15. Abad Pertengahan (600–1500)

Perkembangan liturgi berlangsung terus dalam abad-abad pertengahan. Tampaknya arah yang ditempuh (lih bab terdahulu) tidak berubah: dalam bab ini akan kita lihat bagaimana liturgi makin lama makin jauh menyimpang dari patokan alkitabiah. Liturgi turut mengalami ”deformasi” yang lazim dalam gereja-gereja pada zaman itu.

Telah kita lihat bahwa liturgi pada abad-abad pertama agak bebas. Artinya: pemimpin-pemimpin kebaktian agak bebas memilih sendiri doa, mazmur, himne, bacaan. Namun, kebebasan itu mulai berubah, akibat pengaruh pemerintahan gereja yang semakin hirarkis. Kesatuan liturgi diatur oleh buku-buku yang diterbitkan untuk menyusun liturgi menurut pola tertentu. Ada berbagai jenis buku, yaitu sakramentaria, leksionaria, antifonaria, missale plenum, brevaria, sebagai berikut:Buku-buku untuk menata kesatuan liturgi Sakramentaria: buku-buku yang mengandung nas doa syafaat, doa persembahan, prefasi, doa syukur, pengakuan baptisan, ditambah pasal-pasal untuk melayankan baptisan, peneguhan dalam jabatan, dan lain-lain.

Sakramentarium yang paling tua berasal dari tahun 460. Yang paling penting ialah Sakramentarium Gregorianum, dari zaman Charles Agung (800), raja orang-orang Frank. Buku inilah yang menjadi patokan untuk liturgi dalam Gereja Barat. Sebenarnya sakramentarium ini menggabungkan liturgi Romanus dengan liturgi Gallikus (yaitu dari orang Frank). Sebelum Charles Agung memerintahkan gereja untuk memakai sakrmentarium, telah ada beberapa sakramentaria:

  • sakramentarium Romanus;
  • sakramentarium Ambrosius (dari kota Milan);
  • sakramentarium Gallikus.

Leksionaria: daftar-daftar untuk mengatur bacaan Alkitab menurut urutan tertentu. Adakalanya dibaca tiga bagian: nabi-nabi (PL), rasul-rasul dan Injil (PB). Biasanya dua saja: rasul-rasul dan Injil.

Antifonaria85: dalam buku-buku ini tercantum mazmur-mazmur dan nyanyian lain, bersama ragamnya. Nyanyian antifoon: jemaat dibagi menjadi dua kelompok paduan suara, yang menyanyikan mazmur secara bergilir. Kalimat yang satu di nyanyikan oleh kelompok pertama, dan kalimat yang lain di nyanyikan oleh kelompok kedua, dan seterusnya. Buku ini terutama dipakai oleh cantor (pemimpin biduan).

Missale plenum: Plenum berarti: penuh, karena buku ini menggabungkan semua buku yang disebut di atas sehingga mengan dung liturgi seluruhnya. Di dalamnya ditetapkan semua bacaan menurut perikopnya, dan semua doa serta semua nyanyi an.

Diatur juga, bahwa bukan jemaat yang menyanyi, tapi suatu paduan suara bersama solis (yakni penyanyi tunggal). Buku ini berkembang dan pada akhirnya menghasilkan suatu liturgi yang uniform, yang seragam, yang ditetapkan oleh konsili di Trent, 1562.

Breviarium: terutama digunakan dalam liturgi harian di lingkungan biara. Di dalamnya tertulis banyak mazmur, doa, himne, dan litani. Isinya yang utama ialah doadoa tertentu untuk tiap bagian hari, yakni doa malam (metten), doa pada waktu matahari terbit (lauden), doa pagi (priem), doa jam 9 (terts), doa jam 12 (sext), doa jam 3 a.m. (noon), doa jam 6 a.m. (vesper), doa jam 9 malam (completen).

BUKU-BUKU GEREJA
(dipakai di abad-abad pertengahan dan seterusnya di Gereja Katolik Roma)
Sakramentia
Leksionaria
Antifornaria
Missale Plenum
Brevaria

Nyanyian dalam liturgi

Paus Gregorius Agung (590–604) tidak puas dengan nyanyian-nyanyian dalam liturgi, karena berbeda-beda di segala tempat. Itu sebabnya ia sangat berjasa mengumpulkan dan mengatur nyanyian, himne, dan lain-lain. Ia juga menentukan tempat nya dan ragamnya dalam liturgi. Cara bernyanyi ini masih dipakai dalam Gereja Katolik Roma (disebut ”cara nyanyi Gregorius”).86 Cara bernyanyi ini memakai satu suara saja, sedangkan iramanya bebas, artinya tidak diatur menurut ukuran waktu dan tempo yang tetap. Oleh semangat Gregorius dan atas perintah Charles Agung banyak sekolah penyanyi (scholae cantorum) didirikan di wilayah Gereja Barat, yang mendampakkan perkembangan musik gerejawi yang amat bagus.

Pola liturgi dalam Gereja Barat

Charles Agung merasa terpanggil untuk memulihkan kekaisaran Romawi Barat yang telah runtuh. Ia mengusahakan pemulihan ini di bidang politik, kebudayaan, pertanian, dan juga di bidang agama Kristen. Charles sadar akan pengaruh biara-biara dan golongan rohaniwan. Karena itu ia campur tangan dalam hal-hal gereja, untuk menguatkan gereja dan mengaturnya sesuai pola yang lazim di seluruh kekaisarannya. Ia juga mengatur kesatuan dalam liturgi menurut struktur Romawi-Frank, sehingga liturgi Gallika tergeser. Pola liturgi Gereja Barat ditentukan sebagai berikut:

I. PERSIAPAN prosesi ke gereja (beriringan pergi ke gereja)
mazmur ”introitus” (nyanyian masuk) dengan gloria mini masuknya pemimpin kebaktian ”kirie eleison” (doa litani)
gloria akbar (diangkat pemimpin, dijawab jemaat)

II. BAGIAN PELAYANAN FIRMAN salam dan doa rangkuman (doa collecta ini menyimpulkan doadoa yang sudah diucapkan sebelumnya)

pembacaan surat (oleh diaken, di sebelah bagian selatan)
nyanyian mazmur haleluya pembacaan Injil dengan pujian (di sebelah utara)
homili (khotbah)

III. KREDO (pengakuan iman)

IV. EKARISTI

Persembahan dibawa; persiapan meja
doa syukur akbar dengan prefasi, sanktus, benediktus,
anamnese, Doa Bapa Kami, salam, dan ciuman damai
pemecahan roti sementara dinyanyikan Agnus Dei komuni,
ite, missa est! (suruhan untuk pergi).

Partisipasi jemaat dalam ibadah: responsoria

Jemaat biasanya tidak berdiam diri ketika doa dipanjatkan, tetapi ambil bagian dengan berbagai seruan dan jawaban. Ini diambil alih dari ibadah sinagoge. Jemaat juga turut ambil bagian dalam nyanyian ”antifoon”, dan menyanyikan Gloria mini, Sanktus, dan Doa Bapa Kami. Jemaat juga harus hafal Gloria akbar dan Kredo, walaupun keduanya ini dinyanyikan oleh paduan suara khusus.

Selain menyanyikan mazmur, ”responsoria” (jawaban atas kata pemimpin ibadah) dan himne, jemaat saling memberi cium an damai di meja Tuhan atau saling memegang tangan.

Sikap pada waktu berdoa:

Sambil berdiri mengangkat tangan terbuka; tidak dengan mata tertutup. Pada permulaan wajah terarah ke Timur.

Orang dari suku bangsa Germania mempunyai sikap yang lain: tangan terlipat dan mata tertutup. Inilah sikap serdadu ketika menyerahkan diri pada waktu perang: ia berdiri tegak, menusukkan pedangnya ke tanah, lalu menaruh tangannya yang kanan di atas gagang pedang dan melipat tangan kirinya di atas-nya, dan menutup matanya: sikap yang menandakan penyerahan diri yang total. Setelah menjadi Kristen, sikap ini menjadi sikap berdiri di hadapan Tuhan!

Sikap pada waktu menerima berkat:

Semua orang berdiri dan menundukkan kepala.

Pada mulanya semua orang berlutut waktu menerima berkat.

Perkembangan liturgi yang kurang baik

Lama-kelamaan ajaran tentang transubstansiasi berkembang menja di ajaran resmi. Hal ini juga terlihat dalam liturgi, karena ”meja” Perjamuan menjadi ”altar”, yakni tempat persembahan korban.

Liturgi disusun sekeliling ”misa”, yang menjadi unsur paling utama dalam keseluruhan liturgi. Perkembangan ini berlanjut terus. Ajaran Ambrosius tentang transubstansiasi diterima, dan ajaran Agustinus ditolak. Pada tahun 1215 (Paus Innocentius III) ajaran transubstansiasi resmi dijadikan dogma Gereja Katolik Roma: Tubuh dan darah Kristus benar-benar ada dalam bentuk roti dan anggur. Perubahan roti dan anggur terwujud oleh pengucapan kata-kata penetapan (konsekrasi).

Akhirnya liturgi Misa ditetapkan konsili Trente tahun 1563, sehingga liturgi sama di seluruh Gereja Katolik Roma. Diterbitkan Missale Romanun (Buku Misa) tahun 1570, yang harus dipakai di seluruh dunia.

Partisipasi jemaat dalam ibadah lama-kelamaan berkurang, sedangkan ”klerus” mengambil alih bagian terbesar. Kaum awam lebih banyak menjadi penonton, dan mereka menonton dari jarak jauh saat berlangsungnya upacara misa, sebagai suatu misteri (rahasia) yang masih belum jelas. Mereka hanya turut mengambil bagian dalam sakramen-sakramen. Ketimbang memperingati perbuatan-perbuatan Tuhan, pimpinan gereja lebih mengutamakan sakramen-sakramen ini, sebagai alat yang mengandung kuasa gaib yang menyelamatkan. Mereka percaya akan kuasa gaib ini, yang terkandung dalam istilah-istilah khusus dan dalam kelakuan-kelakuan khusus (ex opere operato)87.

Akhirnya pelayanan Firman kurang dipentingkan ketimbang sakramen. Pada umumnya Alkitab dan pembacaan Alkitab kurang dihargai; ”klerus” tidak senang melihat kaum awam membaca Alkitab sendiri, karena sering akibatnya perselisihan saja. Itu sebabnya bahwa Alkitab pada umumnya tidak diterjemahkan dalam bahasa negara; sebagai bahasa gerejawi selalu digunakan bahasa Latin, yang tidak dipahami kaum awam.

Patung-patung perlambang

Orang juga mulai memakai tanda silang (tanda salib), terutama pada kesempatan anamnese (peringatan akan ketetapan Perjamuan Kudus) waktu berdoa di meja, setelah itu juga waktu pembacaan Injil. Dan diciptakan banyak patung yang berfungsi dalam liturgi gereja dan dalam liturgi pribadi. Umpamanya patung dari Maria dengan anak Yesus. Atau patung-patung dari rasul-rasul, atau orang-orang kudus yang lain.

Tujuh sakramen

Pada akhir abad pertengahan terdapat 7 sakramen di dalam Gereja Katolik Roma:

1. Baptisan

yang dilakukan : air dipercikkan ke atas kepala;

yang dikatakan : dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus;

yang dikerjakan : pengampunan dosa turunan keselamatan.

2. Konfirmasi

yang dilakukan : uskup meletakkan tangan di atas kepala anak

yang dikatakan : memohon turunnya Roh Kudus atasnya;

yang dikerjakan : menjadi kuat melawan Iblis dan dosa.

3. Pengakuan dosa

yang dilakukan : mengaku dosa di hadapan imam;

yang dikatakan : terampunilah dosa atas nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

yang dikerjakan : pengampunan dosa yang sungguh benar.

4. Misa (Ekaristi)

yang dilakukan : roti dipecahkan dan dibagikan kepada anggota-anggota jemaat; anggur diberkati dan diminum sedikit oleh imam;

yang dikatakan : kata-kata penetapan Perjamuan Kudus;

yang dikerjakan : pengampunan dosa dan penyatuan dengan tubuh Kristus.

5. Peminyakan

yang dilakukan : dipercikkan minyak suci saat seorang Kristen akan meninggal. Minyak bagi mata, telinga, hidung, bibir, tangan, dan kaki.

yang dikatakan : doa untuk mengampuni segala pelanggaran kelima indera; berkat yang memberikan pengampunan penuh kepada orang yang meninggal;

yang dikerjakan : kekuatan untuk menerima kematian secara Kristen

6. Nikah

yang dilakukan : nikah;

yang dikatakan : janji-janji dan berkat nikah;

yang dikerjakan : perkawinan menjadi suatu hal rohani.

7. Penahbisan imam

yang dilakukan : penahbisan;

yang dikatakan : janji-janji penahbisan dan berkat;

yang dikerjakan : seorang manusia menjadi pengantara antara manusia dan Allah, untuk membagi-bagikan anugerah Allah kepada manusia.

Kesimpulan

Mengamati garis-garis besar perkembangan liturgi dari abad-abad pertama sampai Reformasi, terlihat perubahan liturgi yang disebut deformasi. Artinya keruntuhan liturgi yang asali. Bila ingin memperoleh gambaran utuh dari zaman perkembangan liturgi ini, bacalah ”Ibadah Jemaat dalam abad-abad pertengah an” oleh J.L.Ch. Abineno.88 Corak liturgi mengakibatkan jarak yang jauh antara klerus dan kaum awam. Ritusnya dianggap sangat penting untuk memperoleh keselamatan. Dalam sakramen-sakramen ada kepastian tentang keselamatan, bukan dalam kepercayaan akan Firman Tuhan. Ajaran yang mustahil kita yakini.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-8976-50-9
  4. Copyright:
    © LITINDO 1995
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih