I. HARGA KAWIN

Pengantar

Bagian ini membahas pembayaran yang dilakukan berkaitan dengan perkawinan. Ternyata pembayaran seperti itu merupakan fenomena universal yang dapat ditemukan dalam tiap masyarakat tradisional. Kami lebih dahulu akan membahas peristilahannya (terminologi) dan dalam orientasi awal akan diuraikan dua sistem yang berbeda. Sistem pertama mengutamakan pemberian oleh pihak perempuan (misalnya mas kawin), dalam bahasa Inggris disebut dowry, dalam bahasa Belanda bruidsgift. Untuk hal ini kami akan menggunakan istilah ”isi kawin”. Sistem yang kedua mengutamakan pembayaran oleh pihak laki-laki. Belis yang diberikan di Sumba termasuk jenis kedua ini. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah brideprice, dalam bahasa Belanda bruidsprijs. Untuk hal ini kami akan menggunakan istilah ”harta kawin”.

Pembahasan ini mencakup juga dunia Timur Tengah, sebab di sanalah lahirnya Kitab-kitab Suci, dan Eropa, di mana gereja Kristen kuno berkembang. Kami pun berorientasi ke bidang antropologi dan menjumpai berbagai aliran yang berbeda dalam ilmu ini.

I. Harga Kawin

1. Terminologi

”Harga kawin” bukan istilah baku dalam ilmu antropologi. Kendati demikian, dalam studi ini kami menggunakannya karena dibutuhkan istilah tertentu yang mencakup, baik pemberian dari pihak perempuan (isi kawin, seperti dowry, ”mas kawin”), maupun pembayaran dari pihak laki-laki (”harta kawin”, brideprice, yang dalam bh Sumba Timur disebut belis). Pembedaan ini kami pinjam dari ilmu antropologi.

Isi kawin” diserahkan oleh keluarga mempelai perempuan kepada mempelai perempuan, bukan kepada mempelai laki-laki atau keluarganya. Memang ada hadiah balasan dari keluarga mempelai laki-laki, tetapi pemberian itu tidak bersifat menentukan.

Istilah ”isi kawin yang tidak langsung”, mengacu ke pemberian dari calon suami atau keluarganya yang diberikan kepada keluarga perempuan, dengan maksud agar keluarga itu meneruskannya kepada mempelai perempuan. ”Harta kawin” tidak ditujukan kepada mempelai perempuan dan tidak juga berasal dari mempelai laki-laki. ”Harga kawin” dibayar oleh keluarga pi hak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan. Dalam hal ini juga ada pemberian balasan, yaitu dari keluarga pihak perempuan.

Perlu diperhatikan bahwa ”harta kawin” bukan pemberian untuk membalas ”isi kawin”, atau sebaliknya. Kedua jenis pembayaran itu termasuk dua sistem berbeda. Ada masyarakat yang memakai sistem ”isi kawin”, ada yang mengikuti sistem ”harta kawin”. Dalam masingmasing terdapat pemberian balasan yang diatur oleh adat.3

Untuk menunjukkan kelompok keluarga yang berperan dalam pengurusan harga kawin, kami menggunakan istilah-istilah seperti klen dan sub-klen.

Di samping istilah ”klen” (bh Indonesia), kami akan memakai marga (bh Batak), dan kabihu (bh Sumba). Kelompok kekerabatan yang satu tingkat di bawah klen akan kami sebut ”sub-klen” (Inggris: lineage) atau uma (Sumba). Khususnya ”sub-klen” mengacu ke kelompok unilineal, yang ditentukan oleh keturunan, entah melalui garis laki-laki (patrilineal) atau garis perempuan (matrilineal).

Istilah-istilah bahasa Inggris agnates dan cognates mengacu ke paham ”keturunan”. Agnates adalah keturunan lewat garis laki-laki, yaitu mereka yang (dalam sistem patrilineal) tetap terhisab pada klen. Cognates mengacu ke seluruh keturunan sepasang suami istri, termasuk anak perempuan yang pada saat menikah menjadi anggota klen suaminya.

Istilah bahasa Inggris affines mengacu ke semua anggota klen yang dengannya klen sendiri menjalin hubungan dengan jalan mengambil atau memberi perempuan.

Perkawinan preskiptif adalah sebuah hubungan suami istri yang diatur oleh adat.

Dalam perkawinan preskriptif dibedakan eksogami dan endogami. Eksogami mengacu ke kewajiban menikahi seseorang dari luar klen sendiri. Sebaliknya, endogami mewajibkan anggota klen menikahi seorang anggota klen sendiri.

Istilah-istilah patrilineal dan matrilineal mengacu ke keturunan, bukan ke marga tempat mengambil perempuan. Dalam sistem patrilineal seorang anak terhisab pada klen ayahnya, dalam sistem matrilineal pada klen ibunya.

Berkaitan dengan klen tempat mengambil perempuan, digunakan istilah patrilateral dan matrilateral.

Selanjutnya, perkawinan cross-cousin adalah perkawinan dengan anak saudara perempuan. Perkawinan parallel-cousin ada lah perkawinan dengan anak saudara laki-laki. Lebih tepat lagi (dengan menggunakan paham sibling = saudara sekandung, dari ayah dan ibu yang sama), perkawinan cross-cousin adalah perkawinan antara keturunan dari sibling yang berbeda jenis, sedangkan perkawinan parallel-cousin adalah perkawinan antara keturunan dari sibling yang sejenis.

Sistem perkawinan yang sering ditemukan adalah cross-cousin matri lateral: mempelai perempuan dipilih dari pihak keluarga ibu. Yang paling disukai ialah putri saudara laki-laki dari ibu. Sebutan singkat: MBD (mothers-brothers daughter). Jenis perkawinan ini sangat populer di Indonesia Timur dan di banyak bagian dunia yang lain.

2. Orientasi Awah

Sistem ”isi kawin” ditemukan di Timur Tengah dan di India. Pada masa lalu sistem ini berlaku juga di Eropa.

Sistem ”harta kawin”, selain di Indonesia ditemukan juga di Afrika di sebelah selatan Sahara. Pada umumnya, dalam masyara kat yang memakai sistem ”harta kawin” pertalian antarkeluarga dijunjung tinggi.

Lain lagi makna kebiasaan ”isi kawin”. Menurut para ahli, isi kawin adalah babak pertama penyerahan warisan. Baik sistem ”isi kawin” maupun ”harta kawin” dapat disalah gunakan. Dalam sis tem ”harta kawin”, mempelai perempuan dapat merasa ”telah dijual”. Dalam sistem ”isi kawin” mempelai perempuan bisa meng alami perlakuan tidak wajar jika ”isi kawin” yang di bawanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak laki-laki.

Adat perkawinan dalam masyarakat tradisional terjalin dengan agama tradisional. Apakah karena itu orang-orang Kristen wajib menolak seluruh adat perkawinan itu? Atau, adakah unsur-unsur yang dapat dipertahankan, terlepas dari agama yang lama?

Pertanyaan seperti itu sangat penting dan perlu dicari jawabannya. Ada yang berpendapat bahwa harta kawin dalam bentuk apa pun harus ditolak oleh gereja Kristen, sebab seorang perempuan tidak boleh ”dijual”. Bukankah perempuan dan laki-laki sederajat, setara, keduanya dicip takan menurut gambar Allah (Kej 1:26)?

Tetapi, ada juga yang menyatakan bahwa ”harga kawin” itu ber manfaat, khususnya dalam masyarakat tradisional. Adanya adat tersebut mendukung upaya menjaga stabilitas masyarakat dan meng hindari kekacauan.

2.1. Dunia Timur Tengah dan Eropa

Di sekitar Laut Tengah dan di Eropa kuno ditemukan adat yang serupa dengan tradisi ”isi kawin”, begitu pula di kawasan Afrika Utara. Di Afrika sub-Sahara berlaku adat ”harta kawin”.4 Sistem ”isi kawin” ditemukan juga pada bangsa Israel kuno, termasuk para bapa leluhur, Abraham, Ishak, dan Yakub. Sayang sekali, dalam ilmu Alkitab hal itu sering tidak mendapat perhatian. Akibatnya, kata Ibrani: mohar, sering ditafsirkan sebagai ”harta kawin”. Pada hal, arti yang sebenarnya adalah ”isi kawin”.

Melalui agama Islam, adat perkawinan Timur Tengah disebarkan ke sebagian besar Afrika dan Asia. Adat ”isi kawin” ditemukan di tiap daerah Islam. Istilahnya dalam bahasa Arab mahr (serumpun dengan Ibrani: mohar). Kita menemukannya juga di kalangan Islam Indonesia. Perlu di perhatikan bahwa mahr itu bukan ”harta kawin” yang lazim diberikan dalam masyarakat Indonesia tradisional. Tegasnya, mahr itu adalah ”isi kawin tidak langsung”, yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada orangtua mempelai perempuan, dengan maksud agar mereka meneruskannya kepada anak mereka.5 Pranata Islam ini berasal dari budaya yang sudah ada di Semenanjung Arab sebelum tumbuhnya agama Islam.

Adapun Eropa dapat dikatakan bahwa budaya perkawinan yang lama sudah menghilang. Maka timbul perta nyaan, apakah gejala itu disebabkan oleh punahnya masya rakat tradisional (suku)?

Atau, adakah sebab yang lain? Per kembangan keluarga dan perkawinan di Eropa telah diteliti oleh seorang ahli bernama Jack Goody. Menurutnya, Gereja Katolik Roma berperan besar dalam per kembangan itu. Apakah telah berlangsung proses pengkris ten an? Apa kah penilaian kita terhadap proses itu?

Menurut Goody, budaya Eropa berasal dari wilayah Laut Tengah. Pada zaman Kekaisaran Romawi wilayah itu merupakan satu kesatuan. Pada waktu itu sistem harga kawin yang biasa digu nakan di seluruh wilayah itu adalah sistem ”isi kawin”. Sistem ini disertai endogami. Di dunia orang-orang Arab, termasuk Afrika Utara, kebiasaan itu bertahan sampai sekarang. Orang Arab sampai sekarang menyukai perkawinan antara anak lelaki mereka dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ayah. Dengan demikian, warisan orangtua tetap tinggal di dalam suku. Dalam masyarakat Eropa kuno pun biasanya terjadi perkawinan dalam lingkungan klen.

Akan tetapi, dalam Abad Pertengahan, sesudah hancur nya Kekaisaran Romawi bagian Barat, masyarakat Eropa, khususnya Eropa Barat, beralih ke sistem eksogami. Menurut Goody, per kem bangan ini diupayakan oleh gereja, yang pada abad ke-5 hingga ke-9 meluas ke seluruh Eropa Barat. Kata Goody, gereja menentang endogami berdasarkan tafsirannya tentang bagian-bagian tertentu dalam Perjanjian Lama, khususnya Imamat 18. Tetapi, pada hemat kami tafsiran itu tidak mungkin benar, karena masyarakat Israel tidak pernah menolak endogami. Dengan mempromosikan eksogami, ge reja mau melemahkan ikatan-ikatan keluarga supaya gereja dapat dengan lebih mudah memperoleh harta milik, khususnya dari mereka yang meninggalkan kaum keluarga untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan kepada gereja sebagai biarawan dan biarawati, dan dengan demikian menjadi tanggungan gereja. Sebab, isi kawin biarawati menjadi milik gereja. Introduksi selibat dan larangan gereja mengenai per ka winan ulang janda atau duda berlatar belakang sama. Bila terjadi pelanggaran terhadap salah satu hukum perkawinan, gereja dapat memberikan pengampunan asal sebagian harta milik yang ber sangkutan diberikan kepada gereja. Dan melalui harta miliknya yang makin banyak itu gereja dapat memelihara para rohaniwan dan orang-orang miskin.

Karena pengaruh gereja, lama-kelamaan adat perkawinan tradisional ditinggalkan. Akibatnya, praktik perkawinan di Eropa dewasa ini berbeda jauh dengan adat perkawinan di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Barat. Masyarakat makin berubah; indi vidu yang lebih diperhatikan.6

2.2. Berbagai Aliran Antropologi

Dalam ilmu antropologi dibedakan tiga aliran besar: fungsionalisme, strukturalisme, marxisme.7 Karena studi ini fokus pada ”har ga kawin”, ketiga aliran itu dibedakan berdasarkan interpretasi masingmasing tentang asal dan makna ”harga kawin”.

Menurut penganut fungsionalisme, ”harga kawin” menge sahkan perkawinan dan mengalihkan hak atas dan kewajiban terhadap anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu. Pada umumnya, hak dan kewajiban itu diserahkan kepada keluarga pihak laki-laki.

Penganut strukturalisme selalu mengutamakan pertalian antara klen-klen. Perkawinan adalah sarana pengikatan aliansi. Karena menukarkan perempuan secara langsung sulit terjadi, maka dikembangkanlah sistem ”harga kawin”.

Menurut penganut marxisme, masyarakat berpusat pada pembagian kuasa secara ekonomi. Generasi tua menggunakan ”harga kawin” untuk mengendalikan generasi muda. Sebab, kalau hewan untuk ”harta kawin” tidak diberikan, calon mempelai tidak dapat menikah.

Menurut pemikiran Julia Ballot, yang telah meneliti perkembangan harga kawin dan posisi perempuan di Afrika bagian selatan, gambaran yang dilukiskan oleh ketiga aliran tersebut tidak memadai. Ternyata di Afrika terdapat banyak pengecualian. Posisi perempuan tidak sejelek yang sering diduga orang.

Ketiga aliran tersebut terutama memperhatikan harta kawin dan kurang menaruh perhatian pada isi kawin. Khu sus nya aliran strukturalisme, sangat peka terhadap penga ruh harta kawin. Antro polog yang terkenal C. Lèvi-Strauss menaruh perhatian sepenuh nya pada harta kawin dan aliansi (pertalian) antarkelompok serta antarkeluarga.8 Wawasan Lèvi-Strauss didasarkan pada keyakinan bahwa terdapat sejumlah struktur pemikiran yang merupakan milik bersama seluruh umat manusia. Dalam proses berpikir, manusia selalu mempertentangkan hal-hal yang berlawan an (ber opo sisi, berpolarisasi), namun selalu juga mengindahkan ketimbal balikan (resiprositas), bahkan juga mau memper temukan kembali kedua pihak yang bertentangan melalui pihak ketiga. Pola pemikiran manusia tercermin dalam struktur masyarakat, mi salnya dalam pemberian timbal balik, termasuk di bidang per ka winan. Per kawinan merupakan alat komunikasi yang penting antarmanusia. Yang dimaksud bukan komunikasi antara suami dan istri, melainkan komunikasi antarkelompok (antarkeluarga).

Bukan jumlah data yang terpenting, melainkan logika nya. Jika suatu struktur dapat diterangkan secara logis, dapat diyakini bahwa telah ditemukan tafsiran yang baik. Lèvi-Strauss bahkan mengatakan, ”Antropologi adalah antro pologika”.

Aliran strukturalisme sangat laku di kalangan para pene liti budaya Indonesia. F.A.E. van Wouden telah menge mukakan tesis bahwa ciri khas pelbagai budaya Indonesia Timur adalah peran perkawinan cross-cousin matrilateral (MBD) sebagai inti dari segala kegiatan antarsuku.9 Dalam hal ini Van Wouden (yang ada lah seorang murid J.P.B. de Josselin de Jong di Leiden) bahkan mendahului Lèvi-Strauss. Lèvi-Strauss pernah menyesali bahwa baru pada akhir masa kerjanya ia menemukan karangan-karangan yang memuat hasil penelitian kedua tokoh Leiden tersebut. ”The object of structuralism is systems of thought and representations,” kata Josselin de Jong10, sama seperti Lèvi-Strauss.

Sampai sekarang, Indonesia Timur merupakan bidang pene litian kesukaan para antropolog11. P.E. de Josselin de Jong meneruskan pekerjaan J.P.B. de Josselin de Jong, dan mulai dari dia para ahli di Universitas Leiden menaruh perhatian bukan hanya pada Indonesia Timur, melainkan pada seluruh Indonesia. Kegiat an ke lompok antropolog ini disebut Penelitian FAS (Field of Antro pological Study) atau Leiden School.12

Menurut konsep FAS, budaya Indonesia sebagai bidang penelitian ditentukan oleh empat unsur atau ciri:131. Perkawinan cross-cousin matrilateral antara kesatuan-kesatu an lineal.

2. Sistem turunan unilineal kembar, yaitu baik melalui garis laki-laki maupun melalui garis perempuan; anak laki-laki mendapat warisan dari bapak, anak perempuan dari ibu.
3. Dualisme kosmis sosial dengan ciri-ciri seksual.4. Inkorporasi selektif pelbagai pengaruh dari luar, misalnya dari agama Hindu dan Islam, yang tidak pernah mengakibatkan perubahan asasi budaya lokal. Tetapi, unsur terakhir ini sudah dilepaskan, sebab tidak memberi informasi tam bahan tentang budaya asli.14

3. Tipe-tipe Sistem Isi Kawin (India, Makedonia)

India

Ada yang mengatakan bahwa di India adakalanya bayi perempuan dibunuh karena orangtuanya khawatir kalau-kalau nanti, bila anaknya hendak dinikahkan, mereka tidak sanggup memberi isi kawin yang layak. Sering juga, katanya, dilakukan pengguguran kandungan bila pemeriksaan medis telah membuktikan bahwa ja nin dalam kandungan itu berkelamin perempuan. Ada juga kabar mengenai pengantin perempuan yang terbakar, pura-pura kena api di dapur, tetapi sebenarnya karena dibakar dengan sengaja, atau membakar diri, karena isi kawin yang dibawanya tidak memuaskan keluarga suaminya. Di samping itu, ada juga perkawinan yang di dalamnya isi kawin turut membangun kelestarian rumah tangga baru dan kehidupan bermasyarakat.

Seorang antropolog India, S.J. Tambiah, menjelaskan bahwa sistem isi kawin yang lazim di India dan sistem harta kawin yang dipakai di Afrika berbeda dasarnya.15 Perbedaan itu telah kami uraikan di atas.

Di Afrika, harta yang diberikan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan tidak dinikmati oleh rumah tangga yang baru. Harta itu ditujukan kepada ayah si perempuan, supaya dia nanti dapat menyelesaikan segala urusan perkawinan anaknya laki-laki. Sebaliknya, di India isi kawin diberikan kepada pengantin perempuan yang membawanya ke rumah si laki-laki, dan di sana isi kawin tersebut menjadi milik rumah tangga baru, demi kepentingan anak mereka kelak. Di India seorang laki-laki baru mendapat bagiannya pada saat ayahnya meninggal. Pada waktu pengikatan perkawinan, keluarga perempuan sudah memperhitungkan warisan yang akan diterima kelak oleh menantu mereka. Berdasarkan besar kecilnya warisan itulah mereka menetapkan besarnya isi kawin.

India tidak mengenal perkawinan preskriptif. Laki-laki bebas memilih pasangannya, ia tidak wajib mencari istri dalam lingkungan suku-suku tertentu. Tetapi, sering diusahakan, khusus nya oleh keluarga perempuan, untuk mengukuhkan kedudukan sendiri dalam masyarakat melalui perkawinan dengan seseorang dari keluarga yang berkedudukan tinggi. Khususnya hal itu terjadi di Punjab, India Utara, di mana sistem isi kawin sangat dijunjung tinggi.

Tidak ada kata khusus untuk ”isi kawin”. Sebab, dalam istilah tersebut tercantum banyak unsur. Dapat dipakai kata stridhanam, meskipun kata tersebut sebenarnya mengacu ke sebagian warisan perempuan. Stridhanam tidak berupa tanah, tetapi terdiri atas bendabenda berharga. Demikian juga isi kawin terdiri dari perhiasan dan benda-benda warisan lain yang disebut sulkam. Ada fakta yang mencolok, yaitu bahwa ketika perempuan meninggal, sulkam tidak diwariskan kepada anaknya, tetapi kembali ke saudaranya laki-laki. Karena itu, Tambiah menafsirkan bahwa sebenarnya, pada masa lalu isi kawin itu adalah harta kawin, yang perlu diteruskan dari orangtua kepada anak laki-laki dan yang kembali ke pemilik yang sah, yaitu laki-laki, pada saat saudara perempuan mereka meninggal. Menurut Tambiah, di India perkembangan dari harta kawin ke isi kawin berlangsung belakangan.

Tambiah menegaskan bahwa isi kawin dan harta kawin masing-masing mempunyai keuntungannya sendiri. Dalam budaya harta kawin, bila terjadi perceraian, harta kawin harus dikembalikan kepada keluarga pihak laki-laki. Jadi, keluarga pihak perempuan tidak akan setuju bila si perempuan lari dari rumah suaminya. Tetapi, dalam sistem isi kawin, harta itu tetap menjadi milik perempuan, juga bila kemudian terjadi perceraian. Karena itu, seorang laki-laki tidak akan dengan mudah mengusir istrinya.

Makedonia

Makedonia terletak di bagian Eropa yang disebut Balkan. Wilayah itu (yang kini sudah merupakan negara merdeka) berbatasan dengan Yunani Utara. Di sana masih ditemukan kebiasaan-kebiasaan yang di bagian-bagian Eropa lainnya telah punah.16 Pada upacara perkawinan, orang mempertontonkan komponen-komponen isi kawin, yakni perhiasan-perhiasan yang menjadi milik keluarga dan tenunan-tenunan buatan sendiri. Di samping itu, terdapat juga pakaian perempuan dan sejumlah uang. Modal itu disimpan dalam sebuah peti yang kuncinya selalu dibawa oleh perempuan. Setelah diper lengkapi keluarganya dengan segala sesuatu yang diperlukan, mempelai perempuan meninggalkan rumah orangtuanya pada hari perkawinannya dan masuk ke dalam rumah mertua.

Pihak laki-laki memberi hadiah pada hari pertunangan, yaitu pada waktu upacara lamaran resmi. Demikian juga, biaya pesta perkawinan ditanggung oleh keluarga laki-laki. Namun, penge luaran dari pihak keluarga perempuan lebih besar. Kadang-kadang keluarga perempuan bahkan tidak menghadiri pesta perkawinan di keluarga laki-laki. Sesudah pengantin perempuan bersama isi kawin diambil dari rumah orang tuanya, mereka merasa tidak lagi terlibat.

Keluarga laki-laki merasa bangga karena si perempuan tinggal pada mereka. Hanya saja, dia akan diterima tanpa rasa hormat dan akan mengalami masa yang sulit. Jika seorang gadis ingin menikah, tetapi keluarganya menolak, adakalanya dia dibawa lari. Dalam keadaan seperti ini, pihak laki-laki tetap juga merasa bangga, meskipun mereka tidak mendapat isi kawin yang dibawa si perempuan. Pihak perempuan akan sangat malu bila anak mereka lari. Oleh karena itu, orang tua akan mempedulikan anak perempuannya dan sedapat mungkin memberikan perhatian terhadap harapan-harapannya. Lebih baik memberi isi kawin yang mahal daripada diper malukan karena anak perempuannya lari, sekalipun mereka tidak menyukai keluarga laki-laki.

Pernah ada ahli yang menilai bahwa di Makedonia isi kawin bukan warisan, melainkan gaji yang ditangguhkan. Sebab, anak perempuan itu telah turut bekerja dalam rumah tangga orangtua dan memelihara ternak untuk kepentingan mereka. Hanya anak lakilaki yang akan mewarisi tanah dan hewan. Pemberian isi kawin menandakan saatnya pengantin perempuan beralih dari keluarganya yang lama kepada yang baru. Pelayanan yang dilakukan si perempuan dalam rumah tangga orangtuanya telah ber akhir, dan dia diserahkan kepada mempelainya sebagai istri dan calon ibu. Melalui isi kawin, termasuk uang tunai, ia diperlengkapi untuk kehidupannya yang baru.

4. Tipe-tipe Sistem ”Harta Kawin” (Saka-saka Banta di Afrika)

Adam Kuper menulis buku tentang Afrika bagian Selatan dengan judul yang mengesankan, Wives for cattle. Buku ini membahas sistem lobolo, yaitu harta kawin orang Bantu. Ada pepatah orang Bantu yang berbunyi, cattle beget children.17 Kuper tidak hendak mengatakan bahwa hewan itu meru pakan harga beli perempuan, tetapi perkawinan baru dianggap sah dan mempelai perempuan baru masuk dalam keluarga suaminya, setelah keluarga pihak laki-laki memberikan hewan kepada keluarga pihak perem puan.

Menurut Kuper, harta kawin dapat dipandang sebagai ”uang pembeli” anak-anak yang diharapkan lahir dalam rumah tangga baru itu. Pendapatnya itu didasarkan pada kasus per ceraian. Boleh saja dilakukan perceraian, dengan syarat pasang an suami istri itu sudah mempunyai anak, dan anak-anak akan tetap tinggal bersa ma ayah mereka. Bila istri meninggal dunia tanpa anak, harta kawin harus dikembalikan atau keluarga pihak perempuan harus menyerahkan perempuan lain untuk dijadikan istri. Bila suami meninggal sebelum mempunyai anak, istrinya wajib melahirkan keturunan dengan laki-laki lain.

Sebaliknya, menurut Goody harta kawin bukanlah uang pembeli anak, melainkan dana untuk menjalankan sistem pertu karan. Dalam masyarakat tertutup, harta kawin merupakan sejenis dana umum dan menjadi sarana mera takan kekayaan. Sebagian dana itu diserahkan kepada pihak tertentu dan sebagai gantinya pihak itu menanggung kewajiban-kewajiban tertentu.18

Pandangan Kuper dapat dikatakan fungsionalistis, sedangkan pandangan Goody strukturalistis. Hanya sebagian saja dari penduduk Republik Afrika Selatan yang menghendaki agar lobolo dihilangkan, demikian laporan panitia yang dibentuk pemerintah pada tahun 1985, dengan tugas meneliti adat perkawinan. Ada kemungkinan, per aturan-peraturan lama sudah tidak dilaksanakan selengkapnya, tetapi pemberian harta kawin masih selalu ada. Namun, terasa geliat perlawanan dari kalangan mereka yang tidak menghendaki perempuan dipandang sebagai objek perdagangan.

Seorang ahli perempuan Barat yang pernah meneliti kebia saan-kebiasaan di daerah perkotaan sekitar Durban mengamati bahwa lobolo mempunyai fungsi baru, yaitu sebagai lambang harga diri orang Afrika.19

Rumah Tangga Poligami

Di Afrika hanya anggota keluarga dekat saja yang menyum bang untuk harta kawin, bukan semua anggota klen.20 Hal ini dise babkan oleh struktur rumah tangga poligami itu. Dalam rumah tangga yang terdiri atas laki-laki dengan sejumlah istri, tiap rumah merupakan kesatuan mandiri di bawah pimpinan istri penghuni rumah itu. Di antara rumah-rumah para istri seorang kepala rumah tangga berlaku urutan pangkat. Masing-masing rumah mengatur harta kawin bagi anak laki-lakinya sendiri. Kepala rumah tangga hanya mengurus harta kawin untuk anak laki-laki sulung dari istri pertama, dan dia juga yang berhak menerima harta untuk anak perempuannya yang pertama. Adapun anak-anak perempuan yang lain masing-masing diurus oleh rumahnya sendiri, juga dalam hal menerima harta kawin.

Cattle-linked siblings

Tampak di sini betapa pentingnya hubungan antara cattle-linked siblings (saudara-saudara sekandung yang diikat oleh hewan). Artinya, seorang laki-laki tetap berutang kepada saudaranya perempuan dari rumah yang sama. Sebab, dengan harta yang diper oleh untuk anak perempuan, rumah tersebut sanggup membayar harta kawin untuk anak laki-laki. Maka laki-laki tetap di bawah saudaranya perempuan, dan saudara perempuan itu berhak menuntut anak perempuan saudaranya sebagai istri bagi anaknya laki-laki. Dengan demikian, terbentuk perkawinan MBD: cross-cousin matrilateral.

Apabila saudara perempuan itu tidak mempunyai putra, maka putri saudaranya dapat diberikan kepada putrinya sendiri. Tujuan nya bukan menjalin hubungan homoseksual, tetapi bahwa putri pertama itu akan berhubungan dengan seorang laki-laki agar mendapat keturunan, yang akan diang gap sebagai keturunan dari pasangan dua perempuan itu.21

Baik Goody maupun Kuper berpendirian bahwa hubungan antar-cattle-linked siblings bertujuan untuk melanjutkan hubungan antar-sibling bagi kepentingan generasi berikut, bukan untuk mengikatkan hubungan-hubungan affinal antar suku. Menurut Kuper, >struktur masyarakat di Afrika tidak ditentukan oleh kelompok kekerabatan, melainkan ditentukan oleh struktur rumah tangga poligami.

Fokus pada pengantin perempuan atau pada harta kawin?

Pada kelompok suku Bantu tertentu (suku-suku Nguni), penyerahan pengantin perempuan merupakan inti upacara perkawinan. Pada suku-suku lain yang menjadi inti ialah penyerahan harta kawin (Sotho, Tswa na).22 Pada suku-suku Nguni, pesta berlangsung di rumah pengantin laki-laki; sedangkan pada suku Sotho dan Tswana, pesta diadakan di rumah pengantin perempuan.

Pada suku Bantu Nguni, perempuan ikut memilih ca lon suaminya, tetapi setelah ia diserahkan kepada pihak laki-laki ia sudah tidak lagi mempunyai pengaruh. Statusnya sama seperti status perempuan yang diserahkan bersama dengan isi kawin. Pada Bantu Sotho dan Tswa na, yang mencari jodoh adalah laki-laki atau ayahnya. Begitu perempuan masuk ke rumah laki-laki, ia langsung diperlakukan dengan hormat.

Dapat juga dikatakan bahwa pada Bantu Nguni perem puan dianggap sebagai orang asing yang masuk, sedangkan pada suku-suku Sotho dan Tswana (kasus kedua), perempuan dianggap sebagai anggota keluarga dekat yang kedatangannya menguatkan hubungan yang sudah ada.

Keterangan lain lagi: Bantu Nguni memandang perkawinan sebagai pertukaran dalam satu generasi saja, sedangkan pada suku SothoTswana perkawinan dibudayakan sebagai lanjutan dari perkawinanperkawinan sebelumnya.

Barangkali ada juga kaitannya dengan penilaian terhadap hewan yang diberikan: pada suku-suku Nguni (Zulu misalnya), hewan mempunyai nilai komersial, sedangkan pada suku-suku Sotho (suku Lovedu, misalnya) hewan hanya digunakan sebagai harta kawin.23

Perkawinan adat berdasarkan sistem isi kawin dan perkawinan berdasarkan sistem harta kawin tidak perlu dibedakan secara mutlak. Sebab, perkawinan dengan isi kawin yang lazim di India mirip sistem harta kawin pada suku-suku Nguni. Sistem harta kawin pada suku-suku Sotho dan Tswana mirip dengan sistem harta kawin di Indonesia Timur, khususnya dalam hal pengutamaan hubungan keluarga.

5. Indonesia I (Umam, Mentawai, Papua)

Ternyata baik di Afrika bagian Selatan, maupun di Indonesia bagi an Timur orang membudayakan perkawinan MBD (perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu). Akan tetapi, alasannya dapat saja berbeda. Sering dikatakan bahwa pada ha kikatnya di Indonesia Timur perkawinan adalah pembayaran an tarklen.24 Namun, belum tentu artinya tetap sama dengan makna semula. Tidak dapat disangkal bahwa perkawinan MBD adalah yang paling sesuai untuk mengikat hubungan antarklen (Lèvi-Strauss dan Van Wouden). Namun, belum terbukti bahwa sudah dari dahulu itulah maksudnya. Sebab, dewasa ini juga di beberapa bagian Indonesia perkawinan tidak bertujuan menjalin hubungan antarklen.

Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa yang menjadi objek penelitian kami bukan masyarakat Indonesia yang telah mengalami pengaruh agama Islam (Jawa) atau agama Hindu-Buddha (Bali), melainkan masyarakat tribal, yaitu masyarakat suku-suku yang tetap berpegang pada adat, bahkan untuk sebagian pada agama yang tradisional. Masyarakat Sumba kuno juga merupakan masyarakat suku yang pra-Islam.

Indonesia sebagai bidang studi antropologi

Sebelumnya kami sudah menyinggung tentang Sekolah Leiden, yang meman dang seluruh Indonesia sebagai satu bidang studi antropologi (FAS), dan telah merumuskan beberapa ciri yang merupakan unsur pokok budaya se-Indonesia itu. Penelitian yang dila kukan di Leiden itu masih berjalan terus. Hanya, dewasa ini para peneliti lebih banyak mencari tahu pandangan warga masyarakat yang bersangkutan berkenaan dengan budaya mereka sendiri. Lagi pula, mereka memban dingkan pandangan warga laki-laki dengan pandangan warga perempuan, dan pandangan yang dahulu dianut dengan pan dangan yang berlaku dewasa ini. Melalui perbedaan pandangan tersebut para antropolog mencari hakikat sebuah kebudayaan.25

Dalam bagian ini, perhatian diarahkan baik kebagian Indonesia yang paling barat, yaitu Kepulauan Mentawai, khususnya Pulau Siberut, maupun ke ujungnya yang paling timur, yakni ke suku-suku yang menghuni Papua. Reimar Schefold telah melakukan penelitian di Mentawai yang dihuni oleh suku-suku yang tinggal di hutan lebat dan mempunyai budaya yang agak sama dengan Papua, sekalipun dari sudut geografis keduanya sangat berjauhan. Dalam bagian-bagian berikut kami akan membahas daerah Batak Toba, berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Sandra Niessen; Tobelo di Halmahera dengan mengikuti studi J.D.M. Platenkamp; dan Sabu, yang telah digambarkan antro polog asal Sabu, Niko Kana.

Mentawai

Kesatuan dasar dalam masyarakat kuno di Siberut ialah uma, yaitu kelompok lokal swadaya. Lembah yang menjadi tempat tinggal uma tertentu dihuni juga oleh uma-uma lain. Maka penting sekali umauma itu memelihara hubungan baik. Hal itu diupayakan melalui perkawinan. Sebaliknya, mereka ber musuhan dengan uma-uma penghuni lembah lain. Sampai permulaan abad ke-20 masih terjadi pengayauan: pahlawan perang memenggal kepala musuh.

Bagi anggota uma, tidak berlaku kewajiban mencari istri dalam satu uma lain saja. Mereka bisa saja mengikat hubungan sebanyak mungkin. Perzinaan dengan perempuan dari uma sendiri dianggap sangat buruk, lebih buruk daripada berselingkuh dengan perempuan dari luar umanya.

Perkawinan bertujuan mendapatkan keturunan, dengan demikian menjamin keberlangsungan nama keluarga agar tidak hilang.

Seorang istri menerima isi kawin dari keluarganya berupa babi. Hewan itu sangat penting bagi si suami dan keluarganya. Pemberian itu termasuk berkat yang mereka terima. Di sini Schefold menggunakan kata sahala (bh Batak).26

Untuk mendapatkan sahala itu, pihak laki-laki bersama keluar ganya harus membayar. Laki-laki yang menerima pengantin bergantung pada yang memberi pengantin, maka kedudukannya lebih rendah. Terciptalah hubungan asimetris. Kakak laki-laki pengantin perempuan tetap bertanggung jawab atas keturunan adik perempuannya. Dalam hubungan ini dapat dicatat bahwa dalam tiap budaya Indonesia, peran kakak laki-laki ibu besar sekali, termasuk dalam budaya (seperti budaya Mentawai) yang tidak mengenal perkawinan preskriptif dengan anak saudara laki-laki si ibu (MBD).

Anak perempuan harus membantu kakaknya laki-laki. Setelah dia menikah, suaminya juga akan membantu kakak iparnya itu. Dalam bahasa Batak pihak yang menerima perempuan disebut boru, ”anak perempuan”, bandingkan dengan ana kawini dalam bahasa Kambera (Sumba Timur), yang artinya ”anak perempuan”; dalam bahasa itu keluarga yang menerima perempuan selain dari layia disebut juga ana kawini.

Untuk memenuhi persyaratan sistem perkawinan yang disebut cross-cousin, dibutuhkan dua hal. Pertama, suami ber ikut seluruh keluarganya dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah daripada kakak laki-laki istrinya. Kedua, keterikatan itu diteruskan kepada generasi berikutnya. Sistem semacam itu tidak ditemukan dalam budaya Mentawai.

Bagi uma-uma di Mentawai terbuka peluang mengikat aliansi dengan uma lain, tetapi perkawinan cross-cousin yang asimetris memberi kesempatan yang sama pada skala yang lebih besar. Dalam sistem tersebut dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga suku, yang berhubungan satu dengan yang lain melalui perkawinan. Dalam sistem ini tidak diperbolehkan dua suku bertukar perempuan. Perkawinan MBD itu akan kita temukan bila kita membahas budaya Batak Toba. Tetapi, sebelumnya kita akan meninjau sis tem yang berlaku di Papua.

Papua

Sama seperti di Mentawai, di Papua bagian selatan yang berawarawa, struktur sosialnya juga sederhana. Namun, dalam hal ini mertua dan ipar juga sangat berpengaruh. Mungkin sistem yang sederhana ini lahir dari pola hidup di wilayah yang luas, tetapi berpenduduk jarang, dan lahan yang menyediakan bahan makanan yang berlimpah berupa sagu, pisang, serta umbi-umbian. Bila bahan makanan terbatas dan masyarakat membutuhkan cara bertani yang lebih rumit maka budaya pun akan menjadi kompleks. Gejala itu terlihat pada suku Mentawai di Pulau Pagai, yang lebih padat penduduknya, dan suku-suku pegunungan di Papua, misalnya Suku Jali, atau suku-suku di Pulau Biak.

Akan tetapi, di seluruh Papua berlaku kebiasaan yang sama, yaitu yang dituntut untuk memberikan pembayaran (bentuknya berbeda menurut wilayahnya) ialah pihak laki-laki. Di pantai utara, pembayaran yang diminta ialah porselen Cina, yang banyak dibawa pedagang Portugis pada masa lalu; di pedalaman yang diminta adalah berbagai kerang laut, yang dahulu ditukar dengan barang lain, tetapi dewasa ini hanya dipakai sebagai harta kawin.27

Di daerah-daerah yang sudah terbuka telah terjadi percam puran bentuk-bentuk budaya. Harta kawin menjadi objek bisnis, walaupun harus diakui bahwa fenomena itu telah muncul juga pada masa lalu. Terdapat mitos tentang tokoh bernama Koreri yang mengatakan bahwa semua porselen yang mahal itu harus dipecahkan. Dari mitos itu dapat disimpulkan bahwa adat perkawinan dirasakan sebagai beban berat.

Sama seperti adat perkawinan, mitos berhubungan dengan agama asli. Dalam salah satu mitos, mertua digambarkan sebagai ular raksasa yang baru menampakkan diri sebagai seorang manusia setelah ia diakui sebagai mertua dan pemberi pesta untuk makan daging babi, yakni setelah ia menerima harta kawin.

Di Biak suku perempuan, yang bernama keret, malah dilambangkan dengan babi. Babi bahkan menjadi lambang perempuan itu sendiri. Ada kalanya dikatakan bahwa di ”dunia atas”, perempuan akan meneruskan hidupnya sebagai babi.

Manusia memperoleh tempat dalam siklus kehidupan jika berlaku perdamaian antara pemberi perempuan dan penerima perempuan. Pada suku Biak harta kawin disebut ararem, dan pemberian balasan yang diserahkan kepada pihak laki-laki disebut bar bekaber, yang nilainya hanya seperempat dari harta kawin. Pihak laki-laki membawa benda-benda yang mahal, pihak perempuan membawa babi untuk pesta.

Pada tiap saat penting dalam siklus kehidupan manusia diselenggarakan pesta. Acara pesta itu dipandang sebagai perwujudan perdamaian semula, yang pada zaman purba berlaku antara pihak yang aktif dan bergerak (manusia) dan pihak yang pasif dan berdiam diri (dewa-dewa), namun dianggap sebagai pemberi hidup. Para nenek moyang yang telah di dewakan tergolong pada kedua pihak itu. Jadi, berlaku dualisme sosio-kosmis, yang mempunyai ciri-ciri seksual.

Menyangkut ketiga unsur asasi yang dirumuskan oleh Sekolah Leiden dapat dicatat:

1. Di daerah-daerah Mentawai dan Papua tidak ada perkawinan MBD, di sana tidak ditemukan butir 1 dalam konsep FAS.
2. Di Mentawai tidak ada keturunan unilineal kembar. Hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris. Tidak ada pengalihan milik dari ibu ke anak perempuan. Perempuan masuk kelompok si laki-laki dan tidak akan kembali ke uma-nya sendiri, kecuali bila di rumah suaminya ia mengalami perlakuan buruk (dianiaya).
3. Dualisme yang bercorak seksual, memang berlaku, khususnya di Papua.

6. Indonesia II (Batak Toba)

Budaya Batak Toba28 mirip budaya Sumba Timur.29 Baik masyarakat Toba, maupun masyarakat Sumba Timur termasuk tipe suku patrilineal. Di tanah Batak, kelompok patrilineal disebut marga, sedangkan di Sumba dipakai istilah kabihu.

Apabila seorang suku Batak dan suku Sumba atau Sabu bertemu dengan orang lain di mana pun, biasanya terlebih dahulu menanyakan dari marga atau kabihu apa orang yang di temui tersebut. Setelah saling mengetahui, baru mereka menggunakan sapaan yang mereka anggap sopan. Sebab, tiap marga atau kabihu yang memberi perempuan dianggap mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada warga marga/kabihu apa pun yang menerima perempuan, dan perlu disegani olehnya. Jika keluarga-keluarga berhubungan karena perkawinan, asimetri tersebut berlaku sepanjang tiga angkatan.

Di Indonesia pada umumnya, generasi tua selalu dihor mati, demikian pula yang berlaku pada orang Batak. Orang tua disebut saurmatua, artinya ”seseorang yang sudah berumur dan telah mempunyai anak dan cucu”; jadi, mengawasi tiga angkatan. Orang Batak selalu ingin sekali disapa dengan sebutan ompu (kakek), dan biasanya bukan hanya cucunya sendiri yang menyapanya demikian.

Dalihan na tolu

Menurut orang Batak, pola masyarakat Batak dapat diban dingkan dengan dalihan na tolu, yaitu tungku batu berkaki tiga, tempat memasak. Tempat seorang Batak dalam masya rakat selalu ditentukan oleh tiga pihak, yaitu hula-hula, marga tempat mengam bil perempuan; boru, marga tempat memberi perempuan; dan dongan sabutuha, yang adalah sesama marganya sendiri. Pantang mengambil istri dari marga sendiri dan dari boru, demikian juga untuk mengambil istri dari marga yang adalah hula-hulanya hulahula sendiri. Dipantangkan juga memberi istri kepada hula-hula, hal itu diibaratkan seperti mengalirkan air ke mata air. Karena, jika orang berbuat demikian sudah tidak mungkin lagi menentukan siapa melebihi siapa, sebab salah satu marga sekaligus menjadi boru dan hula-hula untuk marga yang sama, dan itu tidak boleh dilakukan.

Pengambilan istri dari marga yang adalah hula-hulanya hula- hula sendiri menciptakan keadaan yang sama. Biasanya A memberikan kepada B, B memberikan kepada C, C memberikan kepada A. A adalah hula-hula untuk B, B untuk C, C untuk A. Seandainya A mengambil dari marga yang adalah hula-hula bagi hula-hulanya, dia mengambil dari B, artinya, dia mengambil dari borunya sendiri. Memang, dalam contoh ini hanya tergambar tiga marga yang berhubungan, sedangkan pada umumnya jumlah marga yang saling berhubungan lebih besar. Namun, dari contoh sederhana ini dapat dilihat bahwa tidak diperbolehkan mengambil istri dari marga yang adalah hula-hula bagi hula-hula marga sendiri.

Seorang perempuan asal Batak pada saat menikah beralih ke marga suaminya. Namun, tidak mungkin ia melupakan marga asalnya. Dia seolah-olah berada di tengah dua marga. Menyangkut hal ini, Niessen berpendirian bahwa perlu memperhitungkan baik garis keturunan patrilineal, maupun garis keturunan matrilineal. Peneliti lain mengabaikan prinsip matrilineal itu.30

Struktur dalihan na tolu terbentuk melalui perkawinan cross- cousin matrilateral. Saudara laki-laki ibu selalu perlu menyetujui perkawinan anak laki-laki saudara perempuan nya. Kewajiban ini berlaku juga bila ia sendiri tidak mempu nyai anak perempuan yang dapat mengawini anak laki-laki sau dara perempuannya itu. Dalam hal itu pun, istri kemenakannya itu akan ia anggap sebagai anaknya sendiri. Perlu diperhatikan bahwa yang tergolong ”anak perempuan saudara laki-laki si ibu” bukan hanya anak kandung, melainkan tiaptiap warga perempuan marga asal ibu.31

Piso dan ulos

Agar menerima sahala (berkat) dari pihak pemberi perempuan, pihak laki-laki harus membayar harta kawin yang dise but piso.

Apabila perkawinan berakhir dengan per ceraian karena kesalahan suami, harta kawin itu tidak akan dikembalikan. Bila si istri yang bersalah, berlaku yang sebaliknya. Apabila istri meninggal, mar ganya harus membe rikan istri lain, karena piso sudah telanjur diserahkan.

Piso, harfiahnya adalah sejenis keris yang diberi hiasan. Keris itu melambangkan perlindungan yang diberikan pihak laki-laki kepada anggota marga yang baru itu. Piso termasuk benda warisan marga laki-laki. Selain senjata tersebut, ada unsur lain lagi dari harta kawin yang disebut piso, yaitu hewan dan emas. Hewan tersebut diberikan dengan maksud agar dimakan bersama dengan para undangan, untuk menyatakan kesatuan yang baru saja dibentuk.

Pihak perempuan memberikan ulos, yaitu kain tenunan, dan sebidang tanah pertanian atau sawah. Sebab, tanah merupakan sum ber kesuburan yang kedua, di samping perempuan itu sendiri. Kadangkadang perempuan itu sendiri juga disebut ulos.

Perkawinan dianggap sah jika ulos telah diserahkan, bukan harta kawin dari pihak laki-laki. Jadi, dalam hal ini pemberian harta kawin dari pihak laki-laki tidak bersifat menentukan. Apakah ada kaitannya dengan tempat perkawinan? Dalam budaya Batak, upacara perkawinan dilangsungkan di kam pung pihak lakilaki. Di sana daging dimakan, dan piso diberikan diakhiri dengan penyerahan ulos kepada pi hak laki-laki. Bila upacara di langsungkan di kampung pihak perempuan, sebagaimana yang terjadi pada budaya-budaya lainnya, ditekankan bahwa harta kawin harus dibayar dahulu, baru perempuan dapat dibawa. Perbe daan tempat pesta dan kewajiban yang harus dibawanya, dapat dilihat pada beberapa suku Bantu di Afrika.

Interpretasi ulos

Sandra Niessen meneliti tenunan-tenunan Batak tidak hanya dari segi perannya dalam hubungan antarmarga, tetapi mempelajari hubungan tersebut juga dengan memperhatikan tenunan tersebut. Bahkan, selain hubungan antarmarga, juga fenomena seperti kesuburan, kekerabatan, waktu, dan ruang ditafsirkannya dengan bertolak dari tenunan, yaitu dengan mengamati peran, bentuk, dan arti tenunan-tenunan itu.32

Niessen berpendapat bahwa tenunan-tenunan orang Batak bercorak kewanitaan, seperti kesuburan, kekerabatan, ruang, dan waktu. Pada hemat kami, pendapat ini perlu di pertanyakan. Kesu buran, ruang, dan waktu dianugerahkan kepada manusia pada waktu ia diciptakan. Hubungan keke rabatan (keluarga) termasuk unsur-unsur asasi, yang dengan sendirinya digumuli dan perlu diatur. Pakaian pun masih dapat dianggap sebagai kebutuhan pokok. Tetapi, benda kesenian seperti tenunan, baru kemudian dihasilkan oleh kreativitas manusia, sedangkan peran dan arti benda itu sebagai pemberian pada waktu perkawinan digagaskan lebih kemudian lagi.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa ulos memang memmypunyai peran yang penting dan makna yang tinggi dalam pemikiran orang Batak. Melalui hal itu dinyatakan bahwa kehidupan manusia maupun marga tidak akan dapat terus berlangsung tanpa kesuburan perempuan. Karena itu, wajarlah kalau sahala perempuan secara khusus dianggap hadir dalam tenunan tersebut, yang dibuat oleh perempuan dan yang telah membuktikan kreativitasnya.

Pihak laki-laki memberi piso untuk menyatakan kuasa yang akan ditunjukkannya demi kepentingan hula-hula, kemudian pihak pemberi perempuan membalasnya dengan ulos, untuk menyatakan berkat dan penjaminan. Di samping itu, ada pandangan bahwa ulos merupakan sarana pemberian berkat oleh dunia roh-roh; tegasnya, roh-roh nenek moyang hula-hula. Motif-motif ulos selalu menunjukkan bentuk segi tiga yang merujuk ke dalihan na tolu. Ujungujung ulos pada batas potongan dibiarkan terbuka, sebagai lambang yang menyatakan hubungan antarmarga selalu diharapkan terbuka dan berlanjut terus melalui perkawinan.

Adapun ketiga unsur konsep FAS ditemukan semuanya dalam budaya Batak Toba. Dibandingkan dengan budaya Mentawai atau Papua, struktur budaya ini lebih kompleks.

7. Indonesia III (Tobelo)

Suku-suku di Halmahera Utara, antara lain suku Tobelo, berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia Timur, bahkan dengan sukusuku di Halmahera Selatan. Bahasa mereka termasuk rumpun bahasa Austronesia, yang dipakai juga di Papua.33 Ada pula ciri khas yang lain, yaitu bahwa dalam lingkungan suku Tobelo tidak ditemukan sistem perkawinan preskriptif yang meliputi paling tidak tiga klen. Padahal, menurut Van Wouden, perkawinan pre skiptif seperti itu merupakan ciri khas Indonesia Timur. Dalam lingkungan suku Tobelo sama sekali tidak ada klen patrilineal. Maka Van Wouden dalam studinya tentang Indonesia Timur tidak membahas suku Tobelo.

Ma dutu, gikiri, gurumini

Menurut Platenkamp, ketiga wawasan inilah yang menentukan alam pikiran orang Tobelo.34

Ma dutu, artinya ”yang memiliki”. Segala sesuatu dan tiap unsur di dunia ini mempunyai ma dutunya sendiri. Ketergantungan ini harus dihargai. Ma dutu yang tertinggi adalah dewa yang tertinggi, yaitu ”Jou ma dutu”. Hanya, dewa ini tidak disembah. Yang disembah adalah roh-roh nenek moyang dan roh-roh dari tanah maupun air.

Gikiri, artinya ”hidup”. Kata ini digunakan antara lain untuk menunjukkan sarang lebah yang di sekitarnya lebah berkerumun. Dalam kata gikiri sekaligus terkandung makna wawasan kesuburan. Gikiri baru diperoleh jika berhubungan dengan ma dutu.

Gurumini, artinya roh, tetapi juga ”nama”, atau ”gambar” (image).

Di dalamnya terkandung juga wawasan ”hormat” dan ”gengsi”. Gurumini seseorang baru mempunyai kekuatan bila mempunyai hubungan ma dutu dengan gurumini nenek moyang.

Perkawinan dan penyembahan nenek moyang

Orang Tobelo sangat menghargai orang yang telah meninggal, hal tersebut terlihat jelas dalam pengurusan jenazah. Pada zaman dahulu jenazah tidak dikubur; kebiasaan mengubur jenazah baru mulai sejak masuknya agama Kristen. Berkaitan dengan orang yang meninggal diselenggarakan dua ritual. Pada ritual yang pertama, yaitu ritual perkabungan; jenazah diselubungi kain lalu dimasukkan ke dalam peti yang dibiarkan terbuka, kemudian diletakkan di atas panggung. Sementara jenazah itu membusuk, gurumini juga mengalami hal yang sama. Ketika jenazah tidak berbau lagi, mereka yakin gurumini telah menjadi nenek moyang, lalu segera dilaksanakan ritual yang kedua.

Ritual yang pertama ini telah diganti dengan pemakaman secara Kristen. Ritual yang kedua tidak diperbolehkan oleh gereja Kristen. Dahulu upacara tersebut berlangsung tiap lima tahun (waktunya ditentukan dengan melihat posisi bintang), dan diadakan pada musim panen, pada saat anggota suku yang mengum pulkan hasil kebun telah menyelesaikan pekerjaan mereka dan kembali ke kampung. Makna upacara ini ialah memulihkan kesuburan keluargakeluarga yang sedang berkabung. Tulang-be lu lang orang yang sudah meninggal tersebut dimandikan dan di simpan di tempat pemujaan yang ada di kampung. Perhatian khusus diberikan kepada mereka yang disebut ”nenek moyang yang kuat”, yaitu orang-orang yang meninggalnya bukan karena sakit atau karena usia lanjut, melainkan karena alasan lain, misal nya karena gugur dalam perang. ”Nenek moyang yang kuat” itu dianggap telah membawa serta kekuatannya ketika meninggal, sehingga harus diurus dengan saksama agar nenek moyang tidak mengutuki keturunan mereka.35

Ritual yang kedua bagi orang yang sudah meninggal ini terusmenerus diiringi tari-tarian. Pada malam terakhir gadis-gadis diperbolehkan menangkap para pemuda. Makanan disajikan oleh kaum perempuan yang telah masuk suku karena perkawinan. Kesuburan manusia bergantung pada nenek moyang yang telah meninggal. Para perempuan menyalurkan kesuburan, dan mereka itu telah diperoleh melalui harta kawin yang pernah dibayar oleh tokoh yang sudah meninggal itu.

Kaitan antara pemakaman dan perkawinan dapat dipa hami bila kita lihat bahwa harta kawin sebagian besar dibe rikan kepada nenek moyang. Siapa saja yang menaati adat perkawinan akan menjadi nenek moyang yang disegani.

Platenkamp tidak dapat mengumpulkan banyak data tentang ritual lama itu. Buku tulisan Zendeling A. Hueting, yang ditulis pada awal abad ke-20, merupakan sumber utama.

Harga kawin

Dalam pengurusan harga kawin perlu dibedakan tiga unsur penting. Pertama, pemberian dari keluarga laki-laki pada saat datang untuk meminang (”masuk minta”). Namanya ”pembungkus per buatan yang memalukan”. Dikatakan bahwa inilah ganjaran untuk perbuatan yang menghina keluarga perempuan, juga jika tidak pernah ada perbuatan serupa. Pemberian ini merupakan keharusan dan menyatakan bahwa pihak penerima perempuan lebih rendah daripada pemberi perempuan.

Kedua, pada hari perkawinan, penyerahan harta yang disebut

”pertukaran bejana” oleh pihak penerima perempuan kepada pemberi perempuan. Harta ini terdiri dari senjata yang hanya boleh diberikan kepada pemberi perempuan. Keluarga pemberi perem puan memperoleh kekuatan dari nenek moyang keluarga yang menerima anak mereka itu. Kekuatan itu dialihkan melalui senjata tersebut. Sebaliknya, perempuan adalah ”bejana” yang ber isi gikiri, kekuatan hidup yang datang dari nenek moyangnya, dan yang dialihkan kepada penerima perempuan.

Ketiga, pemberian terakhir, dari pihak penerima perem puan, disebut ”uang yang hidup”. Pemberian ini merupakan harga bagi anak-anak yang mudah-mudahan akan dilahirkan. Besarnya pemberian itu tidak dapat ditawar-tawar. Untuk tiap perempuan diberikan ”uang yang hidup” sebanyak yang pernah diberikan untuk ibu nya. Tetapi, jumlah yang sama juga dibayar tiap kali seorang anak perempuan ibu itu kawin. Kenyataan ini memperlihatkan daya reproduksi ibu. Satu orang ibu dapat melahirkan banyak anak perempuan.

Tiap pemberian dari pihak laki-laki disusul pemberian balasan dari pihak perempuan, terutama berupa makanan. Dalam hal ini pemberi perempuan akan dibantu oleh klen ibu mempelai perempuan. Penerima perempuan dibantu oleh klen ibu mempelai laki-laki.

Mengingat semua unsur tersebut di atas, struktur hubungan keluarga di Halmahera Utara ternyata mirip struktur asimetris yang ditemukan di daerah-daerah lain di Indonesia Timur.

”Keluarga semenda” menjadi ”keluarga sedarah”

Keistimewaan budaya Tobelo tampak terutama dalam pemberian yang ketiga, yaitu ”uang yang hidup”. Nama itu berlaku selama hubungan keluarga masih hidup. Bila suami meninggal, keluarga tempat asal istrinya membungkusnya dengan kain; itulah tugas terakhir mereka dalam hubungan yang hidup itu. Generasi berikutnya bukan lagi keluarga semenda, tetapi telah menjadi keluarga sedarah, dan selama tiga generasi tidak diperbolehkan menikah dengan seorang anggota keluarga si laki-laki. Dalam gene rasi pertama boleh ada pertukaran anak, sebab mereka hanya berkerabat selaku keluarga semenda. Tetapi, dalam tiga generasi berikutnya, satu keluarga harus memberikan perempuan kepada keluarga lain, bahkan kepada tiga keluarga yang berbeda-beda. De ngan demikian, terbentuk kesatuan yang terdiri atas empat suku.

Dalam hal ini, budaya Halmahera Utara berbeda dengan sejumlah besar budaya lain di kawasan Indonesia Timur: keter gantungan hanya terbatas pada satu generasi, yaitu selama keke rabatan melalui perkawinan masih terasa. Di Halmahera keter gantungan tersebut bahkan dapat ditebus oleh pemberi perempuan. Jika seorang ibu telah mempunyai anak dewasa, keluarganya dapat menebusnya dan membuat dia tidak berhubungan lagi dengannya, sehingga hubungan kekerabatan yang hidup telah berakhir. Jika sesudah itu suaminya meninggal, keluarga itu tidak perlu menge luarkan biaya. Tebusan itu disebut ”pembunuh uang yang hidup”.

Di samping itu, di Halmahera ada juga ”uang mati”, ya itu denda yang dibayar untuk memulihkan hubungan jika telah dilakukan pelanggaran yang harus diganjar, misalnya berbicara dengan istri tetangga. Jadi, ”uang mati” diberikan bila nama baik diusik, sedangkan ”uang yang hidup” diserahkan dalam kerangka hubungan antara pemberi perempuan dan penerima perempuan, dan berkenaan dengan hidup dan kesuburan.

”Tuan tanah” dan ”tuan air”

Orang Tobelo tidak mengenal suku-suku patrilineal yang eksogam. Tetapi, di samping keluarga, budaya Tobelo juga mementingkan satuan sosial yang dinamakan o tau, yang berarti ”rumah”. Yang dimaksud adalah orang sekampung, warga suku yang berbeda-beda, yang sama-sama memuja pendiri kampung. Menikahkan anak di dalam satu o tau tidak diperbolehkan, karena akan membahayakan kerukunan di dalam o tau, sebab besar kemungkinan akan terjadi kerenggangan antara pemberi perempuan dan penerima perempuan.

Gikiri (daya hidup) dipuja dan dijunjung tinggi dalam lingkungan suku, sedangkan di dalam rumah atau kampung, yang dijunjung tinggi adalah gurumini (nama). Jika ada yang nekad melakukan perkawinan di dalam satu rumah, perlu diadakan upacara yang disebut pemecah asal mula. Maksud upacara tersebut ialah bahwa hubungan sesama o tau dianggap sudah tidak ada lagi dan yang tetap ada hanya hubungan keluarga. Dengan kata lain, sebuah rumah sudah berkembang menjadi dua rumah.

Salah satu relasi tipe ma dutu (lih di atas) yang penting ada lah hubungan dengan ”tuan tanah” dan dengan ”tuan air”. ”Tuan tanah” adalah dewa yang memberi kesuburan kepada suku dan tanahnya. Sebagian besar harta kawin di tujukan kepada tuan tanah. Relasi ma dutu dengan tuan tanah ini dapat dilihat sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan. ”Tuan air” memberi perlindungan kepada kampung dan wilayah. Dewa itu disembah sejak kampung itu mulai dihuni. Relasi ma dutu dengan tuan air ini dapat dikatakan bagaikan hubungan antara kakak dan adik.

Pada upacara ”pemecah asal mula” sebagian persembahan yang berupa uang dilemparkan ke dalam air dan tenggelam. Dengan demikian nama kampung hilang, sebab kesatuan kampung telah diganggu pada saat terjadi perkawinan, oleh perlawanan di antara orang sekampung sebagai pemberi dan penerima perempuan.

Dari ketiga ciri khas FAS dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Tobelo hanya ciri ketiga (dualisme yang sosio-kosmis) yang berlaku seluruhnya. Kedua ciri lain hadir hanya secara terbatas. Tidak ada perkawinan cross-cousin matrilateral, tetapi terdapat persyaratan lain yang menen tukan kekerabatan. Sebab, dalam lingkungan suku Tobelo tidak ada klen eksogam. Namun, selama tiga generasi terjalin hubungan tetap antara pihak pemberi perempuan dan pihak penerima perempuan.

Ada peneliti berpendapat bahwa pembagian sosio-kosmis atas unsur laki-laki dan perempuan (konsep FAS butir 3) selalu disertai hubungan perkawinan asimetris (FAS butir 1).36 Tetapi, menurut Platenkamp ada juga budaya yang mempertahankan pembagian sosio-kosmis, namun tidak mengenal hubungan asimetris, antara lain budaya Tobelo.

8. Indonesia IV (Sabu)

Sebelum menyajikan hasil penelitian budaya Sumba Timur, kami hendak lebih dahulu menggambarkan budaya Sabu. Pulau Sabu terletak dekat Sumba, dan penduduknya serum pun dengan orang Sumba. Sama seperti di Sumba, di Sabu perbedaan antara kaum ningrat dan kaum biasa memainkan peranan besar.

8.1. Garis Perempuan

Di Sabu, butir kedua konsep FAS ditemukan sepenuhnya, yaitu sistem keturunan unilineal kembar. Laki-laki mewarisi harta dari pihak laki-laki, dan perempuan dari pihak perempuan. Di sini sistem tersebut kita temukan untuk pertama kalinya. Pendu duk Sumba Timur tidak mengenalnya; namun kita akan mene mukannya lagi di Sumba Barat (Kodi, Laboya). Baik di Sabu, maupun di Kodi terdapat kelompok-kelompok keturunan unilineal, yang di Kodi bernama parona (kelompok keturunan laki-laki) dan vala (kelompok keturunan perem puan).37 Menurut Van Wouden, baik parona maupun vala bersifat eksogam, khususnya vala. Parona bertujuan penyem bahan bersama, sedangkan dalam vala ditekan kan ikatan darah. Dalam parona yang dipentingkan adalah nenek moyang, marapu dan tanah.

Di Sabu, kelompok perempuan mengikuti sistem endogami.

Menurut Van Wouden, di Kodi dan Sabu tidak terdapat per ka winan preskriptif. Pada hemat kami, kesimpulan ini tidak dapat begitu saja ditujukan pada masyarakat Sabu. Persyaratan perkawinan di Sabu memang tidak begitu ketat, namun di Sabu juga, perkawinan MBD sangat disukai.

Nico Kana, seorang antropolog yang berasal dari Sabu, menga takan, ”Demikianlah, dari adanya garis keturunan lelaki dan perempuan di Sawu ini, yang juga merupakan asas pembagian 2 (dua), kita dapat menarik suatu kesimpulan yang mungkin menarik bagi suku-suku bangsa lain di Indonesia. Yakni, bila orang Sawu dipisah-pisahkan satu dari lainnya berdasarkan kewargaannya dalam kelompok patri lineal berupa udu, dara amu atau amu oleh tempat tinggal yang terpisah satu sama lainnya (localized patrilineal group), maka melalui kewargaan mereka menurut garis perempuan, yaitu hubi dan wini yang teoretis tidak terikat pada suatu tempat tinggal (nonlocalized matrilineal group) kelompok yang sudah saling terpisah itu dihubungkan kembali. Sehingga apa yang dipisahkan oleh lelaki, dipersatukan ’lagi’ oleh perempuan; misalnya saja pada upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan seorang warga kelompok seperti kelahiran, permandian, dan seterusnya sampai dengan kema tian seseorang.”38

Dalam masyarakat Sabu, sesuai sistem matrilineal, tiap warga termasuk salah satu dari kedua hubi. Dalam hubi itu terdapat beberapa kesatuan yang disebut wini. Wini ini merupakan sebagian hubi. Kedua hubi itu adalah keturunan dua tokoh ibu dari mitos. Menurut sementara orang, asal-usul menurut garis perempuan itu ada kaitannya dengan perbedaan tingkat sosial dalam masyarakat Sabu. Pada hemat kami, pendapat ini tidak tepat. Perbedaan tingkat sosial itu berlatar belakang sejarah dan memenuhi kebutuhan akan adanya tata pemerintahan.39 Perbedaan wini dapat diamati pada perempuan yang mengenakan pakaian adat. Ada lima wini, masing-masing mempunyai pola tenunan tersendiri. Pada upacara pemakaman, keluarga perempuan menyediakan kain. Tiap laki-laki juga termasuk salah satu wini, yaitu lewat garis ibunya. Waktu pemakamannya haruslah disediakan tenunan khas wini itu. Begitu pula, dalam acara ”masuk minta” (lamaran), keluarga laki-laki ha rus memberikan tenun an yang memakai pola wini calon istri.

Wini dapat disebut sebagai kelompok endogam; laki-laki sedapat mungkin mencari istri dari wini sendiri. Tetapi, dalam hal keturunan, unsur yang menentukan ialah klen laki-laki yang eksogam. Orang-orang Sabu dipisahkan ber dasarkan keanggotaan dalam klen yang patrilineal, tetapi sekaligus kelompok-kelompok yang berbeda itu diikat kembali melalui keanggotaan sesuai garis matrilineal. Di Kodi dipakai sistem lain, yaitu kelompok matrilineal eksogam dan kelompok patri lineal endo gam. Ternyata, tidak mungkin terdapat eksogami kem bar, yaitu baik dalam keturunan garis ayah maupun keturunan garis ibu.40

Di Sabu keanggotaan klen dan tempat tinggal ditentukan secara patrilineal. Perempuan beralih ke suku suaminya. Namun, dalam peristiwa penting, khususnya dalam upacara pemakaman, mereka mengingatkan kembali silsilah menurut dua garis. Dengan cara itu, mereka hendak menghormati garis perempuan karena para ibulah yang telah memberi hidup kepada bangsa Sabu. Orang Sabu sangat menghormati the flow of life.41

8.2. Perkawinan dan Kesuburan

Dalam memilih calon mempelai, orang Sabu tidak terikat mutlak pada adat. Tetapi, yang paling disukai ialah perkawinan MBD. Baru dalam tahap kemudian warga klen lainnya terlibat dalam persiapan perkawinan. Pada awal masa cinta, muda-mudi sendirilah yang memilih pasangan hidupnya.

Pada prinsipnya, permohonan ditujukan kepada orangtua gadis. Gadis itu cukup bebas memilih. Menurut Kana, kebebasan dalam pergaulan muda-mudi yang berlaku di Sabu lu mayan unik di Indonesia. Keluarga malah membiarkan gadis-gadis dewasa mengadakan hubungan seksual.

Menurut D.H. Doko, upacara perkawinan berkisar pada kesuburan, bukan pada hubungan antarkeluarga dan antar marga.

Menurut Doko, pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi dapat ditemuai khususnya di Mesara (Sabu Barat, tempat asal Kana) dan Pulau Raijua. Di Seba, di bagian Utara (tempat asal Doko), dan di Timur, mereka tidak dapat ber gaul sebebas itu.42

Menurut adat Sabu, seorang janda akan kembali ke klen sen diri.

Tetapi, anggota keluarganya harus lebih dahulu mendatangi keluarga suaminya untuk memintanya. Diper lukan juga upacara, khususnya dalam hal janda yang masih muda, yang dapat menikah lagi. Tetapi, anak-anaknya tetap terhisab klen suami yang telah meninggal, sekalipun si ibu masih mengurus mereka selagi mereka masih kecil.

Bila seorang suami memperlakukan istrinya dengan tidak wajar maka keluarga perempuan dapat membawa anaknya pulang. Hal ini sudah diatur pada hari perkawinan. Bila seorang istri kembali ke klen asalnya, harta kawin tidak akan dikembalikan.

Seorang gadis yang lari ke calon suaminya kurang dihar gai.

Bukankah dia bebas memilih? Lantas, untuk apa dia melarikan diri? Sebaliknya, di Sumba gadis tidak sebebas di Sabu. Karena itu, di Sumba sering terjadi, seorang gadis di bawa lari calon suaminya.

Kedudukan perempuan di Sabu terhormat. Harta kawin baginya sering bernilai tinggi, tetapi dia tidak merasa diper dagangkan.

Kenoto

Di Sabu, permohonan pertama dalam rangka pinangan disebut ”menghadap” atau ”masuk minta” atau ”peminangan”. Dalam ta hap ini tidak diperlukan rangkaian upacara yang panjang, tetapi hanya berlangsung pemberian sirih dan pinang oleh orangtua laki-laki kepada orangtua perempuan.

Sesudah permohonan pertama, wakil-wakil kedua belah pihak akan mulai membahas ritual kenoto, yaitu penentuan tanggal penyelenggaraan dan nilai kenoto. Sebenarnya, kenoto adalah selembar kain yang diikat, berisi sirih, pinang, dan uang. Pada hari yang ditentukan, kenoto akan diserahkan dengan hormat kepada pihak perempuan.

Kenoto merupakan bagian harta kawin yang pertama dan utama, yang sebenarnya menggantikan pengantin perempuan. Maka pengantin perempuan itu tidak boleh menik matinya. Kenoto merupakan ganti rugi kepada keluarga pihak perempuan, sebab mereka kehilangan seorang anak.

Kenoto diserahkan dalam keadaan tertutup pada saat masuk ke dalam rumah orangtua pengantin. Orang menggan tungkannya pada salah satu tiang rumah. Pihak laki-laki tidak boleh duduk dekat tiang itu. Adakalanya kenoto itu terus dipangku oleh ibu pengantin perempuan.

Sesudah itu, tawar-menawar mengenai harta kawin dimulai.

Peristiwa ini dilalui dengan bersenang-senang dan diiringi sendagurau. Namun, kemungkinan tawar-menawar yang sangat serius juga terjadi karena ada ke penting an materi. Bila tidak dicapai mufakat maka kenoto dikembalikan dalam keadaan tetap tertutup, dan dikatakan bahwa kenoto itu ”mati”. Namun, dalam keadaan seperti ini biasanya ke dua calon pengantin itu akan hidup serumah tanpa melakukan perkawinan sah, kemudian kembali mulai mengurus perkawinan bila waktunya dirasa tepat.

Menurut Doko, kenoto harus dibedakan dari harta kawin yang berupa hewan. Kenoto itu harus selalu ada, sedangkan hewan tidak selalu. Jika ada pemberian hewan, ada hewan yang wajib tersedia yaitu kerbau betina, yang diserahkan kepada saudara laki-laki ibu. Sesungguhnya, kerbau ini merupakan pemberian kepada para dewa.

Pada waktu diadakan perundingan, keluarga laki-laki diterima di bagian kanan rumah tradisional, yang disebut ”sisi lelaki”, sedangkan keluarga perempuan, yaitu tuan rumah, duduk di sebelah kiri emper depan. Keluarga laki-laki harus tetap berlaku sopan, meskipun mungkin tidak disuguhkan makanan dan minuman dan harga yang diminta sangat tinggi. Meninggalkan tempat perundingan atau memprotes dapat mengaki batkan perkelahian. Pada saat ini, dalam peristiwa tersebut, hadir juga wakil dari pihak pemerintah desa, tidak hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga untuk menerima sebagian harga kawin.

Harga yang diminta selalu tinggi. Maksudnya meningkatkan harga diri calon pengantin. Yang diminta tidak boleh kurang dari apa yang dahulu diterima untuk ibu si calon pengantin perempuan.

Sesudah kenoto

Dalam mengurus perkawinan besar, sehari sesudah upacara kenoto keluarga laki-laki berkumpul di rumahnya untuk memperhitungkan kesanggupannya membayar harta kawin yang diminta. Masingmasing memberi sumbangan, dengan mengingat jasa orang tua pengantin kepada mereka pada waktu lalu. Hari berikutnya harta itu dibawa ke rumah keluarga perempuan (mungkin tawar-menawar lagi), dan sesudah penyerahannya pengantin perempuan dibawa ke rumah suaminya. Cara ini disebut hoda, artinya ”nya nyian”, karena pada saat pengantin perempuan dibawa, pawai di iringi nyanyian. Lalu pasangan baru itu berkunjung kepada orang tua kedua belah pihak untuk makan bersama.

Budaya Sabu tidak mengenal kewajiban pemberian tim bal balik.

Hal ini memperlihatkan, bukan hubungan antarklen yang menjadi prioritas. Dalam kepustakaan, harta kawin yang di be rikan keluarga pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan disebut kebue (”harga”). Tetapi, orang Sabu biasa menyebutnya bada walli (”hewan yang menjadi harga pembelian”). Sebagaimana sudah diterangkan di depan, dalam budaya Sabu berlaku keturunan patrilineal eksogam. Keluarga yang eksogam bukan udu (klen), melainkan kerogo, atau dara amu (subklen atau lineage, keluarga besar).

Anak-anak yang lahir di luar nikah akan terhitung sebagai keluarga ibu. Di Sabu pada saat seorang bayi dilahirkan diadakan upacara ”penyambutan anak”. Bila ada bayi yang dilahirkan di luar nikah, orangtua atau paman si ibu yang melahirkan di luar nikah tersebut akan mengurus ”penyambutan anak” itu sehingga secara resmi si bayi terhisab dalam keluarga si ibu. Hanya sesekali, pada saat ibunya menikah lagi kemudian hari, anaknya akan ikut masuk ke dalam keluarga pihak suami baru si ibu. Kalau itu terjadi, anak itu harus ditebus lebih dahulu oleh pihak laki-laki dengan maksud melepaskannya dari keluarga pihak ibunya. Biasanya pelepasan anak ini dianggap terlalu mahal.43

Pada upacara perkawinan pasangan yang sudah mempunyai anak, pihak laki-laki harus lebih dahulu memberi seekor babi, dengan maksud menutupi penghinaan terhadap keluarga perempuan.44 Ritual ini sering dilakukan, sebab acap kali telah dilakukan hubungan seksual dan lahirlah anak-anak. Pada hemat kami, bukan tidak mungkin maksud ritual ini untuk menunjukkan superioritas keluarga pemberi perem puan, seperti yang terjadi di Tobelo.

Di Sabu ritual ini diadakan hanya bila anak sudah dila hirkan, sedangkan di Tobelo tiap perkawinan diawali ritual yang disebut ”pembungkus perbuatan yang memalukan”.

Ketiga ciri FAS dapat ditemukan di Sabu. Perkawinan MBD merupakan perkawinan yang disukai, meskipun tidak di wajibkan (bu tir 1). Selain garis keturunan laki-laki, garis ke turunan perempuan juga dikenal (butir 2). Pola pikir orang-orang di Sabu penuh dengan dualisme sosio-kosmis, yang ciri-cirinya diwarnai unsur-unsur seksual, sama seperti yang ada di Papua dan Tobelo, dan akan ditemukan juga di Sumba Timur (butir 3).

9. Kontekstaahisasi ean Kristenisasi: Implikasinya antak Harga Kawin

Dalam pasal ini dibahas beberapa kasus kontekstualisasi dan kristenisasi, mengawali uraian tentang pokok yang sama menyang kut Sumba Timur.

Sekali lagi, kami lebih dahulu membahas Eropa. Paus Gregorius I (590-614), pernah memberi petunjuk kepada seorang rahib bernama Augustinus (bukan Aurelius Augustinus, Bapa Gereja), yang menjadi utusannya di Inggris. Paus ini menjunjung tinggi konteks, bahkan juga dalam anjurannya mengenai etika perkawinan. Empat dari sembilan anjuran Paus itu berkenaan dengan perkawinan dan seksualitas, antara lain dianjurkannya agar dalam tahap permulaan peraturan yang mewajibkan eksogami diterapkan dengan lunak saja.45

Di Indonesia juga urusan perkawinan menjadi masalah di semua gereja muda. Kami memberi beberapa contoh yang diambil dari sejarah gereja di daerah-daerah yang telah dibahas di depan.

Papua

Sejak awal pemberitaan Injil, para utusan Injil dari Eropa menentang adat perkawinan orang Papua. Kata mereka, perempuan bukanlah barang dagangan. Tetapi, mereka kurang melihat bahwa adat itu berakar dalam kesadaran ko lektif, yang begitu dominan dalam agama dan budaya suku. Mereka tidak memperhatikan konteks. Um pamanya, mereka gusar melihat berkas batang-batang kayu kecil yang digantung di depan rumah orang Arfak di daerah Teluk Cenderawasih. Di mana makna dari berkas batang kayu kecil itu untuk menunjukkan kehadiran anak perempuan yang dapat dinikahkan di rumah itu. Mereka juga gusar dengan besar nya harta kawin.46

Para zendeling mau tidak mau harus menggumuli ma salah harta kawin, sebab salah satu kegiatan mereka yang pertama adalah penebusan anak-anak yang dijadikan budak belian. Sebab, sering terjadi anak-anak dijual dan kadang-kadang anak-anak yang dijual itu dijadikan sebagai harta kawin.47 Budak yang ditebus itu tinggal di rumah sang zendeling sehingga mereka menjadi pendengar Injil yang per tama. Kadang-ka dang utusan Injil itu hendak membantu dalam pengurusan nikah seorang gadis bekas budak. Dalam hal itu mereka perlu benar-benar memperhatikan konteks. Sebab, jika seorang pemuda dari kampung jatuh cinta pada anak perempuan yang tinggal di rumah zendeling itu dan kemudian menikahinya tanpa membayar harta kawin, pengantin perempuan itu mungkin saja diperlakukan buruk oleh keluarga suaminya, sebab ia diper oleh dengan cuma-cuma.48

Ketika orang-orang Papua mulai masuk Kristen, ternyata mereka merasa perlu mencari jodoh dari antara orang Kristen juga. Hal itu perlu tidak hanya dari sudut pandang iman, tetapi juga karena perkawinan dengan seseorang yang belum menjadi Kristen dapat meng akibatkan tekanan yang berat terhadap keluarga Kristen tersebut, sehingga mereka bisa murtad. Sebab, keluarga yang bukan Kristen dapat memaksa anggota keluarganya yang Kristen untuk ikut dalam upacara kepercayaan/budaya asli, bahkan untuk menanggung biaya upacara itu. Adat kebiasaan mewajibkan orang memenuhi tuntutan seperti itu. Pada zaman awal itu, belum memungkinkan mengkristenkan masyarakat pada umumnya, dan adat kebiasaan itu pada khususnya.

Pada umumnya gereja di sekitar Teluk Cenderawasih tidak melarang harta kawin, dan hanya menentang ekses-eksesnya. Misalnya, gereja melarang perkawinan tukar, yaitu tanpa bayaran, sebab perkawinan seperti itu dapat melahirkan peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan. Umpamanya, bila pihak yang satu menerima perempuan yang pernah dianiaya, pihak yang lain juga sengaja menganiaya perempuan yang diberikannya kepada pihak pertama itu. Demikian juga perbuatan zina yang pernah dilakukan oleh seorang calon pengantin akan diganjar dengan perzinaan yang sengaja dilakukan oleh calon pengantin lain, agar seimbang.49

Gereja-gereja Reformasi di wilayah Digul Mappi tidak mengambil sikap yang tegas. Pada tahun 1978, Gereja Kawagit meng imbau gereja-gereja lain dalam klasis agar menentukan nilai mak si mum untuk harta kawin. Pada Sidang Klasis yang diadakan pada tahun 1984, para utusan Gereja Butiptiri mengeluh bahwa ke putusan tentang maksimum harta kawin tidak diindahkan. Maka klasis memutuskan agar pemerintah menentukan batasnya. Gereja hanya akan melakukan penggembalaan. Tetapi, gereja-gereja sepakat bahwa utang karena harta kawin tidak boleh dilunasi dengan mengawinkan anak perempuan.50

Para zendeling dari Belanda pernah mengadakan dis kusi perihal nikah gerejawi, baik antara sesama utusan mau pun dengan gerejagereja pengutus. Mayoritas tenaga Zending beranggapan bahwa sedapat mungkin dalam iba dah pemberkatan perkawinan para mempelai tidak akan mengucapkan janji seorang kepada yang lain. Janji itu sebaiknya diucapkan dalam lingkungan keluarga dan di hadapan pemerintah. Lalu jemaat dapat mendoakan rumah tangga baru itu pada hari Minggu sesudah perkawinan. Tetapi, gereja di Belanda berpendapat lain. Seharusnya tetap diadakan ibadah pemberkatan nikah, di dalamnya orang-orang Kristen menyerukan nama Tuhan dan diajar untuk membaktikan hidup sebagai suami isteri kepada Tuhan. Diskusi ini ditindaklanjuti dengan pengeluaran pedoman yang diterima oleh GGRI. Harta kawin tidak dilarang mutlak, yang dilarang hanya penyalahgunaannya. Hanya, tidak dite tapkan jalan menuju pengembangan praktik yang baik. Mungkin pedoman tersebut bertolak dari cita-cita yang tidak sesuai dengan keadaan di Papua, yaitu pengutamaan peran keluarga inti, atau rumah tangga, terlepas dari peran keluarga besar. Jika keluarga besar dilibatkan dan dihargai maka terbuka jalan menuju kontekstualisasi yang baik. Tetapi, dalam kerangka itu nikah ge rejawi dapat membina kesadaran bahwa pengaruh keluarga besar tidak boleh mendominasi. Dengan demikian, nikah gerejawi menjadi salah satu sarana peng kristenan masyarakat.51

Batak Toba

Salah satu studi pastoral tentang gereja Batak melukiskan kasus suami istri yang perkawinannya tidak membuahkan anak, sementara usia sudah setengah baya. Pasangan sudah sampai pasrah, bahkan menerima keadaan rumah tangga mereka dengan penuh iman. Namun, karena tidak ada anak dalam rumah tangga anaknya, orangtua suami merasa kehilangan kehormatan. Tidak ada cucu yang memanggil mereka kakek dan nenek, atau ompu. Maka timbul suasana tegang. Seorang suami pernah berkata kepada orangtuanya yang mengeluh, ”Bukan Ayahanda dan Ibunda yang man dul, tetapi rumah tanggaku.” Tetapi, mereka tidak mau mendengarnya. Meskipun mereka juga Kristen, mereka menganjurkan anak mereka untuk mengambil istri kedua. Ketika rencana mereka gagal, mereka berusaha untuk secara adat memperoleh persetujuan agar anak mereka boleh menceraikan istrinya. Gagal juga. Akhirnya mereka mencoba menempatkan seorang anak perempuan, kemenakan mereka, di dalam rumah tangga anak mereka, yaitu anak dari sau dara laki-laki ibu, yang menurut adat sangat tepat untuk dinikahi oleh anak mereka itu. Harapan mereka ialah agar rumah tangga anak mereka kacau, sehingga istrinya akan lari. Semua upaya gagal karena kesetiaan anak mereka kepada istrinya.

Studi pastoral tersebut menggambarkan konteks dengan pan jang lebar, dengan maksud menjelaskan kesulitan-kesu litan yang dapat dihadapi oleh rumah tangga Kristen dan betapa perlunya dukungan moral dari jemaat.52

Tobelo

Gereja Kristen di Halmahera berjuang kuat melawan adat Tobelo, khususnya dalam hal ritual kematian yang kedua, karena terjadinya penyembahan nenek moyang dan seks bebas pada pesta itu.

Dewasa ini, Tobelo dikenal dengan moralnya yang baik dan sungguh-sungguh.53 Ritual kematian tersebut ternyata sudah tidak ada. Menurut misionaris James Haire, yang bekerja di Halmahera pada akhir abad ke-20, Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH) lebih intensif menggumuli masalah-masalah adat daripa da yang dilakukan Zending pada masa sebelum gereja itu mandiri. Zending telah mengatur semuanya dengan rapi, dan menentukan berbagai tata cara perkawinan gerejawi. Tata cara perkawinan bagi mereka yang tidak pernah kawin duduk, berbeda dengan mereka yang sudah hidup serumah. Tetapi, pada waktu itu tidak pernah ada konfrontasi dengan adat.54

Orang-orang Kristen yang pertama ingin agar harta kawin dihapus. Tetapi, sebagian besar zendeling tidak mendu kung pan dang an ini. Zendeling A. Hueting (di Halmahera 1896-1915) berpendirian bahwa harta kawin dapat tetap dipertahankan, asal tidak terlalu tinggi dan dibayar dengan modal sendiri. Sebab, kalau harta kawin tidak diberikan

, masyarakat akan menganggap perkawinan yang bersangkutan tidak sah. Penyerahannya mesti berlangsung dalam upacara yang dihadiri oleh zendeling. Tentang hal itu telah tercapai kesepakatan dengan pemerintah Hindia-Belanda.

Pada tahun-tahun sesudahnya, harta kawin berangsur-angsur dinaikkan lagi sampai sesuai dengan syarat adat. Sebenarnya yang diharapkan adalah agar harta kawin sebagai uang pembeli akan menghilang dan hanya akan bersifat jaminan kelakuan baik seorang suami terhadap istrinya.55

Dalam hubungan ini kita dapat bertanya: bukankah kristenisasi masyarakat justru membawa akibat komersialisasi harta kawin? Sebab, selama harta kawin itu berkaitan dengan penyembahan nenek moyang dan bertujuan menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, mungkin harta kawin itu bermanfaat. Tetapi, bila orang tidak lagi menyegani nenek moyang dan tidak lagi takut akan kutuk yang akan menerpa mereka yang melanggar adat, mudah terjadi pemerasan. Maka perlu sekali gereja merancangkan pola-pola hidup yang baru. Tidak mungkin kita berhenti di tengah jalan menuju pembaruan hidup.

Sabu

F.D. Wellem, seorang teolog Sumba asal Sabu, telah menulis sebuah karangan tentang sejarah gereja di Sabu. Tetapi, di dalamnya ia tidak menulis tentang jemaat-jemaat GGRI di Sabu.56 Di bawah pimpinan Pdt. D.D. Rihibiha, jemaat GGRI itu mengambil sikap sangat kritis terhadap adat. Ritual kenoto tetap diperbolehkan, teta pi dilarang mutlak mengadakan tuntutan. Sebab, kenoto dianggap sebagai tindakan penghormatan yang tidak dengan sepatutnya diten tukan dengan tawar-menawar. Apa saja yang diberikan harus diterima. Menurut pemuka jemaat tersebut, itulah memang arti semula kenoto. Menurut tokoh ini, Pdt. D.D. Rihibiha, mula-mula di Sabu bahkan sama sekali tidak ada harta kawin. Kebiasaan itu baru lahir kemudian, ketika orang asing menetap di pulau itu dan memperoleh perempuan sebagai istri melalui harta kawin.57

Gereja Reformasi di Sabu menganggap tidak dapat di benarkan kalau keluarga pihak laki-laki berkumpul lebih dahulu untuk menentukan sumbangan masing-masing, atau kalau semua warga keluarga pihak perempuan menerima sebagian harta kawin. Hen daknya pemberian itu datang dari orangtua dan diserahkan kepada orangtua saja. Lagi pula, gereja melarang orang memberi hormat kelewat besar kepada kenoto. Umpamanya, kenoto tidak boleh diletakkan di lantai dan harus dipangku oleh ibu pengantin perem puan sampai saatnya dibuka.

Selain kenoto, gereja melarang harta kawin yang sebenarnya, yakni hewan. Berbeda dengan kenoto, gereja menentang juga penyem bahan nenek moyang melalui penyerahan kerbau yang di anggap hadiah untuk dewa. Sebab, melalui penyerahan kerbau itu kepada saudara laki-laki ibu, orang meminta berkat klen ibu itu.

Gereja juga berkeberatan terhadap tuntutan kepada pihaklaki-laki agar mempersembahkan kurban perdamaian jika telah berlangsung hubungan seksual sebelum nikah.58

Catatan kaki

Tobelo, 1989; Reimar Schefold, Future tasks for cultural anthropology, hlm 808: ”After all, the Field of Study was not launched as a dogma. Its real concern was to design an areal research programme, one that was to be continually reassessed and redefined and to prove its worth in the process”.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    J.A. Boersema
  3. ISBN:
    978-602-1006-04-7
  4. Copyright:
    © 2015, Jan Boersema
  5. Penerbit: