5. Suasana Kebaktian

Untuk menilai suatu ibadah, dan untuk menciptakan atau memperbarui tata ibadah, terutama harus kita selidiki ”suasana ibadah” sebagaimana dapat disimpulkan dari Alkitab. Bila kita berhasil melukiskan suasana ini, maka gambarnya dapat dipakai sebagai patokan untuk menilai apakah kita, yaitu dalam usaha kita untuk mengadakan ibadah itu, melangkah dengan baik atau tidak ....

Bagaimana suasana dalam kebaktian?

Jika kita masuk gereja dan mengikuti kebaktian, apa yang kita lihat? Kita melihat (dengan mata hati yang beriman) semua yang Tuhan lakukan untuk kita sebagai manusia. Jika kita pada hari Minggu mengikuti kebaktian untuk bertemu dengan Tuhan dan untuk melihat kemuliaan-Nya, kekuatan-Nya, dan seterusnya (lih Bab IV) apa reaksi kita? Terutama, kalau kita melihat betapa akbarnya, betapa mulianya, dan betapa kudusnya Tuhan, kita sujud menyembah dan berdiam diri, penuh dengan rasa hormat dan takut akan Tuhan, Allah Yang Mahakudus.

Akan tetapi, pertemuan Allah dengan umat-Nya seyogianya mempunyai dampak yang lebih luas daripada hanya menyembah dan berdiam diri. Pergaulan dengan Tuhan menciptakan suasana yang beraneka faset. Corak faset itu sering tergantung pada keadaan manusia yang beribadah kepada Tuhan (ump sakit, takut, teraniaya, bersukacita, berdukacita, berdosa, dsb). Dalam kebaktian pada hari Minggu, kita dapat melihat faset-faset yang beraneka ragam itu, karena jemaat terdiri dari sejumlah orang yang keadaannya berbeda-beda. Lagi pula, pergaulan jemaat dengan Tuhan mempunyai sifat yang khas, sesuai dengan suasana. Dalam bab ini akan kita kumpulkan dan lukiskan secara ringkas beberapa faset yang khas menonjol. Itu berarti bahwa daftar berikut ini menunjukkan faset-faset yang perlu dipedulikan dalam kebaktian, tapi pasti belum sempurna.

Sentosa

”Biarlah orang-orang yang mencintaimu mendapat sentosa.
Biar lah kesejahteraan ada di lingkungan tembokmu, dan sentosa di dalam purimu.”

(Mzm 122:6, 7)

Bebas dari segala kesukaran dan bencana, aman dan tenteram, damai dan tenang, tidak terdapat kekacauan, karena Tuhan semesta alam adalah Allah di tengah jemaat.

Ibadah harus melayankan perasaan tenang dan sentosa kepada manusia. Manusia datang dari kehidupannya yang sukar, yang tidak ringan. Dalam kebaktianlah ia mendapat kelegaan dan kesejahteraan, sehingga hatinya menjadi tenang—sentosa.

Diam

”Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwa ku;
seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya,
ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku.”

(Mzm 131:2)

Jauh dari segala kesibukan hidup sehari-hari, itulah yang manusia rasakan dalam kebaktian. Di sini jiwanya dapat istirahat, ditenangkan. Jadi dalam ibadah harus ada suasana tenang. Keributan harus dihindari.

Kelegaan

”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat,
Aku akan memberi kelegaan kepadamu ... dan jiwamu
akan dapat ketenangan.”

(Mat 11:28-29)

Kita pergi kepada Kristus pada waktu kita pergi ke gereja. Untuk mendengar suara-Nya yang menghibur manusia. Dalam ibadah itu diberikan-Nya perasaan yang bebas, tidak sesak melainkan luas dan senang. Mendengarkan Firman Allah membuat manusia berhenti khawatir. Memuji dan memuliakan nama Tuhan, bernaung dalam lindungan Tuhan dan merasa tenteram.

Tunduk kepala, rendahkan hati

”Masuklah, marilah kita sujud menyembah,
berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita.”

(Mzm 95:6)

Mengingat kebesaran Tuhan, dan mengingat kerendahan hati manusia, yang adalah ciptaan-Nya, maka wajiblah kita beribadah dengan rendah hati, tidak congkak. Tunduk kepala, bila kita sadar akan segala kelemahan dan kekurangan kita.

Keluh kesah

”Berilah telinga kepada perkataanku, ya, TUHAN, indahkanlah keluh-kesahku. Perhatikanlah teriakku minta tolong, ya, Rajaku dan Allahku, sebab kepada-Mulah aku berdoa.” (Mzm 5:2, 3)

Sebaiknyalah kebaktian dimulai dengan ”keluh-kesah” karena dosa dan kelemahan manusia; bertobat dan minta ampun. Suasana ”putus asa” dan mengharapkan pertolongan dari Tuhan saja.

Dengar

”Dengarlah hai umat-Ku,
Aku hendak memberi peringatan kepadamu;
hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku ....”

(Mzm 81:9)

Untuk mendengarkan Tuhan maka kita berkumpul. Suasana harus baik, sehingga hadirin dapat mendengar dengan baik. Jangan sampai ada halangan atau gangguan; setiap orang yang hadir harus diberi kesempatan untuk menaruh perhatiannya dengan baik atas apa yang difirmankan. Ia datang mengikuti kebaktian, terutama untuk membuka telinganya terhadap Firman Tuhan.

Segar

”Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau,
Ia membimbing aku ke air yang tenang;
Ia menyegarkan jiwaku.
Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.”

(Mzm 23:2-3)

Dalam kebaktian itu Tuhan membuat kita merasa nyaman dan ringan; beban dosa diambil alih oleh Kristus, kita merasa sehat dan senang.

Muda dan puas

”Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan,
sehingga masa mudamu menjadi baru
seperti pada burung rajawali.”

(Mzm 103:5)

Kita dilahirkan kembali oleh Roh Kudus dan merasa muda lagi. Roh Kudus memakai alat pelayanan Firman untuk me muas kan kita.

Gembira dan musik

”Maka aku dapat pergi ke mazbah Allah,
menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku,
Dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi ya,
Allah, ya, Allah-ku!”
(Mzm 43:4)

Semua yang kita terima membuat kita pergi ke bait Allah, yaitu tempat untuk bersukacita, untuk bergembira, untuk berterima kasih. Tempat untuk bersorak-sorai dan mengangkat alat musik untuk bersyukur kepada Allah.

Terang

”Terang sudah terbit bagi orang benar, dan sukacita bagi
orang-orang yang tulus hati.”
(Mzm 97:11)

Ibadah adalah tempat terang, di mana bayangan kerajaan terang dapat dilihat oleh hadirin. Orang Kristen telah dilepaskan dari kegelapan. Tempat ibadah adalah tempat terang siapa membangun gedung gereja harus memperhatikan bahwa ruangannya harus terang-benderang.

Sorak-sorai

”Beribadahlah kepada Tuhan dengan sukacita,
Datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!”
(Mzm 100:2)

Memang, ibadah adalah tempat khusuk, tenang, tidak boleh ribut. Tetapi, sekaligus dapat dikatakan ibadah adalah tempat nyanyian:

”Haleluya!
Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya!
Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!
Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya,
Pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!
Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala,
Pujilah Dia dengan gambus dan kecapi?
Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian,
Pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!
Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting,
Pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!
Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN
Haleluya!”
(Mzm 150)

Menyanyi

”Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur,
kidung pujian-pujian dan nyanyian rohani.
Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.”
(Ef 5:19)”Sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani,
kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.”
(Kol 3:16)

Bukan saja dalam PL umat Tuhan menyanyi untuk membesarkan nama Tuhan, juga dalam Gereja Purba hal menyanyi itu menciptakan suasana gembira dalam kebaktian.

Marah

”Ya, Tuhan, janganlah menghukum aku dalam murka-Mu,
dan janganlah menghajar aku dalam kepanasan amarah-Mu ....”
(Mzm 6:2)

Apabila seseorang berbuat dosa dan melanggar Hukum Tuhan, maka Tuhan akan menyatakan kemarahan-Nya dalam kebaktian, yaitu dengan Firman-Nya yang dilayankan dengan tajam, berisi nasihat-nasihat dan teguran-teguran; juga dengan ancaman akan hukuman.

Angkat kepala

”Ia mengangkat aku ke atas gunung batu,
Maka sekarang tegaklah kepalaku,
mengatasi musuhku sekeliling aku.”

(Mzm 27:5-6)

Dalam Yesus Kristus, yang telah melepaskan kita dari tangan musuh, kita dapat mengangkat kepala sebagai pahlawan yang menang dalam peperangan. Kita tundukkan kepala karena dosa, tetapi kita mengangkat kepala mengingat kelepasan kita dari dosa! Kita dimahkotai-Nya dengan kasih setia dan rahmat (Mzm 103:4).

Lucu? Tertawa ....

Kita tidak menemui hal ”lucu” dalam ibadah menurut Alkitab. Tidak ditemui hal yang menimbulkan tawa karena sesuatu yang menggelikan. Tetapi, ada tawa dalam gereja:

”Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai.” (Mzm 126:2)

Sifat tertawa ini lain sekali dari tertawa karena jenaka. Dalam gereja kita bisa tertawa karena bersukacita, karena segala sesuatu yang begitu indah yang Tuhan lakukan! Maka jemaat dapat tertawa dengan gembira. Tetapi, bukan karena pemimpin kebaktian menceritakan halhal yang lucu.

Ada kalanya pengkhotbah menggunakan lelucon untuk menarik perhatian, tapi harus sesuai dengan nas terkait dan dalam batas-batas kesopanan.

Bosan?

Sering terjadi suasana kebaktian tidak memuaskan jemaat. Mereka bosan pada liturgi, mengantuk, dan merasa lega apabila kebaktian selesai. Ada yang bersungut-sungut karena panjangnya kebaktian, khotbah yang bertele-tele, musik yang jelek, atau nyanyian yang tidak dikenal oleh jemaat.

Sungut-sungut itu timbul mungkin karena kepercayaan mereka menciut. Tetapi, bukan tidak mungkin, mereka bersungut-sungut karena majelis dan pendeta tidak berhasil mewujudkan suasana kebaktian, yang sesuai dengan sifat pertemuan Tuhan dengan umat-Nya.

Suam-suam kuku?

”Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.” (Why 3:16)

Tuhan membenci ibadah yang berlangsung dalam suasana suam-suam kuku. Ia menganggap sikap jemaat seperti ini sebagai penghinaan terhadap segala kebaikan-Nya. Kita sudah lihat, bahwa jemaat harus berseri-seri karena sukacita, karena kelimpahan kasih, dan seterusnya.

Dangkal?

”... mereka itu mendirikan tembok dan lihat, mereka mengapurnya katakanlah kepada mereka yang mengapur tembok itu: Hujan lebat akan membanjir, rambun akan jatuh dan angin tofan akan bertiup! Kalau tembok itu sudah runtuh, apakah orang tidak akan berkata kepadamu: Di mana sekarang kapur, yang kamu oleskan itu?” (Yeh 13:10-12)

Apa saja yang disusun dalam liturgi harus disusun berdasarkan kepercayaan yang dalam. Jangan sampai bentuk-bentuk liturgi diciptakan hanya untuk menyembunyikan kelemahan jemaat. Bentuk-bentuk liturgi itu harus berakar dalam hatianggota-anggota jemaat, yang paham dan yang kepercayaannyabenar-benar dalam. Memang, dengan cat kapur kita dapat membuat gedung yang buruk jadi mengilap. Tetapi, tidak akan lama, dan pekerjaan macam ini akan dinyatakan sebagai tipuan, sebagai ”kepercayaan” yang dangkal, yang hanya menyentuh kulitnya saja.

RANGKA BAB 5 - SUASANA KEBAKTIAN

background image
URAIAN MENGENAI SUASANA IBADAH
berfungi sebagai
PATOKAN ALKITABIAH
untuk
MENYUSUN LITURGI
atau untuk
MENILAI IBADAH DALAM GEREJA Anda
dan
MEMPERBAHARUI LITURGI
dan juga untuk
MENILAI LITURGI DARI GEREJA LAIN

Bagan ini menggambarkan semua faset yang bersama-sama mengadakan suasana dalam kebaktian. Bulatan besar menyebut 4 kata yang mewarnai keseluruhan ke baktian, dari mula sampai akhir. Ada faset lain dalam bulatan-bulatan kecil yang mengandung kata-kata seperti ”gembira”, ”marah”, ”kasih”, dan seterusnya. Dalam kebaktian ada unsur yang membawa ”gem-bira”, dan ada unsur lain yang membawa nasihat (”marah”). Dalam kebaktian semua unsur harus disusun sedemikian rupa, sehingga semua faset kebaktian (yang kita temui di Alkitab) diatur menurut urutan kepentingannya masing-masing.

Pertanyaan

1. Dalam kebaktian di gereja, pengkhotbah menceritakan pengalamannya yang lucu; senangkah Anda dengan suasana tertawa yang diakibatkannya?
2. Misalkan pendeta setiap kebaktian Minggu menekankan hukum Taurat. Akibatnya jemaat selalu tunduk kepala, gelisah bahkan jengkel. Apa kesalahan pendeta ini?
3. Pendeta lain setiap kebaktian menciptakan suasana ”Haleluya” dan ”Puji Tuhan”; jemaat menjawabnya dengan tepuk tangan, angkat tangan dan teriakan. Ada pula anggota yang berada di luar kesadaran diri (ekstase). Cobalah Anda menilai suasana ini.
4. Apakah harus kita biarkan bayi-bayi yang menangis berada di dalam kebaktian? Apakah harus diambil tindakan terhadap ibuibu yang bercakap-cakap, atau terhadap pemuda-pemudi yang menimbulkan keributan?
5. Siapa yang bertanggung jawab untuk menciptakan suasana ibadah yang sepatutnya?
6. Dalam Bab 3 kita temukan faktor misioner. Terangkan mengapa faktor ini merupakan dorongan kuat untuk mengubah suasana ibadah yang dangkal isinya, atau yang membosankan hadirin.
7. Bicarakanlah dengan teman-teman Anda tentang suasana ibadah di jemaat Anda sendiri. Nilailah suasana itu berdasarkan patokan alkitabiah yang diuraikan panjang lebar dalam bab ini.
8. Apakah Anda setuju dengan suasana yang pada dasarnya sentosa dan tenang? Ataukah Anda iri melihat (atau mendengar) suasana injili atau karismatis, sehingga Anda cenderung menikmati yang sama? Alaskan pendirian Anda dengan baik.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-8976-50-9
  4. Copyright:
    © LITINDO 1995
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih