3. Faktor-faktor Liturgi

Marilah meneliti faktor-faktor yang menciptakan atau yang mengubah liturgi; dan kita akan mencoba untuk menilai wewenang setiap faktor, dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya.

Apakah sebenarnya ”faktor” itu?

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan batasan berikut: ”faktor, artinya hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu”.

Kalau kita bicara tentang ”faktor-faktor liturgi”, yang kita maksudkan ialah berbagai kenyataan, yang bersama-sama membawa pengaruh kepada penciptaan suatu pola liturgi.Faktor-Faktor ini bersama-sama menghasilkan suatu tata ibadah yang konkret di suatu tempat tertentu, dalam situasi dan waktu tertentu.

background image

Gambar di atas menerangkan maksud kita. Dilukiskan beberapa faktor (9 faktor, yang berbeda-beda motifnya), semuanya bersama-sama mempengaruhi (”masuk ke dalam”) bulatan di tengah. Pola bulatan tengah adalah akibat atau hasil permainan bersama dari semua motif. Sama seperti pola kain batik adalah hasil pemakaian pelbagai motif dan warna-warna yang berbeda-beda begitu juga suatu pola liturgi adalah hasil berbagai motif atau berbagai faktor.

1. Faktor Alkitab

Alkitab berfungsi sebagai dasar sebagai ”kanon” (patokan) dalam teologi reformasi. Pada waktu Reformasi Besar dilancarkan (tahun 1517), ada tiga semboyan yang (dalam bh Latin) dengan singkat menyatakan ajaran reformasi, yaitu:

  • sola fide hanya oleh iman;
  • sola gratia hanya oleh kasih karunia;
  • sola Scriptura hanya menurut Alkitab.

Untuk Gereja Kristen Protestan hal terakhir ini sebenarnya jelas: tidak ada asas lain untuk ajaran gereja daripada Alkitab. Setiap orang Kristen tunduk kepada Firman Allah, karena ia mengaku bahwa Firman itu bukan firman manusia, melainkan Firman Allah yang satu-satunya. Maka dengan demikian Alkitab mempunyai wibawa mutlak (absolut) dalam kehidupan Kristen, dalam gereja dan dalam Ilmu Teologi. Sejalan dengan itu maka Ilmu Liturgi harus taat kepada Firman Allah, sehingga menjunjung tinggi semua unsur, semua petunjuk atau perintah yang diberikan Allah sendiri untuk ibadah masa kini. Tetapi, tidak semua unsur liturgi yang berasal dari Alkitab merupakan perintah mutlak untuk semua masa, ada juga yang bersifat nasihat, saran, petunjuk, dorongan, contoh, dan sebagainya. Janganlah kita terjerumus ke dalam bahaya biblisisme,9 yang kurang menghargai peranan Roh Kudus yang memimpin gereja dari abad ke abad. Tetapi, di pihak lain kita juga harus menampik liberalisme, ajaran modern yang menyangkal pengilhaman Alkitab dan yang menafsirkan Alkitab secara kritis.

Dalam Alkitab kita dapat sehubungan dengan liturgi mempelajari garis besar tentang halhal berikut ini:

  • berbagai unsur ibadah yang konkret (lih Bab 10)
  • berbagai prinsip untuk liturgi (ump tentang kekudusan; hal pertemuan dalam perjanjian; pelayanan dalam ibadah; suasana ibadah; apa yang terpenting dalam kebaktian) (lih Bab 5–9).

2. Faktor ajaran gereja (dogma)

Apakah faktor dogma dapat mempengaruhi penetapan liturgi?

Tentu! Kita akan menemui faktor ini berulangkali jika kita meninjau sejarah liturgi. Lihat umpamanya betapa besarnya pengaruh faktor ini dalam Gereja Katolik Roma! Bagaimana liturgi tersusun sekeliling pokok ibadah Katolik Roma, misalnya ekaristi (misa) dan ajarannya tentang transubstansiasi. Betapa besar pengaruhnya dalam liturgi di bidang sakramen-sakramen dan ajarannya ex opere operante (lih hlm. 211). Tetapi, bukan saja dalam Gereja Katolik Roma suatu ajaran itu mempengaruhi liturgi. Sama saja dengan Gereja-gereja Protestan. Umpamanya gereja Baptis: liturgi dipengaruhi oleh ajaran tentang baptisan orang dewasa. Gereja Reformasi menekankan pentingnya pelayanan Firman (sola Scriptura!), sehingga khotbah mendapat tempat sentral dalam kebaktian Reformasi.

Jelaslah bahwa dalam Gereja Reformasi faktor dogma erat berkaitan dengan faktor Alkitab. Gereja Reformasi mengakui sebagai dalil utama, bahwa dasar ajarannya adalah Firman Tuhan. Sejajar dengan ini kita dapat menilai bahwa wewenang faktor ini (ump dalam proses menciptakan suatu liturgi reformasi) sama

3. Faktor persekutuan gereja

Apakah jemaat setempat bebas untuk menyusun tata kebaktiannya sendiri, lepas dari gereja-gereja lain yang seasas? Apakah suatu persekutuan gereja harus menentukan (ump di rapat sino de)

suatu tata ibadah yang dipakai mutlak dalam semua gereja?

Kita dapat membedakan antara persekutuan gereja dalam negeri (ump persekutuan Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia [GGRI]) dan persekutuan gereja luar negeri (ump Persekutuan Gereja-Gereja Reformasi di Dunia). Pengaruh nasional (dalam negeri) dalam hal menciptakan suatu liturgi yang seragam lebih kuat dari pengaruh internasional (luar negeri).

Wewenang faktor persekutuan tergantung pada peraturan gereja. Apabila persidangan raya menentukan suatu tata ibadah, dengan maksud supaya semua gereja memakai tata ibadah itu, maka peraturan itu bersifat perintah mutlak, yaitu berdasarkan ketentuan bersama-sama dalam persekutuan gereja. Seperti apa yang ditentukan oleh Tata Gereja Reformasi dalam pasal 31:

”... keputusan dengan suara yang terbanyak akan dipandang tetap dan teguh ....”

Ini berarti bahwa keputusan rapat-rapat yang lebih luas (klasis atau sinode) mempunyai wewenang yang umum dalam persekutuan GGRI, yang bersekutu atas dasar tata gereja ini. Dengan catatan bahwa diberikan pengecualian yang ada di dalam pasal yang sama:

”... kecuali jikalau dibuktikan bahwa keputusan itu tidak menurut Firman Allah atau menurut tata gereja.”

Akibat dari peraturan ini untuk liturgi: bila umpamanya persidangan sinode menentukan suatu tata kebaktian yang bukan sebagai model saja, tetapi yang bersifat peraturan mutlak, maka gereja-gereja setempat tidak bebas lagi menyusun tata kebaktiannya sendiri, melainkan mereka terikat kepada keputusan di tingkat sinode.

4. Faktor sejarah gereja

Apakah adat liturgi (peraturan liturgi yang lazim dipatuhi sejak dahulu kala) berwenang mutlak dalam ihwal membentuk ibadah?

Bagaimana tradisi liturgi (kebiasaan dari generasi terdahulu yang masih diterapkan dalam kebaktian) harus dihargai dalam Ilmu Liturgi?

Contoh: apakah kebiasaan Gereja Purba (dalamabad-abad pertama) harus dipegang teguh, sehingga kebaktian yang sekarang ada di Indonesia harus mirip dengan kebaktian zaman itu?

Memang, Ilmu Liturgi wajib teliti memeriksa sejarah liturgi. Allah memerintah gereja dari abad ke abad, dan memeliharanya sepanjang perkembangan zaman. Ia menginginkan kelangsung-annya:

”Anak Allah mengumpulkan dari segenap umat manusia suatu jemaat yang terpilih untuk beroleh hidup yang kekal sejak awal dunia sampai akhir zaman. Ia mengumpulkan, melindungi, dan memelihara jemaat itu bagi-Nya.” (KH, Minggu 21). Artinya, gereja yang hidup pada masa sekarang ini bertanggung jawab untuk mengkaji perlindungan dan pemeliharaan ini, dan untuk belajar dari sejarah gereja. Ajaran sejarah ini merupakan (juga di bidang liturgi) nasihat yang penting sekali untuk gereja sekarang.

Sebenarnya faktor sejarah gereja tidak mempunyai wibawa yang bersifat mutlak, melainkan (tergantung dari hasil penyeli-dikan sejarah) dapat membawa pengaruh yang bersifat ajaran

5. Faktor misioner

Berkumpulnya jemaat adalah tanda pekabaran Injil yang amat penting di tengah-tengah dunia ini. Setiap jemaat pada dasarnya adalah jemaat misioner. Artinya, berminat untuk mengabarkan Injil. Dengan kata lain: setiap jemaat berusaha untuk menarik orang-orang yang belum mengenal Kristus, supaya masuk ke dalam gereja. Jemaat mendorong mereka untuk menggabungkan diri dengan jemaat yang berkumpul pada hari Minggu. Jadi pintu gereja harus selalu terbuka untuk setiap orang yang ingin masuk.

6. Faktor kebudayaan

Suatu faktor yang juga penting sekali (tetapi juga sulit sekali!) adalah faktor kebudayaan. Faktor ini berkaitan dengan faktor mi sioner. Kristus menyuruh rasul-rasulnya sebagai berikut:

”pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka ....” (Mat 28:19)

Semua bangsa, semua suku, dan bahasa, dan kita tambahkan di sini: semua kebudayaan harus menerima pekabaran Injil. Bentuk-bentuk ibadah di Yerusalem lain daripada di Korintus, dan lain daripada di Roma atau di Jakarta. Karena pengaruh yang kuat dari kebudayaan bangsa atau suku bangsa yang menerima Injil itu, terjadilah penyesuaian dengan kebudayaan itu. Bagaimana menilai apakah penyesuaian ini baik? Apakah penyesuaian ini harus didorong atau dilarang?

Pokok ini rumit sekali. Kita harus membahas akulturasi, yang melekat dalam batin manusia. Sifat faktor ini berupa hikmat dan kearifan, suatu faktor yang penting di antara faktor-faktor lainnya. Faktor ini harus tunduk kepada faktor-faktor lain yang berwenang mutlak (msl, Alkitab dan dogma).

7. Faktor etnologis dan antropologis

Faktor ini sebenarnya tidak begitu berbeda sifatnya dari faktor kebudayaan. Hanya, kita menyebutnya tersendiri untuk menekankan, bahwa Ilmu Liturgi harus sadar akan kenyataan bahwa setiap bangsa berbeda-beda sifatnya. Misalnya emosi (dan cara untuk mengungkapkan emosinya dalam gerak-gerik, musik, cara berbicara); cara berpikir (sifat timur lain dari sifat barat); pandangan dunia (pandangan dunia adat masih akan lama sekali mempengaruhi pengertian manusia akan penggunaan berbagai unsur kebaktian), dan sebagainya. Faktor etnologis dan antropologis adalah kenyataan. Bila hendak menciptakan liturgi, mau tidak mau kita harus berhadapan dengan faktor ini. Dan di sini diperlukan hikmat untuk menentukan apa yang dapat dan yang harus dibuat, supaya kebak-tian memperoleh identitas yang sesuai dengan identitas suatu bangsa. Tetapi, pada saat yang sama kebaktian itu harus tetap bersifat ”murni”, yaitu berlandaskan ajaran Alkitab yang sejati.

8. Faktor dunia gereja

Faktor terakhir adalah faktor dunia gereja. Yang dimaksud ialah pengaruh dunia sekitar gereja, yang dapat mempengaruhi liturgi, misalnya:

  • keadaan ekonomis. Bila keadaan ekonomis tidak baik dan masyarakat umumnya miskin, maka akibatnya untuk gereja jelas: bangunan gereja memprihatinkan, alat-alat musik tidak ada, atau hanya yang sederhana saja.
  • keadaan iklim. Keadaan hawa juga mempengaruhi sifat gedung gereja.
  • keadaan politik. Bila gereja dianiaya, maka akibatnya untuk ibadah jelas, yaitu berkumpul secara rahasia di tempat-tempat tersembunyi. Tetapi, sebaliknya, politik juga dapat mempengaruhi dengan cara lain. Umpamanya, pemerintah memberikan subsidi untuk membangun gereja, atau mengeluarkan perintah bahwa hanya satu gereja yang akan menjadi ”gereja negara”.

Ikhtisar

Telah dikemukakan 8 faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya liturgi. Yang penting ialah, kita menyadari akan pengaruh ke-8 faktor itu sekaligus. Faktor-faktor itu bekerja sama dalam proses ini, dan yang satu harus taat asas dengan yang lainnya. Perhatikanlah lagi bagan pada halaman 23. Semua motif mendampakkan pengaruh pada pola bulatan yang ada di tengah. Tetapi, ada motif yang lebih menonjol dari yang lain. Begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pola liturgi. Ada yang lebih menonjol, yang mempunyai pengaruh besar. Ada pula yang hanya tersembunyi, atau yang hanya secara relatif mempengaruhi terjadinya pola liturgi itu.

Ada yang pengaruhnya penting sekali karena mengacu kepada sesuatu yang sangat prinsip sekali: Alkitab dan ajaran Alkitab. Wewenang keduanya mutlak. Ada faktor lain yang juga patut mempengaruhi tersusunnya liturgi, tapi wewenangnya bersifat lain, karena tergantung dari kebijaksanaan manusia: persekutuan gereja, kebudayaan, dan lain-lain. Sedangkan wewenang faktor politik dapat memaksa gereja ke dalam suatu bentuk liturgi terten tu sehingga dapat dikatakan berdasarkan akibatnya wewe nangnya menjadi mutlak juga. Tetapi, walaupun mutlak, bukan secara seutuhnya (karena prinsipnya demikian), melainkan lebih bersifat paksaan dan insidental (yaitu selama politik tertentu itu berkuasa). Setelah politiknya berubah maka liturginya akan bebas lagi. Ikhtisar ini menjelaskan betapa sulitnya menciptakan atau mengubah suatu liturgi. Jika komisi liturgi yang bertanggung jawab ingin memperbarui liturgi setempat, maka seharusnya ada pertimbangan dari keseluruhan faktor-faktor yang ada itu, untuk menentukan pola liturgi. Karena perubahan sembrono tidak akan menghasilkan kebaikan untuk jemaat.

Dalam prakata bukunya ”Gereja dan ibadah Gereja”, Abineno menunjuk akan pentingnya hal ”bahwa ibadah harus kita tata dan selenggarakan dengan baik, supaya semua yang terjadi di situ dapat berlangsung sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tetapi, dalam praktik seperti yang nyata dari keluhananggota-anggota jemaat hal ini tidak selalu terjadi dengan baik.”10

Siapa saja terlibat dalam proses pengadaan liturgi, harus menyadari semua faktor terkait, dan harus mengerti perbedaan wewenang dari setiap faktor itu. Dengan demikian ia sanggup untuk memutuskan apa yang bisa dan yang tidak bisa, apa yang boleh dan yang tidak boleh, apa yang berhikmat dan yang tidak.

RANGKA BAB 3 - FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA LITURGI

Faktor Sifat Wewenang
ALKITAB
Sola Scriptura
Mutlak-terpenting, mengenai asas
prinsipil utama, perintah Tuhan, suasana dan sifat kebaktian, unsur-unsur kebaktian
AJARAN GEREJA Mutlak-berdasarkan Alkitab
Dogma, pengakuan iman, sakramen-sakramen
HUKUM GEREJA Mutlak-peraturan persekutuan
Tata gereja, kesatuan dalam persekutuan gereja-gereja
SEJARAH GEREJA Tanggung jawab historis
ajaran, kasus, contoh, nasihat, tradisi, keterkaitan dengan "nenek moyang Kristen"
PANGGILAN MISIONER Kebijaksanaan
Sehingga orang mau masuk dan mau tinggal, karena senang, mengerti
KEBUDAYAAN Penting
Supaya iman berakar dalam hati, gedung gereja, cara bercerita, cara menyanyi, hiasan, dll
ETNOLOGI Kenyataan mengenai sifat bangsa
emosi yang berbeda-beda
DUNIA GEREJA
politik ekonomis
Tidak Prinsipil
Keadaan insidental, kemerdekaan beragama atau tidak pemerintah campur tangan atau tidak, agama negara, subsidi, kemiskinan/kekayaan, bantuan dari gereja luar negeri

Pertanyaan

1. Apakah makna kata ”faktor”? Berikanlah contoh dari kehidupan di daerah Anda, yang membuktikan bahwa Anda memahami kata ”faktor”.
2. Dapatkah Anda menerangkan bagan pada halaman 23 kepada teman Anda sehubungan dengan liturgi?
3. Haruskah kita meniru secara harfiah semua unsur liturgi yang dapat ditemukan dalam ”faktor” Alkitab?
4. Pelayanan Firman memainkan peranan utama dalam kebak-tian Gereja Reformasi. Dalam Gereja Pentakosta kesaksian dan berbahasa roh dianggap penting sekali. Terangkanlah bagaimana faktor ajaran gereja menyebabkan perbedaan ini.
5. Faktor kebudayaan dapat menghasilkan nyanyian-nyanyian dalam bahasa suku, hingga terciptalah dalam setiap suku lagu-lagu rohani yang lain. Apakah faktor persekutuan gereja tidak bertabrakan dengan hasil ini?
6. Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih berusia muda; apakah gereja-gereja ini bertanggung jawab untuk belajar dari sejarah gereja-gereja lain di dunia, yang sudah berusia tua?
7. Bercakap-cakaplah dengan satu atau dua teman tentang keterkaitan antara faktor Alkitab dan faktor ajaran gereja.
8. ”Faktor politik dapat mempengaruhi liturgi gereja secara fatal”. Sebutkan beberapa contoh.
9. Dengan cara bagaimana iklim (dari faktor dunia gereja) dapat mempengaruhi pembangunan gedung gereja?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-8976-50-9
  4. Copyright:
    © LITINDO 1995
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih