu, penjelasan sebelumnya mengenai connubium (perkawinan) yang berputar itu tidak lengkap.

Dua pendeta GGRI, Watuwaya dan Rawambaku, dalam sebuah studi pada tahun 1989 menekankan pentingnya balasan. Menurut mereka, untuk pemberi perempuan, biaya yang dikeluarkan lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan pengambil perempuan. Kapita juga mengatakan, jika menuntut belis yang tinggi, harus disadari balasan juga harus tinggi. Tingginya tuntutan tergantung dari relasi. Makin erat hubungan di antara pemberi dan penerima, makin sedikit tuntutannya.123 Pandangan Forth benar bahwa tentang belis boleh ada tawar-menawar, tetapi mengenai balasan tidak boleh. Balasan harus berimbang.124 ”Jikalau balasan ti dak memadai, maka hak-hak dasar si perempuan akan terganggu,” demikian menurut Watuwaya dan Rawambaku. Perkawinan sah jika pemberian dan balasan seimbang.125 Keduanya bersifat magis. Pada masa lalu diserahkan juga alat/perabot yang serba guna, untuk melambangkan hal saling membantu. Dari pihak laki-laki diserahkan kapak, parang, tombak, gong; dan dari pihak perempuan kain, per hiasan, perabot dapur.126

Kedua makna tersebut sesuai dengan Forth, yaitu bahwa belis menjamin tergolongnya mempelai perempuan dan anaknya ke dalam kabihu suaminya, sedang balasan melam bangkan terben tuknya perhubungan.127

Akan tetapi, Geirnaert mengatakan: kualitas perempuan untuk memberi hidup datangnya dari uma sendiri, tetapi dia hanya dapat berfungsi dalam kabihu suaminya.128

Pemberian timbal balik yang berkesinambungan

Perkawinan adalah urusan kabihu. Dalam menyelenggarakan perkawinan, anggotanya diundang, mereka turut menyumbang dan juga berhak menerima balasan. Antara kabihu-kabihu yang mempunyai hubungan akan terjadi pemberian yang terus-menerus; pada setiap kejadian, mulai dari kelahiran sampai pemakaman. Mereka tidak enggan berutang pada keluarga, sebab akan datang saatnya keluarga tersebut akan balik meminta bantuan. Menurut Geirnaert, sikap tidak mau berutang di Sumba diartikan sebagai tingkah laku asosial.129 Dan menurut Vel, di Lawonda orang akan merasa bangga kalau berutang, sebab yang dikehendaki adalah suatu kewajiban yang terus berlaku.130

Layia harus selalu membantu yera. Biaya pada acara pemakaman sebagian besar akan ditanggung oleh layia. Menurut Onvlee, kewajiban ini merupakan bagian dari belis,131 tetapi menurut saya, kewajiban ini membuktikan ada nya hubungan keluarga.

Menurut Vel, masyarakat Sumba secara umum terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: orang kita (kabihu sendiri), mereka yang ”bukan orang lain” (yera dan layia), dan orang lain. Dalam hubungan yang pertama, hampir segala sesuatu dianggap milik bersama yang bebas digunakan, dalam hubungan yang kedua pinjaman akan dicatat dan pertukaran harus langsung terjadi, sedang jual beli hanya terjadi dalam konteks hubungan yang ketiga. Adakalanya terjadi juga pen curian.132

Jikalau orang Kristen tetap memberlakukan hubungan antar-kabihu sesuai dengan adat lama, maka perbedaan yera/layia juga akan merasuki seluruh sendi kehidupan mereka. Dalam perkawinan, pemakaman, dan dalam banyak peristiwa lainnya, dibutuhkan pemberian timbal balik. Tetapi, hubungan antar-kabihu yang begitu erat itu tidak sama dengan persekutuan orang beriman dalam Kristus. Hal itu juga bertentangan dengan pengharapan kristiani. Sebab, dalam pola pikir adat, pengharapan didasarkan atas ikatan keluarga, yakni bahwa nenek moyang akan memberkati ketu runannya yang hidup sesuai dengan pola itu.

Peran dari cattle linked sibling, seperti di dunia orang Bantu, juga sedikit terlihat di Indonesia Timur, tetapi tidak sepenting ber kat yang diperoleh dari perempuan.

Apakah kelebihan perempuan itu adalah faktor perang sang untuk sistem kekerabatan antar-kabihu, atau kebutuhan keseimbangan sosial politik yang kemudian juga menentukan tempat pengambilan perempuan?

Terlalu sulit untuk memisahkan kedua faktor tersebut. Sebab, unsur yang terpenting bagi peran sosial politik yang stabil adalah keturunan. Anak-anaklah yang membuat kabihu besar, merekalah yang mengurus orangtua dan menjamin masa depan kabihu. Kemudian kabihu itu membutuhkan perempuan demi memperoleh anak.

7. Pengurusan Nikah

7.1. Beberapa Bentuk Perkawinan

Sinode GGRI NTT memberi tugas kepada suatu panitia untuk membuat laporan hasil studi tentang adat. Studi kedua pendeta, U. Ngg. Rawambaku dan Mk. Ndj. Watuwaya yang telah disebutkan di depan merupakan bagian dari laporan panitia itu. Mereka mengutip karangan Hina Kapita. Selain itu, Pdt. R. Mitingu juga menyumbangkan satu catatan dalam laporan itu, khususnya mengenai praktik yang biasa dilakukan sehari-hari.

F.D. Wellem juga mendasarkan tulisannya pada studi yang dilakukan oleh Kapita,133 demikian juga yang penulis lakukan di bawah ini.

Kapita membedakan beberapa cara, ada di antaranya jarang terjadi. Yaitu, lima bentuk yang disertai pem-belis-an sebelumnya, dan juga lima cara tanpa pem-belis-an.134

Tama la kurungu, yaitu masuk kamar. Ini cara yang biasa.

Perkawinan terjadi di rumah orangtua mempelai perempuan, disetujui oleh kedua belah pihak. Mempelai laki-laki berhak masuk kamar perempuan sesudah pengurusan selesai.

Haringu, dapat diartikan tinggal bermalam. Ini juga terjadi di rumah orangtua perempuan, atas kesepakatan laki-laki dan perempuan sendiri. Kadang-kadang orangtuanya juga mengetahui. Si laki-laki bermalam di rumah si nona, baru sesudah itu kedua belah pihak mulai mengurus nikah.

Pamahoha, yaitu berpengantin. Ini terjadi di rumah orangtua si laki-laki, disetujui oleh kedua belah pihak. Mem pelai perempuan telah dibawa oleh keluarga laki-laki sesudah beberapa urusan adat, cara ini khususnya untuk kalangan ningrat.

Pahangerangu, yaitu bersandar. Dilaksanakan di rumah orangtua perempuan, dengan persetujuan kedua belah pi hak. Mempelai laki-laki masih harus tinggal di rumah istrinya untuk bebe ra pa tahun. Cara ini tepat jika kedua keluarga sudah saling berhu bungan dengan erat dan dalam hal keluarga laki-laki belum sanggup menyerahkan belis kepada pihak perempuan.

Lalei tama, yaitu kawin masuk. Cara ini juga dilakukan di dalam rumah orangtua perempuan dengan persetujuan kedua belah pihak; kedua mempelai dan kedua keluarga telah saling mengenal dengan baik. Hal ini terjadi baik di kalangan orang kaya maupun miskin. Laki-laki itu masuk ke keluarga perempuan, meskipun belis dalam ukuran kecil/sedikit juga dibutuhkan, yaitu bagian yang diperuntukkan bagi saudara laki-laki ibu. Cara ini dipakai jika dalam keluarga perempuan tidak ada laki-laki yang akan mewarisi.

Piti maránggangu, yaitu mengambil dalam pertemuan. Terjadi di dalam rumah laki-laki, dan belum ada persetujuan di antara kedua belah pihak. Pengantin perempuan juga belum tahu ten tang rencana keluarga laki-laki. Dengan cara halus, misalnya dengan bantuan salah seorang keluarga perempuan, si nona itu dibawa ke suatu pertemuan yang sudah diatur. Keluarganya ikut hadir dan menerima pemberian/hadiah. Jika keluarga perempuan menyetujui maka pemberian itu diterima sebagai awal pengurusan nikah. Setelah itu, diatur penyelenggaraan perkawinan.

Palai ngándi, yaitu membawa lari. Perkawinan diatur dan dilakukan di rumah laki-laki. Calon pengantin laki-laki dan perempuan telah mengetahui sebelumnya, adakalanya juga telah diketahui oleh keluarga laki-laki, sedangkan keluarga perempuan tidak tahu. Cara ini pada umumnya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang kaya karena pada akhirnya belis yang dituntut akan sangat tinggi.

Tama rumbaku, yaitu masuk dengan paksa. Perkawinan diselenggarakan di rumah perempuan dengan sepengetahuan kedua belah pihak, tetapi si perempuan sendiri tidak tahu. Si perempuan baru sadar pada saat laki-laki masuk kamarnya. Perkawinan seperti ini sering gagal karena perempuan itu mungkin tidak bersedia. Bila perkawinan tersebut tetap berlangsung maka belis yang harus diserahkan oleh orangtua pihak laki-laki akan tinggi. Cara ini juga hanya dapat dila kukan oleh orang-orang kaya.

Piti rambangu, yaitu mengambil dengan merampas. Mirip dengan cara ke-6, hanya perkawinannya diatur di rumah perempuan. Cara ini diikuti bila ada laki-laki lain yang juga melamar sehingga keluarga laki-laki yang disebut pertama takut terlambat. Keluar ga perempuan itu membiarkan dia pergi jika keluarga laki-laki memberikan hadiah yang banyak, tanpa mengharapkan balasan. Pengurusan resmi bersama belis akan menyusul kemudian.

Patidungu, yaitu perlawanan. Cara ini mirip dengan cara ke-7, tetapi kedua pihak keluarga tidak ada yang tahu tentang rencana kedua calon mempelai itu. Mereka melakukan hal tersebut karena kemungkinan hubungan mereka dilarang secara adat, misalnya karena perbedaan tingkat atau kawin sumbang (inses). Kedua keluarga berusaha untuk memisahkan keduanya dan jika tidak ber hasil maka mereka akan dikucilkan dari lingkungan keluarga.

Gambaran Forth tentang perkawinan juga sangat rinci, antara lain mengenai cara-cara yang khusus untuk para bangsawan.135

Kesimpulan Kapita adalah bahwa mereka yang hendak mempercepat urusan perkawinan tanpa membayar belis terlebih dahulu akan mempunyai risiko. Sebab, ada kemungkinan belis-nya tinggi sedang balasannya tidak seimbang.

7.2. Langkah-langkah Pengurusan Perkawinan

Langkah yang pertama adalah ”menghadap” atau ”masuk minta”, dalam bahasa Sumba: hurungu.

Keluarga laki-laki yang terdiri dari tiga sampai lima orang datang menghadap, disertai seorang jurubicara, wunang sebutannya.136 Mereka membawa hadiah yang disebut ”kuda ketok pintu”. Pemberian itu menerangkan tujuan kedatangan mereka. Selain kuda, diserahkan juga mamuli, yakni per hiasan emas atau perak, yang melambangkan organ genital perempuan. Ada beberapa ma cam bentuk, yaitu mamuli yang ada ”kakinya”, dan mamuli yang tanpa kaki. ”Kaki” itu adalah perhiasan tambahan di bagian bawahnya. Ada yang disebut mamuli laki-laki, dan ada yang disebut mamuli perempuan. Mamuli itu merepresentasikan perempuan137 dan harus ada dua: yang satu untuk melepaskan ikatan perempuan dengan keluarganya, yang kedua untuk melepaskan ikatan perem puan dengan nenekmoyang dan marapunya.138

Selain itu, keluarga pihak laki-laki juga membawa dua ekor kuda lain lagi, jantan dan betina, dan dua mamuli yang berbeda bentuknya.

Kedua pemberian dalam langkah pertama ini dianggap sangat penting; berlaku juga bagi mereka yang menyeder hanakan adat. Mereka tetap berpedoman pada pemberian-pemberian tersebut.

Langkah ini juga disebut peminangan, istilah itu berasal dari budaya daerah lain di Indonesia (Sabu, misalnya). Dalam hal ini pemberian sirih pinang adalah merupakan pengesahan perkawinan.

Langkah yang kedua adalah jawaban dari pihak perempuan. Mereka menghadiahkan sebuah kain kombu, tenunan tradisional yang di pakai laki-laki, dan sebuah sarung, pakaian tradisional untuk perempuan. Ditambah dengan seekor babi untuk makan bersama. Bagi mereka yang bukan Kristen, penyembelihan babi selalu disertai dengan doa kepada marapu dan penenungan, dengan mencermati letak usus hewan itu.

Apabila pemberian ini diserahkan dan diterima, dapat dikatakan bahwa permintaan itu diterima. Tetapi, bila pi hak perempuan tidak memberikan hadiah balasan, itu arti nya permintaan dari pihak laki-laki ditolak dan mereka pulang dengan malu. Hanya, peristiwa semacam ini jarang terjadi karena sebelum acara ”meng hadap” dilakukan, telah diadakan pendekatan tidak resmi dan dilakukan secara hati-hati.

Sesudah makan bersama pihak perempuan sekali lagi menyerahkan sehelai kain sebagai dasar pengantar dari per mohonan yang disampaikan oleh wunang pihak perempuan. Isi permohonan ialah ”kuda musyawarah”, njara batangu. Sebab, keluarga perempuan harus memanggil orang se-kabi hu-nya untuk bermusyawarah.

Langkah yang ketiga adalah musyawarah intern pihak perempuan. Orang Kristen yang menginginkan penyederha naan telah menya rankan untuk melewatkan tahap ini, karena justru dari tahap ini paling sering terjadi persoalan yang merepotkan. Dalam musyawarah ini orangtua si perempuan menunjukkan pemberian yang telah diterima dari pihak laki-laki, untuk membuktikan bahwa keluarga laki-laki cukup serius. Pihak orangtua perempuan wajib mengundang seluruh keluarga, agar kesatuan dalam keluarga ti dak terganggu, sekurang-kurangnya uma sendiri dan uma-uma yang berdekatan harus hadir, bukan seluruh anggota kabihu. Pada kesempatan itu juga terjadi pemberian timbal balik di dalam keluarga. Mereka yang harus hadir adalah saudara ayah dan sau dara ibu calon mempelai perempuan dan kakek-nenek dari kedua belah pihak.

Sehubungan dengan ini patut dicantumkan juga satu kebiasaan lain yang disebut pangga. Seorang wakil, dalam hal ini biasanya saudara laki-laki ibu, pergi untuk melihat kekayaan pihak pengambil perempuan. Onvlee pernah memban dingkan kebiasaan ini dengan ”menghitung jendela” di keluarga peternak di Belanda Utara pada zaman dahulu, di mana jumlah jendela pada kandang yang beratap itu menyatakan besarnya jumlah sapi perah yang ada di dalamnya. Hal itu untuk mengetahui dan meyakinkan apakah pihak lain itu cukup kaya atau tidak.139

Sesudah kekayaan pihak pengambil perempuan sedikit banyak dapat diketahui, maka balasan yang akan diberikan dapat di sesuaikan dan seberapa besar belis yang dapat di tuntut. Juga di musyawarahkan berapa orang yang akan pergi untuk menyatakan tingginya belis dan menentukan tanggal pelaksanaannya. Menjadi tugas wunang untuk memberita hukan tanggal kedatangan pihak pemberi perempuan.

Langkah yang keempat. Pihak keluarga laki-laki juga harus ber mu syawarah secara intern, sesudah mendengar kapan keluarga perempuan akan datang. Seluruh keluarga diundang, termasuk layia, yaitu pihak pengambil perempuan dari klen laki-laki. Orangtua laki-laki menerangkan bahwa mereka telah mela kukan tahap ”masuk minta” dan kemudian ada jawaban po sitif. Pemberian dari pihak perempuan ditunjukkan sebagai bukti bahwa mereka telah setuju. Dalam musyawarah pihak laki-laki itu, anggota keluarga menjanjikan berapa sumbangan yang akan diberikan, yang di dalamnya diperhitungkan juga bantuan yang pernah diperoleh dari orangtua laki-laki itu.

Langkah yang kelima. Keluarga wanita datang ke rumah orang tua laki-laki dan disambut. Tempat duduk yang dikhususkan bagi mereka telah diatur. Wunang pihak perempuan mengundang wunang pihak laki-laki untuk duduk bersama di tengah. Sambil memperlihatkan sehelai kain dan kemudian menyerahkannya, membuktikan bahwa pihak pemberi perempuan menghormati tuan rumah. Dia sendiri memberikan seekor babi untuk dimakan dan kepada tamu, tuan rumah memberikan seekor kuda dan sebuah mamuli.

Sesudah itu, pihak pemberi perempuan menyebutkan belis yang diminta. Untuk keluarga-keluarga yang berada dan terpan dang, nilai belis yang sebenarnya terdiri dari: dua atau empat mamuli emas, dua atau empat mamuli perak, dua atau empat kuda jantan dan dua atau empat kuda betina.

Belis itu merupakan ganti rugi bagi perempuan, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa sebagian dari belis itu diperuntukkan bagi marapu.

Menurut orang Sumba yang bukan Kristen, belis itu sebe tulnya harus dibedakan antara pemberian untuk ladi dita dan untuk ladi wawa, yaitu tempat tidur atas dan tempat tidur bawah. Yang pertama adalah loteng di bubungan rumah tradisional, tempat tinggal marapu. Yang kedua adalah lantai rumah, tempat tinggal manusia.140

Dalam karangan R. Mitingu, pembedaan ini tidak muncul, mungkin karena sudah tidak berlaku lagi dalam kehi dupan orang Kristen. Menurut Forth, pembedaan ini tidak dia dapati di Rende, tetapi Kapita menyebutkannya. Menurut Forth, belis yang sering disebut aya wili adalah belis yang sesuai dengan tulisan Kapita untuk ladi dita. Apa kah mungkin belis yang diperuntukkan bagi ladi dita itu tidak terpisah, tetapi bebas dipakai oleh orangtua mempelai? Sehingga Kapita juga dapat mengatakan bahwa bagian yang terpenting dari pemberian balasan adalah jawaban terhadap pemberian kepada ladi dita, sedangkan Forth mendengar bahwa di Rende, hal itu merupakan balasan untuk bagian yang diperuntukkan bagi aya wili yang diterima oleh orangtua. Kemungkinan, pada masa lalu, sebagian belis semata-mata dipersembahkan untuk ladi dita, seperti yang dikatakan oleh Onvlee, yaitu sekeping emas atau perhiasan yang diletakkan di atas loteng. Tidak berarti bahwa Forth tidak mengetahui tentang hal itu, hanya, dia menyebut pemberian itu sebagai tanggu marapu, padahal ungkapan itu menunjukkan segala sesuatu yang diper sem bahkan kepada nenek moyang, bukan hanya belis.141 Perlu dibedakan antara peninggalan keluarga dan belis, karena pening galan-peninggalan itu adalah milik bersama seluruh kabihu dan tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tetapi, emas yang masuk dalam milik keluarga sebagai bagian dari belis, dapat digunakan lagi bila diperlukan pada saat memberikan belis.

Terdapat satu hal penting yang tidak disebutkan oleh Mitingu, yaitu lulu amahu. Hadiah itu selalu diberikan bersama mamuli, dan melambangkan alat genital laki-laki.

Dari semua pemberian yang disebutkan di atas maka dua pokok pertama dari pokok-pokok yang telah dipaparkan di atas, masingmasing diberi julukan ”kakak belis” atau aya wili, dan ”sirih merah kakak” atau kuta rara aya. ”Kakak belis” di peruntukkan bagi orangtua perempuan, dan ”sirih merah kakak” untuk saudara ibunya.

Onvlee tidak membedakan antara ”kakak belis” dan ”sirih merah kakak”.142 Kalau empat unsur diberikan maka dua yang terakhir adalah ”adik belis” atau eri wili, dan ”sirih merah adik” atau kuta rara eri. Hadiah ini diperuntukkan bagi kakek, nenek, dan saudara ayah pengantin. Khusus dalam hal ini sering terjadi perdebatan dan tawar-menawar. Pihak pemberi perempuan akan menarik kembali pemberian balasan bila belis tidak menyenangkan. Kepuasan itu tergan tung dari besarnya kuda dan in dahnya mamuli. Sering juga kuda jantan diberikan lebih dahulu, sedang di janjikan bahwa yang betina baru akan diberikan kemudian.

Bagian pertama ”kakak belis” disebut juga ”pokok belis”. Menurut Kapita, pokok belis dalam ungkapan yang puitis disebut kakomba winu, kawalu kuta (pinang yang dibungkus, sirih yang dibalut), itu menunjuk pada perhiasan dan hewan.143 Onvlee juga menye butkan dalam tulisannya dan mengatakan bahwa puisi itu menunjuk pada katiku wili, ”kepala belis”.144

Jikalau pokok belis itu diterima, berarti perkawinan sudah sah. Wunang pihak perempuan meminta untuk dapat melihat pokok belis, kemudian diperlihatkan kepadanya seekor kuda dan sebuah mamuli, yang kemudian dibawa ke rumah. Sisa belis akan menyusul saat pengantin dijemput dan dibawa ke rumah suaminya.

Ketika pihak laki-laki hendak berpamitan, mereka menyerahkan sebuah mamuli dan seekor kuda serta seekor babi untuk dima kan. Pihak lainnya membalas dengan memberi sarung.

Pada mulanya belis berjumlah atau bernilai sangat kecil. Menu rut dongeng, hanya dua ekor kuda yang diwajibkan. Pada orang Kristen yang cenderung menyederhanakan ke biasaan ini, mereka menyebutkan bahwa jumlah minimum itu dianggap penting, selain pemberian yang diserahkan pada acara peminangan.

Langkah yang keenam. Pihak pengambil perempuan datang menjemput pengantin. Wunang pihak itu menyerahkan seekor kuda dan sebuah mamuli yang dibalas dengan sehelai kain dan seekor babi untuk makan bersama. Pemberian itu dianggap tanda kedatangan dan penyambutan, dan tiap kali kedua belah pihak bertemu maka pemberian timbal balik ini yang memberi pengesahan.

Pada waktu itu juga diminta agar sisa ”kakak belis” diserah kan,

yaitu yang diperuntukkan bagi orangtua perempu an. Mamuli memang diberikan, tetapi sekaligus juga meminta agar pengantin diserahkan. Hal ini perlu supaya dia dapat membantu mereka dalam pembicaraan.

Pihak perempuan meminta waktu untuk berunding, kemu dian memutuskan pemberian yang akan menyertai pengantin itu, yakni pokok balasan.145 Dalam istilah puitis disebut mbola ngandi, kahidi yutu (bakul untuk mengangkut, pisau untuk berpegang), yang merupakan alat-alat yang dipergunakan oleh perempuan. Balasan di sebut juga kamba wei (kain dan babi), sedang belis disebut banda wili (benda/hewan yang ber harga) atau banda amahu (hewan dan emas).146

Dalam bakul itu diletakkan dua atau empat helai kain kombu, dua atau empat helai sarung, dan juga mamuli, muti dan pisau. Bakul ini (beserta isinya) merupakan balasan yang wajib, di samping itu dapat diberikan bermacam-macam perabot untuk rumah tangga baru. Keluarga perempuan juga menyampaikan berbagai nasihat kepadanya. Terakhir, wunang berkata kepada pihak laki-laki bahwa mereka berhak mengambil pengantin dari kamarnya dan pada sore harinya ia dibawa ke rumah pengantin laki-laki. Tetapi, sebe lumnya pertukaran pemberian diselesaikan dahulu.

Sesudah pemberian yang akan menyertai pengantin itu diperlihatkan, maka wunang keluarga perempuan itu meminta sisa aya wili, kuta rara aya, eri wili dan kuta rara eri. Khususnya yang terakhir ini yang diperuntukkan bagi anggota keluarga lain, bukan orangtua, sering diberikan sesudah semua acara selesai.

Pada akhirnya, pihak pemberi perempuan menyerahkan kain perpisahan dan babi perpisahan, yang dibalas dengan sebuah mamuli, seekor kuda dan seekor kerbau. Kerbau ini dianggap pen ting, tetapi orang-orang Kristen menentang pemberian itu, karena orang-orang yang bukan Kristen mengatakan bahwa akan terjadi malapetaka jika babi tidak dibalas dengan kerbau. Apakah kerbau dalam hal ini sama dengan kerbau yang dipersembahkan bagi dewa, yang diterima oleh saudara ibu (lihat bagian tentang Sabu)?

Mk. Watuwaya menulis lagi tentang satu upacara bagi keluarga laki-laki sesudah tiba di rumah, yaitu ”mengelap keringat” dan mengucap syukur kepada marapu.147 Balasan yang diterima dibagi di antara mereka yang telah menyumbang untuk belis, anggota keluarga yang sangat dekat dengan pengantin laki-laki tidak boleh mengharapkan sesuatu.

8. Pelambangan

8.1. Bentuk, Makna, dan Tujuan Belis

Agar dapat dipahami bagaimana pandangan orang Sumba mengenai perkawinan, sebaiknya kita mendengar dari mereka sendiri dan memperhatikan simbol atau lambang yang mereka gunakan.

Bentuk dan pencirian makna

Pemberian dari pihak pengambil perempuan disebut benda laki-laki: kuda, kerbau, dan perhiasan. Semua benda diberikan berpasangan, termasuk mamuli, karena terdapat perbedaan pada mamuli, yaitu dengan ”kaki” dan yang tanpa ”kaki”, untuk melambangkan unsur laki-laki dan unsur perempuan.

Di samping mamuli, diserahkan juga lulu amahu, yaitu perhiasan yang panjang terbuat dari emas, sebuah rantai yang anak rantainya halus dan banyak sekali, melambangkan alat genital lakilaki. Apakah itu sebabnya sehingga Pdt. Mitingu tidak menyebutnya?

Pihak pemberi perempuan menyerahkan benda-benda yang ”bersifat” perempuan: kain, babi, perhiasan, semuanya berpasangan. Kain dan sarung selalu diberikan berpasangan juga, karena kain merupakan pakaian laki-laki, dan sarung sebagai pakaian perempuan.

Sifat ”laki-laki” atau ”perempuan” tidak ditentukan oleh penggunanya, karena sudah jelas bahwa pada kedua belah pihak ada lah laki-laki dan perempuan.

Ada yang mengatakan bahwa sifat benda itu tergantung dari pembuatnya dan pengurusnya. Kaum laki-laki yang mengerjakan logam yang akan dijadikan perhiasan, dan kaum perempuan menenun. Kaum laki-laki mengurus kuda dan kerbau, sedang kaum perempuan mengurus babi. Di samping itu, ada juga keterangan lain seperti yang disebut di bawah ini, dalam bagian tentang tujuan.

Melihat bentuk mamuli dan lulu amahu serta pencirianbenda-benda sebagai yang laki-laki atau perempuan maka mengenai harta kawin itu dapat dikatakan bahwa benda-benda tersebut melambangkan kesuburan.

Kabihu secara keseluruhan menikmati hasil dari benda-benda yang diterimanya.

Tujuan

Keterangan di bawah ini menambah penjelasan yang telah dibe rikan. Salah satu dari mamuli dan lulu amahu yang di serahkan kepada orangtua perempuan, dapat digunakan untuk perkawinan anak laki-laki mereka. Di sini muncul unsur cattle-linked sibling yang dikenal dari budaya Bantu di Afrika. Di samping itu, mamuli dan lulu amahu lainnya merepresentasikan kedua pengantin. Selain itu, satu pasang dari perhiasan tersebut selalu diberikan kepada paman yang telah berperan penting bagi pendidikan pengantin perempuan.148

Pemberian ini biasanya dinamakan aya wili dan kuta rara aya.

Bagian yang diperuntukkan bagi nenek moyang sudah termasuk dalam pemberian ini. Perhiasan yang telah disebutkan tadi selalu disertai dengan hewan yang sesuai jumlahnya. Sebenarnya orang lebih menyukai untuk memberi dua, atau empat, bahkan delapan pasang perhiasan.149

Umbu Hina Kapita berulang kali menekankan bahwa pemberi perempuan sebenarnya mengalami kerugian, karena kehilangan anak perempuan. Menurut Forth, keadaan di Rende tidak demi kian,150 tetapi keterangan Kapita sangat masuk akal. Alasan ini hanya salah satu dari semua dasar pem-belis-an.

Kapita menjelaskan alasan yang berfokus pada kerugian itu dengan menunjukkan kebiasaan pada masa lalu di antara para bangsawan untuk memberikan hamba laki-laki atau perempuan sebagai bagian pertama dari belis. Penye rahan itu disebut ”peng gantian tiang rumah”. Sebab, dengan keberangkatan anak perem puan, seolah-olah rumah orangtuanya kehilangan satu tiang sehingga dapat rubuh. Pada saat ini bukan hamba yang diberikan, melainkan kuda yang bagus atau kerbau yang besar, tetapi adat lama itu menyingkapkan asal mula pem-belis-an.151 Seharusnya belis lebih besar lagi jika pengantin disertai oleh hamba-hamba, sebab dalam hal ini kerugian akan menjadi lebih besar.152

Mungkin, cikal bakal pelambangan adalah titik pandang bahwa mamuli itu menggantikan pengantin perempuan. Setelah itu, lulu amahu dikembangkan karena adanya kecende rungan dualisme.

Di samping itu, Kapita juga menekankan bahwa keko songan di rumah orangtua perempuan itu diisi dengan benda-benda yang magis. Pemberian yang bersifat tradisional itu bermakna magis dan dianggap mengerjakan sesuatu, sama seperti perkawinan itu sendiri. Si perempuan akan melayani marapu kabihu suaminya. Cinta itu sebenarnya magis sifat nya dan punya kepentingan religius, bahkan kosmis. Ikatan cinta itu seharusnya dilambangkan dengan pem-belisan.153 Atau, mungkin Kapita memusatkan pada cinta dan bukan pada kesuburan karena ia berkeinginan mengartikan pola pemikiran orang Sumba secara kristiani?

8.2. Dualisme Sosio-Kosmis, dengan Corak Seksual

Menurut butir ketiga dalam konsep FAS, pola pikir berbagai suku bangsa di Indonesia didominasi oleh dualisme. Pada umumnya dualisme itu bercorak seksual, dan di Sumba ciri itu sangat terlihat.

Baik Onvlee, maupun Forth telah menunjukkan bahwa terdapat paralelisme antara unsur laki-laki/unsur perempuan, langit/bumi, kanan/kiri, putih/merah. Semua itu dipenga ruhi oleh seksua li tas. Air yang jatuh dari langit itu memberi kesuburan kepada tanah yang menerimanya. Putih adalah warna sperma (benih), merah warna darah (termasuk mens truasi). Pembedaan itu dapat juga disejajarkan dengan ma tahari/bulan, perak (putih) dan emas (merah), Timur dan Barat.154

Kegemaran utama orang-orang Sumba adalah mengunyah sirih pinang, yang juga dianggap penting untuk dihi dangkan kepada tamu. Buah sirih yang lonjong memanjang itu melam bangkan alat vital laki-laki, sedang buah pinang yang bulat dan terdapat lubang rekahan itu melambangkan alat vital perempuan. Keduanya harus dihidangkan bersama.

Tempat persembahan yang terletak di depan rumah, katoda, juga mengandung makna seksual; terdiri dari sepotong kayu pendek, di antara dua lempengan batu, tem pat meletakkan persem bahan.155 Benda-benda tersebut secara ke seluruhan menunjukkan penyatuan laki-laki dan perem puan.

Perkawinan dianggap sebagai perwujudan kuasa-kuasa kosmis.

Onvlee memperhatikannya ketika meneliti hal-hal yang dia temui pada pembangunan bendungan di Mangili. Jauh sebelumnya telah dikerjakan dua aliran air yang berasal dari sebuah bendungan kuno, yang digunakan untuk mengairi sawah. Aliran yang satu di anggap laki-laki, dan yang satu lagi dianggap aliran perempuan, dibuat sedemikian rupa sehingga mereka bersilang melalui talang. Persilangan itulah dianggap sebuah perkawinan, masing-masing mengairi sebagian persawahan. Nama aliran masing-masing mirip dengan nama kabihu yang memiliki bagian sawah tertentu. Jika sebuah pohon perlu ditebang untuk dijadikan talang baru, pemilik sawah harus memberikan semacam belis kepada tuan tanah tempat pohon itu ditebang. Menurut Onvlee, baik kesuburan manusia melalui perkawinan maupun kesu buran tanah melalui sistem peng airan itu dilihat sebagai per wujudan perkawinan kosmis antara langit dan bumi. Air hujan dianggap sperma, benih dari atas.156

Melihat dualisme sosio-kosmis yang bercorak seksual itu, makin memperkuat kesimpulan yang telah penulis ambil bahwa pem-belis-an dengan segala unsurnya yang dualistis itu melambangkan kesuburan.

Permanen dan tidak-permanen

Terdapat satu pandangan lain di kalangan orang Sumba sendiri, yang tidak begitu mengutamakan dualisme yang ber corak seksual. Pandangan itu diteliti dan digambarkan oleh ahli sosiologi seperti M.J. Adams dan D. Geirnaert. Mereka memperhatikan unsur-tigabagian. Adams bahkan menunjukkan bahwa dualisme sosio-kosmis yang termuat dalam konsep FAS itu, berkaitan dengan suatu unsurtiga-bagian yang juga sosio-kosmis sifatnya. Polanya terlihat dalam hubungan antarkeluarga yang asimetris itu, yaitu meliputi tiga klen. Karena, seperti telah kita ketahui, perkawinan tukar (simetris) antara dua klen tidak diperbolehkan.

Adams juga berpendapat, orang Sumba ber ang gapan bahwa tenunan-tenunan, sama seperti perempuan, adalah unsur yang tidak permanen dalam kabihu itu. Kain tenunan ada lah balasan dari benda-benda logam yang dianggap lelaki dan per manen sifatnya.157 Sebab, perempuan meninggalkan kabihu ke tika menikah, sedangkan laki-laki tetap tinggal dalam kabihu-nya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kain merupakan barang yang fana dan logam barang yang baka.

Akan tetapi, muncul pertanyaan apakah keterangan ini tidak bertolak dari kebiasaan saja, yaitu bahwa perempuan berpindah kabihu. Kebiasaan atau adat itu terbentuk secara perlahan-lahan. Sedangkan dualisme seksual berakar pada alam semesta, dan karena itu dapat dianggap asasi.158

Tenunan dianggap benda perempuan, bukan hanya karena perempuan yang menenunnya, melainkan juga karena merupakan benda yang fana. Proses penenunan berkaitan dengan proses-proses kehidupan. Sehubungan dengan itu, maka Sandra Niessen bahkan menyarankan agar corak tenunan sebagai benda perempuan dijadikan salah satu unsur dari konsep FAS. Geirnaert lebih berhati-hati dalam ke simpulannya, karena menurut pendapatnya, kalau begitu bagaimana hubungannya dengan ketiga unsur pokok lain dalam konsep tersebut (D. Geirnaert-Martin, hlm 93). Geirnaert menginterpretasikan ke hidupan sebagai hasil dari proses penenunan, sesuai dengan alam pikiran orang Laboya. Bulan berperan penting dalam hal itu. Apa lagi, seluruh Pulau Sumba ditenun oleh suatu makhluk, yang sering tampak sebagai ular piton, tetapi ke mudian juga menyatakan dirinya sebagai manusia dan telah menjadi leluhur besar (D. Geirnaert-Martin, hlm 33). Sekalipun menenun kain adalah pekerjaan perempuan, mereka tidak mengerti arti nya, justru laki-laki yang tahu (D. Geirnaert-Martin, hlm 78). Hanya, bahwa perempuan yang melakukan penenunan, itu berkaitan dengan kesinambungan kehidupan dan hal melahirkan anak (D. Geirnaert-Martin, hlm 87). Tenunan-tenunan itu mempunyai makna dan memberitakan bahwa pihak pemberi perempuan adalah pemberi hidup (D. Geirnaert-Martin, hlm 131-133, 241, 242). Hanya saja, bukan berarti bahwa para perempuan memasukkan daya hidup (mawo) ke dalam bahan tekstil (kapas) yang mereka pintal. Tidak ada kuasa gaib di dalam tenunan itu. Tetapi, perempuan mempunyai keahlian untuk merekatkan dewa dan mawo sambil menenun kehidupan manusiawi. Anak perempuan mewarisi keahlian itu dari ibunya. Proses ini berlangsung ketika seorang ibu sedang mengandung, khususnya pada perempuan dari kalangan bangsawan (D. Geirnaert-Martin, hlm 81, 213, 214). Dengan demikian, yang baka ditemukan dal am yang fana.

Jikalau dengan cara itu dijelaskan perem puan tidak permanen dan bahwa tenunan, yaitu benda perempuan, adalah benda fana, maka keterangan itu lebih memuaskan dari pada penjelasan yang hanya didasarkan pada kenyataan bahwa perempuan meninggalkan kabihu. Sebab, kenyataan itu dibentuk oleh sejarah, dan tidak didasarkan pada kenyataan yang alamiah. Sedangkan pandangan bahwa kehidupan merupakan sebuah pro ses, yang di dalamnya unsur baka ditemukan dalam yang fana, adalah pandangan yang sesuai dengan alam.

9. Perkawinan Gerejawi

Prosedur perkawinan gerejawi yang sering berlaku adalah prosedur yang mengandung unsur pengakuan dosa, sebagai mana yang telah disampaikan dalam bagian pendahuluan. Upacara itu biasanya disebut ”perbaikan nikah” dan prosesnya sangat sederhana. Ketika penulis mengasumsikan bahwa mungkin hal ini merupakan hukum adat secara kristiani, kesimpulan itu tidak diterima. Pada awalnya pengakuan di depan jemaat justru diterapkan para zendeling.159

Kebiasaan yang lain ialah orangtua dari mereka yang mempunyai anak di luar nikah, tidak diperkenankan untuk ikut dalam Perjamuan Malam Kudus. Karena mereka dianggap lemah dalam mendidik anak mereka. Dan orangtua tersebut harus ber diri di depan jemaat dan mengaku salah. Apakah peraturan ini berkembang untuk menghindari masih banyaknya orangtua yang secara diam-diam mendukung anak mereka yang berpacaran itu tidur bersama sebelum menikah agar terbukti bahwa mereka dapat mempunyai keturunan?

Bahkan tidak jarang dalam kebaktian yang sama diadakan perbaikan nikah, pengakuan iman, baptisan anak, dan Perjamuan Malam Kudus untuk pasangan tertentu. Semua itu akan diseleng garakan pada saat kedua belah pihak keluarga menyatakan bahwa persyaratan adat sudah selesai dilaksana kan, yaitu telah di serahkan nya belis atau sekurang-kurangnya syarat intinya.

Di tengah gereja, penulis tidak menjumpai pendapat bahwa belis yang belum lunas itu adalah penyebab keman dulan. Tetapi, penganut agama marapu meyakini hal itu.160

Pada mulanya kepercayaan terhadap leluhur dan pem-belis-an ada kaitannya. Apakah berdasarkan kenyataan itu kita harus mendorong agar adat pem-belis-an dihapus saja? Di Sumba hanya Gereja Bebas yang melakukan itu. Apakah di gereja-gereja lain, orang Kristen meneruskan cara hidup yang lama? Tidak! Tenung tidak lagi dilakukan dan persembahan pada upacara nikah juga tidak. Hewan yang dipotong untuk disajikan kepada tamu yang beragama Kristen terpisah dari hewan yang dipotong untuk orang bukan Kristen.

Sunat pada anak laki-laki dan tato pada anak perempuan di kalangan orang Kristen hampir tidak ada lagi, padahal peneliti seperti Forth dan Geirnaert menyebutkan hal terse but dengan penuh penekanan.161

Bagi orang Kristen, jelas bahwa baptisan dan ritual adat tidak dapat berjalan seiring.162 Jadi, bila ada per tentangan antara iman Kristen dan kepercayaan kepada marapu maka gereja mengambil sikap. Rupanya ke tegasan mengenai pem-belis-an tidak dianggap perlu.

Gambaran masyarakat Sumba dari seorang yang selama beberapa waktu tinggal di lingkungan yang dikuasai oleh kepercayaan kepada marapu berbeda dengan gambaran yang penulis peroleh selama penulis tinggal di satu desa Kristen.163 Dugaan saya, Geirnaert meneliti suatu keadaan yang hampir tidak ditemukan lagi di Sumba.

Platenkamp yang melakukan penelitian di Tobelo, sulit seka li memperoleh data tentang salah satu upacara untuk orang meninggal, karena upacara itu telah hilang sesudah peng kristenan penduduk setempat. Barangkali di Sumba juga banyak peraturan adat lama yang telah lenyap.

Terhadap upacara-upacara yang masih ada, gereja tidak sertamerta harus bersikap negatif. Tidak dapat disangkal, segala sesuatu harus diteliti secara saksama dan kritis. Gereja harus waspada dan berjaga-jaga, hal itu berlaku di mana pun.

10. Pem-belis-an Masa Kini

Keadaan di tengah masyarakat Sumba memperlihatkan masya rakat yang masih kuno, masyarakat tertutup, khususnya di pedalaman. Tetapi, wawasan mereka makin luas. Banyak orangtua berusaha agar anak-anak mereka dapat mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, termasuk anak perempuan. Para orangtua juga makin meng hargai keinginan anak perempuan mereka, apalagi bila anak perempuan ini berhasil dan mendapat pekerjaan yang baik, dia akan mendapatkan calon suami yang terhormat. Hal itu akan membuat orangtua merasa beruntung. Pergaulannya dengan orang-orang dari berbagai suku akan semakin luas berkat studi yang dijalani dan lingkungan di mana si perempuan itu bekerja. Bila seorang gadis Sumba hendak menikah dengan seseorang dari daerah atau suku lain, upacara perkawinan adat Sumba tidak mungkin diselenggarakan. Pemberian-pemberian pada kesem patan itu semata-mata hanya merupakan penghor matan.

Tentu ada juga sejumlah anak perempuan yang setelah bebe rapa lama menuntut ilmu kemudian pulang ke kam pungnya. Di kampung, mereka harus mengikuti keinginan keluarga demi masa depannya. Tetapi, pendidikan yang telah mereka peroleh tetap mempunyai bobot dan akan ikut menentukan nilainya sebagai calon istri, meskipun status tersebut tidak setinggi pegawai negeri dengan pensiun tetap.

Gadis-gadis itu juga cukup menyadari perannya untuk keluar ga, dan karena itu mereka merasa bangga. Tentu saja sauda ranya laki-laki sangat mengharapkan mereka dinikahi oleh orang yang berada, karena untuk belis yang diperlukan baginya, pasti orang tuanya membutuhkan sebagian dari belis yang akan diserahkan untuk saudaranya perempuan.

Ketika membahas berbagai bentuk perkawinan, disinggung juga bahwa dengan cara-cara tertentu, pengurusan perkawinan dapat dipercepat. Tetapi, telah dikatakan juga bahwa dengan cara tersebut biasanya memerlukan biaya yang lebih tinggi. Ada ke mungkinan seorang gadis sudah hamil sebelum terjadi pengurusan perkawinan. Masalahnya, meskipun lembaga perkawinan cukup dijaga, namun anak-anak yang lahir di luar nikah justru dianggap biasa. Perkawinan di dalam kabihu (kawin sumbang/incest) atau berasal dari golongan atau lingkungan masyarakat yang lebih rendah, lebih disesali daripada hubungan di luar nikah.

Salah satu faktor penyebab hubungan di luar nikah adalah karena kaum muda itu tidak mau menunggu terlalu lama sampai kedua belah pihak keluarga selesai mengatur segala-galanya. Selain itu, meskipun seks di luar nikah dilarang, namun hal itu tidak dianggap pelanggaran besar. Juga ada kemungkinan karena orangtua sangat mengharapkan cucu, mereka ingin tahu apakah anak mereka tidak mandul; kesu buran dianggap hal yang sangat penting

Belis dapat bernilai lebih tinggi jika sudah ada anak sebelum menikah. Secara tidak resmi dikatakan ”denda”.164 Ya, denda, bahkan siasat gerejawi pun diterima sebagai im balan untuk mendapat kepastian bahwa para orangtua yang anak-anaknya hendak menikah tersebut akan memperoleh keturunan. Di seluruh Sumba, sering terjadi bahwa penye lesaian adat baru dilaksanakan bila seorang anak sudah dilahirkan.165

Seandainya calon istri sebelum menikah telah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain, mungkin saja terjadi bahwa keluarga laki-laki akan melakukan sedikit pemerasan. Orang mengatakan bahwa dalam keadaan demikian, alih-alih dari emas, mamuli yang diberikan hanya perak dan kuda belang, alih-alih kuda putih atau merah.

Walaupun demikian, kesimpulan Forth maupun Geirnaert mengatakan bahwa keperawanan perempuan itu tidak terlalu di anggap suatu kebaikan dan hal yang harus dijaga.166

Jarang sekali terjadi ada keluarga yang tetap menentang atau menolak perkawinan yang tidak diinginkan.167 Hal itu biasanya terjadi bila kasusnya adalah ”kawin sumbang” atau jika derajatnya tidak sesuai. Melalui penuntutan belis yang sangat tinggi, perkawinan yang tidak diinginkan dapat dicegah, sekurang-kurangnya dapat menghindari masuknya anak perempuan secara resmi ke kabihu lain. Tindakan semacam ini terjadi bila ada kekhawatiran bahwa harta waris akan terganggu oleh perkawinan yang tidak meng un tungkan.168

Peran pemerintah sebenarnya cukup signifikan.169 Perka winan harus dicatat secara sipil. Pendeta-pendeta dapat di akreditasi menjadi pejabat pencatatan sipil. Kepala desa pun sering dijadikan petugas pencatatan sipil. Banyak orang berpendapat bahwa menikah secara adat lebih penting dari perkawinan yang didaftarkan di kantor catatan sipil. Tetapi, pemerintah mengharuskan semua pegawai negeri termasuk para guru agar perkawinan mereka dica tatkan di kantor catatan sipil, dan kewajiban itu makin jamak dilakukan, termasuk mereka yang bukan pegawai negeri.

Petugas pencatatan sipil harus memastikan adanya per setujuan dari kedua keluarga, bahkan ia dapat membantu dalam hal itu. Sebagai kemungkinan terakhir ia dapat meng anjurkan agar perkawinan diatur melalui pengadilan, bila keluarga tetap tidak mau menyetujui dengan alasan yang tidak sah.

Pada tahun 1963 Pemerintah Daerah Sumba Timur telah menyelenggarakan suatu musyawarah tentang adat, dengan memberi perhatian khusus pada pola masyarakat yang berbeda tingkat, adat perkawinan, dan adat pemakaman.170

Sebenarnya ada alasan yang penting untuk memantau secara kritis keseimbangan antar-kabihu yang dahulu dianggap sangat diperlukan, karena masyarakat sudah tidak lagi bergantung pada keseimbangan yang dimaksud. Tidak akan terjadi hal-hal yang tidak baik jika keseimbangan tersebut menjadi lemah, karena sekarang ini pemerintah yang mengatur dan menjamin kerukunan masyarakat. Bahkan berman faat bila masyarakat terlepas dari ikatan dengan keluarga kaum ningrat. Bila para bangsawan saat ini tetap menekankan perlunya keseimbangan sosial, mungkin alas annya ada lah untuk memperkaya diri sendiri. Belis pun dapat di komersialisasikan, meskipun dengan alasan bahwa nilai-nilai lama harus dipertahankan.171

Jacqueline Vel pernah bekerja di Lawonda di tengah penduduk biasa, dan keberadaannya di tengah masyarakat itu tentu akan menghasilkan pandangan yang berbeda bila dibandingkan dengan pandangan berdasarkan pergaulan dengan para bangsawan, seperti yang sering dilakukan oleh para ahli antropologi. Kesimpulan Vel adalah bahwa ”every man who wants to obtain a wife has to pay a bride-price of potent ially more than a hundred heads of horses and buffalo”.172

Tentu saja pada masa lalu ada juga unsur komersialisasi nya.

Karena benda-benda belis itu bukan saja bernilai simbolis, melainkan juga mempunyai nilai jual. Hanya, yang cukup rumit pada saat ini adalah bahwa harga hewan dan tenunan dapat sangat berbeda sehingga terjadi perbedaan tingginya nilai antara belis dan balasan.173

11. Evaluasi

Strukturalisme dan fungsionalisme adalah dua pandangan antropologis yang utama. Menurut yang pertama harga kawin merupakan alat pembentuk hubungan antarkelompok yang stabil. Sedangkan menurut yang kedua harga kawin merupakan ”harga membeli anak”. Kedua pandangan tersebut bukan hanya teori atau praanggapan (hipotesis) ilmiah, melainkan juga ditemukan di ka langan masyarakat Sumba sendiri dan saling memperlengkapi. Perlu dibedakan antara penyerahan belis yang mengesahkan per alihan perempuan ke kabihu suaminya (bersama anak pasangan suami istri tersebut), dan di sisi lain balasan yang diserahkan ke mudian, membentuk hubungan yang stabil antara kabihu.

Bagi orang yang bukan Kristen, keterkaitan antara pengurusan nikah dan penyembahan kepada leluhur tidak dapat diragukan karena para leluhur (marapu) menurut dongeng memberi berkat kepada pertalian perkawinan yang sesuai dengan adat. Para leluhur itu sangat terikat pada kabihu dan tanah yang dihuni kabihu itu. Kabihu tergantung dari berkat mereka, baik yang berupa anak maupun yang berupa hujan dan kesuburan tanah. Para leluhur hendaknya disembahyangkan dan dipuja pada tiap peristiwa penting dalam kehidupan keturunannya, dan tentu saja pada perkawinan. Pada tiap langkah pengurusan nikah, dilakukan sem bahyang dan persembahan, disertai dengan tenung melalui hewan yang di po tong. Dan pada tiap langkah, pihak perempuan memberikan babi untuk makan bersama, dan melalui letak usus binatang yang disembelih itu si peramal dapat menjelaskan kehendak marapu.

Keterkaitan dengan para leluhur tampak pada aya wili (pokok belis), yang sebagian ditujukan kepada ladi dita, ya itu tempat pembaringan di atas, yang dihuni oleh nenek moyang, yaitu di bubungan rumah tradisional. Menurut do ngeng, perkawinan adalah tuntutan para leluhur, supaya secara turun-temurun marapu tetap dipuja dan disembah.174

Meninjau kembali apakah nilai perkawinan dan harga kawin masih mempunyai arti bagi orang Sumba, penulis meng ikuti ketiga pokok konsep FAS. Berkaitan dengan Laboya, D. Geirnaert ingin mereformulasikan pokok-pokok tersebut,175 tetapi penulis tetap meng ikuti pola yang lama, karena penelitian penulis ini bertema harga kawin, dan justru pandangan antropologis yang lama itu meli hat penelitian tentang perkawinan sebagai titik masuk yang penting untuk memahami suatu masyarakat.

Perkawinan antara laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibu (MBD) adalah perkawinan yang sangat disukai. Perkawinan tukar tidak diperbolehkan. Bahkan di Sumba Timur perkawinan dengan sistem FSD juga dicegah karena perkawinan semacam ini pada akhirnya juga akan menuju ke perkawinan tukar. Jadi, yang dikehendaki adalah perkawinan cross-cousin yang matrilateral.

Terdapat eksogami, yaitu perempuan diambil dari kabihu lain, dan sebaiknya kabihu yang diatur oleh adat. Sekurang-kurangnya ada tiga klen, yang selalu berhubungan melalui perkawinan, malah pada umumnya lebih dari itu. Dengan demikian, terbentuk sebuah asimetri dalam kehidupan ber masyarakat, dan juga harmoni, keselarasan. Pemberi perempuan memang dianggap lebih penting daripada penerima perempuan, tetapi untuk tiap kabihu terdapat yera (pemberi perempuan) dan layia (penerima perempuan). Keselarasan dalam masyarakat itu diteruskan melalui pemberian timbal balik, khususnya dalam perkawinan.

Pemberian perempuan menuntut belis, sedangkan belis menuntut balasan. Terdapat keseimbangan antara pemberian dan balasannya, tetapi karena pertama-tama pengantin perempuan yang diberikan maka pemberi perempuan tetap lebih penting dari pada penerimanya.

Dengan memperhatikan hal ini, terlihat bahwa harga ka win menjamin hubungan keluarga dan memberi sumbangan bagi stabilitas sosial-politik. Hanya saja, corak masyarakat Sumba telah berubah. Tidak terlalu terkurung lagi, dan sistem pemerintahan pada masa kini diatur dari pusat. Bila pada masa kini ada yang gemar menekankan keseimbangan sosial maka yang dicari biasanya adalah kekuasaan dan keuntungan. Belis dikomersialisasikan.

Masyarakat Sumba Timur tidak memperlihatkan keturunan unilineal kembar. Garis keturunan adalah patrilineal. Istri dan anak termasuk dalam kabihu suami/ayah, dan hak waris juga diatur secara patrilineal. Garis matrilineal memang dike nal, tetapi tidak sekuat di Sabu atau di Kodi (Sumba Barat).

Penggolongan sesuai dengan perbedaan tingkat jangan dianggap sebagai warisan matrilineal.

Dengan memperhatikan garis keturunan tersebut maka belis menjamin kedudukan istri dan anak dalam kabihu laki-laki. Karena itu dapat dikatakan seolah-olah belis merupakan harga untuk membeli anak. Tetapi, itu hanya seolah-olah, karena belis mempunyai arti yang lebih luas.

Oleh karena keturunan dianggap begitu penting maka dengan diam-diam hubungan seks pranikah dibiarkan. Ge reja melarang hal itu, tetapi karena adanya semacam perkawinan gerejawi ke dua, yang disebut perbaikan nikah ma ka perkawinan tersebut di tetapkan oleh gereja.

Kabihu mencari kesuburan, yaitu keturunan melalui perkawinan. Lembaga perkawinan itu melindungi kesuburan. Sulit untuk menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dahulu: perkawinan sebagai jalan untuk memperoleh keturun an, atau perkawinan untuk mendapatkan hubungan dengan kabihu lain.

Seandainya yang diutamakan atau dianggap perlu adalah untuk mendapatkan anak, maka perlindungan perkawinan tidak akan sekuat itu. Tetapi, karena anak adalah juga pewaris maka anak-anak perlu tergolong pada kabihu.a. Dalam alam pemikiran orang Sumba, dualisme sosio-kosmis, dengan corak-corak seksual, adalah hal yang sangat berarti. Langit dianggap laki-laki, sedang bumi adalah perempuan. Demikian juga terdapat dualisme antara pemberi perempuan dan penerima perempuan. Kabihu yang memberi perempuan statusnya lebih tinggi daripada status pihak kabihu laki-laki. Pihak pemberi perempuan menerima dari pihak lain benda laki-laki (hewan dan perhiasan), sementara pihak ini memberikan benda perempuan (tenunan dan babi). Semuanya diserahkan berpasangan. Dengan demikian, tidak hanya karena bentuk dari perhiasan tertentu (mamuli dan lulu amahu), harga kawin itu juga melambangkan kesuburan.

b. Dualisme juga muncul dalam penggolongan masyarakat sesuai dengan perbedaan tingkat. Hanya saja tidak ada corak seksual di sini.

Perbedaan antara kelompok-kelompok sosial itu tentu mempunyai latar belakang sejarah, yaitu perebutan, perang, jual beli, dan sebagainya. Dipengaruhi juga oleh perkembangan pemerintahan suku. Tetapi kegemaran berpikir dualistis ten tu memberi pengaruh terhadap semuanya.

Pada awal pengurusan nikah, tingkat sosial dari calon mempelai itu diamati dengan cermat. Karena tingginya belis bergantung pada kondisi sosial tersebut. Memperhatikan hal ini, dapat dikatakan bahwa harga kawin mempunyai maksud sosial: tingkat sosial anak-anak dapat dijamin oleh perkawinan dengan seseorang yang setingkat.

Mengikuti pola konsep FAS, penulis menyimpulkan:

  • Harga kawin menjamin hubungan kekeluargaan dan stabilitas sosial-politik.
  • Harga kawin merupakan ”harga membeli anak”.
    1. Harga kawin melambangkan kesuburan.
    2. Harga kawin memberi jaminan tingkat sosial.

Catatan kaki

Society, 1980, hlm 23.

Sumba dan buku nyanyian Mazmur/Kidung Jemaat. Dia juga menerbitkan buku Tata Bahasa dan Kamus Bahasa Sumba-Bahasa Indonesia.

Sumbanese Art, 1980.

150 Forth, o.c., hlm 372. 151 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 131. 152 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 135. Menarik cerita Nooteboom (1940) bahwa pada waktu ”masuk minta” telah diserahkan seorang hamba perempuan yang berhak untuk menikah dengan seorang dari kabihu pengantinlaki-laki. Sesudah majikannya menikah ia akan melayani dia di kabihu tempat ia baru masuk. Selain itu, selama pesta nikah ia merepresentasikan pengantin perempuan, yang sementara itu masih bebas bergaul dalam pesta itu, o.c., hlm xiii. 153 Kapita, Masyarakat Sumba, hlm 130. 154 Onvlee, Mannelijk en vrouwelijk in de sociale organisatie van Soemba, 1980. 155 Wellem, Injil dan Marapu, 2004, hlm 51, menyebut dua batang kayu, yang satu bercabang dan yang lain tidak, masing-masing melam bangkan unsurlaki-laki dan unsur perempuan. Apakah ia mencampuradukkan katoda dengan seluk-beluk andunga, yaitu pohon tempat menggantungkan tengkorak kepala musuh? 156 Onvlee, Naar aanleiding van de stuwdam in Mangili, 1949. 157 Adams, o.c., hlm 220. 158 Schefold yakin tentang adanya prinsip-prinsip penentu yang mendasari berbagai babat (kategori) dalam kehidupan suku, dan juga yakin bahwa prinsip tentang unsur-unsur yang berlawanan (oposisi) yang saling memperlengkapi mendasari dualisme sosio-kosmis ”which is informed by gender categories”, ”Future tasks for Cultural Anthropology”, dalam Bijdragen , hlm 188. Geirnaert, oc., 33, 78, 81, 87, 93, 131-133, 213, 214, 241, 242. Hoskins menulis tentang benda yang baka (laki-laki) dan benda yang fana (perempuan) dalam harga kawin, o.c., 140, tetapi juga menjelaskan bahwa julukan laki-laki dan perempuan kadang-kadang dibe rikan karena bentuknya. Di Kodi sejak dahulu terdapat sebuah bejana suci. ”The urn, a hollow cavity with generous curves, was a female object containing fertile, life-giving water.” Kemudian, VOC telah memberikan sebatang tongkat emas kepada seorang raja di Kodi. ”The staff was classified as a male object, because it was firm, and could be used as a weapon”, Hoskins, o.c., hlm 128.

Di Kodi sejak dahulu terdapat sebuah bejana suci. ”The urn, a hollow cavity with generous curves, was a female object containing fertile, life-giving water.” Kemudian, VOC telah memberikan sebatang tongkat emas kepada seorang raja di Kodi. ”The staff was classified as a male object, because it was firm, and could be used as a weapon”, Hoskins, o.c., hlm 128.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    J.A. Boersema
  3. ISBN:
    978-602-1006-04-7
  4. Copyright:
    © 2015, Jan Boersema
  5. Penerbit: