Bagian 2 telah menggambarkan adat perkawinan di Sumba Timur, dengan fokus pada masyarakat dan budaya Sumba secara keseluruhan. Di Sumba harga kawin yang utama adalah belis.
Bagian 3 telah menggambarkan adat perkawinan di Timur Tengah, khususnya berdasarkan data-data Alkitab mengenai pengurusan perkawinan. Di Israel dan juga di Timur Tengah pada saat ini, harga kawin yang utama adalah mohar, suatu isi kawin yang tidak langsung, yaitu pemberian dari pihak pengantin laki-laki atau keluarganya kepada keluarga pengantin perempuan, dengan maksud untuk diteruskan kepada pengantin perempuan.
Pola kekeluargaan di Timur Tengah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: endogami, patriarkat (bapa yang berwi bawa), patrilineal (keturunan dan pewarisan melalui garis bapak), patrilokal (rumah keluarga baru berada dekat rumah ayah laki-laki), poligyn (bersifat poligamis: seorang laki-laki berhak mengambil istri lebih dari satu). Selain itu, keluarga menyatakan diri sebagai bagian dari keluarga besar (suku).1
Akan tetapi, dalam masyarakat Sumba tidak semua aspek tersebut ditemukan. Masyarakat Sumba memang patriarkat, tetapi tidak mutlak: hak seorang ayah terhadap anak-anaknya terbatas. Di Sumba tidak terdapat endogami, tetapi eksogami. Melihat per bedaan tersebut maka jelaslah bahwa Alkitab tidak secara langsung memberikan pedoman untuk adat perkawinan di Sumba. Tetapi, perlu dipahami bahwa bagi seorang Kristen, demikian juga di Sumba, Firman Tuhan adalah terang bagi kakinya dan pelita untuk jalannya (Mzm 119:105).
J. Douma pernah menyebut tujuh ciri perkawinan: 1) hubungan yang eksklusif; 2) hubungan yang intensif (erat); 3) pembentukan keluarga; 4) pencegahan perzinaan; 5) untuk seumur hidup; 6) diakui oleh masyarakat; dan 7) arti yang relatif (tidak kekal).2
Penelitian tentang pem-belis-an di Sumba mendukung ciri-ciri itu. Ketiga unsur dasar yang dikemukakan oleh Leidse School untuk menggambarkan budaya sebagai Field of Antropological Study, dapat menolong kita untuk lebih mema hami masyarakat Sumba. Ketiga unsur itu harus dipandang secara berkaitan.
Nyata bahwa budaya Sumba menghendaki perkawinan cross- cousin yang matrilateral. Mengapa? Karena perkawinan ini merupakan suatu perkawinan preskriptif yang agak seder hana, cocok untuk mengikat kabihu-kabihu yang ekso gam. Hal itu sering di lakukan bersamaan dengan penyembahan kepada nenek moyang.
Tidak semua cara pengurusan perkawinan harus dito lak, tetapi perkawinan cross-cousin yang matrilateral, seba gai tun tutan. Karena pertalian seperti itu tidak lagi di perlukan untuk membangun masyarakat suku, sedang penyembahan terhadap nenek moyang tetap diberi peluang.
Adalah baik bila berdasarkan konsep FAS, kita perhatikan ketu- runan unilineal kembar. Ternyata garis keturunan seperti itu memang tidak terdapat di Sumba Timur, dan anggapan bahwa perempuan Sumba itu tertindas sebagaimana yang diduga oleh zending pada wak tu lampau juga tidak benar. Menolak pem-belis-an dengan alasan akan merendahkan perempuan merupakan hal yang berlebihan.
Nyata juga bahwa dalam wawasan orang Sumba, dualisme sosio-kosmos mempunyai pengaruh yang penting dan sering muncul dengan corak-corak seksual. Tuan tanah, yaitu leluhur dari kabihu pemilik tanah, disembah, demikian juga kaum bangsawan. Tiap keluarga pemberi perempuan dianggap lebih tinggi daripada peng ambil perempuan. Pemantauan dari sisi antropologi budaya ini membuat jemaat sadar. Orang Kristen meyakini bahwa pemilik tanah itu bukan dewa tuan tanah, melainkan Tuhan Allah. Mereka juga menyadari bahwa suku yang menganggap diri tuan tanah hanyalah manusia biasa, demikian juga kaum bangsawan.Terakhir, keluarga pemberi perempuan boleh dihormati, tetapi bukan sebagai pemberi kesuburan, karena kesuburan itu datangnya dari Tuhan.
Dalam pasal ini kita akan mengikuti kesebelas pokok dari Bagian 2 tentang pem-belis-an di Sumba Timur, dikaitkan dengan hasil penelitian data-data Alkitab dari Bagian 3. Hanya saja, pokok perta ma dari Bagian 2 tidak perlu diuraikan karena membahas tanah dan pemukiman. Cara pemukiman tradisional telah ditinggalkan sejak lebih satu abad yang lalu. Perkampungan lama biasanya tidak lagi dihuni, dan keharusan tinggal di pemukiman patrilokal sering diabaikan. Di daerah mana keluarga baru itu mendapat pekerjaan atau ladang garapan, di situ juga keluarga itu boleh tinggal dan meninggalkan desa asalnya.
Tidak dapat disangkal bahwa pada masa lalu pengurusan perkawinan dan penyembahan nenek moyang saling ber kaitan, karena hubungan antara kabihu, tanah, dan agama sangat erat. Namun, kenyataan itu tidak menjadi keharusan bagi orang Kristen untuk menolak segala kebiasaan budaya. Penyembahan berhala telah muncul ketika Allah tidak lagi dikenal (Rm 1:25). Tidak berarti bahwa Allah telah meninggalkan manusia dan telah mengambil dari manusia segala hikmat (Rm 2:14). Adat perkawinan bercorak agamiah, tetapi terdapat juga kebiasaan yang baik dan tidak ternoda oleh agama suku.
Menurut Alkitab, kebiasaan-kebiasaan Israel tidak selalu berbeda total dari budaya bangsa di sekelilingnya, termasuk dalam halhal yang berhubungan dengan perkawinan. Te tapi, hukum Allah kadang-kadang meluruskan beberapa kebiasaan yang dija lankan.
Saran: Hendaknya dalam khotbah dan katekisasi jemaat diarahkan ke berita Firman Tuhan tentang perkawinan, khususnya Kejadian 2 yang menunjukkan pimpinan Tuhan pada penyelenggaraan tiap perkawinan. Adat perkawinan tidak mudah disa lahgunakan, jika jemaat mau bergantung pada Allah dan hidup dekat dengan-Nya.
Khusus untuk Sumba: Hendaknya dalam khotbah dan katekisasi di GGRI ajaran diberikan sesuai dengan ”Formulir peneguhan/pemberkatan nikah” yang berlaku dalam GGRI.
Beberapa pasal dalam Kitab Bilangan (Bil 27, 36) menunjukkan dalam pandangan orang Israel yang dianggap penting bukan keluarga besar, melainkan yang kecil, yaitu bet-ab; demikian juga dalam Kitab Rut. Karena sering ada anggapan bahwa nama seorang ayah harus ditegakkan di tengah-tengah kaumnya, mela lui perkawinan anakanaknya, maka anak-anak perempuan dari Selofkhad harus menikah di dalam keluarga, dan karena itu Obed, anak Rut, juga disebut ”penebus Naomi” (Rut 4:14). Akan tetapi, bila nama mendapat prioritas di atas kepentingan-ke pentingan lain, ada kemungkinan akan terjadi penyelewengan seperti ”mencari nama”. Dalam Alkitab dapat dilihat bahwa anak-anak ber terima kasih atas warisan yang diberikan Allah kepada nenek moyang. Dan berkat berupa keturunan memang penting demi menjamin nama keluarga. Tetapi, lebih dari itu, karena keluarga boleh mengabdi kepada Tuhan dalam perjanjian yang diikat Allah dengannya.
Perkawinan ipar juga mempunyai tujuan yang sama. Tetapi, keharusan perkawinan seperti itu berlaku bila keluarga-keluarga yang bersangkutan tinggal berdekatan (Ul 25). Hanya dalam keadaan seperti itu seorang laki-laki harus menikahi istri saudaranya yang telah meninggal. Jadi, ”mempertahankan nama” bukan merupakan tujuan utama.
Dalam Kejadian 2:24 juga dapat dilihat bahwa hubungan dalam perkawinan lebih penting daripada hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu, tidak secara mutlak dilarang untuk menikah di luar suku. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu, yang berkaitan dengan hak warisan, secara mutlak diatur untuk menikah di dalam suku (Bil 36).
Sistem endogami yang lazim di Timur Tengah memperlihatkan suatu masyarakat yang berbeda dengan sistem eksogami di Sumba Timur. Di sana, Zending mengikuti peraturan adat yang menyang kut eksogami, tetapi karena di tengah masyarakat Israel per aturan tentang pemilihan jodoh tidak mengikat secara total, dapat dianjurkan agar di Indonesia ”perkawinan cross-cousin yang preskriptif” juga tidak dianggap harga mati.
Bagi orang Kristen, Allah adalah saksi nikah. Allah mengatur kepentingan keluarga dan warisannya bagi orang Israel, dan Allah layak disembah pada upacara perkawinan dari tiap anak-Nya. Laki-laki dan perempuan jangan bertindak seolah-olah perkawinan adalah hanya urusan mereka sendiri, sebab kepada tiap orang telah Allah berikan satu kedudukan dalam keluarga dan masyarakat. Janji sebagaimana yang diucapkan pada saat perkawinan amat penting di tengah masyarakat demi keharmonisan rumah tangga baru dan kedudukan anak serta harta miliknya. Perkawinan adalah satu perjanjian agar setia seumur hidup. Karena itu, makna perkawinan lebih dari kontrak yang dapat diatur di hadapan notaris. Karena sifatnya sebagai perjanjian, lembaga perkawinan itu sesuai dengan data-data Alkitab dan perlu dipertahankan oleh gereja.
Saran umum: Hendaknya dalam khotbah dan katekisasi, Kerajaan Allah diutamakan, sehingga gereja menguatkan keluarga masing-masing agar mereka jangan takut kehilangan muka sesuai pandangan adat. Karena bukan nama di dunia ini yang penting, melainkan kedudukan dalam Kerajaan Allah.
Khusus untuk Sumba: Hendaknya adat lama mengenai pilihan jodoh dari kabihu tidak dapat diikatkan dalam gereja.
Pada abad-abad terakhir, perbudakan telah dilarang di hampir semua tempat. Tetapi, pada masa lalu perbudakan merupakan salah satu faktor penggolongan pada masyarakat Sumba. Penggolongan itu terdiri dari tiga golongan: bangsawan (umbu), orang merdeka (kabihu), budak (ata). Di Sumba Timur secara resmi perhambaan telah hilang, tetapi secara tersembunyi masih ada, khususnya dalam golongan hamba keluarga, yang mengikatkan diri kepada rumah tangga seorang umbu.
Hendaknya gereja bersikap kritis terhadap perhambaan, tetapi memang tidak mungkin mengharuskan perhambaan langsung dihapus. Paulus tidak melarang perbudakan, tetapi dia berpesan kepada orang Kristen bahwa dalam gereja, hak seorang hamba sama dengan hak setiap orang (1Kor 7:21, 24; Gal 3:28; dan Flm). Firman Tuhan mengajarkan bahwa pemerintah harus disegani (Rm 13), dan sekaligus menyatakan betapa seseorang berada dalam ber bagai ancaman bila dia mempunyai kedudukan yang tinggi (Ul 17:14-20).
Perlu ditekankan bahwa adat perkawinan harus ditolak, sejauh adat itu dimaksudkan untuk mempertahankan perbe daan tingkat. Karena bukan tingkat yang merupakan syarat utama dalam memilih jodoh, melainkan iman, keanggotaan gereja, dan saling mengasihi. Karena itu, yang juga penting adalah bahwa tiap perkawinan didahului oleh masa perke nalan, tidak hanya bagi kedua calon mempelai, tetapi juga untuk kedua keluarga, terlebih jika terdapat perbedaan tingkat atau perbedaan ras. Bila seandainya terbukti bahwa relasi tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat maka alangkah baiknya masa perkenalan tidak dilanjutkan ke jenjang perkawinan.
Saran: Hendaknya gereja membela hak orang muda yang ingin menikah, bila keluarga tidak menyetujui keinginan mereka dengan alasan yang tidak benar. Misalnya asal/status calon dianggap rendah, atau karena keluarga ingin mencari keuntungan. Dalam hal yang demikian, gereja terpanggil untuk membela orang muda dan memberi nasihat kepada orangtua agar mereka mengutamakan halhal yang sesuai dengan Firman Tuhan. Tidak tepat bila gereja hanya menasihati orang muda; bahwa berdasarkan Hukum Kelima, mereka ”harus menaati orangtua”.
Khusus untuk Sumba: Bila itu yang terjadi, maka secara tidak langsung gereja telah menyebabkan orang-orang muda melakukan ”kawin duduk” yang tujuannya adalah memak sakan kehendak kepada orangtua.
Ketika hamba Abraham mencari seorang istri bagi Ishak (Kej 24), dia membawa hadiah. Ternyata yang berperan penting dalam keluarga di Paddan-Aran adalah saudara laki-laki dan nenek Ribka. Mereka yang harus memberi izin. Tetapi, tidak ada keputusan di luar kehendak Ribka. Tidak hanya anggota keluarga yang mendapat ha diah, Ribka sendiri juga mendapat hadiah.
Berbagai urusan yang menyangkut perkawinan dapat diteri ma, asal calon-calon mempelai tidak sampai kehilangan tanggung jawab dan hanya menjadi orang yang diatur oleh orang lain, seperti pion dalam permainan catur .
Sejarah Yakub dan istri-istrinya (Kej 29-31) mengajarkan kepada kita mana harga kawin yang disukai pada waktu itu dan di tempat itu, yakni mohar, ”isi kawin yang tidak langsung”, yang disebut dalam Kejadian 34:12. Bagian Alkitab lain yang menyinggung hal itu (Kel 22:16; 1Sam 18:25) ti dak bertentangan dengan pandangan bahwa mohar adalah isi kawin yang tidak langsung. Harga kawin ini sesuai dengan Kejadian 2:24, yang mengatakan bahwa anak-anak mening galkan orangtua, dan baik ke dua pihak keluarga maupun kedua mempelai menghendaki agar perkawinan dimulai secara resmi.
Harga kawin seperti ini diberikan oleh pihak mempelailaki-laki kepada orangtua mempelai perempuan. Pemberian itu bukan ditujukan kepada keluarga, melainkan untuk mempelai. Sering terjadi ayah mempelai perempuan menyim pan pemberian itu untuk diteruskan kepada yang bersang kut an kemudian hari, bila rumah tangga baru itu membutuhkan atau seandainya suami perempuan itu meninggal.
Di antara orang Israel terdapat beragam harga kawin. Selain dari mohar dan pemberian kepada orangtua perempuan (mattan), terdapat juga šillukhim. Ini adalah suatu isi kawin yang diberikan orangtua kepada anak perempuan yang menikah. Pemberian ini, juga sama seperti mohar, maksudnya untuk kesejahteraan keluarga muda yang baru.
Tentu ada kemungkinan terjadi manipulasi dan komer sialisasi.
Perhatikan pembicaraan Daud, dan juga tindak an Saul terhadap Daud dalam 1 Samuel 18. Raja menya lahgunakan putri nya untuk rencanarencananya yang jahat. Namun, Daud ingin menjadi menantu raja melalui perkawinan yang sah, dan dia mempertahankan haknya ketika istrinya diberikan kepada orang lain, dengan cara menuntut agar istrinya dikembalikan kepadanya (2Sam 3).
Melihat kenyataan bahwa Alkitab menunjukkan adat perkawinan mempunyai tujuan untuk kebaikan rumah tangga baru, tidak salah jika kami menyimpulkan bahwa orangtua wajib membantu anak-anak mereka.
Saran: Hendaknya gereja tidak langsung menolak tiap budaya perkawinan. Dalam terang Alkitab larangan itu tidak dapat diperta hankan. Sebaliknya, kebiasaan yang ditemukan dalam Alkitab (mohar) menunjukkan arah yang baik. Pasangan baru seharusnya dibantu agar mereka dapat mengabdi kepada Allah. Bukan maksud kami untuk menganjurkan mohar, atau pemberian kepada perempuan yang tidak langsung. Budaya lain bisa bermanfaat juga untuk pasangan baru. Dan tidak dapat disangkal bahwa hubungan baik antarkeluarga, yang di usahakan melalui berbagai adat perkawinan, juga memberi keuntungan bagi pasangan baru.
Khusus untuk Sumba: Gereja Sumba jangan melarang pem-belis-an. Bagi GKS dan GGRI, anjuran ini tentu tidak mengherankan, tetapi berbeda halnya dengan Gereja-gereja Bebas. Larangan semacam itu mempunyai arti bahwa gereja menyibukkan diri dengan hal-hal sampingan dan berakibat pada siasat gerejawi yang berlebihan.
Dalam cerita-cerita tentang Bapak-bapak Iman terlihat bahwa orangtua tampil bertindak demi perkawinan anak mereka. Kebia sa an Timur Tengah adalah kawin di dalam suku, endo gami, dan faktor itu mendorong orangtua untuk bertin dak. Tetapi, dorongan yang terpenting bagi mereka adalah iman: seyogyanya perkawinan harus mendapat tempat di dalam perjanjian dengan Allah.
Dalam hukum Musa, faktor persatuan dalam iman menjadi pusat (Ul 7). Bahwa Boaz menikahi Rut, seorang Moab (Rut 4), dinilai positif karena Rut telah dikenal sebagai orang yang sangat mengabdi kepada Tuhan.
Dalam Kitab Para Nabi ditunjukkan juga betapa penting nya penghayatan perjanjian Allah dalam perkawinan (Mal 2). Di samping itu, perkawinan itu sendiri juga dinamakan suatu perjanjian, antara laki-laki dan perempuan, di bawah perjanjian Allah dengan bangsaNya.
Ezra bertindak keras dalam menentang perkawinan cam pur, bukan karena pertimbangan rasial, melainkan berda sarkan perjanjian Allah. Tindakan dilakukan pada kasus-kasus perkawinan campur yang merupakan penghinaan terha dap Allah. Perkawinan semacam itu harus dibatalkan.
Demikian juga petunjuk Paulus dalam 1 Korintus 7. Memang, perkawinan dapat membawa seseorang yang tidak percaya menjadi percaya kepada Allah. Tetapi, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk suatu perkawinan (bnd 2Kor 6), karena tidak seorang pun yang tahu apakah dia dapat menyelamatkan jodohnya. Tetapi, bila perkawinan campur itu sudah sah, tidak boleh dibatalkan, kecuali jika pihak yang tidak percaya kepada Allah meninggalkan suami atau istrinya, karena ikatan perkawinan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah damai dengan Allah.
Di dunia ini terdapat bermacam-macam peraturan mengenai perkawinan yang preskriptif (yang diharuskan oleh adat), termasuk peraturan inses (kawin sumbang). Hanya dalam hal yang dimaksudkan, kata ”sumbang” tidak saja hanya hubungan seksual dengan seseorang yang tinggal serumah, karena syarat-syarat dan berbagai pantangan dari agama suku juga dinamakan peraturan kawin sumbang, yang sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain, tergantung dari budaya dan tempat. Tetapi, peraturan seperti itu, bagai manapun juga, menunjukkan bahwa masalah seksualitas perlu dilindungi. Dalam agama-agama suku, perkawinan preskriptif dipelihara dan dijamin oleh peraturan pergaulan dan sapaan.
Imamat 18 merupakan peringatan terhadap pelanggaran seksual, yang pada masa kini kita sebutkan dengan ”sumbang” (inses). Pasal itu bukan merupakan satu daftar perkawinan yang terlarang. Apa yang diatur dalam Imamat 18 adalah sesuai dengan budaya Israel di padang gurun, jadi pasal hukum Taurat itu di warnai oleh warna lokal. Tetapi, jelas bahwa apa yang disebut ”sumbang” atau ”inses” di dunia Barat, yaitu hubungan seksual dengan seorang anak atau anggota keluar ga lainnya, di sini juga dilarang keras.
Seksualitas adalah karunia, untuk dinikmati dalam hidup berpa sangan, bukan hawa nafsu yang boleh dilampiaskan sesuka hati.
Saran: Hendaknya gereja menegakkan peraturan bahwa anggota-anggota umat Allah jangan kawin campur. Bila memilih jodoh kiranya seorang Kristen harus mengutamakan agamanya, baru kemudian pada hubungan keluarga.
Khusus untuk Sumba: Prinsip-prinsip ini juga berlaku pada cara bergaul antara keluarga dengan keluarga. Ka rena kalau kedua pihak tetap bertindak sebagai pemberi perempuan dan penerima perempuan maka terpaksa akan tetap dituntut juga pemberian timbal balik, misalnya pada upacara pemakaman dan upacara-upacara lainnya. Pertalian yang erat ini tidak dapat disesuaikan dengan kesatuan orang yang beriman dalam Kristus, dan juga bertentangan dengan pengharapan orang Kristen. Karena jika mereka masih memegang adat lama, mereka akan mengharapkan berkat dari hubungan keluarga dan nenek moyang yang merestui keturunan mereka. Kami menganjurkan untuk mengakhiri pemberian timbal balik an tara kabihu dan kabihu.
Secara formal pengurusan perkawinan dalam budaya Sumba berawal dari ”masuk minta”. Ini merupakan titik permulaan masa pertunangan, yang dikenal juga dari budaya Alkitab. Mereka yang telah bertunangan dianggap seperti telah menikah, melihat hukum-hukum yang tertulis di Keluaran dan Ulangan dan juga dari cerita Yusuf dan Maria, dalam Matius 1. Pada upacara pertunangan, mohar telah diberikan (2Sam 3).
Penetapan perkawinan di Israel dilakukan secara bertahap, de mikian juga pada banyak masyarakat suku sampai sekarang, termasuk di Sumba. Tetapi, pelaksanaan perkawinan yang bertahap itu belum menjamin keberhasilannya. Mungkin terdapat juga moral ganda, sementara secara resmi ke dua keluarga mengurus perkawinan, kedua muda-mudi itu telah melakukan hubungan seksual. Bahkan kadang-kadang orangtua ingin melihat bukti apa kah menantunya tidak mandul.
Kitab Kidung Agung mengajarkan kepada kita suatu per siap an yang lain. Pemuda-pemudi diberi kesempatan untuk sering saling bertemu, namun mereka tetap menjaga diri.
Berdasarkan data-data dalam Alkitab dan atas dasar pengalaman dengan berbagai bu daya, biasanya gereja berhikmat dengan mendorong adanya masa persiapan dalam ben tuk pertunangan. Dalam masa itu para pemuda dapat memper siapkan diri dan juga dipersiapkan, misalnya melalui katekisasi pranikah. Bila dalam percakapan ternyata tidak ada landasan rohani yang mendasari hubungan itu, pertunangan dapat diakhiri.
Proses pertunangan adalah masa di mana sepasang kekasih menya takan kepada keluarga dan kepada masyarakat bahwa mereka sedang menuju ke jenjang perkawinan. Pertunangan bukan masa percobaan, dalam arti sudah dapat hidup sebagai suami istri. Karena bila pasangan tersebut telah melakukan hubungan seksual dalam masa pertu nangan, dan terjadi sesuatu yang menyebabkan terputusnya pertu nangan itu maka akan sulit mencari relasi yang baru.
Saran: Hendaknya majelis-majelis gereja dapat mengarahkan jemaat masing-masing untuk menentukan langkah-langkah pengurusan perkawinan sesuai dengan situasi masing-masing. Yang penting adalah agar majelis gereja memberi saran/nasihat kepada kedua pihak untuk mengadakan musyawarah awal dengan memperhatikan syarat-sya rat kristiani dan menghindari pemborosan secara ekonomis.
Khusus untuk Sumba: Sebagai patokan dapat digunakan keputusan Majelis GGRI Lai Handangu tanggal 24 Mei 1984, yang di terima oleh Klasis Pantai GGRI pada tanggal 29 Mei 1984. Sing katnya:
Pengurusan perkawinan harus dilakukan selama tiga hari saja. Satu hari untuk peminangan, satu hari untuk musyawarah antar keluarga, dan satu hari yang terakhir adalah hari perkawinan.
Keputusan tersebut menyebut sebagai batas maksimal peraturan yang tercantum di bawah ini, bukan sebagai tuntutan:
Pada acara peminangan yang dilakukan oleh pihak laki-laki, sedapat-dapatnya diserahkan dua ekor kuda dan dua mamuli. Pihak perempuan menyembelih seekor babi dan memberikan satu lembar kain dan satu sarung. Keluarga pi hak perempuan jangan mengadakan musyawarah tersendiri dalam keluarganya, karena hal itu akan mengakibatkan sanak saudara pihak perempuan akan menuntut belis.
Hendaknya keluarga pihak laki-laki langsung menyatakan bahwa tuntutan tertinggi yang dapat diajukan adalah empat ekor kuda. Dengan demikian kemungkinan sanak keluarga pihak perempuan yang datang dengan membawa banyak kain agar mendapat kuda lebih banyak dapat dihindari. Seyogyanya keluarga pihak lakilaki menjelaskan prinsip mereka bahwa anak mereka bukan anak keluarga besar, melainkan yang pertama-tama adalah anak Allah. Kemudian, bila utusan keluarga bermusyawarah dalam rumah lakilaki, hendaknya kedua keluarga hadir dan langsung menentukan hari perkawinan. Yang disembelih hanya seekor babi, dan apa pun yang dibawa oleh pihak lain, harus dianggap cukup.
Pada hari perkawinan, acara dimulai dengan pemberkatan nikah di gereja, dilanjutkan dengan beberapa upacara lain. Pihak laki-laki mengucapkan terima kasih dan sebagai bukti sedapatdapatnya menyerahkan empat ekor kuda bersama dengan mamuli. Semua pemberian itu ditujukan kepada orangtua mempelai perempuan, bukan kepada sanak keluarga lainnya. Pemberian ini biasanya disebut ”pokok belis”. Kemudian pihak perempuan meng ucapkan kata-kata perpisahan dan menyerahkan pemberian balasan, yaitu apa yang disebut ”pokok balasan”. Seandainya keluarga laki-laki menyerahkan pemberian dalam jumlah banyak, hendaknya kelebihan itu diberikan kepada keluarga baru dan tidak perlu dibalas.
Pandangan orang Sumba tentang perkawinan, selain diperlihatkan melalui bahasa dan peribahasa, juga dikemukakan melalui pelambangan yang ada pada pemberian timbal balik, dan dalam bentuk pemberian-pemberian lainnya. Tetapi, bukan berarti pertukaran, maupun bentuk pemberian itu harus dijauhi.
Mamuli dan lulu amah bagi orang Sumba adalah lambang kesuburan. Benda tersebut juga merupakan karya seni. De mikian juga sirih dan pinang yang merupakan lambang kesuburan, tetapi banyak orang, termasuk orang Kristen, menganggapnya sebagai penghormatan.
Perlu disadari bahwa dalam berbagai budaya terdapat referensi yang cukup terbuka terhadap seksualitas. Patung-patung orang Yunani dan Romawi, lukisan-lukisan Flandria pada abad ke-16, dan pada masa kini dalam karya film negara-negara Barat.
Kitab Kidung Agung juga berisi sastra yang bersifat erotis.
Hukum-hukum Perjanjian Lama menunjuk ke seksualitas dan kesuburan. Sunat merupakan ritus kesuburan untuk bangsa-bangsa di sekeliling Israel. Bagi Israel, hal itu juga bersifat memperkuat janji Allah dalam bentuk sakramen.
Orangtua dan gereja perlu membicarakan seksualitas dan pokok-pokok di sekitar perkawinan. Dalam hal itu, Alkitab memberi petunjuk jalan. Dalam masyarakat suku, pengajaran tersebut sering dijadikan ritual dengan mendewakan kesu buran. Penekanan itu tidak tepat, seksualitas dan kesuburan berjalan seiring, juga perlu ditekankan.
Saran: Hendaknya arti seksual, yang tampak pada pertu karan pemberian maupun dalam bentuk pemberian, jangan dijadikan alasan untuk menolak kebiasaan itu.
Adat perkawinan di Israel pada umumnya tidak begitu berbeda dengan bangsa-bangsa di sekelilingnya. Karena itu, perlu dipertimbangkan apakah gereja harus mencoba membuat peraturan pengurusan perkawinan yang khas Kristen, bila gereja itu berada dalam lingkungan yang adat perkawinannya kuat sejak dahulu. Tentunya orang Kristen harus benar-benar menyadari apa tuju an Tuhan atas perkawinan; orang Kristen harus melihat apakah tradisi-tradisi dalam perkawinan itu tidak berlawanan dengan kehendak Allah. Orang Kristen juga harus tahu mengapa sebagian ke biasaan dari adat lama bisa diterima dan sebagian lain tidak.
Apabila gereja dengan cepat melarang dan menerapkan sia sat, akan timbul kesulitan yang besar, seperti yang terjadi dalam sejarah Gereja Sumba. Perselisihan juga sering timbul dari hal-hal yang sepele.
Pada tahun 1964, GGRI telah melarang anggotanya mengawinkan anak-anak yang masih kecil; dan pada tahun 1972 juga melarang segala tuntutan mengenai belis. Pada tahun 1984, salah satu majelis jemaat dan satu klasis merumuskan usul konkret untuk penyederhanaan adat perkawinan. Dalam seminar tahun 2003, materi itu kembali dibahas berdasarkan ringkasan disertasi kami. Pada waktu itu, GGRI mendukung usul Majelis Lai Handangu yang disampaikan pada tahun 1984 tersebut.
Saran umum: Peneguhan nikah dalam gereja perlu dilaksanakan, untuk menjelaskan bahwa perkawinan bukan persoalan dua orang saja, atau dua keluarga, melainkan persoalan kedua orang itu bersama dengan Allah. Perkawinan mereka sangat berarti dalam pengabdian mereka kepada Allah. Hal itu juga menentukan tempat perkawinan di tengah-tengah masyarakat.
Khusus untuk Sumba: Hendaknya GGRI tidak memberla kukan formulir yang disebut ”Perbaikan Nikah” atau ”Peng akuan Dosa Orang yang Kawin Duduk”. Pada dasarnya for mulir itu merupakan pengakuan dosa, tetapi dengan adanya formulir tersebut secara tidak langsung terbuka jalan bagi orang yang hendak mengatur perkawinan dengan cara yang tidak resmi. Jalan ”kawin duduk” seakan-akan dilembagakan. Formulir ”Perbaikan Nikah” bertentangan dengan tujuan semula. Pengakuan dosa di depan umum tidak menjadi halangan untuk peneguhan perkawinan berdasarkan atau menggunakan formulir yang ”biasa”.
Bukan tidak mungkin di Sumba kita mendengar ucapan seperti membeli ”perempuan”. Tetapi, ungkapan yang bernada menghina seperti itu terdapat di mana-mana, bahkan juga di Barat. Di Sumba ucapan itu tidak otomatis mengartikan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Apalagi, dalam kata belis terkandung arti ”nilai”, bukan diartikan secara kasar uang pembeli. Para perempuan muda tidak merasa malu di-belis-kan dan membawa keuntungan bagi keluarganya.
Pada saat ini pandangan lama dan nilai baru terkait dengan erat. Orang dapat mengetahui apakah seorang perempuan muda itu berasal dari keluarga yang mempunyai banyak hewan atau tidak, selain itu apakah dia mengenyam pendidikan yang baik atau tidak. Bila dia seorang pegawai negeri, posisi itu akan menjamin adanya pemasukan. Hal ini bagi keluarga baru merupakan hal yang lebih penting daripada harta kekayaan gaya lama berupa hewan. Hewan itu tidak otomatis menjadi milik pribadi, tetapi milik keluarga yang dipelihara dan dicadangkan untuk kepentingan perkawinanperkawinan yang akan datang.
Kadang-kadang tuntutan yang diminta luar biasa banyaknya. Dalam hal ini ada unsur permainan, tetapi bukan permainan yang patut dipuji dan sangat tidak dianjurkan. Sering janji-janji dengan mudah diucapkan, tetapi tidak ditepati atau tidak semua dilaksanakan. Kata-kata yang diucapkan nilainya menjadi merosot.
Apabila orang-orang Kristen dapat memberi contoh yang baik dalam hal pertunangan dan perkawinan, hal itu dapat memberi sumbangan yang penting bagi masyarakat. Alkitab mengajarkan bahwa moral yang kuat khususnya mengenai perkawinan akan membangun masyarakat. Hendaknya ja ngan menciptakan moral secara khusus bagi orang Kristen dan tidak mempedulikan moral masyarakat secara umum. Pendatang di Israel harus tunduk pada peraturan yang sama dengan orang-orang Israel (Im 18:26). Kristenisasi masyarakat merupakan satu tujuan yang tidak boleh dilupakan.
Saran-saran dalam Bab 5 ini telah menyinggung keadaan gereja di negara-negara lain. Pembagian materi dalam Bab 2 tentang Sumba sangat bersifat umum sehingga berlaku juga untuk konteks-konteks lainnya, apalagi materi alkitabiah dalam Bab 3. Kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian pada konteks-konteks lain dise babkan oleh kesatuan umat manusia, dari budaya mana pun juga. ”Tidak ada perbedaan,” kata Onvlee.3
Kami berharap dengan adanya penelitian ini kami dapat memberi sumbangan bagi orang-orang Kristen di Indonesia, khususnya Sumba Timur, dan barangkali bagi orang-orang Kristen lain, yang mengenal adat perkawinan yang berbeda, bahkan bagi orang Kristen yang kebudayaannya tidak lagi mengenal pembayaran belis/mas kawin.
Tetap kami tekankan bahwa Firman Tuhan ditinjau dari asal nya maupun isinya melampaui setiap konteks. Firman itu ber hadapan dengan manusia. Manusia sepatutnya mendengar, jangan turut berbicara. Meskipun demikian, manusia tidak boleh menutup mata dan telinganya terhadap konteks.
Agnates (Ingg) adalah keturunan lewat garis laki-laki, yaitu mereka yang (dalam sistem patrilineal) tetap terhisab pada klen.
Affines (Ingg) mengacu ke semua anggota klen yang dengannya klen sendiri menjalin hubungan dengan jalan mengambil atau memberi perempuan.
Cognates (Ingg) mengacu ke seluruh keturunan sepasang suami istri, termasuk anak perempuan yang pada saat menikah menjadi anggota klen suaminya.
Endogami mewajibkan anggota klen menikahi seorang anggota klen sendiri.
Eksogami mengacu ke kewajiban menikahi seseorang dari luar klen sendiri.
Harga kawin: istilah yang mencakup kedua macam pembayaran yang mengesahkan perkawinan (marriage payments), yaitu sistem ”harta kawin” dan sistem ”isi kawin”.
Harta kawin: dibayar oleh keluarga pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan (brideprice), belis (bh Indonesia Timur).
Isi kawin: diserahkan oleh keluarga mempelai perempuan kepada mempelai perempuan, bukan kepada mempelai laki-laki atau kepa da keluarga mempelai laki-laki (dowry).
Isi kawin yang tidak langsung, mengacu ke pemberian dari calon suami atau keluarganya kepada keluarga perempuan, agar keluarga itu meneruskannya kepada mempelai perempuan.
Klen: ”marga” (bh Batak), kabihu (bh Sumba): kelompok kekerabatan unilineal: ditentukan oleh keturunan melalui garis laki-laki (patrilineal) atau garis perempuan (matrilineal).
Mas kawin: isi kawin: lih isi kawin.Matrilateral: berkaitan dengan klen tempat mengambil perempuan: istilah ”matrilateral” digunakan kalau perempuan dipilih dari klen ibu.
Matrilineal mengacu ke keturunan, bukan ke marga tempat mengambil perempuan. Dalam sistem matrilineal seorang anak terhisab pada klen ibunya.
MBD (mothers-brothers daughter) marriage (Ingg): lihat perkawinan matrilateral cross-cousin.
Patrilateral: berkaitan dengan klen tempat mengambil perempuan: istilah ”patrilateral” digunakan kalau perempuan dipilih dari klen ayah.
Patrilineal mengacu ke keturunan, bukan ke marga tempat mengambil perempuan. Dalam sistem patrilineal seorang anak terhisab pada klen ayahnya.
Perkawinan preskiptif, yaitu hubungan suami istri di mana pilihan diatur oleh adat. Perkawinan cross-cousin adalah perkawinan antara keturunan dari sibling yang berbeda jenis.
Perkawinan parallel-cousin adalah perkawinan antara keturunan dari sibling yang sejenis.
Perkawinan matrilateral cross-cousin: mempelai perempuan dipilih dari pihak keluarga ibu. Yang paling disukai ialah putri saudara laki-laki dari ibu. Sebutan singkat: MBD (mothers-brothers daughter) marriage.
Sibling (Ingg): saudara sekandung, dari ayah dan ibu yang sama. Subklen: kelompok kekerabatan yang satu tingkat di bawah klen (”lineage”), ”uma” (bh Sumba).
Aalders, G.Ch., Het boek Genesis, II, (Korte Verklaring der Heilige Schrift), Kampen 1936.
Aalders, J.G., De verhouding tussen het verbondsboek van Mozes en de Codex Hammurabi, (Exegetica), Den Haag 1959.
Acta van de generale synode van de gereformeerde kerken in Nederland
(onderhoudende art. 31 K.O). Groningen 1946, Enschede z.j.
Adams, M.J., Structural Aspects of East Sumbanese Art, in: James J.
Fox (ed.), The flow of life, Cambridge 1980, 208-220.
Adams, M.J., Symbols of the organized community in East Sumba, Indonesia, in: Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 130 (1974), 324-347.
Anderson, G.H., T.F. Stransky, Mission Trends no 3. Third World Theologies, Grand Rapids 1976.
Aturan Gereja yang berlaku didalam Gereja-gereja Bebas Sumba Timur dgs, Parai Puluhamu 1977.
Baal, J. van, Symbols for communication. An introduction to the anthropological study of religion, Assen 1971.
Ballot, Julia, Heiratstransaktionen in Afrika südlich der Sahara. Zur Diskussion des ’Brautpreises’, in: Gisela Völger, Karin v. Welck (ed.), Die Braut. Geliebt. Verkauft. Getauscht. Geraubt, II, Köln 1985, 528-535.
Barnes, R.H., Marriage, Exchange and the Meaning of Corporations in Eastern Indonesia, in: J.I. Comaroff (ed.), The meaning of marriage payments, Londen 1980, 93-124.
Bavinck, J.H., Inleiding in de zendingswetenschap, Kampen 1954. Beer, Georg, Exodus, (Handbuch zum Alten Testament), Tübingen 1939.
Bergema, H., Oost-Soemba, (Vertrouwelijk rapport aan zendingsdeputaten), z.p. 1939.
Bergink, Dinah, Het vluchthuwelijk bij de Tolaki, in: Reimar Schefold, Vincent Dekker, Nico de Jonge (ed.), Indonesia. Apa kabar?, Meppel 1988, 110-115.
Bevans, Stephan B., Models of contextual theology, serie: Faith and Cultures, New York 1992.
Bijlmer, H.J.T., Een anthropologische exploratietocht naar Insulinde’s zuidoosthoek, in: Mens en Maatschappij 6 (1930), 99-113
Bimson, John, De wereld van het oude testament, Haarlem 1989 (vertaling van: The World of the Old Testament, London 1988).
Blust, Robert A., De taalkundige bestudering van Indonesië, in: P.E. de Josselin de Jong (ed.), Indonesië als anthropologisch studieveld, Leiden 1985, 23-49.
Boersema, J.A, ’1892’ en de zending, in: D. Deddens, M. Te Velde (ed.), Vereniging in wederkeer, Barneveld 1992, 147-162.
Boersema, J.A., Een halve eeuw zending van de Gereformeerde Kerken
(Vrijgemaakt) tegen de achtergrond van Middelburg 1896, in: P. N. Holtrop (ed.), ZGKN100, Kampen 1996, 57-72.
Boersema, P.R., Ontwikkelingswerk in Oost-Sumba gedurende de periode 1978-1984, Dalen z.j. (1985).
Böhl, F.M.Th., Genesis, I, (Tekst en Uitleg), Groningen 1923. Böhl, F.M.Th., Genesis, II, (Tekst en Uitleg), Groningen 1925.Bowman, Richard G., The fortune of King David/The fate of queen Michal. A literary critical analysis of 2Sam 1-8, in: D.J.A. Clines, T.C. Eskenazi, Telling queen Michal’s story, Sheffield 1991, 97-120.
Bratsiotis, N.P., in: G.J. Botterweck, H. Ringgren, Theologisches Wörterbuch zum Alten Testament, I, Stuttgart 1971, 238-251.
Bruggen, J. van, Ambten in de apostolische kerk. Een exegetisch mozaïek, Kampen 1984.
Bruggen, J. van, Christus op aarde. Zijn levensbeschrijving door leerlingen en tijdgenoten, (Commentaar op het Nieuwe Testament, Derde serie), Kampen 1987. Terjemahan: Kristus di Bumi. Penuturan kehidupan-Nya oleh murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman, Jakarta, 2001.
Bruggen, J. van, Het huwelijk gewogen, Amsterdam 1978.Bruggen, J. van, Marcus. Het evangelie volgens Petrus, (Commentaar op het Nieuwe Testament, Derde serie), Kampen 1988. Terjemahan: Markus. Injil menurut Petrus, Jakarta 2006.
Bruggen, J. van, Matteüs. Het evangelie voor Israël, (Commentaar op het Nieuwe Testament, Derde serie), Kampen 1990.
Buku gereja. Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia, N.T.T., Melolo 1990.
Burrows, Millar, The basis of Israelite marriage, New Haven 1938.Burrows, Millar, The complaint of Laban’s Daughters. In: Journal of the American Oriental Society, 57 (1937), 259-276.
Claessen, Henri J.M. (ed.), Variant Views. Five lectures from the perspective of the ”Leiden Tradition” in cultural anthropology, Leiden 1989.
Clines, David J.A., Michal observed. An introduction to reading her story, in: D.J.A. Clines, T.C. Eskenazi, Telling queen Michal’s story, Sheffield 1991, 24-63.
Clines, David J.A., Tamara C. Eskenazi, Telling queen Michal’s story.
An experiment in comparative interpretation, Journal for the Study of the Old Testament, suppl. series 119, Sheffield 1991.
Clines, David J.A., The story of Michal, wife of David, in its sequential unfolding, in: D.J.A. Clines, T.C. Eskenazi, Telling queen Michal’s story, Sheffield 1991, 97-120.
Coe, Shoki, Contextualizing Theology, in: G.H. Anderson, T.F.
Stransky, Mission Trends no 3. Third World Theologies, Grand Rapids 1976, 19-24.
Comaroff, John L., Introduction, in: J.L. Comaroff (ed.), The meaning of marriage payments, Londen 1980, 1-47.
Comaroff, John L., (ed.), The meaning of marriage payments, Londen 1980.
Conzelmann, Hans, Der erste Brief an die Korinther, (Kritisch-exegetischer Kommentar über das Neue Testament), Göttingen 1969.
David, M., De Codex Hammoerabi en zijn verhouding tot de wetsbepaling in Exodus,
(Overdruk uit het Tijdschrift voor Rechtsgeschiedenis), Haarlem z.j. (1939).
David, M., Het huwelijk van Ruth, (Uitgaven vanwege de sticht ing voor Oud-Semitische, Hellenistische en Joodsche Rechtsgeschiedenis, nr. 2), Leiden 1941.
David, M., Vorm en wezen van de huwelijkssluiting naar de oud- Oosterse rechtsopvatting, Leiden 1934.
Deden, D., De kleine profeten, (De boeken van het Oude Testa ment), Roermond 1953.
Dijk, K. van, Sadrach, in: De Macedoniër. Algemeen zendingstijdschrift, 39 (1935), 300-302.
Doko, D.H., Catatan mengenai adat kapir Sabu, in: Laporan panitia adat istiadat Sumba-Sabu (rapport aan synode G.G.R.I.-N.T.T. 1989).
Douma, J., De predikant en het Schriftberoep, in: F.H. Folkerts e.a.(ed.), Ambt en aktualiteit, Haarlem 1992.
Douma, J., Het Schriftberoep in de ethiek, (gestencilde uitgave Theologische Universiteit, Broederweg 15 Kampen), Kampen z.j.
Douma, J., Seksualiteit en huwelijk, (Ethische bezinning 6), Kampen 1993.
Douma, J., Verantwoord handelen. Inleiding in de christelijke ethiek, Amsterdam 1980. Terjemahan: Kelakuan yang bertanggungjawab, Jakarta 2002.
Driver, S.R., A critical and exegetical commentary on Deuteronomy ³, (The International Critical Commentary), Edinburgh 1902.
Elliger, K., Leviticus, (Handbuch zum Alten Testament. Erste Reihe)
Tübingen 1966.
End, Th. van den, De weerbarstige werkelijkheid, in: Chr. Fahner, J. van Laar (ed.), Evangelie als cultuur, Kampen z.j., 52-59.
End, Th. van den, De zendelingen, de Toraja-adat en wij, in: Chr.
Fahner, J. van Laar (ed.), Evangelie als cultuur. Kampen z.j., 43-51.
End, Th. van den, Enkele opmerkingen betreffende de Sumba-zending der Gereformeerde kerken in Nederland en haar archief, in: Gereformeerd Theologisch Tijdschrift 88 (1988), 174-185.
End, Th. van den, Gereformeerde zending op Sumba. 1859-1972.
Een bronnnenpublicatie, 1987. Terjemahan: Sumber-sumber zending tentang sejarah Gereja Kristen Sumba. 1859-1972, Jakarta 1996.
Epstein, Louis M., Marriage Laws in the Bible and the Talmud, Cambridge 1942.
Fleming, Bruce C.E., Contextualization of theology. An evangelical assessment, Pasadena 1980.
Folkerts, F.H. e.a. (ed.), Ambt en aktualiteit. Opstellen aangeboden aan prof. dr. C. Trimp, Haarlem 1992.
Forth, Gregory L., Fashioned speech, full communication. Aspects of Eastern Sumbanese ritual language, in: James J. Fox (ed.), To speak in pairs, Cambridge 1988, 129-160.
Forth, Gregory L., From symmetry to asymmetry. An evolutionary inter pretation of Eastern Sumbanese relationship terminology, in: Anthropos. International Review of Ethnology and Linguistics, 85 (1990), 373-392.
Forth, Gregory L., Layia (FZS, ZH, m.s.). The evolutionary implications of some Sumbanese affinal terms, in: Sociologus. A journal for empirical ethno-sociology and ethno-psychology, 35 (1985), 121-141.
Forth, Gregory L., Recensie in: Anthropos. International Review of Ethnology and Linguistics, 84 (1989), 303-306.
Forth, Gregory L., Rindi. An ethnographic study of a traditional domain in Eastern Sumba, ’s Gravenhage 1981.
Forth, Gregory L., Time and temporal classification in Rindi, Eastern Sumba, in: Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 139 (1983), 46-80.
Fox, James J., Introduction, in: James. J. Fox (ed.), To speak in pairs,
Cambridge 1988, 1-28.
Fox, James J., Models and Metaphors. Comparative research in Eastern Indonesia, in: James J. Fox (ed.), The flow of life, Cambridge 1980, 327-333.
Fox, James J., Obligation and Alliance: State Structure and Moiety Organisation in Thie, Roti, in: James J. Fox (ed.), The flow of life, Cambridge 1980, 98-133.
Fox, James J., (ed.), The flow of life, Essays on Eastern Indonesia, Cambridge 1980.
Fox, James J., (ed.), To speak in pairs. Essays on the ritual languages of eastern Indonesia, Cambridge 1988.
Fraine S.J., J. de, Esdras en Nehemias, (De boeken van het Oude Testament), Roermond 1961.
Fraine S.J., J. de, Rechters, (De Boeken van het Oude Testament),
Roermond 1955.
Geirnaert-Martin, Danielle C., The woven land of Laboya. Sociocosmic ideas and values in West-Sumba, Eastern Indonesia, (C.N.W.S. publications 11), Leiden 1992.
Gelderen, C. van, Gispen, W.H., Het boek Hosea, (Commentaar op het Oude Testament), Kampen 1953.
Gerleman, Gillis, Ruth. Das Hohelied, (Biblischer Kommentar Altes Testament), Neukirchen 1965.
Gerstenberger, Erhard S., Das dritte Buch Mose. Leviticus, (Das alte Testament Deutsch), Göttingen 1993.
Gispen, W.H., Exodus, II, (Korte Verklaring der Heilige Schrift), Kampen 1939.
Gispen, W.H., Leviticus, (Commentaar op het Oude Testament), Kampen 1950.
Gispen, W.H., Numeri, II, (Commentaar op het Oude Testament), Kampen 1964.
Goh, Taro, Sumba bibliography. With a foreword by James J. Fox, Canberra 1991.
Goody, Jack, S.J. Tambiah, Bridewealth and dowry, (Cambridge papers in social anthropology 7), Cambridge 1973
Goody, Jack, Bridewealth and Dowry in Africa and Eurasia, in: Jack Goody, S.J. Tambiah, Bridewealth and dowry, Cambridge 1973, 1-58.
Goody, Jack, The development of the family and marriage in Europe, Cambridge 1983.
Goossens, G., De eer vergeten, de vlag verlaten? Enige aspecten van het conflict in de Sumba-zending, z.p. z.j.
Goossens, G., Even een schijnwerper, z.p. z.j.Goossens, G., Vrijgemaakten, waarheen?, z.p. z.j. Goossens, P.P., Geschiedenis van de Zending op Oost-Sumba, in:
Nieuwsbrief. Van en over Soemba, (een uitgave van: Vere niging S.O.S., Steun Oost Soemba), 22 (1992/1993), nr. 152-157.
Goossens, P.P., Zending en cultuur, I, (Overdruk artikelen uit
Nieuwsbrief. Van en over Soemba, een uitgave van: Vereniging S.O.S., Steun Oost Soemba), 1986.
Goossens, S.J.P., “Aangaande dan het eten der dingen die den afgoden geofferd zijn”, in: Gereformeerd Theologisch Tijdschrift 37 (1936), 194-211, 217-240.
Goossens, S.J.P., Openbare scheurmaking op Soemba. De kerken van Oost-Soemba uitgestooten uit de gemeenschap der Gereformeerde (zendende) Kerken in Nederland. Een aanklacht en een verweer, z.p. z.j. (1939).
Gordon, C.H., The story of Jacob and Laban in the light of the Nuzi- tablets, in: Bulletin of the American Schools of Oriental Research 66 (1937), 25-27.
Goslinga, C.J., Het Eerste Boek Samuël, (Commentaar op het Oude Testament), Kampen 1968.
Granqvist, Hilma, Marriage conditions in a Palestinian village, Helsingfors 1931.
Griffioen, S., Geen relativisme-geen universalisme! in: Normen en cultuur in de zending, (Missiologische thema’s 4, G.M.O.), Kampen 1988, 9-41.
Groot, Joh. de, 1 Samuël, (Tekst en uitleg), Groningen 1934.
Grosheide, H.H., Ezra-Nehemia, (Commentaar op het Oude Testament), Kampen 1963.
Grosz, Katarzyna, Dowry and Brideprice in Nuzi, in: M.A. Morrison, D.I. Owen (ed.), Studies on the Civilization and culture of Nuzi and the Hurrians, Festschrift E.R. Lacheman, Winona Lake 1981, 161-182.
Haar, B. ter, Adat-law in Indonesia. Translated from the Dutch, New York 1948.
Haas, Mary de, Is there anything more to say about lobolo?, in African Studies. The bi-annual multi-disciplinary journal of the African Studies Institute, University of the Witwatersrand, 46 (1987) nr. 1, 33-55.
Haire, James, The character and theological struggle of the church in Halmaheira. Indonesia. 1941-1979, Frankfurt am Main 1981.
Halsema, W.B. van, e.a. (ed.), De zending voorbij. Terugblik op de relatie tussen de Gereformeerde Kerken in Nederland en de Christelijke Kerk van Sumba. 1942-1992, Kampen 1995.
Hamel, Martin, Bibel, Mission, Ökumene. Schriftverständnis und Schriftgebrauch in der neueren ökumenischen Missions theologie, Giessen 1993.
Hamilton, Victor P., The book of Genesis, ch. 1-17, (The New International Commentary on the Old Testament), Grand Rapids 1990.
Hamilton, Victor P., The book of Genesis, ch. 18-50, (The New International Commentary on the Old Testament), Grand Rapids 1995.
Heekeren, H.R. van, The urn cemetery at Melolo, East Sumba
(Indonesia), in: Berita Dinas Purbakala (Bulletin of the Archaeological Service of the Republic of Indonesia nr. 3), 1956.
Hesselgrave, David J., Rommen, Edward, Contextualization. Meanings, methods, and models, Grand Rapids 1989. Terje mahan: Konteks tualisasi. Makna, metode dan model, Jakarta.
Hoekendijk, J.C., Kerk en volk in de Duitse zendingswetenschap, z.p. z.j., (proefschrift Utrecht 1948).
Holtrop, P.N., Columbus of Columba? De gereformeerde zending en de cultuur op Sumba in de eerste helft van de twintigste eeuw, in: Gereformeerd Theologisch Tijdschrift 91 (1991), 138-156.
Holtrop, P.N., Vel, J.A.C., Evangelie en paraingu, in: W.B. van Halsema e.a. (ed.), De zending voorbij, Kampen 1995, 227-246.
Holtrop, P.N., (ed.), ZGKN 100. Een bundel opstellen over de zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland tergelegenheid van de honderdjarige herdenking van de Synode van Middelburg 1896, Kampen 1996.
Holtzappel, C.J.G., Het verband tussen desa en rijksorganisatie in prekoloniaal Java. Een ontwikkelings-sociologische studie in historisch perspectief, Leiden 1986.
Holwerda, B., Seminarie-dictaat Richteren, II, Kampen z.j.Hoskins, Janet, Etiquette in Kodi spirit communication. The lips told to pronounce, the mouths told to speak, in: James J. Fox (ed.), To speak in pairs, Cambridge 1988, 29-63.
Hoskins, Janet, The play of time. Kodi Perspectives on Calendars, History, and Exchange, Los Angeles 1993.
Hueting, A., Geschiedenis der zending op het eiland Halmaheira. (Utrechtsche Zendings-vereeniging), Oegstgeest z.j.
Jong, Chr. G.F. de, Recensie van F.D. Wellem, Injil dan Marapu, in:
Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken, 1995 nr. 2, 184-186.
Josselin de Jong, P.E. de, Het begrip ’Anthropologisch Studieveld’, in:
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Indonesië als anthropologisch studieveld, Leiden 1985.
Josselin de Jong, P.E. de, (ed.), Indonesië als anthropologisch stu- dieveld. Een interdisciplinaire benadering, (ICA publicaties 73), Leiden 1985.
Kamma, F.C., De Messiaanse Korèri-bewegingen in het Biaks- Noemfoorse cultuurgebied ², Den Haag z.j. Translation: Koreri, Messianic Movements in The Biak-Numfor Area, The Hague, Martinus Nijhoff, 1972.
Kamma, F.C., ”Dit wonderlijke werk”, Het probleem van de communicatie tussen Oost en West gebaseerd op de ervaringen in het zendingswerk op Nieuw-Guinea (Irian Jaya). 1855-1972. Een socio-missiologische benadering, I, II, Oegstgeest 1976. Terjemahan: Ajaib di mata kita, Jakarta 1981.
Kamphuis, J., Uit verlies winst. Het beeld van God en het komende koninkrijk, (Kamper Bijdragen XXVI), Barneveld 1985.
Kana, Nico L., Dunia orang Sawu, Jakarta 1983.Kana, Nico L., The order and significance of the savunese house in:
James J. Fox (ed.), The flow of life, Cambridge 1980, 221-230.
Kapita, Umbu Hina, Masyarakat Sumba dan adat-istiadatnya, Waingapu 1976.
Kapita, Umbu Hina, Pamangu ndewa/perjamuan dewa, Waingapu 1986.
Kapita, Umbu Hina, Sumba di dalam jangkauan jaman, Waingapu 1976.
Keers, W., An anthropological survey of the Eastern little Sunda islands. De Negrito’s of the Eastern little Sunda islands. The Proto-Malay of the Netherlands East-Indies, (Mededeling nr. LXXIV van de Koninklijke Vereeniging Indisch Instituut), Amsterdam 1948.
Klamer, Marian, Kambera. A language of Eastern Indonesia, Amsterdam 1994.
Kloos, Peter, Culturele antropologie. Een inleiding ³, Assen 1976,Koehler, Ludwig; Walter Baumgartner, Hebräisches und Aramäisches Lexikon zum Alten testament ³, I, neu bearbeitet von Walter Baumgartner, Leiden 1967; III, neu bearbeitet von Walter Baumgartner und Johann Jakob Stamm, Leiden 1983; IV, neu bearbeitet von Johann Jakob Stamm, Leiden 1990.
Kraft, C.H., Christianity in Culture. A study in dynamic biblical theologizing in cross-cultural perspective ³, New York 1981.
Kroeze, J., Het boek Jozua, (Commentaar op het Oude Testament), Kampen 1968.
Kruyt, A.C., De Soembanezen, in: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 78 (1922), 466-608.
Kruyt, A.C., Het animisme in den Indischen Archipel, ’s Gravenhage 1906.
Kuiper, R.T., Leviticus XVIII, of eenige huwelijkswetten van Mozes en hare beteekenis, ook voor onze tijd, in gesprekken en brieven tusschen een ouderling en een lidmaat der Chr. Ger. gemeente, Kampen 1872.
Kuipers, Roel, Huwelijk in Melanesië (Scriptie Gereformeerde Missiologische Opleiding), Middelburg 1994.
Kuper, Adam, Wives for cattle. Bridewealth and marriage in Southern Africa, Londen 1982.
Lambooy, P.J., Sporen van oudere bevolking op Soemba, in: De Macedoniër 31 (1927), 232-238.
Laporan-laporan klasis Digul dan laporan-laporan rapat umum Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia (Irian Jaya), z.p., z.j., (uitgave Sekolah Teologia Menengah, Bomakia).
Leeuwen, C. van, Hosea (De prediking van het Oude Testament), Nijkerk 1968.
Leeuwen, J.A.C. van, Paulus’ zendbrieven aan Efeze, Colosse, Filèmon en Thessalonika, (Kommentaar op het Nieuwe Testament, X), Amsterdam 1926.
Leggett, Donald A., The Levirate and Goel Institutions in the Old Testament. With special attention to the Book of Ruth, (proefschrift V.U.), Cherry Hill 1974.
Lettinga, J.P., Jona/Ruth. Notities bij de Hebreeuwse tekst en proeve van vertaling, (uitgave publicatiecommissie F.Q.I.), Kampen 1996.
Lipinski, E., ???, in: G.J. Botterweck, H. Ringgren (ed.), Theolo- gisches Wörterbuch zum Alten testament, IV, Stuttgart 1982, 717-724.
Loader, J.A., Of Barley, Bulls, Land and Levirate, in: F. García
Martínez e.a. (ed.), Studies in Deuteronomy. In honour of C.J. Labuschagne, Leiden 1994, 123-138.
Luinstra, J.G., Oorlog en zelfstandigwording. De periode 1942-1947, in: W.B. van Halsema e.a. (ed.), De zending voorbij, Kampen 1995, 35-60.
Mace, David R., Hebrew marriage. A sociological study, London 1953.
May, Hermann-Josef (ed.), Die Insel Sumba. Mächte und Mythen der Steinzeit im 20. Jahrhundert, Bonn z.j.
May, Hermann-Josef (ed.), Marapu und Karitu. Mission und junge Kirche auf der Insel Sumba, Bonn 1982.
Mc.Vey, R.T., Southeast Asian Transitions. Approaches through local history, New Haven 1978.
Mitingu, R., Karangan adat Sumba, in: Laporan panitia adat istiadat Sumba-Sabu (rapport aan synode G.G.R.I.-N.T.T. 1989), 2-5.
Morgenstern, J., Beena Marriage (matriarchaat) in Ancient Israel and its historical implications, in: Zeitschrift für die Alttestamentliche Wissenschaft, N.F. VI (1929), 91-110, VIII (1931), 46-58.
Morrison, M.A., D.I. Owen (red.), Studies on the Civilization and culture of Nuzi and the Hurrians, Festschrift E.R. Lacheman, Winona Lake 1981.
Needham, Rodney, Circulating connubium in Eastern Sumba. A literary analysis, in: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 113 (1957), 168-178.
Needham, Rodney, Mamboru. History and structure in a domain of Northwestern Sumba, Oxford 1987.
Needham, Rodney, Principles and Variations in the Structure of Sumbanese Society, (1980), in: James J. Fox (ed.), The flow of life, Londen 1980, 21-47.
Neufeld, E., Ancient Hebrew Marriage Laws. With special references to General Semitic Laws and Customs, Londen 1944.
Niebergall, Alfred, Ehe und Eheschliessung in der Bibel und in der geschichte der alten Kirche, Marburg 1985.
Niessen, S.A., Motifs of life in Toba-Batak texts and textiles, Leiden 1985.
Nieuwsbrief. Van en over Soemba. Een uitgave van: Vereniging S.O.S. (Steun Oost Soemba) 176 (Des 1996).
Nooteboom, C., Oost-Soemba. Een volkenkundige studie (Ver han- delingen Koninklijk Instituut voor taal-, land- en Volken kunde, dl 3), ’s Gravenhage 1940.
Noth, Martin, Die Welt des Alten Testaments. Einführung in die Grenzgebiete der alttestamentlichen Wissenschaft1, Berlin 1962.
O’Brien, Denise, ’Weibliche Ehemänner’ in Südbantu-Gesellschaften, in: Gisela Völger, Karin v. Welck (ed.), Die Braut. Geliebt. Verkauft. Getauscht. Geraubt, II, Köln 1985, 568-574.
Ohmann, H.M., Het Hooglied: De koning te rijk, Barneveld 1988.Ohmann, H.M., Tellingen in de woestijn. Schetsen over het boek Numeri, Bedum 1983.
Onvlee, L., Cultuur als antwoord. Verzamelde opstellen van prof. dr.
L. Onvlee, ’s Gravenhage 1973.
Onvlee, L., Cultuur als antwoord (1961), in: Cultuur als antwoord, 283-283.
Onvlee, L., De betekenis van vee en veebezit (1952), in: Cultuur als antwoord, 10-26.
Onvlee, L., Enige opmerkingen aangaande Sumbase taal en literatuur (1936), in Cultuur als antwoord, 165-196.
Onvlee, L., Grondrechten in verband met de structuur van een landschap (1935), in: Cultuur als antwoord, 57-64.
Onvlee, L., Kabisu-Marapu (1969), in: Cultuur als antwoord, 102-113.Onvlee, L., in samenwerking met Oe. H.Kapita en met medewerking van P.J. Luijendijk, Kamberaas (Oost-Soembaas)-Nederlands woordenboek, Leiden 1984.
Onvlee, L., Mannelijk en vrouwelijk in de sociale organisatie van Soemba, in: R. Schefold, J.W. Schoorl en J. Tennekes (ed.), Man, meaning and history, 1980, 45-52.
Onvlee, L., Naar aanleiding van de stuwdam in Mangili. Opmerkingen over de sociale structuur van Oost-Soemba, in: Bijdragen tot de taal-, land- en Volkenkunde, deel 105, afl. 4 (1949), 445-459.
Onvlee, L., Na huri Hapa (1933), in: Cultuur als antwoord, 27-45.
Onvlee, L., Tana mema, Tana dawa (1969), in: Cultuur als antwoord, 114-132.
Onvlee, L., Uit de levensgang van de mens (1969), in: Cultuur als antwoord, 65-101.
Onvlee, L., Verwantschapbetrekkingen (1930), in: Cultuur als ant- woord, 46-50.
Oosterhuis, Th., Met beide benen op de grond. Een oriëntatie in de evangelische discussie over Evangelie en Cultuur, (doctoraalscriptie Theologische Universiteit, Broederweg 15 Kampen), 1995.
Otto, Eckart, Körperverletzung oder Verletzung von Besitzrechten, in:
Zeitschrift für die Alttestamentliche Wissenschaft 105 (1993), 153-165.
Oudenrijn, M.A. van den, Het Hooglied. De Boeken van het Oude Testament, Roermond 1962.
Parman, Justin , The influence of customs (adat) concerning brideprice and Christian marriage in Irian Jaya, (doctoraalscriptie Theologische Universiteit, Broederweg 15 Kampen), 1984.
Patai, Raphael, Family, Love and the Bible, London 1960.Pedoman ajaran Alkitab tentang perkawinan. Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia (Irja), Bomakia z.j.
Persoon, Gerard A., Vluchten of veranderen. Processen van verandering en ontwikkeling bij tribale groepen in Indonesië, Alphen aan de Rijn 1994.
Plaisier, B., Over bruggen en grenzen. De communicatie van het evangelie in het Torajagebied (1913-1942), Zoetermeer 1993.
Platenkamp, J.D.M., Tobelo. Ideas and values of a North Moluccan Society, Leiden 1989.
Pol, D., Midden-Java ten Zuiden, (Onze zendingsvelden IV), ’s
Gravenhage 1922.
Poulssen, N., Tobit, (De Boeken van het Oude Testament), Roermond 1968.
Prins, J., De indonesische huwelijkswet van 1974, Nijmegen 1977.
Procksch, Otto, Die Genesis ², ³, (Kommentar zum Alten Testa ment), Leipzig 1924.
Quarles van Ufford, Ph., Grenzen van internationale hulpverlening, Assen 1980.
Radjah, B.N., Sejarah Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia NTT
(GGRI-NTT), khusus Sumba-Timur, Melolo 1989 (uitgave van Sekolah Teologia Menengah, Wai Marangu).
Reenders, H., Recensie van B. Plaisier, Over bruggen en grenzen, in:
Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken, 2 (1995), 83, 84.
Reenders, H., Zending voor de oorlog. De periode 1881-1942, in:
W.B. van Halsema e.a. (ed.), De zending voorbij, Kampen 1995, 1-33.
Rheubottom, D.H., Dowry and Wedding Celebrations in Yugoslav Macedonia, in: J.L. Comaroff (ed.), The meaning of marriage payments, Londen 1980, 221-249.
Ridder, R. de, J.A.J. Karremans (ed.), The Leiden tradition in Struc- tural Anthropology. Essays in honour of P.E. de Josselin de Jong, Leiden 1987.
Ruijter, A. de, Breakdown or breakthrough, in: R. de Ridder, J.A.J.
Karremans (ed.), The Leiden tradition in Structural Anthropology, Leiden 1987, 85-98.
Ruijter, A.de, Een speurtocht naar het denken. Een inleiding tot het structuralisme van Claude Lèvi-Strauss, Assen 1979.
Schefold, Reimar, Cultural anthropology, future tasks for Bijdragen, and the Indonesian Field of Anthropological Study, in: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 150-IV (1994), 805-825.
Schefold, Reimar, Der Segen der Braut. Heiratsformen in Indonesien, in: Gisela Völger, Karin v. Welck (ed.), Die Braut. Geliebt. Verkauft. Getauscht. Geraubt, II, Köln 1985, 494-503.
Schefold, Reimar, Vincent Dekker, Nico de Jonge (ed.), Indonesia. Apa kabar? Oude tradities-nieuwe tijden, Meppel 1988,
Schefold, Reimar, Indonesische rijkdom, in: Reimar Schefold, Vincent Dekker, Nico de Jonge (ed.), Indonesia. Apa kabar? Meppel 1988, 2-11.
Schefold, Reimar, Lia. Das grosse Ritual auf den Mentawai-Inseln (Indonesien), Berlijn 1988.
Schefold, R., J.W. Schoorl en J. Tennekes (ed.), Man, meaning and history. Essays in honour of H.G. Schulte Nordholt, (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor taal-, landen Volkenkunde, nr. 89, 1980), Schefold, Reimar, Mentawai: kosmos als netwerk van de zielen, in:
Reimar Schefold, Vincent Dekker, Nico de Jonge (red.), Indonesia. Apa kabar? Oude tradities-nieuwe tijden, Meppel 1988.
Schefold, Reimar, The meaningful transformation: the anthropolo gi cal field of study, the analysis of myths and the gender perspective, in: Henri J.M. Claessen (ed.), Variant Views, Leiden 1989, 94-132.
Schefold, Reimar, The unequal brothers-in-law. Indonesia as a ’field of anthropological study’ and the case of Mentawai, in: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 142 (1986), 69-86.
Schilder, H.J., Richteren en Ruth: Een vacature vervuld, Kampen 1982.Schilder, K., Heidelbergsche Catechismus I, Goes 1947. Schoneveld, J., De betekenis van de lossing in het boek Ruth, (inaugurele rede Brussel), ‘s Gravenhage 1956.
Selms, A. van , The best man and bride- from Sumer to St. John, with a new interpretation of Judges, chapters 14, 15, in: Journal of Near Eastern Studies, IX, 65-75.
Seters, John van, Abraham in history and tradition, New Haven 1975. Soekanto, Meninjau hukum adat Indonesia. Suatu pengantar untuk mempelajari hukum-hukum adat ³, Jakarta 1981.
Stoebe, H.J., David und Mikal. Uberlegungen zur Jugendgeschichte Davids, in: J. Hempel, L. Rost (ed.), Von Ugarit nach Qumran. Beiträge zur alttestamentlichen und altorientalischen Forschung, Berlin 1958.
Strack, Hermann L., en Paul Billerbeck, Das Evangelium nach Matthäus. Erläutert aus Talmud und Midrasch, München 1922.
Strack, Hermann L., en Paul Billerbeck, Das Evangelium nach Markus, Lukas und Johannes und die Apostelgeschichte. Erläutert aus Talmud und Midrasch, München 1924.
Straten, L.B. van, De indonesische bruidsschat, Gorinchem 1927.Strathern, Andrew, The Central and the Contingent. Bridewealth among the Melpa and the Wiru, in: J.L. Comaroff (ed.), The meaning of marriage payments, Londen 1980, 49-66.
Stroete O.S.A., G. te, Exodus, (De Boeken van het Oude Testa ment), Roermond 1966.
Studi Kasus Pastoral, I, Sumut, Disusun oleh SEAGST Institute of Advanced Pastoral Studies bersama dengan Panitia Metode Studi Kasus, Jakarta 1985.
Synode van de Kerken van Oost-Soemba (en de met haar verbonden kerken). Vergaderd te Mau Maru van 26 tot 28 februari 1957.
Tambiah, S.J., Dowry and Bridewealth and the Property Rights of Women in South Asia, in: Jack Goody, S.J. Tambiah, Bridewealth and Dowry, Cambridge 1973, 59-169.
Thompson, Thomas L., The historicity of the patriarchal narratives,
The quest for the historical Abraham, New York 1974.
Toorn, Karel van der, Van haar wieg tot haar graf. De rol van de godsdienst in het leven van de Israëlitische en de Baby lonische vrouw, Baarn 1987.
Touwen-Bouwsma, Elly, Staat, Islam en lokale leiders in West- Madura, Indonesië. Een historisch-antropologische studie, Kampen 1988.
Yewangoe, A.A., Het theologisch onderwijs, in: W.B. van Halsema e.a. (ed.), De zending voorbij, Kampen 1995, 101-124.
Yewangoe, A.A., Pendamaian. Suatu studi mengenai pemulihan relasi Allah, manusia, alam, Jakarta 1983.
Vaux, R.de, Les Institutions de l’ Ancien Testament, I, Parijs 1959 (Hoe het oude Israël leefde, I, Roermond 1961).
Vel, J.A.C., Van Veldhuizen L.R., Sociaal-economisch werk, in: W.B. van Halsema e.a. (ed.). De zending voorbij, Kampen 1995, 195-226.
Vel, Jacqueline, The Uma-economy. Indigenous economics and development work in Lawonda, Sumba (Eastern Indonesia), Wageningen 1994.
Vermeulen, H.F., P.E. de Josselin de Jong and the Leiden tradition.
A short history, in: R. de Ridder, J.A.J. Karremans (ed.), The Leiden Tradition in Structural Anthropology, Leiden 1987, 4-63.
Völger, Gisela, Karin v. Welck (ed.), Die Braut. Geliebt. Verkauft.
Getauscht. Geraubt. Zur Rolle der Frau im Kulturvergleich, II, Köln 1985.
Vriezen, Th.C., Onderzoek naar de paradijsvoorstelling bij de oude Semitische volken, Wageningen 1937.
Waar de velden wit zijn. Schetsen van Oost-Soemba, Gouda z.j. Watuwaya, Mk. Ndj., en U. Ngg. Rawambaku, Karangan adat Sumba, in: Laporan panitia adat istiadat Sumba-Sabu (rapport aan synode G.G.R.I.-N.T.T. 1989), 6-17.
Weber, Max, Wirtschaft und Gesellschaft. Grundriss der verstehenden soziologie 4, besorgt von Johannes Winckelmann, I, II, Tübingen 1956.
Wellem, F.D., Injil dan Marapu. Suatu studi historis-teologis tentang perjumpaan Injil dengan masyarakat Sumba pada periode 1876-1990, Jakarta 1995.
Wenham, Gordon J., Genesis 1-15, (Word Biblical Commentary), Waco 1987.
Wessels, A.A., Enkele notities over de ’Gereformeerde Zending’ op Sumba, in: Gereformeerd Theologisch Tijdschrift 88 (1988), 171-173.
Westermann, Claus, Genesis, (Biblischer Kommentar Altes Testament), Neukirchen 1968.
Wielenga, D.K., De zending op Soemba ³. Herzien en bijgewerkt door T. van Dijk en ds P.J. Luijendijk, Hoenderlo 1949.
Wielenga, D.K., Merkwaardig denken. Schetsen uit de soembaneesche gedachtenwereld, Kampen 1933.
Wielenga, D.K., Oemboe Dongga. Het kampong-hoofd op Soemba, Kampen 1928.
Wielenga, D.K., Soemba. Slavenhandel, in: De Macedoniër. Algemeen zendingstijdschrift XIII (1909), 300-306.
Wielenga, D.K., J.D. Zn, Sanctorum Communio, in: Almanak Fides Quadrat Intellectum 1971, Kampen 1971, 67-89.
Wolff, Hans Walter, Dodekapropheton, I, Hosea 2, (Biblischer Kommentar Altes Testament), Neukirchen 1965.
Woude, A.S. van der, 1 Reg. 20:34, in: Mitteilungen. Zeitschrift für Alttestamentlicher Wissenschaft, 76 (1964), 188-191.
Woude, A.S. van der, Micha (De prediking van het Oude Testa ment), Nijkerk 1976.
Wouden, F.A.E. van, Locale groepen en dubbele afstamming in Kodi, West-Sumba, in: Bijdragen tot de taal-, land en Volkenkunde, 112 (1956), 204-246. Terjemahan: Kelompok-kelompok setempat dan garis keturunan kembar di Kodi, Sumba Barat, Ja karta 1981.
Wouden, F.A.E. van, Sociale structuurtypen in de Groote Oost, Leiden 1935, Terjemahan: Types of social structure in Eastern Indonesia. English translation by Rodney Needham. Preface by G.W. Locher, Den Haag 1968; Klen, mitos dan kekuasa an: struktur sosial Indonesia bagian Timur, Jakarta 1981.
Z.O.Z.. De keerzijde van de medaille. Verantwoording van S.J.P.
Goossens v.d.m., z.p., z.j.
Zimmerli, Walther, Ezechiel. I, (Biblischer Kommentar Altes Testament), Neukirchen 1969.
Ziskind, Jonathan R., The missing daughter in Leviticus xviii, in:
Vetus Testamentum, 46 (1996), 125-130.