14. Perkembangan Liturgi Barat

Perkembangan liturgi berlangsung di ”Gereja Barat” ke arah liturgi Katolik Roma, yang makin lama makin lebih memusatkan misa dalam ibadah-ibadah gereja. Kita akan melihat, bagaimana perkembangan yang negatif ini akan menuju kepada Reformasi pada abad ke-16.

Telah kita lihat bahwa Gereja-gereja Protestan (dan juga Gereja Katolik Roma) di Indonesia bercorak ”Barat” (secara rohani).

Sebenarnya tidak ada hubungan lagi dengan Gereja Timur, dan juga tidak ada Gereja Ortodoks Timur di Indonesia. Sebab itu baiklah memusatkan perhatian kepada perkembangan liturgi di Gereja Barat. Gereja ini pertama-tama muncul di Eropa di negara-negara sebelah barat kota Roma.

Bahasa latin

Sampai pertengahan abad ke-4 bahasa Yunani adalah bahasa resmi dalam ibadah gerejawi, baik di Gereja Timur, maupun di Gereja Barat. Terutama doadoa selalu dalam bahasa Yunani. Sekitar tahun 360 M ada perubahan dalam hal ini: Roma menempuh jalannya sendiri. Dan bahasa Latin menggeser bahasa Yunani dari liturgi. Uskup Roma Damasus menyuruh Hieronimus pada tahun 382 untuk menerjemahkan Alkitab dari bahasa Ibrani (PL) dan dari bahasa Yunani (PB) ke dalam bahasa Latin. Terjemah-annya (selesai thn 405) disebut Vulgata, sangat termasyhur!

VULGATA - terjemahan Alkitab dalam bahasa latin

Berbagai interpretasi ekaristi

background image

Perkembangan liturgi di Gereja Barat berkaitan dengan berbagai pemahaman tentang arti Perjamuan Kudus. Kita lihat di sini lagi betapa kuat faktor dogmatis mempengaruhi penciptaan liturgi.

Janganlah kita lupa, bahwa perkembangan ini menuju kepada liturgi misa, sebagaimana ditata dalam Gereja Katolik Roma sebelum Reformasi Akbar. Simaklah ikhtisar berikut:

Tertullianus († 220): roti adalah lambang (simbol, tanda) dari tubuh Kristus. Roti ini mewakili Kristus dalam jemaat. Kristus sendiri tidak hadir dalam tanda ini.

Cyprianus († 258): unsur-unsur Perjamuan Kudus (roti dan anggur) tidak berubah menjadi daging dan darah Kristus. Ekaristi adalah semacam ”korban”, tetapi coraknya lain sekali daripada ”korban” menurut tanggapan Katolik Roma pada abad pertengahan. Ekaristi bukan ulangan korban Kristus, tapi dibuat hanya menurut contoh Yesus Kristus sendiri. Demikianlah korban ini mendapat kuasa untuk membebaskan manusia, orang yang sudah mati juga dapat memperoleh pembebasan ini. Demikian Cyprianus.

Ambrosius († 397): menurut Ambrosius, kata-kata Kristus mempunyai kuasa untuk mengubah roti menjadi daging-Nya dan anggur menjadi darah-Nya. Demikianlah kata-kata penetapan berkuasa untuk membuat yang sama jika diulang pada kesem-patan Ekaristi (artinya, terwujud konsekrasi). Ajarannya tentang transfigurasi adalah langkah penting yang menuju kepada ajaran tentang transubstansiasi. Ajaran yang terakhir ini menjadi ajaran resmi Gereja Katolik Roma pada abad pertengahan.

Agustinus († 430): roti dan anggur tidak lebih dari tanda, perumpamaan, dan gambar Kristus. Itu sebabnya Agustinus menekankan dalam ibadah Ekaristi Sursum Corda (Angkatlah hatimu). Bukan roti adalah tubuh Kristus, melainkan jemaat adalah tubuh Kristus! Jadi, Agustinus mengajarkan transformasi jemaat menjadi tubuh Kristus, bukan transformasi unsur-unsur Perjamuan Kudus. Sakramen adalah Firman yang dapat dilihat dengan mata. Gereja negara Di samping faktor dogmatis (dalam hubungan dengan ajaran tentang Perjamuan Kudus, sebagaimana diuraikan di atas) kita lihat suatu faktor lain, yang sangat mempengaruhi perubahan liturgis dalam abad-abad itu. Yakni faktor politik negara sebagai berikut:

Semua hambatan terbukti tidak mampu memusnahkan gereja. Karena itu Kaisar Konstantinus Agung menempuh jalan lain. Ia mengeluarkan edik Milano tahun 313 M. Dalam edik ini ia memerdekakan agama Kristen dan menjadikannya agama utama. Akhirnya Gereja Kristen menjadi resmi Gereja Negara (thn 380). Dalam edik tersebut Konstantinus Agung memberi perintah sebagai berikut:

Semua hakim, penduduk kota dan tukang-tukang harus beristirahat pada hari Minggu yang patut dihormati itu. Tetapi, orang pedusunan boleh mengurus pertanian, karena sering terjadi bahwa itulah hari yang paling cocok untuk menaburkan benih gandum atau menanam pokok anggur, sehingga tidak terbuang kiranya kesempatan yang diberikan oleh pemeliharaan ilahi; karena musim yang cocok tidak lama berlangsung.82

Politik Konstantinus terhadap gereja sangat mempenga-ruhi perkembangan liturgi. Karena sekarang gereja bukan gereja martir lagi, yang harus secara rahasia berkumpul dirumah-rumah pribadi, atau yang harus menyembunyikan diri dalam ”katakombe”83. Sebaliknya, Gereja Kristen diakui secara umum, dan banyak orang menjadi anggotanya, agar gereja berubah dari gereja yang dianiaya menjadi Gereja Umum atau Gereja Umat. Akibatnya yang negatif ialah, banyak anggota gereja yang motivasi dan tingkat kualitas rohaninya sangat memprihatinkan.

Akan tetapi, di pihak lain, perkembangan liturgi hebat sekali, umpamanya di gedung-gedung gereja. Faktor kesenian (arsitektur, patung-patung, lukisan-lukisan) diberi peranan yang besar, dan hasilnya mengagumkan sampai hari ini! Jemaat mulai beribadah dalam basilika (di Gereja Timur, tapi juga di Gereja Barat) dan liturgi mendapat bentuk-bentuk yang lebih mantap dan lazim dipakai. Di situlah titik tolak perkembangan liturgi yang tetap sama di segala tempat; itu diperkuat lagi oleh perkembangan lain, yaitu di bidang pemerintahan gereja.

Pemerintahan gereja

Faktor hukum gereja mulai mempunyai pengaruh yang kuat sekali atas liturgi. Pemerintahan gereja mulai menuju kepada sis tem hierarkis, dan berhubung dengan itu liturgi makin lama makin lebih dikuasai oleh keputusan-keputusan di tingkat paling atas.

Pusat-pusat gerejawi makin penting di kekaisaran Romawi: Konstantinopel (= Bisantium), Roma, Kartago, Aleksandria, dan Antiokhia 5 kota ini makin berkuasa dan bersaing untuk menjadi pusat yang terpenting. Pertentangan ini menuju kepada ketetapan episkopat monarkis, yang berkembang ke status dan pangkat.

Ekaristi (Perjamuan Kudus) sekarang tidak disebut ”eka-risti” lagi, tapi ”misa”, dan misa yang dilayani oleh uskup mendapat liturgi khusus.

Penatua-penatua (”presbiter”) juga tambah berkuasa, dan pada akhirnya menjadi imam-imam, yang juga berhak melayani misa biasa dan mengadakan kebaktian. Uskup makin jauh dari kebaktian biasa. Akibatnya terwujud perpisahan antara klerus (alim ulama)84 dan kaum awam. Pada awalnya sama sekali tidak ada perbedaan pangkat dalam Gereja Purba, tetapi sekitar tahun 100 SM ”penilik” mulai menganggap diri lebih tinggi dari pejabat-pejabat lain. Maka lama-kelamaan terwujud ”hierarki”, suatu urutan tingkatan sebagai berikut: penilik (”episkopos” =

Pakaian jabatan

Perpisahan antara klerus dan kaum awam membuat jemaat menjadi kurang aktif, dan akhirnya pasif dalam liturgi. Jarak antara klerus dan kaum awam ditekankan oleh perbedaan pakaian: golongan rohaniwan makin berpakaian indah, sesuai tingkat kepangkatannya.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-8976-50-9
  4. Copyright:
    © LITINDO 1995
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih