Disamping prinsip-prinsip umum (yang sudah kita tinjau di Bab 4–9) Alkitab memberi informasi konkret tentang berkembangnya liturgi dalam PL dan PB. Dalam bab ini dipaparkan bagaimana ”liturgi baru” mengambil alih unsur-unsur dari ”liturgi lama”.
Liturgi dalam gereja pertama berkaitan dengan liturgi ibadah dalam PL. Maka adalah wajar kalau liturgi PB adalah penggenapan liturgi PL. Jadi, dalam gereja pertama kita temukanunsur-unsur liturgi yang sudah kita kenal dari ibadah Bait Allah dan rumah Ibadat Yahudi. Kristus telah menggenapi segala upacara dan perlambangan PL itu27.
Jadi karena itu gereja pertama tidak takut mengambil-alih berbagai unsur liturgi dari Bait Allah, maupun dari Rumah ibadat Yahudi, sinagoge.
Tentang ini Kristus sendiri berkata, ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17)
Jadi, ada keterkaitan yang erat antara liturgi lama dan liturgi baru. Kristus sendiri juga pergi ke Bait Allah dan ke rumah ibadat Yahudi.
Kedatangan Yesus Kristus yang juga berarti pembaruan liturgi adalah titik tolak baru. Oleh kedatangan Yesus Kristus, fungsi Bait Allah sebagaimana diatur dalam PL, sudah usai. Ini jelas sekali dari ucapan Yesus, yang sangat mengherankan semua orang yang mendengarnya:
”Rombaklah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (Yoh 2:19) Dan peristiwa lain juga menunjukkan bahwa penggenapan fungsi Bait Allah itu sudah tuntas.
”Ketika itu tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah.” (Mrk 15)
Sejak saat itu (lebih tepat: sejak kenaikan Yesus ke surga, dan lebih konkret lagi: sejak turunnya Roh Kudus pada hari Pen takosta) tempat kediaman Tuhan adalah gereja, ”gedung rohani”, yang dasarnya ialah Yesus Kristus, ”batu penjuru” itu (1Ptr 2:7),
”... yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus sebagai batu penjuru.” ”Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” (Ef 2:20, 22)
Memang, keadaan yang baru ini tidak langsung dipahami oleh jemaat pertama. Mereka tidak serta merta menghindari Bait Allah (lih ump Kis 2:46, di mana kita temukan jemaat pertama berkumpul tiap-tiap hari di Bait Allah). Tetapi, permusuhan orang Yahudi (terutama dari golongan pemimpin agama Yahudi) memaksa mereka untuk benar-benar berpisah dengan Bait Allah: mereka dianiaya dengan sadis dan sedemikian rupa. Petrus dan Yohanes dijebloskan ke dalam penjara, dan Stefanus dilempari dengan batu. Bait Allah menjadi tempat berbahaya bagi orang Kristen!
Berkat ajaran rasul-rasul jemaat makin mengerti, bahwa fungsi Bait Allah sudah tuntas, karena korban yang satu-satunya (yaitu Yesus Kristus) telah disembelih, sehingga korban-korban bayangan (seperti domba dan lembu) tidak berarti lagi.
Oleh perubahan yang sangat besar ini pelbagai istilah dari liturgi Bait Allah mendapat makna yang lebih merupakan kiasan (maknanya secara harfiah makin hilang). Umpamanya Imam Besar, Bait Allah, korban, persembahan, korban syukur ..., dan lain-lain. Surat Ibrani penuh dengan kata-kata semacam ini untuk menggambarkan liturgi baru dalam PB.
Lebih penting lagi, bahwa ungkapan pelayanan pendamaian mendapat ciri dan rupa yang berbeda sekali dari ciri dan rupa ungkapan itu dalam PL. Karena oleh karya Yesus Kristus, pelayanan ini menjadi pelayanan pendamaian yang sudah tuntas diselesaikan. Pendamaian ini telah terwujud, yaitu pada waktu Yesus berseru, ”Sudah selesai” (Yoh 19:30). Itu sebabnya pelayanan pendamaian tidak dilakukan lagi melalui penyembelihan binatang-binatang, tapi melalui pemberitaan tentang pendamaian yang sudah ada dalam Yesus Kristus. Hal ini sangat jelas dalam 2 Korintus 5:18, 19,
”Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Yesus Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.”
Jadi, berdasarkan ini, maka liturgi berubah sama sekali. Pelayanan pendamaian sebagai pokok liturgi pada masa PL, berubah menjadi pemberitahuan Firman pendamaian pada masa PB.
Setiap hari sabat Yesus Kristus biasanya pergi ke rumah ibadat bersama murid-murid-Nya. Ia sendiri turut membaca dari kitab-kitab suci dan mengajar orang-orang di rumah ibadat (lih ump Luk 4:16-30, di mana Yesus membaca dari Kitab Yesaya). Dalam liturgi sinagoge pembacaan dipusatkan pada gulung an kitab (menurut sistem perikop) dan ”khotbah” berdasarkan pembacaan itu. Peta dasar berikut30 menunjukkan bagaimana ibadah Yahudi diatur di sinagoge, dan bagaimana ”pelayanan Firman” mendapat tempat sentral di ruang ibadah.
Pimpinan ibadah dipercayakan pada tuatua (bh Yunani ”presbiter”). Mereka dibantu oleh ”syamas” (bh Yunani ”diaken”), mitra kerja dalam ibadah. Dia kendiaken mengumpulkan persembahan persepuluhan, dan me reka juga yang membagi-bagikan nya kepada orang miskin. Kor ban yang ”berdarah” tidak ada dalam sinagoge; yang penting ialah gulungan-gulungan kitab Taurat, yang disimpan di tempat khusus (II, ”bahtera gulungan kitab”). Pengajar (”rabi”) berdiri di tengah (I) sinagoge untuk memberi ajarannya, tafsirannya, dan nasihatnya.
Ajaran ini disebut ”midrasj”31. Laki-laki berada di ruangan keliling rabi (III), sedangkan perempuan tinggal di ruangan khusus (IV), agak jauh (V) adalah ruang depan.
Secara garis besar liturgi sinagoge mengandung unsur-unsur yang berikut:
*) ”sjemone esre” yang mengandung 18 doa, diucapkan sebagai doa akbar dalam ibadah pagi, sore, dan malam.
Yesus Kristus juga turut dalam liturgi macam ini di rumah ibadat Nazaret dan di tempat-tempat lain. Ia turut menyanyikan mazmur dan mengaku iman-Nya dengan kata-kata Syema32 dari ulangan dan memuji Bapa-Nya di surga dengan Sanktus33 dari Yesaya. Dua unsur ini merupakan hal penting dalam liturgi Yahudi, di samping pelayanan Firman dalam Midrasy.
Berkat hanya diberikan oleh seorang dari keturunan imam; jika tidak ada keturunan imam, maka berkat ini didoakan ketimbang diberikan.
SYEMA, SANKTUS, dan BERKAT |
Ulangan 6:4 — "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!" Yesaya 6:3 — "Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!" Bilangan 6 — "TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera". |
Liturgi di rumah ibadat mendapat penggenapannya juga dalam Yesus Kristus. Hal ini diuraikan oleh Yesus sendiri secara nyata di rumah ibadat di Nazaret, di mana Yesus mengajar tentang penggenapan nubuat Nabi Yesaya di dalam diri-Nya sendiri (Luk 4:16-30).
Penggenapan itu tidak berarti perpisahan mutlak dari liturgi ibadat Yahudi. Penggenapan berarti adanya garis perkembangan dari liturgi yang lama ke liturgi yang baru. Dan garis itu tidak putus. Ada perkembangan, ada kemajuan dari yang lama ke yang baru. Sampai pada beberapa bagian tertentu dapat diambil alih. Dan unsur-unsur ini memperoleh makna yang lebih kaya dalam Kristus. Umpamanya, nyanyian mazmur-mazmur. Yesus Kristus mungkin saja menyanyi bersama murid-murid-Nya mengandung Ul 6:5-9; 11:13-21; Bil 15:37-41. Menjelang kematian, seorang Yahudi yang saleh akan mengucapkan ”syema” dengan napasnya yang terakhir.
”Halel” (Mzm 113–118)34 setelah penetapan Perjamuan Kudus:
”Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke bukit Zaitun.” (Mat 26:30)
Dan Yesus berkata:
”Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Mat 23). (Mzm 118:26, yaitu penutup Halel; dengan kata ini Yesus menunjuk kepada diri-Nya).
Di sini kita temukan lagi tambahan kata, yang menjadi istilah amat penting dalam liturgi gereja. Yaitu kata ”pengucapan syukur” (”ekaristi”, yang berasal dari bh Yunani eukharisti35) dan ”berkat” di luar ibadah, yang dipakai Yesus Kristus (Mrk 6:41; 14:22; Luk 9:16; 22:17-20; 24:30).
”Pengucapan syukur” ini masih dapat kita temukan dalam liturgi Perjamuan Kudus di gereja masa kini sebagai berikut:
”Cawan pengucapan syukur, yang dengannya kita mengucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus.”
EKAKRISTI |
”pengucapan syukur” (pada waktu Perjamuan malam) berasal dari kata Yunani eukharisti menjadi istilah untuk Perjamuan Kudus kemudian untuk ”misa” Katolik roma |
Berkumpulnya jemaat dengan Tuhannya (Mat 18:20) harus diwujudkan demi memuji Allah dan demi pembinaan jemaat (1Kor 14) dan demi penataran dalam jabatan (Ef 4). Untuk mencapai ke-3 tujuan ini, rasul-rasul memakai unsur-unsur yang memperlihatkan hubungan yang erat dengan liturgi dalam iba dah Yahudi. Untuk itu lihat ump halhal yang berikut:
Ekaristi
Menurut Rasul Paulus, Kristus mengucapkan ”pengucapan syukur” sebelum Ia memecahkan roti (1Kor 11:24).
Dari kata sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan ... (1Kor 11:23) menjadi jelas, bahwa liturgi perjamuan harus diteruskan di gereja dengan teliti.
Tua-tua
Rasul-rasul mengambil alih istilah tua-tua sebagai istilah untuk mengacu kepada pemimpin-pemimpin dalam jemaat: penatua-penatua.
Pembacaan Kitab Suci
Dan seperti pelayanan Firman adalah unsur terpenting dalam ibadah Yahudi, demikian juga pembacaan Alkitab mendapat tempat yang penting dalam liturgi jemaat pertama (1Tim 4:11, 13; 5:17; 6:3). Tetapi, sekali lagi, pelayanan Firman lebih kaya di gereja daripada di sinagoge:
”Sebab penduduk Yerusalem dan pemimpin-pemimpinnya tidak mengakui Yesus. Dengan menjatuhkan hukuman mati atas Dia, mereka menggenapi perkataan nabi-nabi yang dibacakan setiap hari Sabat.” (Kis 13:27)
Paulus meminta supaya suratnya dibacakan di kumpulan jemaat di Kolose, Tesalonika, dan Laodikia (Kol 4:16; 1Tes 5:27), dan ia menyuruh Timotius sebagai berikut:
”Beritakanlah ... ajarkanlah ... bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar.” (1Tim 4:11-13)
Dan Wahyu mengatakan:
”Berbahagialah ia yang membacakan ....” (Why 1:3)
Di samping pembacaan Alkitab dilayankan juga tafsirannya dan ajarannya; lihat umpamanya bagaimana Petrus menggunakan nasnas Alkitab dalam khotbah-khotbahnya (Kisah).Doa bersamaIhwal doa juga diambil alih dari ibadah PL; hanya isinya sekarang bercorak PB, tetapi strukturnya mirip dengan doadoa Yahudi. Umpamanya dalam Kisah Para Rasul 4:24,
”... berserulah mereka bersama-sama kepada Allah, katanya: ‘Ya, Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi, laut, dan segala isinya’.” (bnd Neh 9:6)
Dan Paulus menyuruh Timotius berdoa, dan doa itu mengandung hubungan dengan ”Doa Delapan Belas”:
”Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat, dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan.” (1Tim 2:1)
Penting sekali adalah ”Doa Bapa Kami” (Mat 6; Luk 11), yang diajarkan Yesus Kristus sendiri kepada murid-murid-Nya.
Akan tetapi, masih ada doa lainnya, umpamanya Efesus 1 dan 3. Bia sanya doa diarahkan kepada Allah Bapa, tetapikadang-kadang juga kepada Yesus Kristus. Umpamanya, dua orang buta di Ye rikho yang berseru, ”Tuhan, Anak Daud, kasihanilah kami!” (yaitu ”Kirie eleison”, Mat 20:30). Dan Yohanes berdoa kepada Yesus, ”Amin, datanglah, Tuhan Yesus!” (Why 22:20). Paulus juga, dengan seruannya ”Maranata”, yang berarti datanglah Tuhan! (1Kor 16:22).
Pengakuan iman
Dalam Kitab Ibrani sering terdapat istilah ”mengaku” dan ”peng akuan”: Ibrani 3:1; 4:14; 10:23; 13:15. Ternyata hal ini adalah warisan dari sinagoge, dengan makna ”kristo-sentris” (arti-nya Kristus sebagai pokok, sebagai intisari).
Kita menemui pengakuan Petrus:
”Engkau adalah Mesias, Yang Kudus dari Allah.” (Mrk 8:29; Yoh 6:69)
”... dan segala lidah mengaku: ’Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:11)
Salam pembuka dan salam/berkat penutup
Salam ini lazim diucapkan di rumah ibadat Yahudi, juga diucapkan oleh Paulus, umpamanya pada awal dan akhirSurat-Suratnya.
Nyanyian pujian
Lihat Efesus 5:19 dan 14; Kolose 3:16.
Masyarakat Kristen pertama, dalam usaha mereka menciptakan liturgi yang kristosentris, mencari hubungan dengan liturgi ibadat Yahudi. Dan mereka juga memperkayanya sesuai dengan masa sejarah keselamatan, yaitu kemenangan oleh Yesus Kristus dan kenaikan-Nya ke surga. Jadi, banyak unsur memperlihatkan bentuk yang masih sama dengan bentuk liturgi agama Yahudi, tapi isinya disesuaikan dengan ajaran Kristen.
Dalam liturgi PB kita lihat, di samping pelayanan Firman, diberikan ruang yang luas untuk memuji Tuhan dan yang diurapi-Nya, yaitu Kristus (Yud 24-25; Ef 3:14-21; Rm 11:33-36, dll). Berdasarkan itu suatu pertanyaan muncul, apakah kita pada masa kini sudah cukup menyanyi dalam kebaktian? Lihat saja gereja PB, betapa banyaknya nama TUHAN dipuji dan dimuliakan dalam nyanyian!
Apakah liturgi harus ditata ketat sekali, harus menurut bentuk-bentuk yang tetap sama? Apakah kita melihat dalam Alkitab suatu kaidah, suatu aturan yang mutlak untuk liturgi dimana-mana? Atau justru sebaliknya: apakah liturgi sifatnya bebas, dapat diatur dengan antusiasme, dengan spontanitas? Apakah ibadah dapat ditata secara bebas, mengikuti perasaan pribadi dan tidak dipengaruhi oleh aturan-aturan yang ketat?
Untuk menjawabnya marilah mengutip Vrijland36.
”Dalam 1 Korintus 12–14 dilukiskan rupa-rupa karunia dalam satu tubuh dan dikerjakan oleh satu roh (1Kor 12). Daya hidup untuk tubuh ini adalah kasih terhadap saudara-saudari (1Kor 13). Salah satu karunia itu adalah berkata-kata dengan bahasa roh. Ciri karunia ini adalah antusiasme, tetapi karunia ini dapat berubah menjadi alat untuk memuaskan diri secara religius. Dibandingkan dengan itu (kata-kata yang kabur, yang tidak dapat dipahami orang lain) Paulus memprioritaskan pelayanan firman yang terang isinya (”nubuat” 1Kor 14). Maksud Paulus, bukan kaidah liturgis tertentu, yang kaku, yang hierarkis37, yang diberlakukan secara otoriter38. Malah Paulus menyukai suatu tatanan tertentu dan pasti, yang mampu membina tubuh Kristus, yaitu jemaat, bukan individualisme, bukan juga roh golongan (1Kor 1–3). Bukan pula harus berkata-kata dengan bahasa Roh, melainkan suatu tata ibadah berdasarkan kasih persaudaraan (1Kor 13), yang mencapai pembebasan dan kebangkitan dalam kehidupan yang baru (1Kor 15).”