Bab ini hendak membicarakan data-data Alkitab yang ber kaitan dengan penilaian etis ”harga kawin” pada masyarakat Sumba. Penilaian etis itu yang menjadi isi Bagian berikut (4).
Kita harus memperhatikan perbedaan antara masyarakat Sumba pada masa kini dan masyarakat Israel pada zaman Perjanjian Lama, guna menghindari Alkitab dijadikan sebagai sumber nasihat yang tidak mengena dan tidak sesuai dengan konteks Sumba. Dalam melakukan penelitian Alkitab, kita harus fokus pada ciri khas lingkungan Israel kuno. Ada ke mungkinan data-data alki tabiah mengenai harga kawin hanya merupakan gambaran (ilustrasi) saja untuk kita sekarang ini, dan tidak bersifat ukuran (norma). Tetapi, kesimpulan seperti itu harus didahului oleh dan didasarkan pada tafsiran nas-nas tersebut (3.1 dan 3.2).
Penelitian eksegetis (tafsiran) juga dibutuhkan untuk mengenal data-data Alkitab mengenai perkawinan, keluarga dan rumah tangga yang bersifat asasi (fundamental) dan yang berlaku di ma na-mana (3.3-3.5).
Berkaitan dengan pembagian bab ini, perlu diketahui hal-hal sebagai berikut:
Telah dikemukakan pembedaan antropologis antara ”isi kawin” dan ”harta kawin”. Dan telah dicatat bahwa harga kawin yang menjadi prioritas di Timur Tengah adalah isi kawin. Oleh karena itu, tidak masuk akal bila dikatakan bahwa harga kawin yang dianggap penting dalam Alkitab, merupakan harta kawin, yaitu mohar. Demikian juga mahr, yang berasal dari lingkungan orang Arab dan ditemukan dalam hukum-hukum Islam. Mahr tersebut juga bukan harta kawin, melainkan isi kawin.
Dalam Bagian 2 telah dijelaskan bahwa harta kawin bukan hanya pemberian pengantin laki-laki atau keluarganya kepada orangtua pengantin perempuan, karena harta kawin itu disediakan dan dise rahkan demi mempererat hubungan antara kedua keluarga, yaitu antara kesatuan-kesatuan yang eksogam. Tetapi, tidak ada data Alki tab yang melukiskan kebudayaan seperti itu ada di Israel kuno,
juga tidak ada dalam buku-buku tafsiran. Yang sering ditemukan adalah bahwa pengertian mohar itu dimaknai sebagai kompensasi atau ganti rugi.
Akan tetapi, mohar juga tidak dapat dipandang sebagai isi kawin, karena data-data Alkitab menunjukkan bahwa terjadi pemberian pengantin laki-laki dan keluarganya kepada keluarga pengantin perempuan, bukan pemberian dari ayah perempuan itu kepada anaknya. Apalagi, dalam hu bungan dengan mohar, sering dibicarakan tentang ’arasj’ (kata kerja), yang artinya ”memperoleh”.
Jelas sekali bahwa Alkitab mengenal kebudayaan harga kawin.
Sesudah dua opsi (pilihan) kemungkinan tidak dapat diterima, maka kita sampai pada opsi ketiga. Praduga penulis adalah bahwa mohar merupakan ”isi kawin yang tidak langsung” yang diberikan pengantin/keluarganya kepada orang tua pengantin perempuan, lalu diteruskan kepada pengantin perempuan demi masa depannya.
Hipotesis ini akan di teliti berdasarkan data-data Alkitab (3.1.2).
Pengetahuan antropologis yang diperoleh melalui penelitian dalam Bab 2, sangat mendorong kita untuk memilih salah satu ke mungkinan. Andaikata dalam Alkitab tidak ada dukungan untuk memi lih opsi isi kawin, dan tidak juga harta kawin, maka ke mungkinan ketiga adalah yang paling memuaskan, yaitu isi kawin yang tidak langsung. Memang, terdapat juga beberapa nas yang dapat menjadi dasar untuk melawan keterangan tentang isi kawin yang tidak langsung ini (3.2.2). Nas-nas itu akan kita bicarakan secara khusus.
Penulis juga menyinggung kepustakaan tentang perkawinan di Israel. Apakah di dalamnya mungkin terdapat pembedaan-pembedaan antropologis seperti yang disebut di atas?
Telah kita perhatikan juga pembedaan antara endogami dan eksogami, dan telah kita ketahui bahwa ciri khas budaya Timur Tengah adalah endogami. Sehubungan dengan pembedaan ini, penulis akan mengikuti cara penelitian yang sama. Hipotesis penulis adalah bahwa endogami harus dilihat sebagai hal struktural dalam masyarakat Israel. Struktur itu dibuktikan berdasarkan data-data Alkitab (3.3.1-3.3.4). Se telah meneliti data-data Alkitab, dalam hal ini penulis juga meneliti susastra yang relevan. Materi ini berkaitan dengan yang pertama (isi kawin atau harta kawin). Beberapa pengarang mengutamakan betapa pentingnya penyerahan pemberian bagi orang Semit. Dalam masyarakat yang endogami,
suatu pemberian tidak dimaksudkan untuk menciptakan hubungan antarkeluarga, tetapi untuk memper erat hubungan keluarga yang sudah ada.
Setelah itu penulis membahas kawin campur. Bagaimana penilaian Alkitab terhadap hal itu? Dalam susastra tertentu, hal perkawinan campur disebut sebagai bagian dari endogami. Apakah pandangan itu dapat dipertahankan?
Kemudian penulis membahas secara khusus topik tentang proses menuju perkawinan. Perjalanan menuju perkawinan berlangsung secara bertahap; pertunangan dahulu, baru perkawinan. T etapi, sebelum masuk ke tahap itu, terdapat satu masa di mana calon pengantin laki-laki dan perem puan saling mengenal sehing ga saling mencintai. Hal itu penting diketahui, sebab yang sering terjadi dalam masya rakat yang punya ciri khas harga kawin adalah calon pengantin perem puan dan laki-laki tidak sejalan dengan tindakan keluarga, bahkan lebih cepat melangkah, dan telah melakukan hubungan seks sebelum upacara perkawinan di selenggarakan. Seandainya penyelewengan seperti itu di anggap biasa di Israel, akan sulit bagi gereja masa kini untuk menasihati muda-mudi agar tidak berlaku demikian.
Bagian 3.5 berjudul: ”Kontekstualisasi dalam Alkitab”, membahas tentang semacam kontekstualisasi yang telah ditemukan dalam khazanah Alkitab. Materi itu mendorong kita berpikir kontekstual (akan bersambung dalam 4.5).
Harga kawin ”mohar” yang telah dibandingkan dengan harga kawin mahr dalam agama Islam, bukanlah satu-satunya harga kawin yang disebut dalam Alkitab. Ada juga šillukhim dan mattan.
M. Burrows membandingkan ketiga jenis harga kawin yang ditemukan pada bangsa Asyur dan bangsa Babel. Burrows melihat ada nya kemiripan dengan data-data Alkitab. Mohar merupakan terkhatu, yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada ayah atau wali pengantin perempuan. Kenyataan alkitabiah yang disebut šillukhim merupakan šeriktu dan itu adalah isi kawin yang diberikan oleh ayah kepada putrinya. Kenyataan alkitabiah lain, mattan (Kej 34:12), menurut Burrows mungkin sama dengan nudunnû dari kitab-kitab hukum di Asyur dan Babel. Orang Jerman menyebutnya Morgengabe, yaitu pemberian pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan, sebagai harga keperawanannya. Sebe nar nya hal ini merupakan suatu jaminan, seandainya dia nanti menjadi janda.1
Pandangan lain adalah bahwa mattan merupakan pemberian kepada orangtua pada hari perkawinan anaknya.2
Meneliti data-data Alkitab, penulis ingin menjawab per ta nyaanpertanyaan berikut ini:
Apakah benar mohar itu merupakan isi kawin yang tidak langsung?
Apakah mattan adalah pemberian dari pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan (Morgengabe), ataukah dari pengantin lelaki kepada mertuanya?
Mohar dan mattan ditemukan dalam Kitab Kejadian, riwayat bapa-bapa leluhur Israel, sedangkan šillukhim ditemukan dalam 1 Raja-raja 9:16.
Dari semua kitab dalam Alkitab, Kitab Kejadian memberikan infor masi terbanyak tentang perkawinan, mulai dari Kejadian 2. Bila membicarakan tentang calon istri yang diberikan atau yang diambil, biasanya kata kerja umum yang digunakan, yaitu natan (memberikan) dan laqakh (mengambil). Ungkapan khusus hanya disebut dalam Kejadian 34:12, yaitu mohar dan mattan.
Dalam bagian yang bernama toledot Terah (Kej 11:27-25:11) kita baca tentang dua saudara, Abram dan Nahor; masing-masing mengambil seorang perempuan untuk di per istri, yaitu Sarai dan Milka. Perkawinan Abram dan Sarai tidak membuahkan anak, dan atas nasihat Sarai, Abram menikahi seorang hamba bernama Hagar, yang melahirkan anak laki-laki baginya, yaitu Ismael. Hagar dan Ismael kemudian diusir, sesudah Abram dan Sarai pada akhirnya juga memperoleh anak yang diberi nama Ishak. Ibu-ibu dalam riwayat ini sangat berpengaruh.
Kami menolak pendapat bahwa dalam periode prasejarah terdapat sistem matriarkat (pemerintahan perempuan dalam keluar ga), seperti yang dikemukakan oleh J. Morgenstern dalam satu publikasi pada tahun 1929 (J. Morgenstern, Beena Marriage in Ancient Israel, 1929, hlm 91-110; 1931, hlm 46-58). Menurut Morgenstern, memang tidak diketahui pasti bagaimana pengurusan tentang perkawinan pada masa prasejarah itu, sebab sejak saat ada data-data bersejarah, telah terjadi peralihan dari perkawinan beena (matriarkat) kepada perkawinan ba‘al (patriarkat; ba‘al adalah tuan). Sebab, suku-suku yang dahulu mengembara di padang gurun ber sentuhan dengan para penduduk Kanaan dan mengambil perempuannya, dengan cara merampok atau membeli atau di lakukan dengan perjanjian. Matriarkat, menurut Morgens tern, cocok untuk kehidupan nomad (pengembara).
Apabila laki-laki tidak lagi mengembara, tetapi menetap, terjadilah perkawinan ba‘al, dan kemudian terbentuk suku-suku. Pandangan Morgenstern itu evolusionistis adanya, dan dia menga takan bahwa pada zaman nomad seorang ibu adalah pusat kehidupan keluarga: dia tinggal di oasis bersama anaknya, sedangkan laki-laki mengembara hingga masuk ke kelompok lain. Sebenarnya pada saat itu belum ada perkawinan, tetapi yang ada adalah poliandri. Hanya saja, orang yang tidak menganut evolusianisme (seperti penulis) juga tidak melihat bukti matriarkat itu. D.R. Mace menentang pandanganpandangan seperti itu pada tahun 1953, dalam karang annya untuk menentang pandangan J.F. Mc. Lennan dan W. Roberson Smith (David R. Mace, Hebrew marriage, 1953, hlm 37-43).
Peran ibu-ibu yang sangat penting terlihat dalam sejarah yang dilukiskan dalam Kejadian 24: perkawinan Ishak dan Ribka. Hamba Abraham pergi mencari istri bagi anak tuannya yang bernama Ishak, sampai ke Mesopotamia. Perjalanan hamba tersebut sangat diberkati Tuhan. Dia memohon kepada Tuhan agar diberi tanda, supaya setelah bertemu dengan penduduk di kota tertentu, dia dapat mengetahui siapa calon istri yang cocok bagi anak tuannya. Tanda itu diberikan kepadanya: ia bertemu dengan seorang gadis yang memberi minum bukan saja kepadanya, melainkan juga menawari untuk memberi minum bagi unta-untanya. Hamba tersebut menyerahkan sebuah hadiah yang sangat indah, tentu saja hal ini dimak sudkan untuk membuka negosiasi dengan keluarga si gadis. Kemudian dia menanyakan nama si gadis dan meminta agar diberi tempat untuk menginap di rumah ayahnya. Gadis itu memberitahukan namanya, Ribka, dan mengatakan bahwa dia adalah anak Betuel, anak dari Milka, yang melahirkan untuk Nahor (ay 24). Jadi, dia menyebut nama neneknya. Meskipun yang bertindak sebagai tuan rumah dan juru bicara dalam pertemuan itu adalah Betuel, dan khususnya saudara Ribka, Laban, namun sebelumnya Ribka lebih dahulu masuk ke kemah neneknya, Milka.3 Tentu saja ia menceritakan kepada neneknya apa yang baru saja dia alami.
Tidak lama sesudah itu, hamba Abraham itu diundang ma suk, kemudian dia menjelaskan maksud kedatangannya. Dia ber cerita tentang Abraham dan Sara, yang sudah dikenal baik oleh keluarga tersebut, teristimewa bagi Milka yang sudah tua itu. Utusan Abraham mengatakan bahwa Tuhan telah memimpinnya dalam perjalanan sehingga dia datang ”masuk minta”, meminang si anak gadis atas nama tuannya. Rupanya, langsung menyampaikan permohonan, merupakan kebiasaan di Timur Tengah. Dalam hal lamaran, permintaan langsung disampaikan sebelum dijamu makan dan minum, tetapi dalam hal-hal yang lain, makan minum dahulu baru maksud kedatangan disampaikan. Maksudnya adalah agar keluarga si calon yang dilamar, kalau hendak menolak, dapat melakukan itu tanpa membuat suasana menjadi tidak menyenangkan.4
Kedudukan tinggi si perempuan juga jelas terlihat pada ayat 53: Ibu Ribka juga mendapat hadiah, dan pada ayat 55, Ibu Ribka juga berusaha agar anaknya masih tinggal bersamanya beberapa hari sebelum berangkat.
Dapat juga kita katakan, terdapat pemikiran tentang berperannya Milka, nenek Ribka. Pada akhir kisah dikatakan bahwa sesudah perjalanan yang panjang, Ishak membawa Ribka ke dalam kemah ibunya, Sara yang sudah meninggal. Ishak mengambil Ribka (laqakh) menjadi istrinya (´išša). Ia jatuh cinta kepadanya dan dengan perkawinan itu Ishak menjadi terhibur sepeninggal ibunya. Sebab, dalam bagian sebelumnya dikatakan bahwa Sara telah meninggal dan dikebumikan. Jadi, Sara maupun Milka, yang sama-sama telah disebut dalam bagian pertama dari toledot Terah, muncul juga dalam pasal ini sehubungan dengan perkawinan Ishak, cucu Terah.
Pasal ini juga dipandang oleh Morgenstern sebagai pembuktian adanya sistem matriarkat. Karena: 1) Ribka menyebut nama neneknya. 2) Pemberian hantaran yang terbesar diberikan kepada Ribka sendiri. 3) Ishak membawa Ribka ke dalam kemah ibunya.5 Penulis berpendapat, ada keterangan lain yang lebih kuat: 1) Ribka bermaksud mengatakan bahwa dia adalah cucu dari Milka, istri pertama Nahor. Mungkin pada saat itu Nahor sudah meninggal. Tentunya Nahor dan Milka sudah sangat dikenal oleh keluarga di Kanaan. Penghormatan terhadap nenek tidak dengan sendirinya menganut sistem matriarkat. 2) Seandai nya hipotesis penulis benar, bahwa masyarakat di Timur Tengah mengenal ”isi kawin yang tidak langsung”, dapat dimengerti bahwa hadiah yang bernilai besar juga diberikan langsung kepada calon istri. 3) Ribka dibawa ke rumah Sara untuk mengatakan bahwa sejak saat itu dia adalah perempuan utama dalam keluarga. Kenyataan itu tidak membuktikan adanya sistem matriarkat.
Dengan penjelasan yang bagaimanakah pasal ini memba has harga kawin? Ada suatu hadiah yang diberikan oleh hamba Abraham kepada Ribka di tepi sumur6 disusul dengan pemberian lainnya (ay 53); sesudah ada persetujuan dari saudara laki-laki maupun ayahnya. Selain itu, diberikan juga hadiah bagi saudara dan ibunya: mungkin hadiah yang terakhir itu yang dapat dikatakan merupakan mattan, yang dikenal dari pasal lain.
Kejadian 34:12 menyebut mattan. Hadiah itu dapat diartikan:
1) sebagai penghormatan dari pengantin laki-laki kepada orang tua pengantin perempuan, atau 2) sebagai pemberian pengantin lakilaki kepada calonnya. Kedua unsur itu dicantumkan dalam Kejadian 24. Pada Kejadian 24:53 dibicarakan tentang migdanot. Menurut Neufeld, hadiah itu harus dibedakan dari mattan seba gaimana yang disebutkan dalam pasal 34:12. Menurut dia, mattan itu untuk si perempuan itu sendiri, sedangkan migdanot merupakan tambahan. Menurut saya, kedua istilah ini adalah istilah yang bersifat umum. Dalam Kejadian 34 mattan dibedakan dengan mohar, dan rupanya dapat juga dijadikan tuntutan besar yang di minta oleh keluarga perempuan. Oleh karena itu, paling masuk akal kalau hadiah yang dimaksud dianggap sebagai hadiah bagi keluarga. Pandangan itu juga sesuai dengan hipotesis bahwa mohar, atau sebagiannya, ditujukan bagi calon istri. Menurut saya, hamba Abraham memberikan hadiah kepada Ribka, sebab dia mengetahui bahwa dia telah bertemu dengan perempuan yang dicarinya; ban dingkan dengan tanggapan Laban dalam ayat 29.
Laban, saudara laki-laki Ribka selalu tampil. Sebagai saudara laki-laki dia harus bersikap seperti itu, selain itu agak nya dia juga orang yang suka mengatur. Ada yang mengatakan bahwa dia seorang yang egois dan tamak.7 Tidak tepat bila dikatakan bahwa masyarakat di sana bersifat fratriarkal, yaitu bahwa saudara laki-laki lebih berwibawa daripada orangtua. Dengan benar T.L. Thompson menolak asumsi itu. Dalam struktur patriarkat biasa nya saudara laki-laki si pengantin itu berpengaruh. Kalau sean dainya yang dianut sistem fratriarkhal maka saudara laki-laki dari ibu yang berpe ngaruh, dan sistem fratriarkal itu mempunyai kaitan dengan sistem matriarkat.8
Pendapat Ribka juga cukup dihargai. Sesudah keluarga memberi persetujuan, maka hamba Abraham ingin cepat-cepat kem bali, sedangkan ibu dan kakak Ribka ingin mena hannya selama sepuluh hari lagi. Ribka boleh memu tuskan sendiri, ketika dia ditanyai,
”Apakah engkau mau mengikut orang ini?” (ay 58). Yang ditanyakan bukan: mau mengikut sekarang atau sesudah sepuluh hari. Yang mereka maksud, dalam kurun waktu sepuluh hari itu Ribka dapat menyatakan keberatannya kalau dia tidak mau. Anak perempuan itu dianggap mempunyai harga diri, dan dia bukan bawahan yang dapat diperintah oleh laki-laki dalam keluarga.
Yakub, salah seorang anak laki-laki Ishak dan Ribka, juga pergi ke Mesopotamia untuk mencari istri (Kej 25:19-35:29). Perjalanan Yakub juga berakhir di tepi sumur. Pertemuan antara Yakub dan anak perempuan Laban yang bernama Rahel terjadi dalam suasana yang menyenangkan. Yakub telah berangkat dari rumah orangtuanya dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat membawa hadiah. Dengan cara yang lain, dia harus menjelaskan bahwa dia pergi bukan hanya mencari perlindungan, melainkan juga seorang istri. Hal ini tentu saja tidak mengagetkan Laban, karena dia tahu bahwa kerabatnya di Kanaan hanya beberapa orang, dan mereka perlu datang ke Timur untuk mencari istri. Yakub ingin menikahi Rahel; dan karena dia tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan sebagai hadiah, dia berjanji akan bekerja untuk Laban selama tujuh tahun. Tetapi, Laban menipunya. Dia memberikan anak sulungnya Lea, lebih dahulu, hingga Yakub harus bekerja selama 14 tahun untuk dapat memperistri Rahel; jadilah dia memperoleh dua istri. Hal ini dapat disebut sebagai bentuk ”harga kawin”. Cerita ini membuktikan bahwa usaha Yakub tersebut dapat disebut mohar.
Yakub ingin untuk pulang. Seharusnya dia dapat pulang lebih cepat, sesudah 14 tahun bekerja demi mendapatkan istri, tetapi masih tinggal beberapa lama di Mesopotamia dan bekerja untuk dirinya sendiri. Baru pada saat dia berselisih dengan mertua dan iparnya, maka pergilah dia (Kej 31:1, 2), karena dia takut terhadap kakaknya, Esau, membuat dia menunda kepulangannya. Sebelum pergi ia ingin mendapat keyakinan tentang persetujuan istri-istri nya. Dan ternyata mereka juga ingin pergi. Mereka mengatakan, ”Bukankah tidak ada lagi bagian atau warisan kami dalam rumah ayah kami? Bukankah kami ini dianggapnya sebagai orang asing, karena dia telah menjual kami? Juga bagian kami telah dihabis kannya sama sekali” (Kej 31:1415). Sesudah meni kah mereka tidak pernah menerima sesuatu dari ayah mereka. Suami mereka, Yakub, telah berusaha sendiri untuk kehidupan mereka. Sebenarnya, apa yang diusahakan Yakub dalam 14 tahun itu oleh Laban seharusnya diuangkan dan diberikan kepada kedua anaknya itu. Tetapi, hal itu tidak dilakukannya.
Diceritakan bahwa kebiasaan pada zaman para leluhur Israel, pengantin laki-laki membayar sejumlah uang. Sekali pun kata mohar
tidak muncul di sini (baru muncul dalam ps 34), namun penulis berpendapat, sama seperti F.M.Th. Böhl dan R. Patai,9 bahwa justru mohar itulah yang dimaksud di sini, atau sama dengan yang di Mesopotamia disebut terkhatu. Bahkan dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan adalah ”isi kawin yang tidak langsung”, yaitu sejumlah modal yang diterima Laban dengan tujuan akan meneruskannya kepada kedua anaknya. Lea dan Rahel menga takan, ”Tetapi segala kekayaan, yang telah diambil Allah dari ayah kami, adalah milik kami dan anak-anak kami.” Ketika Yakub bekerja keras dan menambah jumlah kekayaannya, maka harta Laban makin surut. Anaknya yang perempuan menyadari keluhan ayah dan saudara laki-laki mereka, tetapi pandangan mereka ada lah bahwa pada akhirnya mereka telah memperoleh apa yang sebenarnya harus diberikan ayahnya kepada mereka.
Menurut Morgenstern, Yakub memasuki perkawinan beena.10
Dia berkata bahwa 1) Laban marah, karena Yakub membawa anaknya dalam perkawinan ba’alat; 2) istri-istri Yakub marah karena ayahnya menerima uang, padahal perkawinan mereka adalah perkawinan beena, jadi tanpa pembayaran; 3) Lea dan Rahel mempunyai kemah masing-masing.
Penulis berpendapat: 1) Belum tentu pernah terjadi perkawinan beena, tetapi seandainya ada, pasti Yakub tidak bermaksud untuk memasuki perkawinan seperti itu. Sebab, sejak awal dia yakin bahwa pada suatu saat dia akan kembali ke Kanaan (Kej 28:13, 15, 21). 2) Amarah Lea dan Rahel justru dapat diterangkan, bahwa memang terdapat kebiasaan isi kawin yang tidak langsung. 3) Mengapa tidak? Lea dan Rahel adalah istri sah, mengapa mereka tidak boleh mempunyai kemah tersendiri?
Keterangan tentang Kejadian 31 yang mencolok telah diberikan oleh C.H. Gordon, dengan menunjukkan loh-loh Nuzi.11 Dia mengatakan bahwa Yakub telah diadopsi oleh Laban dan dijadikan ahli warisnya. Oleh karena itu, Yakub harus memelihara Laban dan kawin dengan anaknya. Seandainya dia memilih istri lain, maka warisan akan diambil darinya. Seandainya Laban mempunyai keturunan laki-laki, maka Yakub harus membagi warisan dengan dia, tetapi berhala yang disembah di dalam rumah tetap menjadi milik anak kandung Laban.
Menurut Gordon, pada mulanya Laban tidak mempunyai anak laki-laki, dia baru mendapatkannya lama sesudahnya. Penulis berpendapat, pandangan ini tidak berdasar. Bila itu benar, maka anak laki-laki itu pasti jauh lebih muda dari Yakub, kira-kira berbeda 20 tahun. Tetapi, menurut Alkitab, mereka cukup dewasa karena berselisih dengan Yakub sehinga Yakub merasa terancam (Kej 31:1). Alkitab tidak memberitahukan bahwa di Mesopotamia Yakub disambut dengan baik oleh seorang paman yang tidak mempunyai anak laki-laki sehingga ia mau mengangkat Yakub sebagai anaknya, tetapi bahwa Yakub mencari seorang istri dari kalangan keluarganya (Kej 28:2) dan jatuh cinta kepada adik sepupunya, Rahel (Kej 29:18). Lebih dari itu, sejak awal Yakub melayani Laban atas dasar untuk mendapatkan upah (Kej 29:15). Alkitab sama sekali tidak menyinggung soal adopsi.
Menurut Gordon, tidak mungkin juga Laban menyebutanak-anak Yakub sebagai anak-anaknya sendiri, kalau tidak berdasarkan adopsi (Kej 31:43). Penjelasan itu tidak masuk akal, sebab mereka adalah cucu Laban, dan tentu dia merasa mempunyai hubungan yang akrab dengan mereka. Selain itu, sejak pertemuan pertama Laban memanggil Yakub dengan sebutan ”darah dagingnya” (Kej 29:14).
Terakhir, Gordon membuktikan hipotesisnya dengan kenya taan bahwa Rahel, pada saat berangkat membawa terafim, yaitu berhala yang ada di rumah. Menurut loh-loh Nuzi, yang berhak mempunyai dewa adalah anak kandung laki-laki si tuan rumah, bukan anak perempuan atau menantu laki-laki. Tetapi, Laban tidak menganggap masalah terafim itu sebagai perselisihan menyangkut warisan, tetapi merupakan suatu pencurian. Jadi, tidak ada sangkut pautnya dengan hipotesis tentang ada tidaknya adopsi.
Berdasarkan Kejadian 31, M. Burrows berkesimpulan bahwa tak mungkin mohar merupakan suatu harga pembelian, karena kata ini juga tidak dialirkan atau diserap dari kata mkr (membeli). Bila waktu itu nasib para perempuan adalah untuk dijual, mengapa Lea dan Rahel mengeluh?12
Setahun sebelum terbitnya tulisan karya Burrows yang terkenal dan yang juga sudah dikutip, dia juga mengedarkan sebuah artikel mengenai Kejadian 31.13 Dia menentang dugaan bahwa penulis Kitab Kejadian melakukan retrospeksi dan membuat putri-putri Laban mengucapkan perkataan yang sesuai dengan pandangan terhadap perkawinan yang dikembangkan kemudian hari.
Apakah pada zaman kuno harta kawin dan isi kawin terpisah, dan baru kemudian digabung menjadi satu transaksi, atau apakah harta kawin sedang berubah menjadi isi kawin, bagaimanapun juga dapat dikatakan pada zaman Laban sudah menjadi kebiasaan bahwa sebagian dari harta kawin yang dibayar oleh pengantin lakilaki akan diberikan kepada anak perempuan dan tidak selamanya tetap menjadi milik ayahnya (Millar Burrows, hlm 276). Hanya saja, Burrows mengikuti pola berpikir evolusionistis yang mengatakan bahwa harta milik merupakan kompensasi. Demikian juga Burrows ber pendapat bahwa perkawinan Yakub adalah perkawinan errebu: jika tidak ada anak laki-laki maka suami anak perempuan kawin masuk, sebagai errebu, sebagai ahli waris. Pada Tafsiran Kejadian 31, Burrows mencatat keterangan Gordon, bahwa anak laki-laki Laban baru lahir sesudah perkawinan Yakub. Tetapi, dia sendiri memberi keterangan bahwa yang dimaksudkan adalah putra-putra Yakub sendiri, yang khawatir bahwa mereka tidak akan mendapat bagian dari warisan Laban, karena Yakub telah mengambil begitu banyak harta milik Laban (Millar Burrows, hlm 263). Menurut Burrows, keluhan Laban bahwa Yakub telah menjauhkan anak-anaknya dari dirinya sesuai dengan situasi dalam kasus sebuah perkawinan errebu (Millar Burrows, hlm 264). Tetapi, penulis mempertanyakan apakah tidak lebih memuaskan jika keluhan ini dijelaskan saja sebagai keluhan dari seorang kakek? Tentang kata kerja ’kl dalam Kejadian 31:15, Burrows mengatakan, untuk menentang Gordon bahwa seha rusnya diterjemahkan dengan ”makan”, bukan dengan ”menerima bunganya” (Millar Burrows, hlm 265, dst).
Penulis sejalan dengan Burrows dalam menentang keterangan tentang adopsi (oleh Gordon), tetapi tidak menyetujui keterangannya tentang perkawinan errebu. Sebab, sudah dapat dipas tikan sejak awal bahwa Yakub hendak pulang ke Kanaan.
Dalam pasal ini muncul kedua istilah dalam Alkitab yang dapat dicirikan sebagai istilah teknis tentang harga kawin: mohar dan mattan, harta kawin dan hadiah. Pasal ini mengisahkan tentang anak perempuan Yakub, yang bernama Dina,14 yang diperkosa oleh pangeran Sikhem dari suku Het. Laki-laki itu ingin menikahinya. Ayahnya datang menghadap Yakub. Sikhem sendiri berkata, ”Se kalipun mohar dan mattan yang dituntut tinggi sekali, aku akan memberikannya” (ay 12). Orang Het sama seperti keturunan Abraham, mereka adalah orang asing di Kanaan, tetapi ternyata mohar dan mattan di sini termasuk harga kawin yang umum diakui. Kedua istilah itu baru ditemukan dalam pasal ini, tetapi artinya harus diterangkan dari data-data lain: mengenai mattan dalam Kejadian 24 dan tentang mohar dalam Kejadian 31.
Menurut V.P. Hamilton kedua ungkapan itu merupakan sebuah hendiadys, dua kata yang sama-sama menunjukkan apa mak sud harga kawin itu. Sebab, menurutnya, untuk apa Sikhem bermaksud untuk menguntungkan bukan saja Yakub dan putranya, melainkan juga menguntungkan Dina dengan hadiah15? Menurut hipotesis saya, justru mohar merupakan isi kawin yang tidak langsung: memang pada akhirnya hadiah itu untuk pengantin, tetapi diberikan lebih dahulu kepada keluarga. Sedangkan mattan adalah hadiah bagi keluarga pengantin: suatu harta kawin dalam adat yang berpusat pada isi kawin.
Seorang yang bernama Kaleb termasuk dalam 12 orang yang bersama Yosua mengintai tanah Kanaan. Sesudah tanah itu direbut, Kaleb mendekati Yosua, yang telah menjadi pemimpin bangsa. Kaleb meminta satu warisan dan kota Hebron akan diberikan kepadanya, tetapi kota itu harus dikalahkannya dahulu. Sudah 45 tahun yang lalu Yosua dan Kaleb sebagai mata-mata mengembara di Kanaan, Kaleb telah mencapai usia 85 tahun, dan dia masih kuat (Yos 14). Dia merebut Hebron (Yos 15:14), dan dari sana pergi ke Debir. Dia berjanji bahwa siapa yang dapat merebut kota Debir baginya, dia akan diberi dua hadiah, yaitu kota itu sendiri dan sekaligus anak perempuan Kaleb yang bernama Aksa, untuk menjadi istrinya. Anak saudaranya, yang berna ma Otniel menerima tawaran itu dan menaklukkan Debir. Ketika Aksa dibe rikan kepada Otniel, gadis itu, yang lebih berani daripada calon suaminya, mengajaknya untuk juga meminta sebidang tanah yang kaya sumber air, selain dari tanah yang kering yang sudah dise rahkan, sebagai isi kawin. Otniel masih menunda-nunda per mo honannya; dan ketika Aksa dan Otniel berdebat, Kaleb bertanya tentang apa yang menjadi pokok perdebatan mereka. Pada saat itu Aksa langsung meminta tanah yang kaya sumber air itu dan tanah itu memang diberikan kepadanya. Sungguh satu isi kawin yang indah (Yos 15:15-19).
Kata mohar tidak ditemukan di sini. Barangkali kota Debir itu dapat dikatakan sebagai mohar: Otniel merebut kota itu untuk Kaleb, kemudian diberikan kepadanya untuk kepentingan istri dan anakanaknya kemudian hari. Tetapi, Aksa menginginkan tam bahan, dan dia mendapatkannya juga: isi kawin itu disebut beraka, yaitu berkat (bnd 2Raj 5:15).16
Satu cerita lain tentang isi kawin tertulis dalam 1 Raja-raja 9:16. Kota Gezer diberikan oleh Firaun dari Mesir kepada anaknya perempuan yang menjadi istri Raja Salomo. Dengan demikian, Gezer menjadi milik orang Israel. Istilah yang menunjukkan pemberian itu adalah šillukhim.17
Kedua naskah tentang isi kawin tidak mengesankan bahwa di Israel masa itu berlaku budaya tentang isi kawin seperti di India. Kedua contoh itu membahas kasus-kasus orang penting yang memberi hadiah kepada anaknya perempuan. Hadiah itu bukan untuk mengesahkan perkawinan. Kemungkinan hadiah tersebut diberikan di samping penyerahan mohar. Mungkin mohar merupakan harga kawin yang menentukan.
Jadi, hanya Kejadian 34 saja menyebut mohar dan mattan. Tetapi, mengenai mohar dibahas dalam Kejadian 31, meskipun Yakub membayarnya dalam bentuk pengabdian. Keluhan dari anak-anak perempuan Laban menegaskan bahwa ayah mereka telah diberi pembayaran, yang seharusnya tidak boleh dia gunakan untuk diri sendiri. Mohar meru pakan isi kawin yang tidak langsung, yang diberikan mempelai laki-laki atau keluarganya kepada ayah mempelai perempuan, dengan maksud akan diteruskan kepada anaknya perempu an. Sedangkan mattan yang disinggung dalam Kejadian 24, sangat mungkin merupakan penghormatan dari mempelai laki-laki kepada orangtua calonnya.
Dalam sejarah Hakim-hakim dan Raja-raja, kadang-kadang terdengar hal tentang hadiah kawin, yang antara lain disebut šillukhim. Bukan berarti bahwa di Israel terdapat tradisi isi kawin seperti di India. Yang menentukan harga kawin adalah mohar, tetapi dengan adanya mohar, tidak meniadakan kemungkinan ada nya hadiah lain.
Beberapa nas Alkitab yang berbicara tentang mohar agaknya mendukung adanya tafsiran yang berbeda dengan ”isi kawin yang tidak langsung”: Keluaran 22:16 dan 1 Samuel 18:25. Selain dari Kejadian 34:12 yang telah dibahas, hanya kedua nas ini yang menyebut mohar; seluruhnya ada tiga ayat. Kejadian 34 tidak memberikan keterangan tentang mohar, berarti kita mengharapkan sumber Alkitab lainnya. Oleh sebab itu, telah kita bahas juga Kejadian 31.
Apabila Keluaran 22 dan 1 Samuel 18 tidak mendukung tafsiran mohar sebagai ”isi kawin yang tidak langsung”, apa kah dasar hipotesis penulis itu tidak terlalu lemah? Mari kita perhatikan Keluaran 22 dan 1 Samuel 18; akhirnya kita dapat menarik ke simpulan bahwa ayat-ayat itu pada dasarnya tidak menentang pandangan yang telah penulis kembangkan.
Keluaran 22:16-17 (dalam Alkitab bahasa Ibrani ay 15-16) bercerita tentang seorang anak perawan yang belum bertunangan, yang telah dibujuk oleh seorang laki-laki untuk tidur bersama. Bagian ini didahului oleh peraturan mengenai hak milik sesama manusia. Apakah ayat 16 dan17 ini juga membahas hak milik yang dimaksud? Suku kata mhr disebut dua kali, dalam ayat 17 sebagai kata benda dan dalam ayat 16 sebagai kata kerja.
Menurut banyak penafsir, anak perawan yang belum bertunangan itu adalah tetap milik ayahnya.18 Jadi, di sini hak-hak ayah yang diganggu. Karena itu, meskipun ayah dari anak perawan itu menolak untuk memberikannya, harga kawin harus tetap dibayar. Hanya saja, bila mohar tidak dipandang sebagai harta kawin, tetapi merupakan isi kawin yang tidak langsung, maka menafsirkan nas itu menjadi lebih mudah. Bukan hak milik ayah yang diganggu yang menjadi topik, melainkan perlindungan terhadap perkawinan dan terhadap perempuan. Dia membutuhkan perlindungan, karena dia telah dinodai sebelum menikah. Siapa nanti yang akan bersedia menikahinya?
Hal itu menjadi jelas bila kita membaca Ulangan 22:28, 29.
Seseorang yang memperkosa anak perawan yang telah bertu nangan, akan dijatuhi hukuman mati, sama seperti seseorang yang menggagahi istri orang lain (Ul 22:23, 24). Bila hubungan terlarang itu disetujui oleh perempuan yang telah bertunangan atau oleh perempuan yang telah bersuami, dia juga patut dihukum mati. Ulangan 22 membahas tentang penodaan terhadap perkawinan, bukan terhadap hak milik. Pasal ini juga membahas tentang kasus seorang anak perawan yang belum bertunangan (ay 28, 29). Hadiah yang harus diberikan kepada ayahnya adalah 50 syekal perak. Apakah mungkin hadiah ini dapat disebut mohar, seperti dalam Keluaran 22? Hal ini sangat masuk akal.
Terdapat perbedaan antara Keluaran 22 dan Ulangan 22. Dalam Ulangan 22 tidak disinggung kasus seorang ayah yang menolak. Hanya disebutkan bahwa laki-laki itu harus mengambil anak perempuan yang telah digagahinya dan tidak boleh mence raikannya. Ulangan 22:28 juga memberi kesan bahwa anak perempuan itu tidak melawan pelecahan seksual yang dilakukan terhadapnya. Kasus perlawanan pada Ulangan 22 hanya disebutkan pemerkosaan terhadap anak perempuan yang sudah bertunangan. Dikatakan juga bahwa keduanya (yang belum bertunangan itu) tertangkap, jadi si perempuan turut bertanggung jawab. Dalam kasus itu, ayah tidak boleh menolak, tetapi harus mengurus perkawinan anaknya.
Keluaran 22 memang juga membahas kasus pemerkosaan seorang anak yang belum bertunangan dan tidak mau menikah dengan laki-laki tersebut. Karena itu, ayah menolak si pemerkosa dan menerima mohar, yang akan digunakan untuk kepentingan anaknya yang tidak menikah itu dan mungkin seterusnya tidak akan bersuami. Barangkali juga mohar akan digunakan untuk keperluan anak yang akan lahir akibat pemerkosaan itu. Dalam hal ini mohar seperti sebuah denda. Andaikata mereka kawin, maka mohar bertujuan sebagaimana yang kita ketahui dari Kejadian 31: ayah si perempuan akan menyimpannya sampai anaknya membutuhkannya.
Satu pelajaran lainnya adalah bahwa, menurut Keluaran 22, tidak secara mutlak tiap hubungan seksual harus dianggap sebagai awal hubungan nikah yang mau tidak mau harus diurus. Sebab, dalam kasus pemerkosaan maka penolakan merupakan hal yang layak.
Pada pertemuan pertama antara Raja Saul dan Daud telah disinggung bahwa Daud akan menikah dengan putri Saul. Sebab, ketika Daud mengunjungi saudara-saudaranya dalam perkemahan Israel dan mendengar tentang panglima tentara Filistin bernama Goliat yang menantang tentara Israel, terdengar juga bahwa Raja Saul sedang mencari seorang pahlawan Israel yang berani melawan Goliat. Raja Saul akan memberikan putrinya kepada Daud untuk menjadi istri nya, sesudah ia mengalahkan orang Filistin itu. Selain itu, keluarganya akan dibebaskan dari pajak (1Sam 17:25).
Sekalipun Daud menawarkan dirinya untuk melawan Goliat, tidak jelas apakah Raja Saul pada hari itu juga ber janji memberikan anak perempuannya. Ternyata janji itu baru diucapkan raja sesudah beberapa kemenangan Daud dan ketika Daud telah menjadi ke pala pasukan Israel. Daud makin disayangi banyak orang dan Saul makin merasa iri hati. Pada saat itulah Saul berjanji akan memberikan putrinya, Merab, jika Daud tetap berperang dengan orang-orang Filistin. Tetapi, sebenarnya Saul berharap bahwa Daud akan kalah dan meninggal.19 Rupanya Daud menerima tawaran itu, tetapi dengan sopan mengatakan bahwa dia berasal dari kalangan orang miskin yang tidak layak menjadi menantu raja (1Sam 18:18).20 Namun, sesudah Daud kembali dari peperangan belum ada urusan perkawinan, apalagi beberapa waktu kemudian Saul memberikan anak perempuannya yang sulung itu kepada orang lain. Ternyata Saul khawatir bahwa nanti Daud akan terlalu berkuasa.
Hanya saja, Mikhal, putri Saul yang kedua, telah jatuh cinta kepada Daud. Saul mengetahui hal itu dan menyalahgunakan cinta anaknya itu. Mungkin juga niat jahat telah dirancangnya ketika ia memberikan Merab kepada orang lain. Saul memakai anaknya yang kedua untuk memancing Daud dan sekali lagi membujuknya untuk memerangi kaum Filistin. Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, ia berkata. ”Pada hari ini engkau boleh menjadi menantuku” (1Sam 18:21).21 Pada saat yang sama Saul berusaha memengaruhi Daud melalui pegawainya, yang mengatakan bahwa baik raja, maupun penghuni istana raja mengasihi Daud. Tanggapan Daud adalah, ”Perkara ringankah pada pemandanganmu menjadi menantu raja? Bukankah aku seorang yang miskin dan rendah?” (1Sam 18:23).
Mungkin dengan perkataan itulah Daud ingin menanyakan tingginya mohar. Sebab, dalam hal mohar sering terjadi tawar-menawar (Kej 34:12).22 Jawaban Saul ditemukan dalam ayat 24, yang dapat ditafsirkan: Saul berkata, ”Hen daklah kamu berbicara kepada Daud sebagai berikut: Raja tidak menginginkan mohar. Yang diinginkan raja hanya seratus kulit khatan orang Filistin, sebagai pembalasan terhadap musuh raja.” Jadi, Raja Saul tidak meng inginkan mohar biasa, tetapi suatu pengabdian, seperti yang dituntut Laban kepada Yakub. Melalui pengabdian menantunya itu, ayah si perempuan seharusnya menjamin kebahagiaannya. Sama seperti dalam Kejadian 31, di sini mohar berbentuk pengabdian juga dapat dilihat sebagai isi kawin yang tidak langsung.
Daud bukan membunuh seratus, melainkan dua ratus orang Filistin, dan bukti pembunuhan itu dia serahkan kepada Raja. Kemudian Saul memberikan Mikhal kepadanya. Tambahan yang berjumlah seratus itu perlu diperhatikan dalam lanjutan sejarah ini. Sebab, selama Daud mengembara untuk meluputkan diri dari tangan Saul, Raja Saul pun memberikan Mikhal kepada laki-laki lain, sama seperti yang terjadi pada Merab dahulu. Sesudah Saul meninggal dalam peperangan melawan orang Filistin, Daud kemu dian menjadi raja Suku Yehuda di Hebron. Lawannya adalah anak Saul, bernama Isyboset. Pada saat tertentu, panglima dari Isyboset, Abner, cenderung memihak kepada Daud, dan memohon kepada Daud untuk mengikat sebuah perjanjian. Daud bersedia, tetapi menuntut agar Abner akan membawa Mikhal, putri Saul, ke ha dapannya (2Sam 3:13). Daud pun menuntut hal yang sama dari Isyboset, tetapi pada saat itu dia merahasiakan percakapannya dengan Abner mengenai hal itu. Tentu saja Isyboset berunding dengan Abner yang menasihatinya untuk mengembalikan Mikhal kepada Daud. Isyboset setuju, dan Abner sendiri yang membawa Mikhal kepada Daud.
Perhatikanlah perkataan Daud kepada Isyboset, ”Berikan kepadaku isteriku Mikhal, yang telah kuperoleh dengan seratus kulit khatan orang Filistin” (2Sam 3:14). Jumlah yang disebutnya adalah sesuai tuntutan Saul, bukan sesuai pemberian yang sebenarnya. Tambahan itu tidak menentukan mohar.23
Naskah ini menerangkan bahwa seorang laki-laki memper oleh istri melalui mohar, sebelum hari perkawinan. Meng ambil istri dalam bahasa Ibrani adalah lqkh, dan memperoleh adalah śr'. Sesudah penyerahan mohar masa pertunangan dimulai.24 Daud menuntut Mikhal dikembalikan, bukan saja untuk meluruskan ketidakadilan, melainkan juga untuk memperkuat kedudukannya menjadi raja. Sebab, Daud sudah lama menjadi menantu raja secara resmi.
Morgenstern berpendapat bahwa perkawinan Daud dan Mikhal adalah juga perkawinan-beena. Jika mereka dikaru niai anak pasti anak-anak itu akan terhisab pada suku Saul, bukan suku Daud. 1) Daud tetap berhubungan dengan sukunya sendiri (bnd 1Sam 20:29). 2). Daud menghendaki Mikhal dipulangkan agar ia dapat membuktikan bahwa dialah calon pengganti raja, sesudah Isyboset (Morgenstern, o.c., 1929, hlm 95, 97).
Menurut penulis, alasan-alasan itu tidak membuktikan perkawin an-beena. 1) Mengapa seseorang yang telah menikah tidak boleh menghiraukan sanak-saudaranya? 2) Memang kedudukan Daud kuat, karena ia menantu Saul. Tetapi, bahwa kaum Yehuda lebih dahulu mengakuinya sebagai raja dan kemudian juga kesepuluh suku di Utara, adalah karena mereka melihat bahwa Tuhan telah mengangkat Daud (2Sam 5:2).
Menurut Neufeld, 1 Samuel 18:25 bertentangan dengan hipotesis bahwa mohar adalah isi kawin.25 Akan tetapi, mohar dalam hal ini bukan mohar biasa, melainkan pengabdian Daud kepada Saul, untuk kepentingan raja itu. Berdasarkan keuntungan itu, maka Saul dapat menyisihkan satu isi kawin untuk putrinya.26
Hipotesis penulis, mohar merupakan isi kawin yang tidak langsung, sebagaimana telah diterangkan dalam dua tafsiran di atas. Sekarang dan terakhir, penulis hendak meneliti beberapa judul dari kepustakaan tentang perkawinan orang Israel, untuk mencari du kungan bagi hipotesis ini, atau menemukan solusi yang mungkin lebih masuk akal.
Pada tahun 1925-1927, Hilma Granqvist meneliti adat perkawinan dalam sebuah perkampungan di Palestina.27 Semula tujuan pene litiannya adalah perempuan dalam Perjanjian Lama. Agar inti perkawinan lokal dipahami betul, dirasa perlu meneliti semua aspek masyarakat. Karena itu, dia melukiskan kehidupan di dalam kampung Artas, tidak jauh dari Betlehem, daerah yang dihuni oleh petani-petani Palestina.
Menurut Granqvist, tidak tepat kalau dikatakan bahwa pengantin perempuan dibeli, atau diperoleh. Sebab: 1) Keluarga perempuan memberikan balasan, untuk menghindari kesan ”pem belian” itu. 2) Sebagian harga kawin itu ditujukan kepada si perempuan sendiri, bahkan terkadang seluruhnya.28 3) Baik laki-laki, maupun perempuan berada dalam hubungan erat dengan keluarganya. Keluarga itu memberikan perlindungan dan wajar menerima ganti rugi bila anak perempuan meninggalkan keluarganya karena menikah. 4) Unsur pembelian menurut Granqvist sama sekali tidak ada, karena pengantin perempuan tidak akan masuk keluarga suaminya. Ia tetap disebut dengan nama ayahnya. Si suami, sekalipun ia telah memberikan harta kawin, tidak berkuasa atas istrinya: ayah dan saudaranya laki-laki yang tetap berhak. Suami itu tidak berhak atas benda yang dibawa istrinya ke dalam rumah tangga mereka atau atas hasil pekerjaannya.
Menurut Granqvist, harta kawin adalah kompensasi (ganti rugi).
Sebab, pengantin perempuan itu meninggalkan keluarganya yang kehilangan tenaga kerja. Tetapi, di sam ping itu keluarga perempuan itu merasa malu juga ketika ia ber angkat, khususnya saudaranya laki-laki, sebab harta ka win yang diterima untuk sau daranya itu dibutuhkannya untuk pengurusan perkawinannya sen diri. Karena itu, ia memberikan hadiah kepada saudaranya yang hendak menikah.
Orang Arab seolah-olah menyamakan perempuan dengan harta mereka yang paling bernilai: kuda. Orang Arab tidak akan menjual kuda betina begitu saja. Anak pertama dan kedua dari betina itu tetap kepunyaan pemilik semula. Kata mahr (sekalipun jarang diucapkan oleh orang Palestina di Artas) menurut Granqvist, berakar pada suku kata yang sama dengan muhra: anak kuda yang betina. Harta kawin bukan disebut hagg, yang adalah harga benda atau hewan. Biasanya disebut fed, dan kata itu digunakan juga untuk menunjukkan anak kuda yang kembali ke pemilik semula.
Pada tahun 1934, M, David dilantik sebagai mahaguru di bidang studi Hukum Timur di Universitas Leiden. Programnya ialah menunjukkan kesatuan dan kesinambungan yang mendasari berbagai variasi (diferensiasi) pada budaya-budaya Timur. Dalam ceramah inaugurasi, David memperlihatkan hal tersebut dalam hal budaya perkawinan.29
Ciri khas perkawinan di Timur Tengah pada zaman kuno adalah keinginan menjaminkan kelanjutan hidup keluarga. Seorang perempuan masuk dalam lingkungan yang dikuasai oleh suaminya namun ia tidak menjadi miliknya atau milik keluarganya. Bila seorang anggota keluarga (yang merdeka, bukan hamba) dikawinkan dengan anggota keluarga lain, maka terjadilah satu bentuk budaya yang dapat dinamakan perkawinan pembeli. Pada mulanya penyerahan istri dan pembalasan melalui satu hadiah berjalan secara bersamaan dalam satu kegiatan. Kemudian kedua nya terpisah. Yang pertama pembayaran, kemudian penyerahan istri. Perempuan telah dianggap sebagai istri yang sah sejak pembayaran dilakukan. Hanya saja, apakah perkawinan itu benar-be nar berbentuk pembelian?
David tidak mendukung hipotesis bahwa harga itu adalah imbangan atas tenaga kerja wanita itu. Sebab: 1) Hadiah yang diberikan oleh keluarganya sendiri kepada perempuan itu jauh melebihi harga yang diterima baginya. 2) Perumusan sebuah kontrak perkawinan berbeda jauh dengan perumusan kontrak pembelian. Sekalipun suami dinamakan ba‘al (tuan) dan dikatakan ntn (memberi) istri, ungkapan-ungkapan itu dapat diartikan secara luas.
Di Babilonia, harta kawin, terkhatu, pada dasarnya ditujukan kepada si perempuan. Ayahnya akan memberikan harta tersebut kepada anaknya perempuan sesudah malam pertama perkawinan, atau memeliharanya untuknya. Menyangkut terkhatu tersebut, David melihat ada dua perkembangan: 1) Bahwa terkhatu menjadi pemberian kepada perempuan, seperti dalam Babi lo nia; 2)
Perkembangan yang nampak pada mohar dalam Alki tab: mohar
merupakan pembayaran bagian yang pertama, pada saat pertu nangan (arrha dalam hukum Romawi), mohar itu diberikan kepada ayah atau wali untuk diteruskan kepada perempuan di kemudian hari. Sisa harta kawin diberikan pada hari perkawinan (lih misalnya dalam Papirus Elefantinus, sebuah pemukiman Yahudi di Mesir Selatan, dan juga dalam Talmud).
Kesimpulan David adalah bahwa sejak ada sumber bersejarah maka perkawinan tidak pernah dianggap sebagai jual beli. Kesa maan dengan jual beli hanya bahwa terdapat pembayaran pembalasan. Tidak jelas apakah harta kawin itu dimaksudkan untuk memelihara kehidupan anak perempuan yang dikawinkan, atau untuk mengukuhkan hubungan keluarga yang baru. Sama sekali tidak ditemukan maksud untuk mencari keuntungan melalui perkawinan anak perem puan.30 Kesimpulan ini sangat sederhana, dan jauh dari segala spekulasi. Yang menarik dari penemuan David adalah bahwa mohar, khususnya kemudian hari, dimaksudkan untuk digunakan demi kepentingan perempuan.
Millar Burrows juga telah berusaha untuk menyelidiki asal mula perkawinan orang Israel.31 Dia mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang dapat diketahui mengenai mohar, yang lebih banyak adalah tentang terkhatu dari Asyur-Babilonia. Menurut Burrows, mohar berasal dari budaya Kanaanit, bukan dari Asyur-Babilonia, tetapi kedua budaya itu berakar pada kebiasaan-kebiasaan Semit pada umumnya.
Menurut Burrows, arti perkawinan pada zaman kuno memang semacam perolehan, dengan maksud bahwa keluar ga perempuan mendapat kompensasi (ganti rugi). Burrows berkata bahwa dasar perkawinan orang Israel adalah kelanjutan hidup keluarga lakilaki.32 Burrows belajar dari sastra antropologis, misalnya dari L. Levy-Bruhl, yang berpendirian bahwa pada suku-suku yang belum beradab pada masa lalu, perkawinan itu merupakan pertukaran perempuan, antara suku yang eksogam. Harta kawin membudaya bila jumlah perempuan tidak memadai.33
Burrows menganalisa alasan-alasan yang mendukung perkawinan sebagai semacam perolehan. Kadang-kadang penulis menang gapinya langsung.
1. Menurut Burrows, mohar berkaitan dengan pertunangan, seperti jelas dari kata kerjaśr' (memperoleh). Mohar dibe rikan pada kesempatan itu sebelum mempelai perempuan dijemput dari rumah orangtua dan dibawa ke rumah suaminya pada hari perkawinan.
Semuanya itu benar menurut penulis, tetapi tidak membuktikan bahwa inti perkawinan adalah sebuah perolehan.
2. Terkhatu maupun mohar berbentuk pembayaran yang bukan sedikit, dan karena itu seharusnya dianggap sema cam pembelian. Menurut penulis, hal itu tidak dengan sendirinya, sebab sebuah isi kawin, atau pemberian dari keluarga perempuan, kadang-kadang juga sangat tinggi.Alhasil, Burrows menganggap alasan-alasan bagi perkawinan sebagai sebuah perolehan tidak berlaku, tetapi tanpa menyer takan bukti dia menyatakan bahwa memang terdapat kom pensasi (ganti rugi).34
Sebagai alternatif untuk menerangkan arti mohar, Burrows menyebut: 1) harga pembeli anak; 2) harga untuk menjadi suami yang memiliki kuasa seorang bapak dalam keluarga baru; 3) penggantian ongkos pendidikan; 4) harga untuk menutupi kehi langan keperawanan; 5) kepastian tentang penyelenggaraan sebuah kontrak. Dan terakhir, dan yang paling masuk akal menurut saya; 6) mohar merupakan sebuah jaminan untuk mempelai perempuan, seandainya atau kemudian hari menjadi janda atau diceraikan oleh suaminya.35 Keterangan ini cocok dengan anggapan bahwa mohar adalah isi kawin: si ayah tidak mementingkan kerugian bagi dirinya sendiri atau kehilangan bagi keluarganya, tetapi masa depan anaknya perempuan. Burrows menyatakan bahwa menurut C.H. Gordon, inilah arti mohar pada awalnya, berdasarkan loh-loh yang ditemukan di Nuzi. Tetapi, Burrows menolak keterangan tersebut, yaitu provision of widowhood, dengan alasan bahwa keterangan itu terlalu halus bagi sebuah masyarakat yang masih belum beradab.
Atas dasar apa Burrows memandang kehidupan kemasya rakat an secara evolusionistis? Apalagi, hipotesis Levy-Bruhl, yang merupakan titik tolak bagi Burrows, mungkin tidak sesuai dengan kenyataan di Timur Tengah, sebab tidak terdapat suku-suku eksogam di sana.
Menurut E. Neufeld (1944), mohar merupakan suatu kom pensasi,36 sebab ganti rugi diberikan untuk hak ayah perem puan, yang dialihkan kepada suaminya. Tetapi, hak suami atas si perempuan tidak sebesar yang dimiliki oleh ayahnya sebelumnya. Pandangan tentang kompensasi itu oleh Neufeld digandengkan dengan tafsiran sebagai ganti rugi untuk hi langnya keperawanan dan pembentukan sebuah dana yang menjadi sumber untuk isi kawin/hadiah yang hendak diberikan oleh ayahnya. Neufeld melukiskan tujuh tipe perkawinan, dan hanya satu saja yang berbentuk pengurusan mohar, sekalipun bentuk itu memang yang paling lazim.37
Dengan saksama D.R. Mace memperhatikan penelitian-penelitian antropologis yang menyangkut perkawinan.38 Terdapat tiga cara untuk melaksanakan perkawinan: melalui perampasan, melalui perolehan dan melalui kontrak. Tetapi, benar juga pandangan Mace bahwa hipotesis tentang ”kawin rampas” itu adalah berdasarkan keyakinan evolusionistis dan tidak terbukti, sedangkan kasus-kasus yang dikenal sela lu berhubungan dengan perang, dan merupakan keadaan khusus.39 Menurut Mace, perkawinan di Israel adalah cara yang dikenal dengan pengantin perempuan melalui perolehan.
Mengenai perolehan itu, Mace membedakan:1. Harta kawin, yang dibayar oleh suami kepada ayah istrinya (atau dari keluarga kepada keluarga).
2. Isi kawin yang diberikan kepada pengantin perempuan oleh keluarganya.Pandangan Mace terhadap harta kawin cukup positif. Me nurutnya, dasarnya bukan nafsu terhadap uang, melainkan rasa tanggung jawab dan pemeliharaan dari orang tua terhadap anak perempuannya. Melalui harta kawin, menantu dapat membuktikan bahwa dia akan memelihara istrinya. Di samping itu, orangtua anak perempuan itu berkuasa atas si laki-laki melalui harta kawin tersebut: mereka tidak akan mengembalikan harta kawin kepadanya seandainya ia mengusir istrinya, tetapi akan memulangkan harta kawin tersebut seandainya si istri meninggalkan suaminya. Penting juga penilaian bahwa harta kawin itu sering dianggap ”suci” (sacrosanct) dan tidak di gu nakan langsung tetapi disimpan, kadang-kadang juga sebagai sumber untuk hadiah dan isi kawin.
Ungkapan isi kawin yang tidak langsung tidak ditemukan dalam karangan Mace. Dia menunjukkan bahwa mohar di serahkan pada saat bertunangan. Pada saat itu, pada dasarnya perkawinan telah dimulai, sebab perjanjian antara kedua keluarga telah diikrarkan. Mohar meresmikan pertalian itu secara hukum. Setelah itu baru menjemput pengantin perempuan dan perkawinan disahkan termasuk hubungan seksual. Mace mengutip pandangan mereka yang menunjukkan fakta bahwa bukan mohar, tetapi isi kawin yang menjadi budaya kemudian hari, adalah merupakan titik awal naiknya kedudukan perempuan. Sebab dengan demikian anak perempuan tidak lagi dianggap sebagai sumber pendapatan, tetapi masa depannya yang menjadi fokus.41
Pertanyaan saya, apa salahnya mempertahankan pan dang an bahwa sejak semula kedudukan perempuan dijunjung tinggi, termasuk masa depan anaknya, dan juga demi kebaikan rumah tangga yang baru.
Menurut R. de Vaux (1959), mohar adalah kompensasi.42 Tidak terjadi jual beli. Juga tidak mungkin perempuan dianggap sebagai milik suaminya, sekalipun dia memperoleh hak atasnya. Kepada ayah perempuan diberikan ganti rugi, tetapi tidak berarti bahwa anaknya dibeli. Menurut De Vaux, si ayah menikmati hasil dari mohar, tetapi uang itu diberikan kepada anaknya. Demikian taf siran De Vaux berdasarkan Kejadian 31:15, dan demikian hal keadaan di kalangan orang Palestina sampai sekarang. De Vaux mengatakan, kadang-kadang isi kawin diberikan, dan kalau itu yang terjadi, tidak ada mohar, hanya saja tindakan seperti itu tidak terlalu dibudayakan. De Vaux mengutip Sirakh 25:22.
Pada tahun 1981, Katarzyna Grosz menerbitkan penelitian tentang isi kawin dan harta kawin di Nuzi.43 Grosz mengutip penelitian Goody dan Tambiah (lih ps 1) termasuk penggunaan istilah ”isi kawin yang tidak langsung”. Dalam masyarakat pertanian di Nuzi warisan seorang ayah sesudah ia wafat dibagi di antara anaknya laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Anak perempuan yang sudah menikah telah mendapat bagian yang merupakan isi kawin ketika dia menikah. Menurut Grosz, terkhatu memang adalah harta kawin, bukan isi kawin yang tidak langsung, tetapi menurut Grosz terkhatu itu bukan seperti harta kawin yang dilukiskan Goody dan Tambiah. Sebab, tidak ada dana yang dimiliki keluarga secara bersama dan yang mempertalikan keluarga-keluarga. Apalagi, ada kalanya perempuan menerima sebagian terkhatu sebagai isi kawin, tetapi kadang-kadang seluruh terkhatu dibe rikan kepada ibu pengantin perempuan. Terjadi juga harta kawin berupa sebidang tanah.
Pandangan sangat sederhana, seperti kesimpulan yang diam bil oleh M. David, adalah pandangan E. Lipinzki (1982), dalam artikelnya tentang mohar yang terdapat dalam TWZAT.44 Hampir seluruh kepustakaan yang disebutkan di atas ditelitinya. Pada mulanya, kata Lipinski, sah tidaknya perkawinan tidak bergantung pada mohar. Malahan, pada waktu itu satu masa pengabdian adakalanya juga dianggap berlaku, atau dilakukan perkawinan tukar (Kej 34:16). Tetapi, menurut saya, hal itu tidak berarti bahwa pada wak tu itu mohar belum ada, hanya saja mohar dapat diwujudkan dengan berbagai cara.
Menurut Lipinzki, kemudian hari mohar memang merupakan bukti yang mengesahkan perkawinan (1Sam 18; 2Sam 3). Ber sama peneliti lain, Lipinzki berpandangan bahwa mohar adalah kompensasi, karena anak perempuan itu merupakan tenaga kerja dalam rumah ayahnya. Selain Burrows dan Mace, Lipinzki juga menerima satu alasan etimologis (arti suku kata) mhr.45 Dia menyebutnya mhr II, sebab terdapat pula suku kata mhr I, artinya bersegera, dan menganggapnya sebuah variasi dari mwr, atau mjr dalam bahasa Aram. Kata kerja Ibrani itu berarti sich gegen Entgelt verschaffen, yaitu memperoleh melalui pembayaran, dan cocok sekali dengan Keluaran 22:15: ”Er wird sie für sich selbst zur Frau verschaffen” (memperoleh seorang istri baginya). Apalagi, kata kerja mhr juga mengandung arti mengeluarkan uang (bnd Mzm 16:4).
Dalam bukunya tentang peran agama dalam kehidupan seorang perempuan di Israel maupun di Babilonia, K. van den Toorn meng gambarkan seluruh aspek kehidupan perempuan-perempuan tersebut (1987).46
Ada kebiasaan di Mesopotamia bahwa sering kali anak perempuan sejak kecil sudah diminta untuk menjadi istri seseorang melalui sebuah kontrak kallatu (anak menantu) dan ayah mertua telah membayar terkhatu sehingga anak itu masuk ke dalam ke kuasaan nya. Tetapi, yang lebih lazim adalah para pemuda-pemudi berinisiatif sendiri dan para orang tua hanya mengikuti, dan pada saat tertentu orangtua membayar terkhatu. Sesudah itu anak perempuan tidak lagi boleh berpacaran dengan pemuda lain. Baru pada hari perkawinan si laki-laki memintanya dengan resmi dan menuntut haknya yang sudah diperoleh melalui terkhatu. Pada hari itu juga dia memberikan hadiah kepada ayah dan ibu mertua. Pemberian itu disebut mattan, menurut Van den Toorn,47 hal ini berdasarkan Kejadian 34.
Ungkapan ”isi kawin yang tidak langsung” tidak dite mukan dalam karangan Van den Toorn. Juga tidak dite mukan penjelasan bahwa mungkin mohar ditujukan kepa da pengantin perempuan. Ia menulis tentang hal lain yang mengherankan, yaitu bahwa di Babilonia pengantin perem puan sejak hari perkawinan tetap tinggal di rumah orangtuanya. Suaminya datang mengunjunginya tiap malam, sesudah empat bulan mereka baru masuk ke rumah orang tua pengantin lakilaki atau tinggal di dekat mereka. Maksudnya ialah untuk menunggu apakah pengantin perempuan itu sudah mengandung. Seandainya sesudah empat bulan itu dia belum hamil, maka si laki-laki dapat menolak untuk mengambilnya sebagai istri.
Pada saat membaca Alkitab penulis menemukan satu ungkapan yang menarik perhatian dalam hal hukum-hukum levirat (kawin dengan istri saudara yang telah mati) dan juga dalam pasal-pasal yang menyangkut hak waris bagi anak-anak perempuan (Bil 27 dan 36). Dalam pasal-pasal tersebut dikatakan bahwa hendaklah di antara orang Israel nama ayah tidak terhapus dari tengah-tengah kaumnya. Bahwa nama ayah seseorang harus dipertahankan demi hak warisannya menunjukkan adanya sistem ”endogami”. Sebab, dalam struktur masyarakat yang endogami perkembangan suku dan sub-suku diperhatikan dengan sepenuhnya. Di kalangan bangsa Israel, tiap keluarga merasa sangat bersukacita karena warisan yang diberikan Tuhan Allah kepada mereka.
Penulis tidak dapat menyetujui pandangan D.R. Mace yang mengatakan bahwa dalam struktur kekeluargaan di tengah orang-orang Ibrani, segalanya berkisar pada kelahiran anak laki-laki. Dia juga mengatakan bahwa keinginan mendapat anak laki-laki ber kaitan dengan penyembahan kepada nenek-moyang.48
Mace telah mempelajari studi-studi tentang pandangan evolusionistis mengenai perkembangan manusia maupun perkembang an lembaga perkawinan. Hal tersebut telah diba has ketika pandang an Morgenstern menyangkut perkawinan-beena dibicarakan.
W. Robertson Smith menyangka bahwa pada mulanya orang Semit hidup dalam oasis-oasis di padang gurun Arab. Baru kemudian berkembang suku-suku yang eksogami, masing-masing dengan totem-nya sendiri, yakni seekor bina tang atau sebuah tanaman yang disembah dan dipandang sebagai pelindung suku. Dalam masa berikutnya orang-orang Semit mengembara di padang gurun bersama dengan kawanan ternaknya. Masa pengembaraan ber akhir ketika mereka menetap di daerah-daerah subur seperti Kanaan. Pada masa pertama, para perempuan tetap tinggal di oasis dan dikunjungi oleh para suami yang berasal dari suku lain. Berkembang juga pola matriarkat, yaitu rumah tangga yang dipimpin oleh seorang ibu, bahkan matrilinealitas, yakni bahwa hak waris diturunkan melalui perempuan. Mungkin terjadi juga poliandri, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu.
Pandangan Robertson Smith patut dipersoalkan, demiki an juga dengan Mace, dia tidak mendukung pandangan tersebut. Menurutnya, matriarkat tidak pernah ada. Menu rut Mace, sejak awal perkawinan orang Israel adalah monogami, perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi dan di rumah dia sangat dise gani. Sebaliknya, Mace mengutamakan unsur patria ri kat dalam masyarakat Ibrani.
Menurutnya, satu suku sama dengan keluarga besar, dan nenek moyang berperan seperti totem bagi suku-suku di padang gurun, yang juga disembah. Baru kemudian penyembahan kepada nenek moyang dialihkan ke penyembahan kepada Yahwe, demikian tutur Mace.
Dengan benar Mace menyatakan bahwa adanya poliandri tidak dengan sendirinya menunjukkan berlakunya sistem matriarkat, dan bahwa latar belakang levirat, bahkan poligami adalah kerinduan mendapatkan anak laki-laki. Tetapi, dia tidak melihat peran Tuhan dalam menentukan hukum levirat dan hukum mengenai hak waris anak perempuan dalam keluarga yang tidak mempunyai anak lakilaki.
Dalam pasal ini perlu dibicarakan materi, seperti hak warisan, levirat, dan penebusan. D.A. Leggett telah menyum bangkan sebuah studi dengan kesimpulan, antara lain bahwa di Israel, tanah tidak boleh dijual secara definitif, untuk seterusnya, tetapi perlu ditebus oleh salah seorang anggota keluarga. Sebab, jika suatu keluarga punah, akan dianggap bahwa keluarga itu tidak akan mengambil bagian dalam kerajaan Mesias.49
Ketika bangsa Israel hampir memasuki tanah Kanaan, hukum mengenai hak waris anak perempuan dan hal perkawinan mereka selesai disusun. Bilangan 27 mengatakan bahwa lima anak perempuan dari seorang ayah yang bernama Zelafehad mendatangi Musa, mereka bertanya, bagaimana nanti pelaksanaan di Kanaan hal yang menyangkut warisan dari ayah mereka yang sudah meninggal. Nama ayah mereka seperti terhapus jika tidak ada warisan atas namanya, sedangkan pada saat pembagian tanah semua kepala keluarga turut terhitung (Bil 26). Sesudah perkara tersebut di sampaikan Musa ke hadapan Tuhan, dia mendapat jawaban, dan harus meneruskan firman Tuhan, bahwa perkataan anak-anak perempuan Zelafehad itu benar. Musa harus memberikan tanak milik pusaka kepada mereka di tengah-tengah saudara ayahnya, bila mereka nanti sampai di Kanaan. Permintaan lima anak perempuan itu menjadi sebuah hukum di Israel: jika tidak ada anak laki-laki, maka anak-anak perempuan yang akan menjadi pewaris. Jika tidak ada anak sama sekali dalam suatu keluarga, maka saudara laki-laki dari si almarhum yang akan menjadi pewaris, dan kalau saudara laki-laki juga tidak ada maka warisan diberikan kepada kerabat yang terdekat.
Jelas bahwa tanah milik pusaka harus tetap tinggal dalam misypa khah (subsuku), padahal tanah bukan milik misypakhah, melainkan milik beth-ab (rumah bapak), yaitu mereka yang merupakan keturunan dari ayah atau kakek yang sama. Karena itu, wajar bila anak perempuan lebih berhak menerima tanah pusaka daripada saudara laki-laki almarhum.50
Lanjutan sejarah anak-anak perempuan Zelafehad juga ber kesan. Sebab, tidak lama sesudah itu para kepala suku mereka, yaitu dari klen Gilead, bertanya kepada Musa apakah yang akan terjadi jika anak-anak perempuan yang menjadi pewaris itu menikah dengan laki-laki dari suku lain (Bil 36). Tidak ada seorang ayah atau saudara laki-laki yang mengurus perkawinan mereka, jadi kepala suku merasa bertanggung jawab. Mereka khawatir bahwa harta pusaka akan hilang dari suku mereka jika anak perempuan yang mewarisinya kawin di luar suku sendiri, juga tidak akan dikembalikan pada tahun yobel karena tanah itu merupakan warisan (Im 25). Musa menjawab bahwa anak-anak perempuan tersebut harus kawin di dalam keluarga, dan itu mereka lakukan. Dalam Yoshua 17:4 diterangkan bahwa mereka mempertahankan milik pusaka mereka dan mereka juga memperolehnya.
Meskipun di tengah orang nomad di Timur Tengah perkawinan dalam keluarga besar sudah lazim, dalam kenyataan tersebut kebiasaan itu kemudian dijadikan hukum.
Perkawinan levirat merupakan kebiasaan lama (Kej 38), tetapi dalam Ulangan 25:5-10 hanya dijadikan pedoman ketika ada kasus, yaitu dua laki-laki bersaudara yang tinggal berdekatan di tanah warisan keluarga.51
Jikalau salah seorang meninggal tanpa anak laki-laki, maka sau daranya harus menikahi janda saudaranya itu. Dan anak sulung laki-laki akan mewarisi harta pusaka dari suami yang telah meninggal. Jika dua saudara laki-laki tinggal berjauhan, salah seorang dari mereka tidak akan dituntut untuk menikahi janda saudaranya. Sebab, dia tentunya tidak akan sanggup mengurus kedua harta milik sampai pada saat anak-anak dapat mengaturnya sendiri.
Dalam masyarakat tertentu, perkawinan dengan atau menikahi ipar berkaitan langsung dengan harga kawin. Dalam pandangan seperti itu mereka bertolak dari prinsip bahwa perempuan telah diperoleh, dan bahwa marga suaminya berhak atas dirinya. Kasus seperti itu telah ditemukan pada suku-suku Bantu, dan di Sumba, yang dasar berpikirnya juga sama. Pola pikir itu sesuai dengan masyarakat yang eksogami. Tetapi, bagi bangsa Israel prinsipnya berbeda: di sana perlu diperhatikan bahwa warisan yang telah diberikan Tuhan kepada tiap keluarga besar dalam suku yang endogami tetap akan tinggal di sana.
Sering dikemukakan bahwa perkawinan levirat ditiadakan oleh hukum-hukum Imamat. Sebab, dalam Imamat 18:16 maupun Imamat 20:21 perkawinan antara seorang laki-laki dengan istri saudaranya tidak diperbolehkan.52 Menjawab hal itu, pertama-per tama harus dilihat bahwa pandangan tadi biasanya dianut oleh mereka yang menganggap bahwa Kitab Imamat disusun lebih ke mudian, padahal menurut penyataan Kitab itu sendiri, saat Kitab itu disusun adalah ketika umat Israel berada di padang gurun. Selain itu, penulis berpendapat bahwa Imamat 18 dan Imamat 20 tidak mengatur ”kawin sumbang”, tetapi secara umum merupakan peringatan-peringatan untuk hidup suci dalam segala hal yang berhubungan dengan seksualitas (lih 3.3.3).
Menikahi ipar tidak diwajibkan. Seorang saudara laki-laki ber hak menolaknya, dan pada saat itu diadakan upacara khalitsa, janda yang bersangkutan membuka kasut iparnya (sebagai tanda hak memiliki, bnd Mzm 60:10), bahkan boleh meludahi mukanya (Ul 25:9). Tetapi, dalam riwayat Rut, laki-laki itu sendiri yang menanggalkan kasutnya, sebagai tanda penyerahan kepemilikan (Rut 4:8).53
Kitab Rut mengajarkan arti perkawinan ipar, sekalipun perkawinan Boas dan Rut berbeda dengan hal itu. J.P. Lettinga mengatakan, Kitab Rut mengenal dua problem: 1) penebusan yang dilakukan oleh seorang kerabat yang bukan ipar, melainkan kerabat yang lebih jauh; 2) hak waris perempuan. Lettinga mengutip, antara lain dari D.A. Leggett, yang menga takan bahwa naskah-naskah yang bersifat hukum sering kali perlu ditafsirkan berdasarkan cerita-cerita. Cerita tentang Rut memberi keterangan mengenai hukum dalam Ulangan 25 tentang perkawinan ipar. Jika seorang kepala keluarga meninggal, maka orang lain, entah ipar entah kerabat lainnya, harus menyatakan kebaikan, khesed kepada orang yang meninggal itu, agar namanya tidak terhapus dari antara saudaranya (bnd Rut 4:10 dengan Ul 25:5, 10).54
Leggett dan penafsir lain juga menunjukkan khesed yang dibuktikan oleh Rut, terhadap suaminya yang telah meninggal dan terhadap ibu mertuanya. Padahal, menurut Rut 1:13, Rut merasa khawatir bahwa Allah telah mengambil khesed-Nya darinya.
Rut, seorang gadis bangsa Moab, menikah dengan Makhlon, seorang Israel, yang datang ke negeri Moab ketika Israel meng alami masa paceklik. Makhlon meninggal di sana, demikian juga ayahnya, Elimelekh dan saudaranya, Kilyon. Sesudah masa kela paran berlalu, Naomi, yang adalah ibu Makhlon dan ibu mertua Rut, hendak pulang ke tanah airnya. Dia menganjurkan kedua menantunya untuk tetap tinggal di Moab. Alasan Naomi adalah bahwa dia tidak akan dapat melahirkan lagi sehingga tidak akan ada suami baru untuk mereka, yaitu iparnya (Rut 1:11).
M. David menarik kesimpulan bahwa tidak ada harapan bagi Naomi bahwa menantunya akan dinikahi oleh salah seorang kerabat. Jadi, dia berpikir bahwa yang berlaku pada waktu itu ialah seorang janda harus dinikahi oleh iparnya, bukan perkawinan penebusan oleh seorang kerabat yang lebih jauh.55 Penulis berpandangan, dalam hal ini kurang diperhatikan kenyataan bahwa kedua anak Naomi telah mengambil perempuan-perempuan dari Moab, hal itu di luar kebiasaan dalam sistem endogami. Apalagi, perintah dari Ulangan 7 untuk tidak melakukan perkawinan campur, telah dilanggar. Karena itu, mungkin Naomi ingin kedua menantunya tetap tinggal di kampung halaman mereka.
Akan tetapi, berkat pembinaan di dalam rumah tangga Naomi dan Elimelekh, Rut telah menjadi seorang yang percaya kepada Tuhan. Karena itu, anjuran Naomi agar Rut tidak ikut dengannya itu keliru. Rut bersikeras untuk terus bersama dengan Naomi, yang membuat Rut dipuji oleh orang Betlehem (Rut 2:11; 3:11). Hanya saja, siapa yang akan mengurus mereka di Betlehem? Terlebih Rut, siapa yang akan membantunya jika nanti Naomi meninggal? Naomi tetap mempunyai harta pusaka di Betlehem, yaitu yang berasal dari suaminya: hukum dari Bilangan 36 merupakan perwujudan dari kebiasaan dalam masyarakat endogami, bahwa harta pusaka tidak boleh diambil orang lain. Tetapi, bagaimana nanti sikap keluarga terhadap Rut, yang adalah orang asing? Sekalipun ia istri Makhlon, tetapi saat itu telah menjadi janda. Dan seandainya nanti Rut menikah dengan seseorang dari luar keluarga? Naomi dapat saja merasa khawatir bahwa harta pusaka tidak terjaga dan nama Elimelekh akan terhapus.
Kitab Rut terkenal karena munculnya seorang go’el, yaitu seorang ”penebus”. Di dalam Alkitab, figur itu penting peran annya, sebab go’el pada zaman Perjanjian Lama melambangkan pekerjaan Yesus Kristus sebagai go’el menebus dosa umat-Nya dan membebaskannya dari utang dosa. Menurut Imamat 25, seorang go’el harus memperoleh kembali tanah yang telah dijual oleh sanak saudara yang telah menjadi miskin. Atau, kalau ada seseorang yang telah menjual dirinya untuk menjadi budak, harus dibeli dan dimerdekakan. Bahkan terdapat juga perkawinan ge’ulla.’56
Agaknya tidak ada lagi laki-laki dalam keluarga Elimelekh yang mempunyai hubungan dekat. Naomi akan kehilangan harta pusakanya, apalagi kalau nanti dia juga meninggal, kecuali jika terwujud suatu perkawinan ge’ulla.
Epstein mengatakan, seandainya Naomi masih muda, dia dapat diambil sebagai istri dalam perkawinan dengan seorang penebus, dan seandainya mereka mendapat anak laki-laki maka anak itu kemudian hari dapat menjadi suami Rut, dalam perkawinan ipar.57 Tetapi, karena Naomi sudah tua dia mencari pemecahan lain: alangkah baiknya bila Rut dapat melahirkan seorang anak melalui perkawinan ge’ulla demi masa depan nama Elimelekh. Naomi tidak mencari orang yang kaya karena dia sendiri tetap mempunyai harta milik, dan cenderung menjual sesuatu (Rut 4:3) untuk memperoleh uang. Yang dia usahakan adalah menjaga agar nama suaminya tidak terhapus. Naomi mengangan-angankan perkawinan antara Rut dengan seorang laki-laki bernama Boas, seorang kerabat dari Elimelekh (Rut 2:1), meskipun ada laki-laki lain, yang ditilik dari hubungannya malah lebih dekat (Rut 3:13). Sesudah melakukan percakapan di hadapan para tetua, Boas menyingkirkan calon yang berasal dari keluarga dekat sesuai dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, dan menikahi Rut.
Cerita itu tertulis dalam Rut 2-4. Sungguh bermakna perkataan Rut yang telah mencari Boas di tempat pengirikan. ”Kem bangkanlah kiranya sayapmu melindungi hambamu ini” (Rut 3:9). Rut mencari perlindungan dari Boas melalui perkawinan.58 Boas mengerti maksudnya dan mengang gapnya jujur. Perkataan itu dapat diartikan hal yang menyangkut seksual, tetapi sebenarnya, maksudnya lebih daripada itu. Boas sendiri pernah mengucapkan kata-kata yang sama untuk memuji Rut yang telah datang dari Moab untuk berlindung pada Allah Israel (Rut 2:12).59
Meskipun demikian, tidak selayaknya perbuatan Rut pada saat itu yang adalah atas instruksi Naomi. Tujuan kedua perempuan itu baik, yaitu penebusan melalui Boas, walaupun caranya tidak baik. Juga tidak ada kesan bahwa Boas menggagahinya pada malam itu (bnd Rut 4:13), dan sekali lagi ia memuji Rut karena telah melakukan jasa baik terhadap Naomi (Rut 3:10), oleh sebab Rut tidak begitu saja mencari seorang laki-laki, tetapi seseorang yang akan menjadi penebus.
Dengan jelas Boas menyatakan kepada kerabat yang lebih dekat bahwa ia harus mengawini Rut, dan anak mereka akan di anggap sebagai anak Makhlon dan cucu Elimelekh, sesuai dengan keinginan Naomi (Rut 4:5, 9, 10). Laki-laki yang seharusnya menjadi penebus itu sangat mengerti tujuan Boas, dan meskipun sebe narnya dia berkemauan untuk menebus milik Naomi, tetapi kemu dian ia menolak, sebab merasa berat untuk mengeluarkan uang untuk tanah yang kemudian hari bukan miliknya lagi, melainkan menjadi milik anak Makhlon. Cara itu akan mengakibatkan ke rugian terhadap harta miliknya (Rut 4:6).
Penebus yang lain itu termasuk dalam misypakha Elimelekh, tetapi tidak bertanggung jawab untuk bet-’ab Elimelekh. Masa depan rumah itu baru terjamin ketika lahir seorang anak-laki-laki bagi Boas dan Rut. Anak itu (Obed) yang menjadi penebus Naomi (Rut 4:14).60 Boas sendiri mau dilibatkan diri sebagai penebus sementara untuk memperoleh (Rut 4:9: qnh) Rut baginya.
Dalam masyarakat yang berpola endogami maupun yang eksogam, terbentuk peraturan yang berkaitan dengan per ka winan yang preskriptif dan kawin sumbang. Per atur an pertama positif, menunjukkan persyaratan dalam memilih seorang istri. Peraturan kedua negatif, menunjukkan apa yang dilarang dalam memilih jodoh maupun dalam pergaulan seks. Peraturan-peraturan tentang perkawinan yang terlarang biasanya disebut peraturan mengenai kawin sum bang, atau inses. Misalnya, seperti yang dikatakan Epstein menge nai struktur endogami: endogami menunjukkan batas yang di luarnya tidak boleh ada perkawinan (misalnya di dalam suku atau subsuku). Inses menunjukkan batas yang di dalamnya tidak boleh ada perkawinan (misalnya dalam satu rumah tangga).61
Akan tetapi, peraturan inses itu berbeda-beda, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Perkawinan terlarang dalam budaya bangsa A, mungkin tidak dilarang, bahkan dianjurkan dalam bu daya bangsa B. Misalnya, kawin dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu sama sekali tidak diinginkan dalam sekian jumlah bangsa atau suku bangsa di dunia, sedangkan di Sumba, hal itu bahkan sangat diupa yakan.
Apakah peraturan seperti itu dapat ditemukan dalam Alkitab? Imamat 18 dan 20 sering ditunjuk sebagai pasal-pasal yang memberikan daftar perkawinan yang dilarang. Demikian juga Gereja Katolik Roma pada Abad Pertengahan, mengikutinya dalam kebijakannya yang menyangkut perkawinan. Satu gereja di Belanda, yaitu Christelijke Gereformeerde Kerk, pada abad ke-19 sering membahas hal tersebut dalam rapat-rapatnya, untuk mencari kejelasan tentang tingkat-tingkat kekerabatan yang tidak dapat diperkenankan.62 Di kalangan GGRI-NTT pasal-pasal ini menjadi dasar untuk mengambil keputusan tentang suatu perkawinan yang diper soalkan (lih 2.4).
Benarkah pasal-pasal ini hendak mengatur perkawinan yang diperbolehkan, dan yang tidak? Atau, mungkin ada pen e kanan lain nya? Sebab, kata inses juga dapat diartikan berbeda, yaitu untuk menunjukkan kejahatan-kejahatan dalam lingkungan rumah tangga atau anggota keluarga, yang berarti laki-laki memperkosa perempuan dalam rumah yang sama, entah dia anaknya sendiri, atau anak saudaranya, atau cucunya. Dalam arti yang luas, kata inses juga digunakan jika ada niat jahat pada orang dipercaya dan dihormati, yang timbul rasa birahinya pada, misalnya, murid atau anggota binaan pada lembaga tertentu.
Apakah mungkin hal seperti itu merupakan pokok per ha tian pasal-pasal ini sehingga firman Tuhan tersebut meru pakan peringatan keras terhadap dosa-dosa seksual yang mudah terjadi dalam lingkungan keluarga? Neufeld mengatakan bahwa hukum-hukum tersebut tidak membahas secara khusus perkawinan yang terlarang. Kata kerja seperti ”menyingkapkan aurat” (Im 18) dan ”tidur dengan” (Im 20) menunjukkan tiap pergaulan seks,63 bahkan menurut K. Elliger, E.S. Gerstenberger dan J.R. Ziskind, menunjukkan tiap hubungan tubuh yang intim.
Mace bertolak dari pandangan bahwa daftar ini mengatur perkawinan yang tidak diperbolehkan, meskipun dia juga melihat bahwa kata kerja ”mengambil seorang perempuan” (Im 18:18 dan Im 20:17) menunjukkan perbuatan seksual dan juga bahwa ayat 20, 22, 23 tidak membicarakan perkawinan.64
K. Elliger tidak menyinggung tentang endogami, tetapi menafsirkan seperti yang penulis usulkan: hukum ini tidak membicarakan perkawinan yang terlarang, tetapi hendak menjaga agar sebuah keluarga besar tidak ternoda oleh per gaulan seks antarkerabat, dan hendak menjamin adanya kedamaian dalam hubungan sosial. Yang dituju oleh hukum ini adalah pater familias (seorang ayah,
kepala keluarga), yang tinggal bersama dengan anak, cucu, dan juga orangtuanya. Empat generasi yang tinggal bersama.65
Menurut E.S. Gerstenberger, lingkup yang dimaksud dalam Imamat 18 adalah keluarga besar, atau sub-suku. Suatu klen atau sub-suku terancam oleh berbagai konflik, karena itu hubungan seksual perlu diatur dengan hati-hati. Pergaulan seksual tentu diperbolehkan asalkan dilakukan dengan pasangan yang sah.66
Berbahagialah istri-istri di Israel, kata J.R. Ziskind, karena mereka tidak dapat dialihkan kepada laki-laki lain dalam keluarga, juga tidak dapat dijadikan istri kedua. Menurut penulis ini, seorang perempuan juga tidak diwajibkan meng ikuti aturan perkawinan ipar, hanya laki-laki yang dapat diwajibkan. Ziskind menunjukkan bahwa yang disapa adalah laki-laki secara pribadi (engkau/kamu), seperti dapat dilihat dari akhiran-akhiranmu (istri ayahmu, menantumu, dst). Akhiran maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan) dalam bahasa Ibrani berbeda.67
Imamat 18 dengan jelas membahas bermacam-macam dosa seksual. Pasal ini tidak mungkin hanya dipandang sebagai per aturan tentang perkawinan yang preskriptif. Dosa-dosa yang terjadi di Mesir maupun di Kanaan tercantum justru untuk memperingatkan bangsa Israel untuk tidak melakukannya. Di Mesir terjadi penyembahan berhala yang diiringi perbuatan seksual dengan binatang, khususnya hewan yang dianggap sebagai lambang dewa. Di Kanaan terdapat penyembahan untuk dewa Molokh yang kepadanya anak-anak dipersembahkan, untuk melakukan perbuatan tidak senonoh dengan orang-orang yang datang ke kuil.68 Karena itu, Imamat 18 diawali dan diakhiri dengan peringatan-per ingatan yang berhubungan dengan dosa-dosa Mesir dan Kanaan.
Frasa ”menyingkapkan aurat” menunjukkan sebuah ke giatan yang tidak senonoh. Perkataan tersebut tidak dipakai untuk melukiskan hubungan suami istri. Justru kata ”inses” sangat tepat digu nakan untuk menunjukkan hal-hal yang tertera di sini. Ke pala keluarga, yang disapa, sesuai dengan sifat paternalistis dari masyarakat Israel.
Keluarga-keluarga selalu tinggal berdekatan, karena terjadi endogami, jadi istri tidak diambil dari jauh, dan relasi-relasi tetap terjaga erat. Justru karena itu, maka dibutuhkan peraturan dan peringatan yang ketat. Kasus-kasus yang tercantum dalam Ima mat 18,
semuanya sangat khusus. Karena itu, kata ”saudara perem puan” yang sering ditemukan dalam pasal ini, tidak boleh dibaca sebagaimana arti dalam konteks dan bahasa Indonesia, di mana kata ”saudara” mempunyai arti yang luas. Dalam paragraf 3.3 terlukis sebuah persoalan gerejawi di Sumba Timur, yang berkisar pada kekeliruan dalam mengutip kata ”saudara” dalam Imamat 18.
Tidak pernah disebut kasus seorang ayah yang memperkosa anak perempuannya. Barangkali dosa seperti itu tidak mudah terjadi di Timur Tengah. Dalam budaya bangsa-bangsa nomad di sana, seorang ayah sangat menghormati anaknya perempuan dan membela keperawanannya (bnd Ul 22:13-21). Tetapi, inses antara ibu dan anaknya laki-laki rupanya terjadi, sehingga dikatakan ke pa danya bahwa ia mengganggu kehormatan dan hak ayahnya, jika ia bersetubuh dengan istri ayahnya (ay 7), entah ibu sendiri, entah ibu tiri atau gundik ayahnya (ay 8).
Relasi dengan saudara perempuan dilarang, juga dengan saudara perempuan yang ibunya bukan ibu kandungnya: mungkin dia baru masuk ke dalam keluarga ketika ibunya diambil menjadi istri ayahnya, tetapi sejak itu dia menjadi anggota dalam keluarga tersebut (ay 9).
Peringatan diberikan terhadap dosa dengan cucu: sama seperti terhadap anaknya sendiri, karena dia termasuk ketu runannya (ay 10). Peringatan juga diberikan terhadap dosa dengan seorang bibi, entah dari pihak ayah atau dari pihak ibu, bahkan bibi dari pihak ayah yang adalah istri dari saudara ayah (ay 12-14). Tidak disebutkan bibi dari pihak ibu, yaitu bukan saudara perempuan ibu, melainkan istri dari saudara laki-laki ibu. Mengapa? Barangkali karena istri dari saudara ayah tinggal di kampung halaman yang sama, sedangkan istri dari saudara ibu tinggal di tempat lain. Jadi, tiap peringatan terarah pada dosa yang mudah terjadi oleh karena tiap hari orang-orang tersebut bergaul satu sama lain. Demikian juga, tercantum menantu dan istri saudara, karena mereka itu juga tinggal berdekatan (ay 15, 16).
Semua peraturan ini menerapkan Hukum Ketujuh, tetapi juga Hukum Kelima, karena yang terakhir itu juga mengandung unsur kewajiban orangtua untuk menghargai dan mengasuh anak-anak mereka (Ef 6:1-4).
Jikalau kita menjumlahkan semua peraturan dari Imamat 18, akan tergambar masyarakat Israel yang endogami dan patrilokal
(bnd Ul 25:5). Elliger mendaftarkan keturunan demi keturunan, mereka yang terhisab ke dalam keluarga besar. Endogami tidak dihiraukannya, dia menekankan peran keluarga besar yang patri lokal, yang di dalamnya perlu diperhatikan apakah sepasang suami istri mempunyai anak atau tidak. Sebab, mereka yang dalam perkawinan tidak mempunyai anak, tidak ”mendirikan” keluarga besar. 1) Menyang kut generasi tua: selain dari orangtua, termasuk juga istri ayah yang lain, kalau ada, dan saudara ayah bersama istri nya, jika mereka tidak mendapat anak. 2) Menyangkut generasi sendiri: termasuk juga saudara perempuan yang belum menikah, dan istri saudaranya, sampai pada saat mereka pindah ke tempat sendiri bila sudah memperoleh anak sendiri. 3) Menyangkut generasi muda: anak laki-laki bersama istrinya kalau ada, anak perempuan yang belum menikah, dan cucu, yaitu anak dari anaknya laki-laki.69
Keterangan tambahan yang menurut penulis diperlukan adalah, bahwa pada umumnya calon istri diambil dari suku sendiri, sehingga melalui hubungan dengan keluarga ibu juga terjadi banyak kontak yang intim.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dalam sejarah orang Israel per nah ada satu periode yang dikenal dengan sistem matriarkat, yang sering dilandaskan pada Kejadian 2:24: seorang laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya. Selain itu, bahwa keduanya, suami dan istri, menjadi satu daging, menurut para ahli adalah pengalimatan yang menjelaskan hubungan kekerabatan.70 Karena itu, nas tersebut harus penulis bahas dalam studi ini.
Penulis berpendapat, nas ini hendak menyatakan bahwa pasangan yang baru itu harus waspada agar mereka, dalam lingkungan keluarga besar sebab di Timur Tengah terdapat endogami kan ber tanggung jawab sendiri. Nas ini tidak membuktikan adanya matriarkat.
Tidak semua ahli mendukung adanya matriarkat. Th.C. Vriezen dan C. Westermann keberatan dan mengatakan bahwa nas tersebut menunjukkan kasih dan kesetiaan yang seharusnya dipunyai seorang laki-laki terhadap istrinya. Jalan satu-satunya untuk membuktikan itu adalah bahwa ia rela meninggalkan ayah dan ibunya.71
J. Bimson menyadari bahwa secara hukum laki-laki dan istri nya tidak harus berasal dari satu suku, atau terhisap dalam satu keluarga, namun pilihan itu sangat diharapkan. Apalagi, menurut Bimson, alangkah baiknya bila laki-laki mendirikan rumah sendiri di tengah lingkungan keluarga, dan justru itulah maksud Kejadian 2:24.72
Penafsir G.J. Wenham dan V.P. Hamilton mengajarkan bahwa ‘zb lebih baik diterjemahkan dengan ”memutuskan” (hubungan) daripada meninggalkan. Kata itu juga digunakan bila suatu hu bungan perjanjian diakhiri (Yer 1:16; 2:13, 17, 19; 5:7; 16:11; 17:13; 19:4; 22:9). Sebaliknya, justru ”bersatu dengan” menyatakan menegakkan perjanjian (Ul 4:4; 10:20; 11:22; 13:5; 30:20).73
Kejadian 1:1-2:3 merupakan pendahuluan kitab perta ma dan melukiskan penciptaan, termasuk penciptaan ma nusia, laki-laki dan perempuan (1:27, 28). Mulai 2:4 seja rah digambarkan sesuai dengan toledot (terjemahannya: sejarah, kejadian, silsilah). Dalam toledot pertama, khusus dalam pasal 2, sekali lagi penciptaan manusia diriwayatkan, dengan tekanan bahwa keduanya, laki-laki dan perempuan, diciptakan untuk menjadi satu dalam per ka win an. Laki-laki dan perempuan pertama tidak serentak diciptakan: si lakilaki harus merasakan kekurangannya dahulu, sesu dah itu Tuhan memberikan seorang istri kepadanya. Dalam berma cam-macam kebudayaan, termasuk budaya Yahudi, seorang pengan tin perempuan dibawa ke suami nya oleh seorang pengantar (Brautführer), tetapi di sini, Tuhan sendiri yang melakukan itu.74
Menurut ayat 22, salah satu tulang rusuk Adam diambil Allah dan diciptakan-Nya menjadi seorang perempuan. Belum tentu bahwa kedua kata bahasa Ibrani untuk laki-laki (’iš) dan perempu an (´išša), dari suku kata yang sama, tetapi dalam pendengaran memang sangat mirip. Mungkin kedua kata itu masing-masing menunjukkan ”menjadi kuat” dan ”menjadi lemah”.75 Selain dari ”laki-laki dan perempuan”, kedua kata itu juga mempunyai arti ”suami dan istri”. Sebutan-sebutan zakar dan neqaba dalam Kejadian 1, yang sematamata menyatakan jenis kelamin, sebutan-sebutan ’iš dan ’išša juga mengarah ke perkawinan.
Laki-laki itu berseru, sesudah istrinya datang kepadanya, ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Dia akan dinamakan perempuan, sebab dia diambil dari laki-laki.” Sampai tiga kali kata petunjuk ”ini” diucapkan dalam bahasa Ibrani. Manusia baru menyadari bahwa ia telah menyambut seorang penolong yang sepadan dengannya, setelah dia merasa ada sesuatu yang kurang.
Antara manusia dan binatang ada hal-hal tertentu yang sama tentang keduanya, dikatakan bahwa mereka berasal dari tanah (Kej 2:7a dan 2:19a). Tetapi, perbedaan antara keduanya sangat fundamental.
Kejadian 2:7a berkata tentang laki-laki, bahwa ia diciptakan dari tanah, sedang tentang perempuan dikatakan dalam Kejadian 2:23 bahwa ia diambil dari laki-laki. Baru dalam ayat 23 itu dite mukan kata ’iš, sebelumnya selalu dikatakan manusia: adam. Se dangkan dalam ayat 23 kata ’išša (perempuan) langsung diterangkan sebagai istri, bahkan oleh si manusia sendiri. Sesudah dia melihat perbedaan antara manusia dan binatang, kemudian ia memperhatikan kesamaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga perbedaannya. Oleh karena Tuhan sendiri memberikan perempuan itu kepadanya, maka ia mengerti bahwa ia berhak mengambilnya menjadi istrinya.
Sesudah penggambaran tentang penciptaan manusia itu, penulis Kejadian menambahkan satu pengalimatan tentang perkawinan (Kej 2:24). Dalam ayat 24 dan 25 dikatakan: ”istrinya”, demikian juga dalam pasal 3. Bandingkan juga dengan Kejadian 3:6: ”suaminya”, dan Kejadian 3:12: ”perempuan yang Kautempatkan di sisiku’ .
Semua ungkapan itu, bersama dengan ”keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24), menyatakan bahwa Tuhan Allah sejak permulaan telah menetapkan perkawinan yang monogami bagi manusia. Dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang menjadi satu untuk selamanya. ”Tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku” memang sering menyatakan kekerabatan (Kej 29:14; 2Sam 19:13), tetapi dalam Kejadian 2 perkataan itu juga meriwayatkan bagai mana terjadinya penciptaan laki-laki dan perempuan.
Pada awalnya Tuhan telah memberikan kepada laki-laki itu istrinya. Hubungan antara keduanya bahkan lebih penting daripada relasi dengan orangtua. Suami istri tidak boleh melebur dalam keluarga besar. ”Menjadi satu dengan” dapat diucapkan, selain dalam relasi kasih (Kej 34:3; 1Raj 11:2) juga dalam relasi persahabatan (2Sam 20:2). Adakalanya artinya ”tetap berpaut dengannya” (Rut 1:14), ”bahkan berpegang kuat”.
Lebih keras lagi ungkapan ”menjadi satu daging”: kadang-kadang semata-mata hanya menunjukkan pergaulan seksual (1Kor 6:6),
tetapi dalam Kejadian 2:24 yang dimaksud adalah kesatuan dan persatuan total, baik tubuh maupun roh,76 dan karena itu sebutan itu juga dikutip Paulus dalam Efesus 5:31 untuk menya takan bahwa hubungan nikah adalah contoh bagi hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.
Granqvist sendiri tidak menggunakan sebutan endogami, tetapi dalam buku Wellhausen yang dikutipnya, sebutan itu ditemukan. Apalagi, struktur masyarakat yang diteliti Granqvist dalam per kampungan Palestina, Artas, satu abad yang lalu, persis sesuai dengan pola endogami.77 Di kampung tersebut sangat dihargai apa yang diatur dalam Alquran (IV: 26, 27) mengenai perkawinan-perkawinan yang terlarang. Peraturan itu merupakan batas mini mal, sedangkan sebagai batas maksimal masyarakat mengikat diri pada preferensi yang berikut: 1) Paling disukai adalah mengambil perempuan dari suku pengantin laki-laki, sedapat mungkin anak perempuan saudara ayah. 2) Kalau tidak demikian, dicari perem puan dari suku lain dalam kampung yang sama. 3) Baru kemudian perkawinan dengan seorang asing. Dalam hal terakhir, terhitung juga perkawinan dengan, misalnya MBD, yang tinggal jauh, seperti Ishak dan Ribka.
Jadi, yang disukai adalah suatu cousin-marriage, sebab dalam hal seperti itu suami dan istri akan jarang bertengkar atau memaki keluarga dari pasangannya, karena keluarganya sama. Secara ekonomis menguntungkan juga, sebab mas kawin yang dibutuhkan hanya sedikit. Adakalanya bahkan suatu pertunang an (khususnya bagi yang telah dijodohkan sejak kecil) diputuskan, agar suatu cousin-marriage dapat terlaksana. Pilihan terhadap FBD berkaitan dengan warisan: harta pusaka ayahnya tidak terancam jika anak perempuan menikah dengan laki-laki dari keluarga dekat. Fakta itu sangat jelas bila terjadi seorang laki-laki meninggal tanpa ada ahli warisnya. Seandainya ada anak perempuan, maka anak pamannya akan meni kah dengannya tanpa mas kawin. Sebab, dia mendapat warisan. Granqvist menunjuk Imamat 36 sebagai hal yang mirip.
? III Alkitab dan Harga Kawin Kalau mengganti ”suku” dengan hamule (klen, bh Palestina), maka kebiasaan orang Palestina sama dengan yang tertera dalam Imamat 36. Alquran tidak menyebut hukum warisan seperti itu.
Menurut Mace, istilah eksogami dan endogami juga dapat diterapkan pada status sosial dan ras. Dan dia juga berpendapat bahwa endogami berlaku pada zaman pengembaraan di padang gurun, dan kemudian menghilang sesudah memasuki Kanaan. Tetapi, penulis berpendapat bahwa tidak ada alasan yang dapat dipakai untuk menguatkan pendapat Mace. Imamat 36 menunjukkan adanya endogami di dalam suku, kata Mace, dan penulis sependapat. Endogami muncul kembali pada masa Ezra dan Nehemia, karena mereka mengkhawatirkan terjadinya kawin campur dan penyem bahan berhala, demikian kata Mace.78
Penulis ini dengan sangat jelas membahas tentang endogami. Karena dia membaca Alkitab sambil membandingkannya dengan kehidup an suku di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20. Se bagai sumber dari masa itu, masih dapat dibaca laporan-laporan penelitian dan cerita-cerita tentang kisah petualangan di Timur Tengah satu dua abad lalu. Sumber-sumber seperti itu menurut penulis tersebut lebih berharga daripada kitab-kitab di luar Alkitab yang berasal dari masa lampau.
”Keluarga” dalam pengertian masyarakat Timur Tengah selalu berarti extended family, keluarga besar, dan karena itu persyaratan mengenai pemilihan calon, sejak masa Alkitab sampai sekarang kirakira tetap sama.79
Struktur masyarakat dalam Alkitab, dan yang sampai sekarang berlaku di Timur Tengah, adalah: 1) endogamis; 2) patrilineal; 3) patriarkat; 4) patrilokal; 5) extended family, sebagai kesatuan ekonomis; 6) poligini. Barangkali rumah tangga melebihi seribu orang, demikian kata Patai.
Keuntungan-keuntungan perkawinan FBD adalah: 1) milik tetap tinggal dalam keluarga; 2) ikatan dalam keluarga diperkuat; 3) perkawinan stabil: suami istri mempunyai kerabat yang sama, telah memperoleh pendidikan yang sama, telah berkenalan sejak kecil; 4) kesamaan status; 5) tempat kediaman yang patrilokal tidak menimbulkan masalah.
Dari semua ini nyatalah bahwa endogami bukan perkara suku, melainkan perkara keluarga: in-family endogamy.80
Sayangnya, Patai tidak memperhatikan unsur agama, yang menurut Alkitab begitu penting di mata bapa-bapa leluhur Abraham dan Ishak. Dan sama seperti Mace, Patai juga berpendapat bahwa pola endogami lebih berpengaruh ketika berada di padang gurun dan sesudah kembali dari Babel, dibandingkan dengan pada waktu Israel menduduki tanah Kanaan sesudah perebutan di bawah pimpinan Yosua. Dalam hal itu, Patai juga menunjukkan adanya satu paralel dengan masa kini: orang nomad lebih prihatin terhadap persyaratan endogami daripada penduduk desa.81
Sebuah studi yang eksegetis dan bersejarah dari A. Niebergall membuktikan bahwa pola endogami dijunjung tinggi bukan saja pada masa bapa-bapa leluhur, melainkan juga di dalam pembuangan, di diaspora. Penelitiannya berkisar pada Kitab apokrif Tobit.82
Penulis sudah beberapa kali mengemukakan dalam studi ini bahwa definisi-definisi antropologis tidak dihiraukan dalam tafsir an-tafsiran mengenai harga kawin pada zaman Perjanjian Lama. Tetapi, masalah lain akan muncul jika dalam proses menafsir, pen cermatan data-data antropologis mendahului bahkan menying kirkan motivasi-motivasi yang terdapat dalam Alkitab itu sendiri. Dan hal itu kadang-kadang terjadi dalam tafsiran-tafsiran tentang kawin campur.83
Sepanjang masa Perjanjian Lama, kawin campur ditolak oleh orang-orang beriman, hanya berdasarkan satu alasan: perkawinan itu bertentangan dengan perjanjian yang diikat oleh Allah dengan Abraham dan seluruh keturunannya. Dan atas dasar yang sama, kawin campur juga ditolak pada masa Perjanjian Baru. Kawin campur dalam terang Alkitab adalah hubungan nikah dengan seseorang yang tidak percaya kepada Allah dan Yesus Kristus. Jadi, merupakan alasan yang bersifat keagamaan.
Ketika Abraham sudah lanjut usia, dia menyuruh kepala ham banya untuk bersumpah, agar hamba itu tidak akan pernah mengurus perkawinan bagi putra Abraham dengan perempuan dari bangsabangsa Kanaan (Kej 24). Dia harus pergi ke keluarga Abraham yang tinggal di Padan-Aram. Te tapi, hamba itu juga tidak boleh membiarkan anak Abraham pulang ke sana (ay 6). Apabila dia telah berhasil mendapatkan seorang istri bagi Ishak, dia harus membawanya ke tanah Kanaan. Abraham yakin, bahwa Tuhan akan memberkati perjalanan hambanya, Eliezer.
Bagi keluarga Abraham, pola endogami tidak asing, de mikian juga bagi semua suku Semit. Namun, untuk Abraham, unsur agama adalah faktor yang terpenting. Karena itu, anaknya tidak boleh kembali untuk tinggal dengan kerabatnya di Padan-Aram, sebab
Abraham yakin bahwa Tuhan telah memanggilnya dari sana untuk membuat dia menjadi bangsa yang besar di Kanaan: justru di tanah Kanaan Allah telah mengikrarkan perjanjian dengan Abraham.
Dalam ”toledot Ishak” (Kej 25:19-35:29) tergambar perka win an dari anak-anak Ishak, yaitu Esau dan Yakub. Esau telah mengambil dua wanita dari suku Het (Kej 26:34, 35). Kedua orang itu telah menimbulkan kepedihan hati bagi Ishak dan Ribka. Ishak melarang Yakub untuk juga mengambil istri dari bangsa itu (Kej 28:1, 2). Orang Hetit, yang pada waktu itu tinggal di bagian selatan tanah Kanaan, bukan orang Semit, melainkan termasuk bangsa-bangsa Indogerman.84 Kepedihan hati orangtua bukan hanya di sebabkan oleh asal-usul istri itu, tetapi yang lebih mendukakan adalah perbedaan iman (bnd 27:46; 28:3, 4).
Pada awal cerita dalam ”toledot Ishak”, tertera bahwa Ishak telah berumur empat puluh tahun ketika dia menikah dengan Ribka, anak Betuel, orang Aram di Padan-Aram (Kej 25:2). Kerabatnya adalah orang Aram bernama Laban. Hal ini sangat berbeda dengan asalusul istri-istri anak Ishak, ya itu Esau, seperti yang disebutkan dalam 26:34. Ketika Esau melihat bahwa orangtuanya tidak senang dengan kedua istri nya, dia juga menikahi anak perempuan Ismael. Dia seorang Semit, bahkan masih terhitung keluarga (Kej 28:8). Rupanya Esau ingin memperbaiki kesalahannya.
Yakub disuruh ke Padan-Aram, ke rumah pamannya, Laban (Kej 28:2), bukan hanya untuk menghindar dari Esau yang marah, melainkan juga demi perkawinan dan ketu runan. Sudah jelas bagi orangtuanya, bahwa Esau tidak akan mendapat warisan. Ribka telah mengetahui rencana Tuhan mengenai hal itu karena Tuhan telah menyatakannya dalam mimpinya.
Memang benar, pada suatu saat Esau menjual hak waris nya.
Seandainya Yakub tidak menikah maka semua warisan akan jatuh ke anak-anak Esau. Yakub harus mencari istri ke Padan-Aram karena dari seorang perempuan yang berasal dari daerah tersebut diharapkan dia juga akan berbakti kepada Tuhan, bersama dengan seluruh keturunan Abraham.
Dalam Ulangan 7 bangsa Israel diperingatkan agar tidak dipengaruhi oleh kejahatan-kejahatan orang Kanaan. Antara lain, dikatakan bahwa Tuhan akan menghukum mereka yang kawin campur dengan bangsa itu, apakah dia laki-laki yang mengambil istri orang Kanaan atau perempuan yang diambil istri oleh orang Kanaan.
Menurut Epstein, hukum tertulis dalam Ulangan 20:16-18 mengatur hal yang sama. Di samping itu, berdasarkan Ulangan 21:10-14 dia menyimpulkan bahwa perempuan-perempuan Kanaan boleh menjadi tawanan perang dan dijadikan hamba dan perempuan simpanan.85
Penulis berpendapat, penjelasan yang lebih tepat adalah bahwa pasal 21 membicarakan perempuan dari bangsa bukan Kanaan, yaitu bangsa yang diperangi dalam perjalanan menuju ke Kanaan. Sebab, dalam pasal 20 dibedakan antara perebutan sebuah kota di Kanaan dan perebutan sebuah kota dari bangsa lain. Dari suatu kota di Kanaan tidak seorang pun boleh dibiarkan hidup, sedangkan para perempuan dan anak-anak dari kota-kota lain harus dilindungi.
Perlu diperhatikan juga Ulangan 23. Seorang dari bangsa Ammon atau Moab tidak boleh hadir dalam kebaktian, bahkan sampai keturunan yang kesepuluh. Meskipun mereka adalah bang sa yang berkeluarga, mereka tidak menolong Israel, mereka malah melibatkan tukang sihir Bileam untuk mengutuki orang Israel. Te tapi, orang-orang Edom tidak boleh dianggap keji, karena mereka bangsa yang masih bersaudara. Demikian pula orang-orang Mesir, karena bang sa Israel pernah tinggal di Mesir sebagai orang asing. Anak-anak Edom dan orang-orang Mesir boleh masuk menjadi jemaat Tuhan, mulai dari keturunan yang ketiga. Apakah per nyataan-pernyataan seperti itu juga menunjukkan perlu dibeda kannya antara perempuan asal Kanaan dan perempuan, misal nya dari Edom atau Mesir? Mungkin saja demikian, karena agak nya justru dari sisi penyembahan berhala gaya Kanaan yang mendatangkan ancaman bagi orang-orang Israel.
Demikian juga Ezra, beberapa abad kemudian, dalam hal menentang kawin campur. Bukan saja dengan orang Kanaan, melainkan juga dengan orang Ammon dan Mesir (Ezr 9:2). Karena, pada masa Ezra, berbagai ancaman terasa bukan hanya dari orang-orang Kanaan, melainkan juga dari pihak-pihak yang telah disebut di atas.
Akan tetapi, dan patut disyukuri, adakalanya justru perempuan yang berasal dari bangsa yang tidak menyembah Allah Israel yang menjadi orang besar di Israel (Rahab, Rut). Bahayanya tidak terletak pada ras, tetapi pada penyembahan berhala!
Kitab Hakim-hakim melukiskan perkawinan Simson (ps 14 dan 15). Dari tempat tinggalnya Sora, dia sering mengunjungi sebuah desa orang Filistin yang bernama Timnat. Dia jatuh cinta pada seorang gadis dari sana dan menceritakan hal itu kepada orangtuanya. Mereka berusaha mencegah Simson menikahi perempuan dari bangsa lain, tetapi tidak berhasil. Dengan mudah Simson melanggar peraturan yang terkenal dari Ulangan 7. Jelas Simson menginginkan perkawinan yang sah dengannya, bukan hubungan seksual di luar nikah, seba gaimana yang sering dilakukannya dengan perempuan lain di kemudian hari. Dia meminta orangtuanya untuk mengurus perkawinannya (kata kerja lqkh, mengambil).
Oleh karena itu, kedua orangtuanya pergi menghadap; Simson sendiri baru pada kesempatan itu berbicara baik-baik dengan gadis Filistin itu (Hak 14:7). Sesudah itu mereka berjalan ke Timnat untuk urusan selanjutnya (Hak 14:8, 10).
Barangkali orang Filistin tidak termasuk bangsa-bangsa Semit, mereka berasal dari Kreta (Am 9:7).86 Namun, agak nya kedua belah pihak mengikuti suatu pola yang telah ma sing-masing kenal.
Ada yang mengatakan bahwa keluarga memilih satu cara, yaitu perempuan tetap tinggal dengan orangtuanya, sedangkan suaminya datang mengunjunginya sewaktu-waktu.87 Pandangan Van den Toorn berbeda. Dia menekankan bahwa hanya selama empat bulan perempuan itu tinggal dengan orangtuanya, dan untuk membuktikan pendapatnya, dia menyebut kasus Simson. Jadi, kalau demikian, tidak mengherankan bila Simson pulang ke rumahnya sesu dah pesta perkawinan, tetapi yang bersalah ada lah ayah mer tuanya, yang berkesimpulan bahwa Simson tidak mau lagi, karena telah pergi dengan marah. Ayah mertua Simson memberikan istri Simson kepada orang lain (Hak 14:15).
A.van Selms menunjukkan dalam sejarah Simson figur ”sahabat pengantin”, yang ditemukan dalam Matius 9:15 dan Yohanes 3:29,
? III Alkitab dan Harga Kawin bahkan Paulus menyebut dirinya demikian, dalam 2 Korintus 2:4.88 Publikasi-publikasi baru dari Code (kumpulan hukum) Raja Lipit-Isytar dari Isin, dekat Ur, berkesan bagi Van Selms. Code itu mengatur kasus seseorang yang telah masuk rumah orangtua perempuan, menyerahkan hadiah pertunangan, tetapi ke mudian dipaksa meninggalkan rumah itu, sedangkan istrinya diberikan kepa da temannya. Menurut Code tersebut, hadiah itu seharusnya diberikan kepada teman itu tetapi teman itu tidak boleh mengambil perempuan itu. Sebab, dia bukan sembarang orang. Dia adalah seorang yang khusus; pada perkawinan di negeri Barat disebut the best man, dan di tanah Yunani paranimf. Demikian juga dalam Septuaginta, teman Simson dinamakan nymphagogos. Justru karena dia bertindak untuk menemani pengantin laki-laki, ia tidak diperbolehkan mengambil istrinya. Apabila pengantin diusir oleh ayah mertua, temannya harus membelanya.
Pemimpin-pemimpin Israel yang berperan sesudah Pembuang an adalah tokoh seperti Ezra dan Nehemia dan seorang nabi seperti Maleakhi. Kita perhatikan kitab-kitab yang dinamakan dengan nama mereka.
Ezra 9 dan 10 menerangkan peraturan ketat yang dilaksanakan oleh Imam Ezra dalam menentang kawin campur. Perempuanperempuan yang berasal dari kaum kafir diusir bersama anak-anak mereka. Timbul pertanyaan, atas dasar apa pengusiran itu? Apakah perkawinan-perkawinan itu tidak sah? Bukankah Rasul Paulus dalam 1 Korintus 7 menunjukkan cara yang lain, dengan menga takan bahwa suami yang tidak percaya telah dikuduskan oleh istrinya, dan anak-anak mereka juga kudus? Apakah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mungkin sangat berbeda?
Perkara tersebut dikedepankan oleh pemuka-pemuka Israel yang berkata kepada Ezra bahwa bangsa mereka telah najis oleh perkawinan dengan perempuan dari bangsa-bang sa setempat (Ezr 9:1-2). Menurut penulis, yang dimaksud dengan bangsa-bangsa itu adalah semua bangsa yang telah mendu duki tanah Israel, yang menjadi kosong ketika orang-orang Israel dibawa ke Asyur dan Babel. Mereka di antaranya adalah orang-orang Mesir.89 Sebe nar nya, dalam hukum
Musa perkawinan dengan orang Mesir tidak mutlak dilarang (bnd Ul 23:8, 9), tetapi situasi telah berbeda dan orang Mesir juga termasuk bangsa yang mudah menjatuhkan dan merendahkan orang Israel.
Ezra terkejut dan berseru kepada Tuhan. Israel mengulangi dosa yang telah menjadi sebab dijatuhkannya hukuman, kata Ezra dalam doa. Perkawinan dengan perempuan kafir telah dilarang dalam Ulangan 7.
Dari kalangan pemimpin muncul rencana untuk meng usir perempuan itu, dan Ezra diminta untuk menjalankan kepemimpin an nya dengan tegas. Dibentuklah satu panitia penyelidik. Selama beberapa bulan mereka meneliti kasus demi kasus (Ezr 10:16, 17). Nama mereka yang telah menikahi perempuan dari luar dipublikasikan (ps 10). Sebenarnya, tidak terlalu banyak juga.90 Mengapa penelitian itu membutuhkan waktu sekian lama? Mungkin karena penelitian dilakukan dengan saksama. Apakah para perempuan yang telah menya takan diri mau berbakti kepada Tuhan juga harus diusir? Pasti tidak. Demikian juga perempuan yang lahir dari perkawinan campur juga harus diusir? Barangkali tidak. Semua itu perlu diteliti dengan cermat.
”Bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri” (Ezr 9:2). Apakah ungkapan itu menunjukkan ras atau iman? Penulis berpendapat hal itu menunjuk yang terakhir. Mari kita perhatikan Yesaya 6:13, yang dimaksudkan dengan benih yang kudus adalah sisa dari Israel yang beriman. Tetua pada zaman Ezra harus meneliti situasi rohani dalam tiap rumah tangga. Pemerintah setempat, yang mengenal rumah tangga bersangkutan, harus datang memberi kesaksian (Ezr 10:14). Jika hasilnya negatif, akan terjadi pengusiran. Mungkin seba gian besar adalah perempuan simpanan, yang dini kahi secara tidak resmi untuk kepentingan hubungan bisnis (bnd Neh 6:18; 13:28).
Nehemia membandingkan dosa bangsanya dengan dosa Raja Salomo yang telah jatuh karena istrinya yang banyak berasal dari bangsa asing (Neh 13:26). Nehemia pun meng amati perkawin anperkawinan campur (Neh 13:24). Perempuan-perempuan yang telah berbahasa Yahudi dan hidup sesuai dengan agama Yahudi, tentu tidak diusir seperti yang lain.
Pada zaman raja-raja Israel, beberapa abad sebelum pembuangan, Hosea dipanggil Tuhan menjadi nabi-Nya. Hosea diperintah untuk menikah dengan seorang perempuan yang terkenal tidak baik. Mungkin anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu bukan anaknya sendiri (Hos 1:2). Sampai tiga kali diceritakan bahwa Gomer, istri Hosea itu, hamil dan melahirkan anak, tetapi keha milannya itu bukan berarti hasil persetubuhan dengan Hosea.91 Belum tentu Gomer itu seorang pelacur, ’isysya zona (Hak 11:1; Yos 2:1). Gomer disebut ’isysya zenunim, yang dapat diartikan sebagai seorang wanita yang berbakat menjadi seorang pelacur.92 Mungkin saja Hosea telah mendengar dari banyak orang bahwa lebih baik dia jangan menikahi perempuan itu. Tetapi, Tuhan yang memerintahkan, karena dalam kehidupan Nabi Hosea Tuhan memperlihatkan ke tidaksetiaan Israel, yang selalu mengecewakan Tuhan. Israel adalah pengantin Tuhan, tetapi tidak taat.
Pasal 3 menggambarkan keadaan beberapa tahun ke mudian. Istri Hosea telah lari darinya. Hosea harus mene rimanya kembali dan mengasihinya, meskipun istrinya telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Allah menunjukkan bahwa Dia tetap menerima Israel, meskipun Israel mau digoda oleh berhala. Bahkan Hosea harus memperoleh istrinya dengan uang, dia harus tawar-menawar (krh). Mungkin, perempuan yang telah lari itu direbut oleh orang jahat yang gemar mengeksploitasi perempuan yang telah jatuh (bnd Am 8:4). Hosea harus membebaskannya dari perbudakan. Jumlah yang dibayar oleh Hosea, termasuk pembayaran yang berbentuk barang, adalah 30 syikal, harga seorang budak.93
Hosea 2:18 (dalam Alkitab Ibrani 2:21) merupakan nubuat keselamatan. Tuhan akan menjadikan Israel sebagai istri-Nya, dan sega la ke jahatan Israel tidak akan diingat lagi. Kata kerja ’r ś (memperoleh) digunakan dengan kata depan ’b’, yang selalu menyatakan kegiatan-kegiatan menyangkut mohar.94 Di sini ditemukan bahasa sastra tentang Tuhan, yang memperoleh Israel, pengantin-Nya. Sebagai mohar disebut: kebenaran, kasih setia dan kasih sayang (ay 18).95
Dalam nubuat Yehezkiel, yang ditulis pada masa Pembuangan, dapat dibaca satu kalimat yang dikenal dari Kitab Rut. Bangsa Israel dibandingkan dengan seorang anak yang dite mukan, yang dibuang orang di pinggir jalan (ps 16).96 Ketika anak itu telah menjadi gadis, datang seseorang yang mau menikahinya. Dikatakan bahwa dia
”menghamparkan kain kepadanya” dan menutupi auratnya. Orang itu adalah Tuhan sendiri. Digunakan kata-kata mengenai sayap-sayap, atau punca jubahnya, seperti dalam Rut 3:9. Kata-kata itu bersama dengan ungkapan ”menutupi aurat” menyatakan bahwa yang datang itu hendak mengambilnya menjadi istri. Dalam nubuat yang sama, berulang kali dikatakan tentang perempuan-perempuan sundal yang auratnya akan disingkapkan (msl 16:36). Jadi, ayat 8 menunjukkan kebalikan dari persundalan: perkawinan.97 Bandingkan juga dengan apa yang dikatakan di sini tentang sebuah perjanjian, seperti dalam Maleakhi 2:10-16 dan Amsal 2:17.98
Dalam penggambaran nubuat ini, anak yang ditemukan, yang terbuang itu, diasuh oleh seseorang yang menemukannya. Ber arti: Israel dibesarkan oleh Allah sejak kecil, dan diterima menjadi anakNya. Tetapi, gambaran itu tidak memadai, karena Israel bukan hanya anak Tuhan, melainkan juga pengantin-Nya, istri-Nya. Pelambangan perjanjian oleh per ka winan mengena ke sasaran karena keduanya berkisar pada kasih sayang dan kasih setia. Menjadi murtad dan menyembah berhala disamakan dengan percabulan.
Kalau demikian, bila Allah begitu mementingkan perkawinan sehingga relasi suami istri menjadi lambang dari perjan jian Tuhan dan bangsa, perkawinan tentu sangat berharga di mata Tuhan (bnd Ef 5).
Nabi Maleakhi hidup semasa Ezra dan Nehemia dan meng gumuli masalah-masalah yang sama. Maleakhi 2:10-16 dengan sangat jelas menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian antara suami dan istri. Dan yang sama jelasnya adalah bahwa perjanjian itu bertaut dengan perjanjian antara Tuhan dan bangsa Israel. Dikatakan dalam ayat 10 bahwa Allah telah memperanakkan bangsa itu (bnd Ul 32:6; Yes 54:5). Karena itu, Tuhan menyebut diri-Nya Bapa dari bangsa-Nya.
Ayat 11 menghakimi seorang Israel yang telah menikah dengan seseorang dari bangsa lain, sebagaimana dikatakan ”menjadi suami anak perempuan allah asing”. Jadi, perempuan asing yang ditemukan dalam Kitab-kitab Ezra dan Nehemia, disebut ”anak perempuan allah asing”, dengan kata nekar (dari luar negeri).
Ayat 14 juga perlu mendapat penekanan: Tuhan telah menetapkan perkawinan sebagai ketetapan yang tidak boleh diputus kan. Perkawinan bersifat perjanjian. ”Istri masa mu damu” adalah ”istri perjanjianmu: dan Tuhan adalah saksi antara kedua pengantin itu. Perjanjian perkawinan itu fungsinya adalah untuk berbakti kepada Tuhan dalam perjanjian-Nya dengan bangsa-Nya. Apa yang dikehendaki atas kesatuan antara suami istri (baik tubuh maupun roh): keturunan ilahi. Lembaga perkawinan mempunyai dua tu juan: saling menolong dan dikaruniai anak, jika itu di ke hendaki Tuhan. Saling menolong agar bersama-sama menyerahkan kehidupan kepada Tuhan, dan mendidik anak mereka sebagai orang yang sama dengan ayah dan ibunya, hidup dalam perjanjian Tuhan.
Dalam suratnya Paulus menjawab beberapa pertanyaan dari jemaat di Korintus, antara lain tentang perkawinan. Pokok itu dibahas dalam pasal 7. Mulai dari ayat 1, dia mengkritik perkataan beberapa orang di Korintus bahwa lebih baik seorang laki-laki tidak berhubungan fisik dengan seorang perempuan.99 Pandangan seperti itu tidak diterima oleh rasul, karena dia meragukan orang yang bersikap terlalu rohani, karena hal itu justru dapat menimbulkan perilaku seksual yang bebas (1Kor 7:2-9). Betapa pentingnya perkawinan menurut penilaian Paulus, dapat dilihat pada bo bot tulisannya dan bagian tulisannya yang melarang perceraian, bahkan perceraian antara orang yang percaya dan yang tidak percaya (1Kor 7:7-16). Paulus menghargai kesinambungan perkawinan, dan juga membiarkan suami istri yang salah satunya bukan orang percaya,
dapat berguna dalam Kerajaan Allah. Itu yang dia maksud dengan perkataan ”dikuduskan” dalam ayat 14.
Paulus tidak menganjurkan orang Kristen untuk memulai relasi dengan orang yang bukan Kristen, hukum dari Ulangan 7 tetap berlaku, tetapi dia membahas relasi yang sudah sah sebelum yang satu menjadi Kristen. Orang Kristen tidak boleh kawin campur, tetapi perkawinan yang sudah terjalin harus tetap dipelihara.
Di samping itu, rasul juga menegaskan bahwa orang yang percaya tidak perlu memaksa suaminya atau istrinya yang bukan Kristen untuk tidak bercerai. Karena, jika dia hendak bercerai karena istrinya atau suaminya masuk Kristen, dia tidak boleh di paksa untuk tetap terikat pada pasangannya (ay 15). Jadi, dua kali dia menasihati mereka untuk tidak bersikap rohani dengan cara yang tidak sehat. Paulus mengoreksi orang percaya yang ber pendapat bahwa mereka boleh menceraikan pasangannya yang tidak percaya, Paulus juga mengoreksi orang percaya yang yakin akan berhasil membuat pasang annya beriman kepada Kristus meskipun jelas-jelas pasangannya tidak mau.
Secara umum Paulus berkata, adalah baik bagi orang kalau ia tidak kawin (ay 1 dan 8). Paulus sendiri juga tidak beristri ke tika dia menulis surat ini; dalam keadaan demikian, tersedia lebih banyak waktu untuk pelayanan demi kerajaan Allah (ay 25-35). Waktu tidak terlalu banyak hingga tiba saatnya Kristus akan da tang kembali. Pengabdian kepada Tuhan adalah benar dan baik (euskhemoon, ay 35): sikap itu merupakan sebuah pola hidup (skhema) yang sesuai, karena sekarang skhema dunia ini (dunia yang kita kenal) akan berlalu. Tetapi, Paulus tidak memaksa orang untuk tidak menikah.
Sekali lagi Paulus membahas perihal perkawinan. Dia menga takan, ”Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya.” Dalam Perjanjian Baru, kata kerja itu hanya terdapat dalam nas ini. Kata itu diturunkan dari Imamat 19:19 berbahasa Yunani (Septuaginta). Orang Israel tidak boleh mengawinkan dua jenis ternak: sulit kalau dua jenis hewan yang berbeda membajak atau menarik kereta di bawah satu kuk. Ulangan 22:10 menjelaskan maksud nas itu: tindakan itu merupakan siksaan untuk jenis ternak yang lebih lemah da ri pada jenis yang lain; misalnya keledai dipa sangkan dengan lembu. Mengawinkan dua jenis ternak yang berbeda juga akan mele mahkannya.
Melihat latar belakang itu, tepat bila nas ini diterangkan sebagai peringatan terhadap kawin campur. Kemungkinan besar orang Kristen ternyata merupakan orang yang lebih lemah dan akan kehilangan iman. Tetapi, tidak salah juga bila tujuan nas ini dianggap lebih luas dan dipandang sebagai nasihat untuk tiap pergaulan antara orang Kristen dan bukan Kristen. 2 Korintus 6 mengutip Yehezkiel 37, yang juga menunjukkan bahwa orang percaya harus meninggalkan dunia orang kafir yang tidak percaya.
”Maka Allah menciptakan manusia (adam) itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Kata ’adam’ dalam ayat 27 diawali dengan awalan penentu, bukan untuk menunjukkan seorang manusia tertentu, melainkan manusia pada umumnya. Awal an itu mengaitkan ayat 27 dengan ayat 26: ”Berfirmanlah Allah, baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”. Di sana ’adam’ merupakan collectivum: manusia pada umum nya. Dalam Kitab Kejadian 1 dan 2, Adam bukan nama orang.
Dalam ayat 27 terdapat awalan penunjuk (”itu”), pertama dalam bentuk tunggal dan kemudian bentuk jamak, karena ma nusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan. Kata-kata itu pun bersifat umum, menunjukkan jenis kelamin dan bukan menunjuk pada orang tertentu, seperti dalam pasal 2, di mana tertulis ’isy’ dan ’isysya’.
Ayat 28 menyatakan dalam bentuk apa berkat Allah dan perintah Allah datang kepada manusia: seharusnya mereka ber anak cucu dan memenuhi bumi serta menaklukkannya. Tugas itu dapat dilaksanakan karena Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan.
Keduanya adalah gambar Allah, dan harus berada dan bertindak dalam hubungan baik dengan Allah. Selaku gambar Allah, laki-laki dan perempuan sama penting.100 Dan karena orang Kristen menyadari statusnya sebagai gambar Allah, maka dalam memilih jodoh dia akan mementingkan imannya. Bukan kepentingan suku atau keluarga yang diutamakan, melainkan hubungan dengan Allah.
Dalam kehidupan masyarakat di Timur Tengah pergaulan antara muda-mudi agak bebas. Bila mereka jatuh cinta, pada umumnya itu adalah tahap pertama menuju hubungan tetap. Granqvist pernah memperhatikan bahwa di desa, anak-anak telah dijodohkan sejak kecil, tetapi tidak demikian pada orang Bedoein di padang gurun.101 Di antara mereka, cinta mendahului perkawinan. Dalam Alkitab, cinta kasih itu dipuji, khususnya dalam Kitab Kidung Agung.102
Akan tetapi, pengawasan sosial cukup besar. Peraturan yang dikenal dari Ulangan 21:13-21 tetap terjaga di Timur Tengah. Tandatanda keperawanan perlu ditunjukkan sesu dah malam per tama.103 Karena itu, dapat dipastikan bahwa di Israel, seks bebas jarang terjadi. Apalagi, menurut Mace, di Israel bahkan standarnya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di sekelilingnya.104
Dalam puisi kitab ini digambarkan pertentangan perkawinan antara dua orang yang saling mencintai dengan beberapa perkawinan yang dilakukan oleh Raja Salomo. Kitab ini ditulis tidak lama sesudah Salomo wafat. Dalam Kidung Agung 6:4 disebutkan Tirza, yang merupakan ibu kota kerajaan kesepuluh suku, tetapi hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Sangat jelas bahwa perkawinan yang murni seharusnya berbeda dengan tindakan raja yang poligamis itu. Arak-arakan prosesi perkawinan Salomo (Kid 3:6-11) dibandingkan dengan perjalanan dua sejoli yang sa ling mencintai dan mengasihi (Kid 8:5). Unsur lain yang lebih memperjelas adalah ungkapan penutup (Kid 8:11-12): pempelai laki-laki yang adalah orang biasa itu mempersilakan Salomo meng urus kebun anggurnya sendiri yang dimaksud adalah harem yang dimiliki Salomo.
Laki-laki itu mempunyai kebun anggurnya sen diri, yaitu orang yang sangat dicintainya, dengan siapa dia akan menikah. Puisi sebagai mana tercantum dalam kitab ini dinyanyikan dalam pesta perkawinan, yang menceritakan bagaimana kedua ke kasih itu jatuh cinta hingga mereka menikah.
Tidak sedikit penafsir yang berpendapat bahwa dalam puisi Kidung Agung, seks bebas dianggap biasa. Meskipun be berapa bagian dari kitab tersebut mungkin memberi ke san seperti itu, pandangan itu tidak dapat dibenarkan, melihat peraturan hukum yang ada, seperti yang tertera di atas. Bagian-bagian tertentu tersebut perlu diteliti lebih mendalam.105
Dalam Kidung Agung 3:4 pengantin perempuan mengatakan bahwa ia hendak membawa jantung hatinya ke rumah ibunya, ke kamar orang yang melahirkannya. Jadi, calon mempelai perempuan itu menghendaki perkawinan yang direstui oleh orangtuanya. Ibunya disebut juga dalam Kidung Agung 8:2. Di Israel, seorang ibu mempunyai wibawa dan disegani.
Dikatakan oleh beberapa penafsir bahwa Kidung Agung 3:4 menyatakan ru mah orangtua mempelai perempuan menjadi tempat tinggal mempelai pria.106 Penulis berpendapat, bukan itu maksudnya, melainkan hal yang berkaitan dengan persetujuan dari orang tua. Pada saatnya mempelai laki-laki harus datang mengam bil dari rumah mempelai perempuan.
Ibu dari pengantin laki-laki disebut dalam Kidung Agung 8:5, sama seperti ibu Raja Salomo dalam Kidung Agung 3:11. Bahkan di rumah orangtua laki-laki itu mereka jatuh cinta.107 Di bawah pohon apel si gadis menggerakkan rasa cinta teman laki-lakinya, di sana cinta mulai bersemi (Kid 8:5b). Kenyataan bahwa si perempuan boleh mengunjungi rumah teman laki-lakinya, mendukung pandangan penulis tentang adanya struk tur masyara kat yang endogamis. Lakilaki itu jatuh cinta kepada seorang gadis yang tinggalnya tidak berjauhan.
Saudara-saudara laki-laki si perempuan menyuruh dia bekerja di kebun anggur (Kid 1:6). Pada suatu saat, si perempuan berkata kepada kekasihnya, ”Seandainya engkau adalah saudaraku laki-laki, akan kucium engkau di depan umum.” Dalam Kidung Agung 8:8-9, pengantin perempuan bernyanyi yang isinya adalah bahwa saudarasaudaranya laki-laki tetap menjaga kehormatan adik mereka. Kalimat ini juga bertentangan dengan pandangan yang ber kenaan dengan kebebasan seks. Kakak-kakaknya menjaganya, dan dia sendiri pun menja ga dirinya (Kid 8:10). Gadis itu tidak mau disesatkan oleh perempuan-perempuan dari kota besar Yeru salem, yang ber usaha menggoyang keteguhan prinsipnya (Kid 2:7; 3:5; 8:4).
Kepada kedua sejoli diberi peluang untuk saling bertemu (Kid 1:9-2:7; 4:16; 5:1; 7:6-13). Bila si gadis sedang berbaring, memikirkan kekasihnya dan merenungkan bagaimana ke adaannya nanti sesudah mereka menikah (Kid 3:1-5; 5:2-7). Hanya saja, gadis itu seperti kebun tertutup, mata air berme terai atau tembok bermenara (Kid 4:12; 8:10). Keadaan seperti itu yang diinginkan oleh saudara-saudaranya laki-laki, demikian juga keinginannya sendiri; kekasihnya tahu tentang hal itu dan dia menghormatinya.
Di dalam kota ada ronda malam untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang melanggar kesusilaan. Ketika dalam salah satu mimpinya, si gadis keluar rumah pada waktu malam untuk mencari kekasihnya, para peronda mendatanginya dan merampas selendangnya serta memukulinya (Kid 5:7).108
Banyak juga orang yang suka menggoda para gadis. Pada waktu mereka sedang berjalan-jalan di taman dengan tiba-tiba di ke lilingi oleh sekelompok pemuda, dipimpin oleh seorang yang berna ma Amminadab (dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indo nesia 1974, nama itu tidak muncul tetapi digan ti dengan: kereta seorang bangsawan), salah seorang yang mengajaknya menari. Si gadis menolak. Demikian yang ke mu dian diceritakan kepada ke kasihnya, karena ia bukan seorang penari untuk tentara (Kid 7:1).109 Karena cintanya dan untuk menghibur kekasihnya, bernyanyilah si pemuda tentang keelokan paras kekasihnya (Kid 6:11-13).
Ungkapan-ungkapan dalam nyanyian itu, baik tentang perempuan, maupun tentang laki-laki sungguh realistis. Di ungkapkan bahwa laki-laki terpesona pada keindahan tubuh seorang gadis, tetapi dia tidak mengajaknya untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Wajahnya diselubungi (Kid 4:3), buah dadanya indah megah seperti menara (Kid 8:10), bagaikan benteng yang tidak terkalahkan. Ungkapan paling intim adalah nyanyian dalam Kidung Agung 7:6-9; terjadi kontak fisik yang intim tanpa mela kukan persetubuhan.110
Si gadis kadang-kadang disebut ”pengantin”, meskipun hal itu belum terjadi, atau adik, yang sebenarnya bukan (Kid 4:10, 12; 5:1). Itu adalah sebutan-sebutan sayang.
Cinta kasih dipuji sebagai pemberian Allah (Kid 8:6-8). Kidung Agung juga mengajarkan bahwa pemberian itu perlu dite rima dengan penuh syukur dan dilakukan dengan hati-hati.
Harga kawin tidak tercantum di kitab ini. Para kekasih sadar bahwa sejak mereka jatuh cinta kedua keluarga menyaksikan dan mendukung. Perkawinan yang mereka ke hendaki adalah peristiwa yang patut direstui keluarga dan tentunya dirayakan bersama dengan masyarakat setempat.
Faktor utama dalam pertunangan adalah penyerahan mohar, untuk memperoleh istri (arasy: Kel 22:15; Ul 20:7; 22:23; 28:30; 1Sam 18:28; 2Sam 3:14). Betapa pentingnya pertunangan, tampak dalam hukum-hukum perang yang dapat dibaca dalam Ulangan 20 dan 24. Dalam hal berperang, laki-laki yang sudah bertunangan atau yang baru saja menikah mendapat perlindungan. Seseorang yang sudah bertunangan harus pulang ke rumah dahulu, kemudian menikah, dan tiap orang yang baru menikah seharusnya satu tahun berada di rumah bersama istrinya sebelum ia boleh ikut berperang. Ulangan 22 membuktikan bahwa secara hukum, bertunangan sama dengan sudah menikah, karena dalam hal zina, hukuman yang dijatuhkan sama beratnya (Ul 22:13-30).
Menurut Neufeld, di Israel, sama seperti di Babel dan Asyur, seorang perempuan yang bertunangan telah dianggap sebagai istri yang sah. Perlu sedikit waktu antara hari per tunangan dan hari perkawinan. Tanggal perkawinan dapat juga ditentukan pada saat bertunangan. Anggaran mulai disusun. Alkitab tidak menyebutkan hukuman atau denda dalam hal pemutusan hubungan pertunangan. Mungkin itu yang berlaku di Israel seperti pada bangsa Semit lainnya.111
Patai bercerita tentang adat orang Beduin, yaitu bahwa mereka yang bertunangan tidak boleh saling bertemu sampai hari perkawinan mereka. Kalaupun mereka harus berada di tempat yang sama, calon pengantin perempuan harus menutup wajahnya dengan kerudung.
Bandingkan sikap Ribka, ketika mendengar bahwa Ishak, bakal suaminya, sudah hampir sampai untuk menjumpainya.112
Kasus pertunangan yang paling terkenal dalam Alkitab adalah kisah Yusuf dan Maria. Silsilah Tuhan Yesus dalam Matius 1 dengan jelas menggambarkan kekhususan hubungan itu. Garis ke tu runan Raja Daud sampai Yusuf digambarkan. Tertulis di sana: ”Yusuf, suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus”, sedang tentang semua bapa leluhurnya termasuk ayahnya sendiri, dikatakan bahwa ”mereka telah memperanakkan ...”, dan seterusnya. Dua ayat yang lain mengatakan, ”Menyangkut Yesus Kristus itu, kelahiran-Nya adalah seperti berikut. Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ....”
Pada masa itu agaknya hal bertunangan adalah masalah kedua calon mempelai secara khusus.113 Dua kali Maria dinamakan ”istri Yusuf” (Mat 1:20, 24), sesuai dengan status hukumnya. Ayat 19 mengatakan bahwa Yusuf bermaksud menceraikannya diam-diam (apoluein: status bertunangan, sama seperti perkawinan, juga dapat diputuskan melalui per ceraian).
Kedua pengantin berasal dari suku Yehuda dan masing-ma sing termasuk keturunan Raja Daud, yang di dalamnya hubung an Yusuf dengan keluarga Daud paling dekat (ay 16 dan 20). Hubungan Maria dengan keluarga raja itu tampak dalam Lukas 1:27, berkaitan dengan ayat 34. Maria bertanya bagaimana mungkin dia akan melahirkan seorang anak laki-laki, yang akan dika runiai takhta ayahnya Daud, selama dia dengan Yusuf belum hidup sebagai suami istri. Pertanyaan itu menyatakan bahwa Maria pada saat itu hanya terarah pada relasi antara keluarga aja dan dia sendiri, dan tidak memikirkan status Yusuf. Ternyata dalam relasi Yusuf dan Maria terdapat juga relasi endogami.
Sebelum mereka hidup sebagai suami istri, ternyata Maria mengandung dari Roh Kudus. Itu sebabnya Yusuf hendak menceraikannya secara diam-diam. Maria telah mendengar dari malaikat Gabriel tentang mukjizat yang terjadi atas diri nya, dan tentu saja kemudian menceritakan hal itu kepada Yusuf. Karena itu, Yusuf tidak kecewa atau merasa di permalukan, sebagaimana yang sering ditafsirkan, tetapi berpendirian bahwa dalam keadaan Maria yang sangat suci itu perkawinan mereka tidak dapat dan tidak boleh terjadi.114
Akan tetapi, Gabriel berkata, ”Janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu” (ay 20). Pada hari-hari tertentu, bahkan sebelum hari perkawinan, Yusuf dan Maria mengatur bagaimana mereka hidup bersama.115
Pada hari perkawinan, pengantin laki-laki diiringi oleh para sahabat menjemput pengantin perempuan dari rumah orangtuanya dan membawanya ke rumah orangtua pengantin laki-laki (Hak 14:11; Mat 9:15). Salah seorang dari sahabat itu merupakan pemimpin, yaitu paranimf (Yoh 3:39). Para sahabat itu kadang-kadang disebut ”teman-teman dari kamar mempelai”. Pengantin perempuan juga diiringi oleh sahabat-sahabatnya. Adakalanya kedua iring-iringan itu bertemu di tengah jalan.116 Di rumah orangtua mempelai lakilaki telah diatur kamar pengantin untuk mempelai itu. Pesta dapat berlangsung hingga tujuh hari, dimulai sejak mereka resmi menjadi suami istri.
Mungkin saja selama beberapa abad ada satu adat yang dilakukan, yaitu menyelubungi pengantin perempuan dengan pakaian lelaki, dengan mengatakan: tidak seorang pun berhak menutupi engkau, kecuali satu. Adat seperti itu tetap berlaku pada suku Beduin, dan mungkin itu juga yang dimaksudkan dalam Rut 3:9 dan Yehezkiel 16:8.117
Van den Toorn berbeda pendapatnya, dia menyamakan Israel dan Babel, dengan menekankan bahwa pesta berlangsung di rumah orang tua perempuan, dan sesudah empat bulan mempelai pindah ke rumah mempelai laki-laki.
Perumpamaan ini (Mat 25:1-13) menggambarkan adanya pesta di rumah pengantin laki-laki.118 Pengantin laki-laki bersama para sahabatnya telah pergi ke rumah pengantin perempuan, dan mereka diharapkan akan segera pulang. Teman-teman lain dari pengantin laki-laki, termasuk gadis-gadis dari kampungannya, sedang menantikan mereka.
J. Jeremias memperkirakan bahwa kedatangan mempelai tertunda karena proses pengurusan finansial yang berlangsung agak lama dengan orangtua mempelai perempuan. Jeremias pernah meng alami sendiri hal seperti itu ketika menghadiri perkawinan di salah satu kampung di Arab pada awal abad ke-20. Menurut Van Bruggen, pengalaman Jeremias itu tidak relevan, sebab pada kurun waktu sembilan belas abad, tentu banyak hal telah berubah. Penulis berpendapat bahwa adat perkawinan di daerah yang tertutup justru tidak terlalu banyak berubah.119
Sudah jelas bahwa adat perkawinan di Israel mau pun pada bangsabangsa sekeliling mempunyai latar bela kang sama, yaitu budaya Semit. Namun, hukum Israel ada lah hukum yang diberikan oleh Allah. Ujung tombak per aturan-peraturan di Israel berbeda dengan bangsa-bangsa te tangga. Peraturan-peraturan yang menyangkut ibadah dan persembahan tentu berbeda, begitu pula peraturan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, karena mengenai hal itu Allah juga menyatakan kehendak-Nya. Meskipun dengan menggunakan sekian banyak kebiasaan-kebiasaan yang terkenal di dunia Timur Tengah waktu itu, Allah memberi hukum-Nya yang patut dipatuhi oleh bangsa perjanjian.
Dari dahulu hingga sekarang gereja Kristen menggumuli masa lah tentang bagaimana penyataan Allah diterapkan pada budaya setempat. Dan justru pokok itu juga yang digu muli dalam studi ini, yakni tentang harga kawin. Apakah kita dapat belajar dari tinjauan sekilas tentang peraturan dan budaya di Israel dibandingkan dengan dunia sekitarnya? Sean dainya bangsa Israel dalam segala hal harus mengikuti suatu pola kehidupan yang berbeda total dengan budaya lain, mungkin kita berkesimpulan bahwa gereja masa kini juga harus menentang segala unsur kebudayaan negara dan bangsa. Tetapi, seandainya budaya di Israel dalam banyak aspek mirip dengan yang ada di sekitarnya, pertentangan total antara gereja dan masyarakat untuk masa kini mungkin tidak perlu ada. Tinggal pertanyaan, dalam hal apa yang layak disesuaikan, dan dalam hal apa yang tidak. Secara khusus kita mengamati unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan perkawinan.
Patai telah menunjukkan bahwa hukum di Israel dalam ma salah pemerkosaan tidak seberat hukum pada bangsa tetangga. Di Israel, dalam hal pemerkosaan, hukuman yang dijatuhkan ada lah hukuman mati, jika dilakukan terhadap istri seseorang (atau perempuan yang sudah bertunangan). Jika hal itu dilakukan terhadap gadis yang belum bertunangan, pelaku boleh menikahinya, asal ayah si gadis menyetujui. Kalau tidak, mohar harus dibayar sebagai tebusan.120
Mace mengatakan bahwa di Israel hal kesusilaan yang ber kaitan dengan perkawinan mendapat perhatian lebih tinggi dari pada di tempat lain.121 Hukum-hukum tentang kesu silaan dalam perkawinan seperti yang tertulis dalam Imamat 18 juga berlaku bagi orang asing (ay 26). Berarti: hendak nya masyarakat bersatu dalam moralitas tentang perkawinan dan seksualitas.
M. David pernah memperbandingkan Codex Hammurab dari Babel dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Ke luaran.122 Menurut dia, patut disangsikan apakah kedua hukum itu satu sumbernya, atau bahwa yang satu bersumber pada yang lain. Masingmasing terbentuk di masyarakat sendiri, sedangkan pola masyarakat juga berbeda. Tetapi, J.G. Aalders berkata tentang Kitab Perjanjian yang ditemukan dalam Keluaran 20:22-23:33, bahwa hukum itu bukan suatu ciptaan baru, melainkan pembaruan dari hukum lama yang sudah ada; dia mengatakan: bukan revolusi, melainkan reformasi dari undang-undang yang ada, tetapi kadang-kadang juga benar-benar baru karena merupakan hukum dari Allah sendiri yang ditujukan kepada bangsa perjanjian.123
Keluaran 21:7-11 membahas tentang kasus seseorang yang menjual anaknya perempuan menjadi hamba. Jikalau seseorang telah membeli seorang hamba dari bangsa Ibrani, maka hamba itu harus melayaninya selama enam tahun dan harus dibebaskan dalam tahun yang ketujuh (bnd Ul 15:12, dst). (Kemudian hukum ini diubah: pembebasan hamba terjadi pada tiap tahun yang ke-50, tahun Yobel). Seseorang dapat menjual dirinya menjadi hamba karena miskin (Im 25:39). Seseorang yang datang sendiri, juga dibebaskan seorang diri. Seseorang yang datang bersama istrinya, akan dibebaskan bersama dengannya. Tetapi, jika tuannya telah memberikan seorang istri kepada hambanya, yang kemudian melahirkan anak baginya maka perempuan itu bersama anaknya tetap menjadi milik tuannya dalam tahun yang ketujuh. Laki-laki itu juga dapat tetap tinggal sebagai hamba di rumah tuannya jika dia mau.
Berbeda dengan kasus orang yang menjual anaknya perempuan untuk menjadi istri seseorang. Latar belakangnya tentu juga karena kemiskinan. Mungkin maksudnya ada lah dijadikan istri simpanan atau gundik. Jadi, gadis itu dikawinkan oleh ayahnya kepada seseorang. Tetapi, karena gadis itu dijual dengan tujuan untuk dijadikan istri maka tidak boleh diperlakukan seperti hamba. Dia telah menjadi seorang istri, meskipun istri simpanan. Dia juga tidak akan dibebaskan pada tahun ketujuh, karena telah diambil menjadi istri. Dia juga tidak boleh diperjualbelikan, sebab statusnya bukan budak belian, melainkan istri.
Jikalau seseorang membeli gadis untuk dirinya sendiri, hal itu berbeda dengan kalau membeli untuk anaknya laki-laki. Jikalau gadis yang diperistri itu tidak suka kepada tuan nya, si tuan ha rus melepaskannya, tetapi harus diatur agar ada tebusan yang di lakukan, entah oleh ayah si gadis atau oleh anggota keluarga yang lain. Si gadis dapat kem bali ke rumah orangtuanya, atau diambil istri oleh orang lain yang menebusnya. Tetapi, dia tidak boleh dijual seba gai hamba. Sebab, dia dijadikan istri, dan jika tuannya tidak menghendakinya lagi, dia bertanggung jawab untuk membebaskannya secara baik.
Jikalau dia membeli gadis itu untuk anaknya laki-laki, sudah seharusnya dia memperlakukannya sebagai menantu, bukan seba gai budak. Jika si suami, entah itu tuannya sendiri atau anaknya lakilaki mengambil istri baru yang lain, si suami harus tetap ber tanggung jawab atasnya. Seandainya dia tidak lagi diperlakukan sebagai istri, dia berhak pergi tanpa membayar tebusan. Dia juga tidak perlu menunggu sampai tahun ketujuh. (Budak-budak atau hamba yang dimaksudkan dalam Ul 15, dan yang dimerdekakan dalam tahun ketujuh, ternyata semata-mata merupakan tenaga kerja, bukan istri.)
Perempuan yang telah menjadi jarahan dalam perang, dapat dijadikan istri simpanan (Ul 21:10-14). Dalam hal ini diatur bahwa laki-laki yang menjarahnya harus menentukan apakah jarahannya itu akan dijadikan istri atau tidak. Jelas tidak ada mohar dalam hal ini. Tetapi, selama satu bulan dia tidak boleh menjamahnya, seperti yang berlaku pada tahap per tunangan. Di samping itu, dia tidak boleh mengambilnya dengan kekerasan. Demikian juga, dia tidak boleh menjual perempuan yang dinikahinya itu sesudah beberapa waktu lamanya. Karena perempuan itu sudah menjadi istri nya, artinya, bila dia tidak menghendakinya, dia harus membebaskan istrinya itu atau memeliharanya seumur hidup.
Berbeda dengan situasi di Israel, masyarakat di Babel mempunyai pembedaan golongan. Di Babel, jika istri pertama telah memberikan seorang hamba sebagai istri simpanan kepada suami nya, dia boleh menjualnya kalau istri simpanan itu tidak melahirkan anak baginya. Tetapi, jika istri simpanan memberi dia anak, si istri tidak boleh menjualnya. Tetapi, bila perilaku istri simpanan menjadi sombong dan merasa setara dengan istri utama karena dia mempunyai anak atau anak-anak, maka istri utama dapat memberi cap hamba kepadanya dan memperlakukannya sebagai hamba juga.
Dalam dunia Perjanjian Lama terjadi perbudakan, ada juga budak yang dijadikan istri simpanan. Tetapi, perbudakan di Israel itu sangat terbatas dan dilindungi oleh berbagai peraturan yang manusiawi.124 Seorang budak perempuan yang dijadikan istri simpanan harus diperlakukan sebagai istri atau mungkin sebagai istri simpanan, bukan sebagai hamba. Hal ini, menunjukkan bahwa di Israel perkawinan dijunjung dan bernilai tinggi, juga dalam kasus seorang budak yang dijadikan istri.
Imamat 18 tidak hanya mencegah inses, tetapi juga mengatur hal-hal khusus yang berkaitan dengan perkawinan. Pada masa lalu terdapat budaya poligami di Israel, sebagaimana di wilayah sekelilingnya. Tetapi, dalam Imamat 18 terdapat aturan yang membatasinya. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan mengambil perempuan sebagai istrinya sekaligus anak perem puan atau cucu dari perempuan tersebut, meskipun itu dalam kaitan dengan per budakan. Kalau hal itu dilakukan, perempuan hanya dianggap sebagai alat belaka. Dengan alasan yang sama, dilarang juga untuk menikah dengan dua perempuan yang bersaudara (seperti yang pernah dilakukan oleh Yakub, ay 17-18). Poligami mengganggu kesatuan dan persatuan antara suami dan istri, lebih-lebih kalau seorang perempuan harus membagi suaminya dengan saudaranya sendiri.125
Juga pada masa para rasul dalam Perjanjian Baru, poligami belum dilarang sepenuhnya. Dalam budaya Yunani-Romawi memang ada. Tetapi, jelas sekali arah nasihat Paulus ketika dia ber kata
III Alkitab dan Harga Kawin kepada Timotius bahwa untuk menjadi penatua, seseorang jangan mempunyai istri lebih dari satu (1Tim 3:2).
1 Timotius 5:11, dan seterusnya, membicarakan posisi janda-janda di jemaat dan menyatakan betapa pentingnya kedudukan perempuan dalam dunia Perjanjian Baru. Mereka bukan alat atau perkakas, sebagaimana kadang-kadang dikatakan dengan salah menafsirkan 1 Tesalonika 4, dan 1 Petrus 3. Keingingan untuk menikah juga boleh datang dari pihak perempuan, bahkan Paulus mendorongnya (1Tim 5:14), jadi bukan hanya keinginan dari pihak laki-laki. Hanya, menyangkut janda-janda yang sudah mencapai usia cukup lanjut dan yang telah berjanji untuk tidak menikah lagi tetapi melayani Tuhan dalam jemaat, Paulus berkata bahwa hendaknya setia dan menepati janji mereka. Janda-janda muda jangan diterima dalam tugas khusus di jemaat, karena mereka akan kesulitan untuk menepati janjinya.126
Di kalangan masyarakat Yunani pada saat itu, seorang gadis dapat dijadikan istri, sama seperti kebiasaan di kalangan Yahudi. Kata kerja gamizein (1Kor 7:38), cukup jelas. Hanya saja, kata kerja dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, terjemahannya menjadi ”kawin dengan”. Bukan berarti bahwa kebiasaan seperti itu dianjurkan, meskipun pada waktu itu diperbolehkan oleh Rasul Paulus. Perbudakan juga tidak langsung dihapus (1Kor 7:21, 24; Flm). Akan tetapi, rasul berkata bahwa seorang laki-laki yang menikahi perempuan, harus melakukannya dengan cara yang ber tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Paulus juga telah berkata bahwa orang merdeka maupun hamba harus menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Seorang hamba yang ingin merdeka, harus berprinsip: sungguh baik bila dia merdeka, tetapi akan lebih baik lagi bila dia melayani Tuhan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alang kah baiknya bila seorang gadis tidak dikawinkan oleh orang tuanya, tetapi yang lebih penting ialah segala tingkah laku diarahkan kepada Tuhan dan kerajaan-Nya.
Dalam ayat 38 sebenarnya dikatakan bahwa siapa yang menikahkan anak gadisnya, dia berbuat baik, siapa yang tidak melakukannya akan lebih baik lagi. Gadis adalah terjemahan dari parthenos, artinya bukan hanya anaknya. Karena mungkin selain ayah yang bertanggung jawab untuk mengawinkan, dapat juga paman atau kakak, atau wali.127 Jika seseorang yang mempunyai tanggung jawab atas seorang gadis yang ingin menikah, dia harus mengatur supaya gadis itu dapat menikah. Jika dia menengarai bahwa keadaan tidak menikah itu tidak baik bagi gadis itu (askhemon), hendaklah ia bertindak. Tetapi, yang tidak boleh terjadi adalah kalau gadisgadis ditindas. Penindasan itu dapat terjadi karena keluarga, dengan alasan apapun, melarang sebuah hubungan yang dikehendaki anak perempuan itu, atau si gadis dipaksa menikah, padahal dia tidak mau. Menurut 1 Korintus 7:35-38, hal-hal seperti itu tidak boleh terjadi. Catatan kaki 1 Millar Burrows, The basis of Israelite marriage, 1938, hlm 48, 49. 2 Karel van der Toorn, Van haar wieg tot haar graf, 1987, hlm 58-61. 3 Otto Procksch, Die Genesis, 1924, hlm 152; G.Ch. Aalders, Het boek Genesis, II, 1936, hlm 150. 4 R. Patai, Family, Love and the Bible, 1959, hlm 55. 5 Morgernstern, o.c., 1931, hlm 50, 51 6 Sekalipun ada penafsir yang menyangkal bahwa ini adalah harga kawin, Aalders, o.c., hlm 149, menurut penulis, pendapat ini dapat diperta hankan, bahwa memang inilah maksud pemberian itu: sebab tanda yang diminta dari Tuhan telah diberikan kepada hamba itu. 7 F.M.Th. Böhl, Genesis, I, 1923, hlm 158. Di kota Nuzi, Mesopotamia, sering terjadi bahwa saudara laki-laki meneruskan isi kawin yang diterimanya kepada pengantin perempuan, K. Grosz, Dowry and Brideprice in Nuzi, 1981, hlm 172. 8 T.L. Thompson, The historicity of the patriarchal narratives, 1974, hlm 249 v. 9 Böhl, Genesis, II, 1925, hlm 68, 74; Patai, o.c., hlm 201. 10 Morgenstern, o.c. (1929), hlm 92; o.c. (1931), hlm 52.
Dalam ayat 38 sebenarnya dikatakan bahwa siapa yang menikahkan anak gadisnya, dia berbuat baik, siapa yang tidak melakukannya akan lebih baik lagi. Gadis adalah terjemahan dari parthenos, artinya bukan hanya anaknya. Karena mungkin selain ayah yang bertanggung jawab untuk mengawinkan, dapat juga paman atau kakak, atau wali.127 Jika seseorang yang mempunyai tanggung jawab atas seorang gadis yang ingin menikah, dia harus mengatur supaya gadis itu dapat menikah. Jika dia menengarai bahwa keadaan tidak menikah itu tidak baik bagi gadis itu (askhemon), hendaklah ia bertindak. Tetapi, yang tidak boleh terjadi adalah kalau gadisgadis ditindas. Penindasan itu dapat terjadi karena keluarga, dengan alasan apapun, melarang sebuah hubungan yang dikehendaki anak perempuan itu, atau si gadis dipaksa menikah, padahal dia tidak mau. Menurut 1 Korintus 7:35-38, hal-hal seperti itu tidak boleh terjadi.
24 Burrows: Mohar mengesahkan pertunangan, bukan perkawinan. o.c, hlm 21.
schrift für die Alttestamentliche Wissenschaft, 67 (1955), hlm 1-25, artikelnya berjudul ”Das Gesetz Leviticus 18”. o.c., hlm 239.