9. Luasnya Liturgi

Ibadah pada hari Minggu diadakan dalam keterkaitannya dengan liturgi di surga dan dengan liturgi di segala tempat. Itulah pokok penyelidikan dalam bab ini.

Tidak dilihat dengan mata

Walaupun mungkin jemaat berkumpul pada hari Minggu di ruang an sempit, tapi sebenarnya liturgi berlangsung di lingkungan yang luas sekali.

Di negeri kita ada gedung gereja yang cukup bagus dan besar, terutama di kota-kota. Tetapi, sebenarnya gedung gereja tidak mutlak penting. Memang baik jika jemaat dapat menggunakan gedung gereja yang agak luas dan indah. Dan dalam bab ini kita akan membicarakan ruang lingkup liturgi yang lebih indah daripada gedung gereja. Tidak menjadi soal apakah kebak-tian di adakan di ruangan kecil, ruang kelas sekolah, balai desa atau di mana saja. Tetapi, penting diketahui adanya ruangan

”Dengan semua orang di semua tempat”

Untuk mengerti pokok uraian di atas, marilah meneliti surat Paulus kepada jemaat di Korintus.

”... kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus ....” (1Kor 1:2)

Jadi, Paulus dari jauh (yaitu dari Efesus) seolah-olah melihat kumpulan jemaat di Korintus di situ mereka akan bersama-sama membaca suratnya. Tetapi, sebenarnya ia melihat dan menempatkan jemaat yang berkumpul itu dalam lingkup yang luas sekali, yaitu bersama-sama dan terikat dengan semua orang di segala tempat!

”Berseru kepada Tuhan” berarti:

  • memuji nama Tuhan di muka umum;
  • memanggil Nama Tuhan ”Yahweh”;
  • mengabarkan perbuatan Tuhan;
  • mengaku kepercayaan kepada Tuhan;
  • memuji keadilan-Nya dan kuasa-Nya ...

Jadi, sebenarnya ruang lingkup berkumpulnya jemaat luas sekali, tidak terbatas oleh dinding gedung gereja. Dan bagi Paulus inilah ciri berkumpulnya jemaat Kristus: jemaat itu berseru kepada Tuhan bersama-sama dengan semua orang di segala tempat!

Secara dinamis liturgi mengikuti perkembangan zaman

Kepada jemaat di Korintus Paulus menulis, ”berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus”. Dengan demikian ia menunjuk kepada kemajuan sejarah keselamatan: dalam PB kita dapat memuji nama Kristus, yaitu Kristus yang belum mereka kenal dalam PL. Tetapi, sekarang kita memuji Allah Tritunggal dalam Yesus Kristus yang belum dinyatakan kepada orang Yahudi zaman PL. Kita menyembah Kristus yang kita akui Anak Allah, yang merendahkan diri untuk kita, yang menderita sepanjang hidup-Nya di bumi ini, yang mati untuk membebaskan manusia dari dosa, yang bangkit kembali, naik ke surga, ditinggikan di atas segala nama dan akan datang kembali.

Sebagaimana ada kemajuan dalam sejarah keselamatan, begitu juga ada kemajuan liturgi dalam ibadah jemaat. Liturgi berkembang dalam sejarah keselamatan dan menyesuaikan diri kepada corak setiap zaman. Liturgi tidak bersifat kaku atau keras, dan bentuknya tidak tetap sama sepanjang zaman .... Secara dinamis liturgi mengikuti perkembangan sejarah keselamatan. Demikianlah liturgi pra Pentakosta yang merujuk pada zaman PL, berbeda dari liturgi pasca Pentakosta yang merujuk pada zaman PB.

Liturgi ”oikumenis” dalam masa setelah Pentakosta

Bagaimana sekarang ini, dalam masa PB, yaitu setelah pencurahan Roh Kudus?

Gereja sekarang memperlihatkan diri kepada dunia sebagai gereja zaman akhir. Jemaat tahu, Tuhan telah melaksanakan karya-Nya di dunia, dan bahwa Ia akan menyelesaikannya dalam waktu dekat. Karena jemaat sekarang mengenal Anak Allah, yang telah mencurahkan RohNya untuk diam di tengah jemaat-Nya, jemaat sadar, bahwa jemaat sendiri adalah hasil karya Roh Kudus.

Itulah isi surat Paulus kepada jemaat di Korintus, tetapi bukan hanya jemaat Korintus secara tersendiri. Malahan Paulus berkata, bersama dengan semua orang di segala tempat. Artinya, ada hubungan jemaat di Korintus dengan semua jemaat di tempat lain, di negeri lain, sampai di ujung bumi. Hubungan ini tidak dapat dilihat dengan mata kepala, tetapi dengan mata hati yang beriman. Tugas pekabaran Injil terlaksana setelah Pentakosta. Murid-murid telah menerima kuasa, ketika Roh Kudus turun ke atas mereka, dan mereka telah menjadi saksi Kristus ”di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8; Luk 24:47). Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap kebaktian setempat diadakan dalam hubungannya dengan jemaat-jemaat lain yang telah didirikan oleh muridmurid. Dalam masa pasca Pentakosta setiap ibadah bercorak ”oikumenis”24, artinya mendunia—”sampai ke ujung bumi”.

Persekutuan sampai ke ujung bumi

Demikianlah saat satu jemaat berseru kepada Yesus Kristus, terjadi persekutuan dengan semua jemaat lain yang juga berseru kepada nama Yesus Kristus di tempat lain di dunia ini.

Seolah-olah dinding gereja menjadi jendela yang menerima cahaya dari persekutuan oikumenis ini. Dan kita, yang berada di dalam gedung gereja, dapat melihat jauh sekali, lebih jauh dari tepi langit, sampai ke ujung bumi. Sekali lagi, tidak dengan mata kepala, tapi dengan mata hati kita yang percaya. Batasan-batasan bahasa ditiadakan oleh Roh Kudus (ingatlah peristiwa pada hari Pentakosta: ”... kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri ...!”) dan diwujudkan persekutuan dengan semua suku dan semua kebudayaan di semua tempat.

Tanggung jawab oikumenis

Persekutuan ini mengandung penghiburan besar untukjemaat-jemaat kecil. Tetapi, juga mengandung nasihat dan himbauan untuk setiap jemaat di dunia ini. Janganlah berpendapat, bahwa kita bisa mengatur ihwal gereja secara tersendiri, yaitu intern saja, tanpa mempedulikan hubungannya dengan gereja-gereja lain,25 karena lingkungan jemaat melampaui batas gereja setempat.

”Gereja” bukan untuk kita sendiri, yang dapat kita atur menurut hikmat dan keinginan sendiri atau menurut kebijaksanaan setempat. Tetapi, setiap jemaat berada dalam lingkup yang luas, terutama dalam kebersamaan dengan gereja-gereja lain di negara yang sama.26 Kemudian ada kebersamaan yang sifatnya oikumenis, yaitu sama luas dengan dunia! Dan dalam persekutuan gereja, tidak satu pun jemaat boleh berperilaku seakan-akan dia paling pandai. Baik gereja besar di kota maupun gereja kecil di desa, harus menyadari bahwa ada gereja di mana-mana: baik di desa maupun di kota yang hidup bersama-sama dalam ”gedung” gereja Yesus Kristus yang internasional dan universal. Kebenaran ini dibuktikan bukan saja oleh nas yang dikutip di atas, yaitu 1 Korintus 1:2, tetapi juga dalam 14:36 (bnd juga 4:17; 7:17; 16:19, 20):

”Atau adakah Firman Allah mulai dari kamu?
Atau hanya kepada kamu sajakah firman itu telah datang?”

Bersama-sama dengan segala orang kudus

Mari kita beralih dari Korintus ke Ibrani.

”Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion,
ke kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi
dan kepada beribu-ribu malaikat,
suatu kumpulan yang meriah,
dan kepada jemaat anak-anak sulung,
yang namanya terdaftar di surga,
dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang,
dan kepada roh-roh orang-orang benar
yang telah menjadi sempurna,
dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru,
dan kepada darah pemercikan,
yang berbicara lebih kuat daripada darah Habel.”
(Ibr 12:22-24)

Betapa indahnya nas ini, dan betapa pentingnya untuk liturgi!

Dalam nas ini Roh Kudus mengajar kita tentang tempat ke mana kita pergi pada waktu kepergian kita ke gereja. Lebih luas lagi dari yang sudah kita lihat, yaitu kita bukan saja bersama-sama dengan jemaat-jemaat di semua tempat di dunia, melainkan juga bersama-sama dengan semua orang kudus.

Surat Ibrani dari awal sampai akhir memuji PB dalam perbandingannya dengan PL. Juga cerita tentang penetapan perjanjian di Bukit Sinai (ay 18: ”... sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh dan api yang menyala-nyala, kepada kekelaman, kegelapan, dan angin badai ....”) berfungsi sebagai kontras yang memperlihatkan perbedaan nyata dengan keadaan baru dalam PB.

Perbandingan PL dan PB

Perkumpulan umat Tuhan di Bukit Sinai di padang gurun, lain sekali dari perkumpulan jemaat sekarang. Mari kita bandingkan:

Datang kepada adalah istilah liturgis yang berarti: datang kepada Tuhan (lih juga Ibr 7:25), menghadap Allah (Ibr 10:22), berpaling kepada Allah (11:6), menghampiri takhta kasih karunia (4:16).

Kepergian orang Israel ke Bait Allah sama dengan mencari hadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka pergi sendirian atau bersama-sama. Pada zaman PB orang Kristen berkumpul juga, artinya bersama-sama datang kepada Allah, menghampiri takhta kasih karunia Allah. Tidak baik jika mereka berdiri jauh, mereka harus menghadap Tuhan, artinya datang sampai dekat. Lihat umpamanya Ibrani 10:25:

”Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”

Jadi, pada waktu-waktu tertentu jemaat pergi ke tempat di mana mereka biasa berkumpul (gedung gereja, rumah orang Kristen, atau balai pertemuan). Tetapi, dengan mata rohani, jemaat mengalami dan melihat ke ruang lingkup yang sangat jauh dan luas melampaui lingkup pertemuan mereka melihat sesama orang percaya di segala tempat dan sepanjang abad. Jadi dengan mata rohani seorang Kristen ”melihat”:

”bukit Sion”

Kata ini bunyinya indah sekali! Karena di bukit ini Tuhan menempatkan kemah-Nya yang suci dengan Tabut Perjanjian, tempat kediaman Allah di tengah-tengah umat-Nya, untuk memberkati mereka (lih Mzm 132:13, dst). Di bukit Sion bangsa Israel datang untuk berpesta! Tidak ada tempat yang lebih indah dari tempat itu (Mzm 27; 63; 84).

”bukit Sinai”

Bukit Sinai berbeda dari bukit Sion. Bangsa Israel hampir tidak tahan mendekati gunung ini karena berbahaya sekali. Keadaan menakutkan mereka; hanya oleh perantaraan Musa maka umat Tuhan bisa bertahan bertemu dengan Allah. Lain halnya dengan Sion, tempat yang tenang itu, di mana jiwa disegarkan .... Di Sion Tuhan ingin bertemu dengan umat-Nya dalam PB. Dan Imam besar Yesus Kristus telah merintis jalan ke bukit Sion bagi seluruh jemaat-Nya.

Jemaat berada dalam lingkungan yang mana?!

Luasnya lingkungan ini nyata dalam kata-kata berikut:

”kepada beribu-ribu malaikat”

Betapa indah kelihatannya para malaikat itu, seperti dilukiskan dalam Wahyu 4. Malaikat-malaikat menuturkan pujian kepada Allah; dengan tidak lelah-lelahnya mereka menyanyi ”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (Why 4:8). Seluruh kehidupan surgawi dilukiskan di hadapan kita sebagai satu liturgi yang amat indah. Surat Ibrani mengatakan: liturgi kita di dunia mempunyai hubungan langsung dengan liturgi surgawi ini.

”suatu kumpulan yang meriah”

Mereka merayakan ”liturgi” sebagai pesta untuk TUHAN!

”jemaat anak-anak sulung”

Petunjuk kepada jemaat yang ada di dunia, karena:

”namanya terdaftar di surga”

Dengan kata lain: bukan di dunia tempat di mana warga kerajaan Yesus Kristus didaftarkan, melainkan di surga. Mereka adalah warga surga. Tuhan sendiri mendaftarkan semua pengikut-Nya. Demikianlah perkumpulan jemaat menjadi persidangankawan-kawan-Nya (anak-anak sulung, bnd Kel 4:22; Mzm 89:27, 28).

Dan Tuhan menghitung mereka semua. Tentang Sion dikatakan: ”Seorang demi seorang dilahirkan di dalamnya”, ... dan Tuhan menghitung pada waktu mencatat bangsa-bangsa: ”Ini dilahirkan di sana”, (Mzm 87). Bahkan yang dari Filistea, Tirus, dan Etiopia (Mzm 87:4) disebut.

Tetapi lebih luas lagi, karena ada juga pertemuan dengan:

”roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna”

Mereka adalah orang-orang beriman dari zaman-zaman lalu; mereka sudah meninggalkan dunia dan jemaat di dunia ini; mereka telah mengakhiri kehidupan mereka di dunia. Mereka ikut dalam liturgi surgawi, membawa hormat kepada Tuhan Allah. Terbukti hormat akan Allah tidak terpadamkan oleh kematian dan kuburan. Karena itu mereka tidak hilang dari ingatan kita, sebab kita saling bertemu di depan takhta Allah pada waktu kita berkumpul untuk berdoa dan untuk memuliakan Dia.

Memang, tidak ada lagi hubungan langsung dan konkret dengan mereka, kecuali melalui pusatnya, yaitu melalui Sion di mana takhta Tuhan berdiri!

Kesimpulan

Kiranya jelas, bahwa kita berada pada ruang lingkup yang luas dan yang indah sekali, waktu kita beribadah pada hari Minggu.

Sebab dalam liturgi hari Minggu kita berada dalam satu persekutuan akbar, yaitu sebagai:

jemaat yang terkait dengan liturgi di surga;

jemaat yang juga terkait dengan jemaat-jemaat lain di dunia;

jemaat yang juga berada dalam persekutuan dengan orang-orang kudus lain dari zaman-zaman dahulu. Artinya suatu persekutuan vertikal dan horizontal.

Bagannya sebagai berikut:

background image

Persekutuan yang luas ini menjadi intisari setiap liturgi, dan adalah dasar untuk nyanyian rohani yang berikut:

Kudus, kudus, kuduslah, Tuhan Mahakuasa,
kami dini hari menyanyi pujian.
Kudus, kudus, kuduslah, Pemerintah masa,
Allah dan Raja kaum sekalian.

Kudus, kudus, kuduslah, arasy-Mu di surga,
hamba-Mu yang suci menghadap bertelut.
Sekalian malaikat menudungkan muka,
seisi surga menyembah sujud.

Kudus, kudus, kuduslah, tidak kelihatan bagi mata dunia
yang najis cemar.
Sempurnalah terang-Mu, Allah kekuatan,
sama sempurna kasih-Mu besar.

Kudus, kudus, kuduslah, Tuhan Mahakuasa,
Bapak, Anak, Roh, yang mulianya baka.
Kudus, kudus, kuduslah, ribuan bahasa
memuji Tuhan, Allah Yang Esa.

Dalam Ibrani 12:23 ada bagian lain yang baik untuk direnungkan.

”Allah, menghakimi semua orang”

Di surga, yaitu pusat liturgi surgawi dan duniawi, Tuhan bertakhta sebagai Hakim atas semua orang. Surga tidak punya arti jika Allah tidak ada. Allah yang memberikan tempat kepada semua dan yang melindungi persekutuan orang percaya. Ia ada di Yerusalem surgawi kepada Allah itulah kita datang bila kita berkumpul dalam gedung gereja di dunia ini. Dan kita menghadap Dia dengan bahasa yang sepatutnya untuk orang percaya, seperti Yesaya 33:22:

Sebab TUHAN ialah Hakim kita,
TUHAN ialah yang memberi hukum bagi kita,

TUHAN ialah Raja kita,
Dia akan menyelamatkan kita
.”

Pada Dialah ada kehidupan, damai, dan persekutuan.

”Yesus, Pengantara Perjanjian Baru”

Yesus Kristus sudah menyediakan jalan ke hadirat Allah. Hanya oleh Dia maka kita berani menghadap takhta Hakim. Yesuslah ”Penebus” yang mewujudkan PB. Ia mengikhlaskan darah-Nya dan membawanya sebagai korban pendamaian ke takhta Allah ....

”darah pemercikan”

yang memungkinkan pendamaian itu, dan yang dihitung sebagai penebusan, sebagai korban yang sempurna. Darah itu berseru untuk kita di hadapan Tuhan: ampunilah kami! Jangan menghukum kami!

Terdengarlah Firman Tuhan ....

Dari abad ke abad, dari semua tempat, semua negeri dan negara, semua kota, dari dunia dan di surga ... orang percaya datang menghadap Tuhan, Allah, Pencipta! Dan dalam liturgi akbar kita, sebagai manusia yang tak berdaya dan sederhana, kita mendapat bagian dan tugas!

Dalam konteks liturgi yang amat luas ini Firman Allah disampaikan kepada kita (... Dia yang menyampaikan Firman Allah di bumi ..., Ibr 12:25), sebagai unsur paling utama dan paling penting dalam keseluruhan liturgi itu. Janganlah menolaknya atau menilainya sebagai unsur yang kurang penting. Benar. Firmanlah intisari setiap liturgi pada setiap hari Minggu. Marilah kita membuka telinga!

... marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan

takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan!” (Ibr 12:28, 29)

Kita harus takut jika tidak menuruti cara yang berkenan kepada Allah. Barangsiapa tinggal di luar liturgi berarti terbuka terhadap murka Allah di jalannya.

Mengetahui bahwa liturgi duniawi saling berkaitan dengan liturgi surgawi, patutlah membuat kita bersukacita dan bersorak-sorai, tetapi sekaligus takut akan Tuhan. Kita datang kepada Allah, supaya kita beroleh penyembuhan dan pengampunan pada waktu kita berdukacita karena dosa. Dan supaya kita terlepas dari kelemahan kita, dan terlebih lagi supaya kita memuliakan Allah kita, Tuhan yang kekal, Bapa kita dalam Yesus Kristus.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-8976-50-9
  4. Copyright:
    © LITINDO 1995
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih