Tabiat manusia cenderung kepada struktur-struktur yang tidak berubah. Dan kepada symbol-simbol yang tetap sama. Kesamaan itu membuat manusia merasa tenang dan tenteram. Tabiat ini mencolok dalam sikap manusia terhadap adat istiadat leluhur, dan terhadap upacara-upacara kafir yang kesamaannya dipentingkan. Ritual-ritual kafir biasanya juga harus mempunyai bentuk-bentuk yang sama. Sikap dan kecenderungan manusia ini dalam Antropologi disebut ritualisme. Dan ritualisme itu secara salah dan asasi dapat mempengaruhi ibadah Kristen di mana-mana di dunia. Dalam bab ini kita akan mengamati bahaya itu. Melalui pengamatan ini sekaligus akan disoroti berbagai prinsip penting untuk ibadah Kristen era PB.
Ritual : ”Berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus”;
Ritus : ”Tata cara dalam upacara keagamaan”;
Seremoni : ”Upacara”;
Simbol : ”Lambang”;
Lambang : ”Sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dsb) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu”;
Antropologi : ”Ilmu tentang manusia khususnya tentang asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat, dan ke percayaannya pada masa lampau”
Psiko-analisis : ”Metode dalam ilmu jiwa (yang pertamatama dipergunakan oleh Sigmund Freud) untuk menyelidiki jiwa manusia sampai ke bagian ilmu jiwa dalam, dengan mempelajari berbagai reaksi normal dan abnormal dan proses mental yang tidak disadari”;
Psiko-terapi : perawatan penyakit saraf;
Rites de passage : bahasa Perancis, ”Ritusritus untuk melalui sesuatu”
Basic trust : bahasa Inggris, perasaan ”kesentosaan mendasar”.
Istilah ”ritual” sering dipakai dalam antropologi. Seorang ahli psi kologi pernah berkata bahwa ”manusia tidak lebih dari suatu kum pulan ritual”. Juga ada yang berpendapat bahwa setiap kela-kuan manusia pada dasarnya adalah ritual.
Buku ini memaparkan ritual itu sebagai suatu kompleks kelakuan yang berhubungan dengan suatu seremoni yang berco rak simbolis, lengkap dengan segala simbolnya dan ungkapan dan for mula yang sewajarnya. Ritual-ritual terdapat di setiap suku bangsa diseluruh dunia. Perbedaan ritual dengan kelakuan-kela-kuan yang lain, terletak dalam coraknya sebagai perilaku sosial dan formal, yaitu sesuai dengan peraturannya yang sah dan menurut adat kebiasaan yang berlaku. Bentuk-bentuknya biasanya kaku dan tak gampang diubahkan. Pelaksanaan ritual harus sesuai dengan peraturannya, sehingga semua orang tahu: ”Me-mang, ini seratus persen sah, pelaksanaannya sewajar-wajarnya.” Sekaligus skala kelakuan itu harus mempunyai arti simbolis. Dengan kata lain, kelakuan ritual mengandung berita tertentu. Dan oleh karena berita itu maka kelakuan-kelakuan itu dicip-takan, dilaksanakan, dan dipertahankan (bnd dgn ”ritual” baptisan kristen, yang beritanya adalah penyucian dari segala dosa). Terkait dengan kelakuan-kelakuan itu sering terlihat simbol-simbol yang nyata, umpamanya roti dan anggur pada Perjamuan Kudus, juga ungkapan-ungkapan, formula-formula, kata-kata rahasia, dan lain-lain.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa suatu ritual dapat me ngandung unsur-unsur yang berikut: kelakuan, simbol, dan ungkapan. Ketiga unsur ini biasanya terkait erat dan kaku.
Terutama Sigmund Freud (ahli Ilmu Jiwa awal abad ke-20)
menghargai skala kelakuan ritual manusia dengan sangat negatif. Menurut dia, setiap ritual membuktikan terganggunya jiwa manusia karena berbagai ketakutan yang letaknya sangat dalam, yaitu dalam bagian jiwanya yang tidak disadari. Menurut Freud, manusia telah menciptakan segala macam ritual, untuk menga-lahkan konflik-konflik jiwanya yang tidak disadari dan yang coraknya emosional. Tapi, menurut dia, ritual itu tidak dapat mencapai tujuannya itu, jadi percuma saja usaha manusia ini.
Seorang ahli Ilmu Jiwa harus melihat ritual-ritual sebagai simtom-simtom neurotis (sakit saraf).
Sebaliknya Jung (ahli ilmu jiwa pada pertengahan abad ke-20) menghargai ritual lebih positif. Menurut dia, jiwa manusia membutuhkan ritual-ritual sebagai mekanisme, untuk membela diri dalam pertemuanya dengan dunia roh. Suatu ritual merupakan bantuan kepada individu untuk berkembang dan bertumbuh. Kemudian (dalam puluhan tahun terakhir ini), pihak psikoterapi menenkankan pentingnya ritual sebagai alat (obat)
untuk membangun kesehatan jiwa manusia.
Pada akhirnya kita menyebut Erikson. Ahli Psikologi ini berpendapat bahwa ritual-ritual merupakan unsur-unsur yang esensial (perlu sekali, hakiki) untuk manusia, dalam usahanya untuk memperoleh basic trust (kelegaan mendasar); basic trust esensial bagi seseorang supaya dapat hidup dengan tenang dan sentosa.
H. Faber, dalam artikelnya ”The meaning of ritual in the liturgy”, menyebut 5 kebutuhan manusia yang khusus, sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan strukturDengan menciptakan ritual-ritual tertentu manusia menciptakan struktur yang tetap, yang tidak berubahubah. Faedahnya nyata untuk manusia. Karena dengan demikian manusia meniadakan beban untuk mengambil keputusan-keputusan berulang-ulang. Lebih dalam lagi Erikson berpendapat, struktur ritual itu dibutuhkan untuk menolong manusia mengembangkan identitasnya, dan untuk memperoleh perasaan aman terhadap dirinya sendiri.2. Kebutuhan akan kebebasanMenurut Freud ritual-ritual religius seolaholah membelenggu manusia, sehingga manusia itu tidak merasa bebas. Pada dasarnya setiap orang cenderung kepada kebebasan itu. Karena itulah ia berusaha untuk mematahkan belenggu-belenggunya. Jadi, kebutuhan ini bertentangan dengan kebutuhan pertama dan yang berikut.3. Kebutuhan akan merasa amanRitualritual menjanjikan perasaan aman kepada manusia. Terutama jika manusia sudah berusaha mencari kebebasan (bu-tir 2), tetapi dalam kebebasannya itu ia gampang merasa takut. Takut karena kematian, takut karena dewa-dewa, takut karena semua hal yang tidak dimengertinya dalam kehidupan. Ia juga takut karena terlepas dari hal ihwal ”ilahi”. Pendeknya, ia berada dalam kecemasan dan merasa kehilangan kontrol. Dalam keadaan ”out of control” itu ia mulai menciptakan ritual-ritual untuk mengusir ketakutannya itu.4. Kebutuhan untuk mengembangkan identitas. Bagaimanapun juga ritual-ritual mengangkat manusia dari kebodohan terhadap ”rahasia” (misteri) kehidupan. Dengan demikian ia mencegah bahaya untuk menjadi ”nothing” (nol). Ritual menjanjikan kepada manusia kelegaan mendasar, ”basic trust”.
Secara singkat telah dikemukakan pendapat Erikson, bahwa manusia membutuhkan ritual-ritual untuk memperoleh ”basic trust”, kesentosaan mendasar. Pendapat ini dia landaskan pada pandangan psikoanalisis mengenai perkembangan jiwa manusia. Perkembangan jiwa bertitik tolak dari kontak pertama antara anak dan ibunya. Hubungan ibuanak ini memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan jiwa anak. Menurut Erikson, ibu menciptakan skala ritual untuk membuat anak merasa tenang, aman, dan tenteram. Ia mendukung bayinya dengan hati-hati dan memakai gerak-gerik tertentu. Ia menyusui bayinya, menyanyikan lagu-lagu merdu, atau mengucapkan kata-kata manis bagi bayinya.
Dalam hal dukungan ini terdapat perbedaan antarabangsa-bangsa. Di Indonesia bayi-bayi ditimang dan dihibur sejak ia mulai menangis: sang bayi diangkat, didekap, digendong, dibuai dalam selendang sampai tertidur lelap. Ia senantiasa dekat pada ibunya dekat dan ibunya siap untuk menyusuinya.
Sang bayi tidak mengerti semuanya itu. Tetapi, seluruh keadaan itu dan semua ritual, ”upacara” dan ”formula”nya membuat dia sadar akan kehadiran (presensi) Ibu yang dapat dipercaya, yang menjaga, dan yang mencintainya.
Semuanya ini mengembangkan ”basic trust” (kelegaan mendasar) dalam jiwanya. Bila relasi ini diganggu, maka bayi itu akan menangis sejadi-jadinya, sampai ibunya datang, mencium, memeluk, menyanyi, mengucapkan kata-kata lembut, manis, atau yang lebih bagus menyusui dia.
Dalam terang psiko-analisis yang diuraikan di atas ini, sungguh mencolok nyanyian ziarah Daud (Mzm 131) pada waktu ia berjalan ke Yerusalem mengikuti upacara-upacara PL di Bait Allah (Ke-mah Suci). Liturgi ibadah PL diatur secara saksama oleh Tuhan. Lihat umpamanya segala aturan ibadah dalam Kitab Keluaran dan Imamat. Pelaksanaannya sekecil apa pun tidak ditolerir-Nya. Dengan kata lain, ritual-ritual PL mempunyai bentuk yang tidak berubah-ubah. Dalam banyak mazmur, Daud mengungkapkan perasaannya terhadap liturgi ini, umpamanya Mazmur 27:4:
”Satu hal telah kuminta kepada Tuhan, itulah yang kuingini: diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan Tuhan dan menikmati bait-Nya ....”
Bandingkan Mazmur 63, di mana Daud berseru ketika ia di padang gurun Yehuda. Haus kepada Tuhan dan kemah-Nya melampaui haus tubuhnya, karena di tempat kudus ia dapat ”melihat kekuatan Allah dan kemuliaan-Nya”. Dalam rumah Tuhan ia menjadi tenang dan aman terhadap segala bahaya yang sering menimpa dia. Demikian pula dalam Mazmur 131:2
”Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku;
seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku.”
Bukankah nasnas ini merupakan bukti yang kukuh bagi pandangan psiko-analisis, yang secara singkat disebut di atas?
Ternyata suasana ritual yang secara saksama dilaksanakan orang Lewi, menciptakan suasana bagi manusia untuk menjadi tenang, untuk memenuhi kebutuhan jiwanya, yaitu untuk memperoleh kelegaan mendasar, basic trust itu.
Memang, bila kita menyelidiki agama Yahudi dalam PL sebagai fenomen religius (sebagaimana dibuat dalam Antropologi atau dalam rangka ”psikologi agama”, psychology of religion), maka kita dapat menafsirkan perasaan Daud sebagai berikut:
Akan tetapi, gambar manusia menurut Alkitab lain dari gambar manusia menurut ilmu-ilmu sekuler ini. Alkitab tidak melihat manusia sebagai ”binatang” yang melalui evolusionistis secara kebetul an memperoleh akal budi. Jadi, Alkitab tidak melihat manusia sebagai primat binatang mamalia.
Allah menciptakan manusia secara khusus. Tersendiri, baik, menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Ia memberikan tang-gung jawab yang besar kepada manusia, dan di Firdaus manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat luas. Sebagai wakil Allah, manusia mengepalai seluruh alam (Mzm 8). Memang, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah merusak keadaan yang baik itu, sehingga manusia di usir dari Firdaus dan hidup takluk kepada banyak hal: kemerdekaannya sangat terbatas.
Sebenarnya keterbatasan itu jelas dalam liturgi PL. Allah mengatur ibadah untuk manusia dalam bentuk-bentuk yang tetap sama, dan yang cuma dilaksanakan oleh manusia. Tetapi, Allah dalam rencana-Nya menyelamatkan tidak kandas dalam keadaan itu. Ia merintis jalan untuk menggenapi janji-Nya kepada Adam dan Hawa. Bahkan Daud sudah menyadari keter-batasan upacara-upacara ibadah di Bait Allah. Dalam Mazmur 51 ia mengalami dan mengerti, bahwa Tuhan pada hakikatnya tidak berkenan kepada korban-korban sembelihan dan sebagai-nya; yang disukai-Nya ialah hati yang sungguh-sungguh percaya:
”Jadikanlah hatiku tahir, ya, Allah, dan perbaruilah batinku dengan roh yang teguh! Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya, Allah.”
Psiko-analisis dalam menalar perkembangan bayi kejenjang-jenjang usia selanjutnya, sebenarnya sejajar dengan jenjang perkembangan PL ke PB. Psiko-analisis memperlihatkan bagaimana dalam kehidupan anak akan hadir bapak juga. Bapak menyadari pentingnya sang anak hidup mandiri, dan suaranya mulai berbunyi dari jauh. Dengan sengaja bapak melepaskan hubungan antara si ibu dan si anak.
Demikian pula dalam PL kita mulai mendengar suara Bapa, walaupun masih agak jauh, terutama dalam Kitab-kitab Nabi.
Secara nyata ”Bapa” mulai mempersiapkan jalan untuk suatu Perubahan Besar, suatu Penciptaan Baru:
”Beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah Firman Tuhan: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (Yer 31:34; bnd Mzm 40; Am 5:21-26)
Kita, yang hidup dalam zaman PB, sangat menginsafi perubahan yang dibayangkan Yeremia di sini: Kristus telah datang dan telah menggenapi Taurat tuntas dan sempurna. Dialah yang menjadi Anak Domba Paskah yang sempurna dan yang terakhir.
Di kayu salib Ia menjadi korban sembelihan yang satu-satunya dan untuk selama-lamanya. Tentang itu Surat Ibrani mencatat sebagai berikut:
”Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat Dan kemudian kata-Nya: ”Sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu.” ”Yang pertama Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua.” (Ibr 10:89)
Tuhan dalam PL telah menyiapkan PB, itulah tujuan yang ingin dicapai-Nya. Ternyata perjanjian ini mendampakkan perubahan besar bila dibandingkan dengan PL, ”Kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar”, (2Kor 3:18). Semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan menjadi ciptaan baru yang indah sekali, yaitu serupa dengan gambaran Anak Allah (Rm 8:29), Kristus yang adalah Adam yang kedua (Rm 5). Melalui pembaruan sehari-hari oleh Roh Kudus, manusia memperoleh kembali pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol 3:10). Terkait erat dengan pembaruan asasi ini adalah hal kemerdekaan dalam Roh, dan tanggung jawab manusia yang sangat besar, sebagaimana dimiliki Adam pertama dalam Firdaus. Kemerdekaan ini mencakup juga hal kemandirian mengatur dan menyusun tata ibadah dalam keadaan PB.
Senada dengan kata Yeremia tadi, Paulus dalam PB menulis kepada jemaat di Korintus:
”Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada lohloh batu, melainkan pada lohloh daging, yaitu di dalam hati manusia.” (2Kor 3:2, 3)
Selanjutnya Paulus menulis ”Kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”
Dengan tajam sekali Paulus menguraikan perbedaan prin-sipiil antara PL dan PB. Uraiannya mengandung arti hakiki untuk ibadah gereja dalam PB, dan menunjukkan perbedaan mendasar antara ibadah lama dan baru. Pelayanan pada PL disebut ”pelayanan yang memimpin kepada penghukuman” dan pelayanan pada PB disebut ”pelayanan yang memimpin kepada kebenaran”. Dan Paulus menekankan bahwa pelayanan yang baru lebih mulia daripada yang lama, yang juga sudah mulia. Pada PB tidak perlu lagi muka si pelayan diselubungi (ump Musa pada waktu turun dari Torsina). Karena Kristus, selubung itu telah diambil dari muka pelayan-pelayan. Dan Paulus mengakhiri bagian ini dengan:
”Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan. Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung ....”
Kemerdekaan dalam Roh Kudus mendampakkan beban kepada manusia. Karena ia sekarang tidak boleh lagi mengandalkan pelaksanaan ritual-ritual ibadah secara membeo. Sekarang ia wajib mengambil keputusan-keputusan sendiri, dan bukan saja satu kali, tetapi berulang-ulang. Tuhan memang memberikan beberapa petunjuk penting dalam PB mengenai liturgi, tetapi Tuhan tidak memberikan tata ibadah yang komplet, yang tinggal dilaksanakan saja. Dan jemaat memang dapat belajar dari sejarah gereja mengenai pengisian liturgi, tetapi selalu diperlukan penyesuaian dengan keadaan masa dan tempat yang berubah. Justru perubahan-perubahan ini (asal diselenggarakan sesuai dengan Firman Allah dan dengan penuh rasa tanggung jawab) merupakan tanda kedewasaan dan kemerdekaan persekutuan Kristen pada zaman PB.
Ritualisme dapat dengan mudah merusak ibadah gereja masa kini, terutama gereja-gereja muda (artinya yang baru keluar dari kekafiran). Tetapi, bahaya ritualisme bisa merembes luas, sebab setiap orang merindukan ritual-ritual, seperti sudah kita lihat di atas sebagai hasil dari psiko-analisis. Tabiatnya itu membuat manusia gampang terikat pada bentuk-bentuk ibadah yang kaku. Perubahan-perubahan kecil pun akan mengganggu perasaannya yang tenang dan aman. Dengan kata lain, dalam ibadah-ibadah Kristen ada tendensi untuk terikat pada bentuk-bentuk ibadah (yang tidak boleh berubah-ubah), dengan mengabaikan sifat PB yang dilukiskan di atas ini.
Di sini kita perlu mengamati motivasi manusia yang ingin mempertahankan atau yang ingin mengubah tata ibadah. Jika ia bertindak seolah-olah keselamatan tergantung daribentuk-bentuk ibadah, maka jelaslah motivasinya tidak dapat diperta-hankan dalam terang PB.
Ini akan lebih jelas jika kita membandingkannya dengan upacara-upacara adat istiadat kafir. Umpamanya di Sumba, di mana orang kafir percaya kepada Marapu. Patungnya (katoda) ditanam di luar rumah, di sebelah kiri (dilihat dari dalam rumah). Tidak seorang pun akan berani mengubah posisi tertentu ini, karena semua orang tahu: katoda itu harus di sebelah kiri.
Bila ditanam di sebelah kanan, maka katoda itu pasti akan kehilangan kuasanya. Jadi, menyimpang dari hukum adat leluhur akan mengakibatkan kehilangan kuasa, kehilangan efeknya. Bentuk-bentuk adat istiadat bersifat sangat kaku.
Apabila seseorang bertobat dan menjadi Kristen, maka ia akan beralih kepada upacara-upacara lain, yaitu upacara Kris-ten. Tetapi, hati-hatilah, karena ia sangat mengharapkan bentuk-bentuk yang kaku, yang masih melekat dan berkesan dalam hati dan otaknya. Dulu ia berpegang kuat pada bentuk, ungkapan, upacara rahasia dan simbol yang sangat kaku (dan yang oleh karena kakunya dianggap mempunyai kuasa dan arti), dan sekarang sebagai orang kristen, ia gampang terjebak mengharapkan akan dapat beroleh kuasa-kuasa melalui pelaksanaan ibadah secara teliti dan tetap sama. Beberapa contoh konkret akan menjelaskan maksud uraian di atas.
Masih ada beberapa pola lain, tetapi cukuplah kita memu satkan perhatian pada hal oratio dan bentuknya. Karena dalam beberapa gereja Kristen dapat muncul bahaya khotbah menjadi oratio ritualistis. Artinya, bukan isinya yang dianggap penting, melainkan bentuknya, suaranya, gerak geriknya, dan sebagai berikut. Cara berkhotbah demikian pada akhirnya akan mengakibatkan orang tidak lagi menyimak kepada isi berita Injil, tetapi kepada suara yang merdu, indah. Dampaknya sangat berbahaya, karena hanya mengakibatkan kemiskinan rohani. Dan biasanya kaum terpelajar merasa bosan dan muak mendengar khotbah seperti itu.”Rites de passage”Ahli-ahli antropologi sering bicara mengenai sifat beberapa ritus sebagai rites de passage. Karena dalam penyelidikan adat istiadat suku bangsa, mereka acapkali menemui ritus-ritus yang diadakan berhubungan dengan inisiasi. Pada peristiwa inisiasi,
biasanya diadakan upacara-upacara yang harus dijalani orang untuk menjadi dewasa (menjadi laki-laki atau perempuan dewasa), atau untuk menjadi anggota suku kelompok atau klan yang haknya diakui sah. Sering orang yang menjadi dewasa, atau yang akan menjadi anggota salah satu kelompok, akan dicobai dan harus menaklukkan diri untuk melewati berbagai ritus, sebagai bukti ujian bahwa ia layak diterima dalam group. Ritus-ritus itu dalam antropologi disebut rites de passage.
Karena banyaknya rites de passage dalam hampir setiap suku bangsa, maka dalam keadaan misioner seorang pengabar Injil harus sadar akan bahaya salah pengertian atas unsur-unsur kebaktian, terutama pelayanan sakramen Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus. Justru seorang kafir yang menjadi Kristen gampang tergoda menganggap berbagai unsur itu sebagai rites de passage. Umpamanya baptisan dapat dianggap sebagai ritual yang keramat sekali, yang membuka pintu gereja dan pada akhirnya juga pintu Kerajaan Surga (baptisan sebagai pas jalan masuk surga). Demikian pula Perjamuan Kudus. Makan roti dan minum anggur dapat disalah mengerti sebagai unsur-unsur penuh rahasia dan kuasa gaib, yang mencurahkan pengampunan dan keselamatan secara langsung ke dalam hati. Sebenarnya hal ini adalah ritualisme.
Ada gereja yang meyakini sakramen-sakramen berfungsi sebagai ”corong”, untuk mencurahkan keselamatan langsung atas seseorang. Istilah Latin untuk dogma itu adalah ex opere operante (harfiah berarti: oleh pelaksanaan tetap dilaksanakan), yang berarti bahwa oleh pelaksanaan sakramen penyelamatan orang benar telah dilaksanakan. Dogma ini umpamanya mengakibatkan bahwa seorang bayi yang dalam keadaan sekarat secepat-cepatnya dibaptiskan, sehingga ia beroleh keselamatan.
Bagi kita sikap dan teologi demikian adalah melulu ritualisme tok, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip alkitabiah.
Bahaya ritualisme juga mengancam dari segi lain. Karena ”virus”
ritualisme dapat merasuki seluruh liturgi, maka seluruh ibadah dapat diatur menjadi mirip dengan upacara agama kafir. Seluruh upacara kebaktian dapat menjebak umat ke dalam perasaan aman, baik, sentosa bahkan sampai ke tingkat ekstase, padahal dalam seluruh upacara itu bukan Kristus yang diberitakan.
Suatu liturgi yang mantap dan indah dapat menyembunyikan suatu kelemahan yang mendasar, bahkan dapat menggeser atau mengganti pelayanan Injil yang sehat.
Untuk mengerti hal ini lebih jelas, kita perlu mendalami lagi hasil psiko-analisis dan terkait dengan itu meninjau proses sekularisasi yang berlangsung dalam banyak gereja di dunia ini. Menurut psiko-analisis, setiap orang suka menciptakan atau mempertahankan ritual-ritual untuk memperoleh basic trust.
Kalau basic trust itu terganggu, maka ia akan mencari jalan untuk memulihkannya kembali.
Dalam banyak gereja masa kini, kepercayaan sangat dilemah kan oleh ajaran-ajaran palsu dari dalam gereja sendiri.
Kabar ibadah dan bentuk-bentuk ibadah terguncang dan diragukan. Teologi modern yang kritis dan liberal, pada akhirnya merusak kepercayaan manusia, yang adalah korban dari gaya modern melayankan Firman. Sebab itu, kecemasan manusia makin besar, dan ia mulai mencari jalan untuk mempertahankan basic trust, untuk mempertahankan kesentosaannya.
Dalam gereja-gereja yang ditimpa serangan teologi modern ini, yang menghadapi dan merasakan kehilangan isi Injil, sering tampak suatu perkembangan untuk memperbarui ibadah! Bentuk-bentuknya dipulihkan, tata ibadah jemaat-jemaat pertama diselidiki dan mulai diangkat kembali.
Di samping itu kerinduan dan kebutuhan akan ritual-ritual yang mantap, makin nyata dalam kehidupan orang-orang yang sudah meninggalkan Kristus dan gereja. Ternyata mereka tidak bisa hidup tanpa ritual-ritual baru. Banyak dari mereka mulai menciptakan ritualritual atau beralih kepada ritual Budha, Hindu atau agama lain yang berasal dari Timur. Dalam keadaan sekularisasi ini pastor gereja makin tergusur oleh ahli psikoterapi (terapi untuk menyembuhkan penyakit saraf). Dan dalam praktik psiko-terapi itu makin lebih digunakan ritualritual yang mirip atau yang sejajar dengan ritualritual gereja dahulu, seperti berpuasa, baptisan, ”pemakaman”, dan lain sebagainya. Ahli psiko-terapi memakai gerak-gerik yang mempesona,formula-formula, dan kelakuan yang berulang-ulang. Model yang dipakai mirip dengan rites de passage.
Semuanya ini membuktikan, bahwa manusia pada waktu kehilangan kepercayaannya kembali memegang lebih kuat lagi ritual-ritual lama. Atau, ia mulai menciptakan maupun mencari ritual-ritual baru. Kehampaan imannya diisi dengan ”pengha-rapan” lain, atau dengan cara lain untuk menyeberangi jarak antara dirinya sendiri dan supranatural, atau untuk menghubungi fisikal dan metafisikal.
Dalam terang penguraian proses sekularisasi tadi, dan terkait dengan itu lukisan akan peranan ritualritual di gereja-gereja yang goyah, kita didorong untuk menafsirkan, mengerti, dan menyifatkan niat mengubah atau mempertahankan liturgi di lingkungan kita sendiri, di gereja kita sendiri. Apa motivasinya untuk bertindak terhadap liturgi? Apa latar belakangnya yang sebenarnya? Bukan tidak mungkin gereja kita sendiri juga ditimpa bahaya ajaran palsu, kelemahan iman sejati atau sekularisasi!
Bisa saja tindakan-tindakan terhadap liturgi (baik niat mengubah atau niat bertahan) hanyalah merupakan simtom berbagai kelemahan mendasar!
Dewasa ini banyak gereja mengalami keadaan dan suasana kebaktian yang tidak menarik. Orang bersungut-sungut mengenai keadaan itu. Mereka bicara mengenai keadaan yang suam-suam kuku, khotbah-khotbah yang terlalu panjang, cara menyanyi yang tidak bergairah dan lain sebagainya. Sering mereka memuji gereja-gereja aliran lain, yang liturginya mantap sekali, menghidupkan dan menggembirakan.
Secara umum terdapat dua kelompok dalam gereja, yaitu kelompok yang ingin mengubah ibadah (progresif) dan kelompok yang setia mempertahankan tata ibadah (konservatif). Kedua pihak fanatik membela posisi masing-masing. Kelompok progresif berpendapat bahwa tata ibadah harus diubah untuk menghidupkan dan menguatkan iman. Tetapi, kelompok konservatif justru khawatir, bahwa oleh segala macam pembaruan maka kehidupan dan kekuatan iman akan rusak. Kedua posisi saling bertentangan ini berbau ritualisme, karena mereka sama-sama berharap iman akan dihidupkan dan dikuatkan melalui ritual-ritual (yang baru, atau yang lama). Mereka berharap bahwa hubungan mereka dengan Allah dapat diciptakan, dijamin atau dikuatkan melalui ritual-ritual agamawi. Mereka mengharapkan suatu dam pak emosional dari liturgi yang diciptakan atau yang mereka pertahankan. Mereka berharap akan mencapai transisi melalui ritus Kristen. Dengan kata lain, liturgi ibadah berfungsi sebagai rites de passage.
Dalam upacara-upacara adat istiadat kafir, manusia bertindak, berusaha mencari dan menjamin hubungan dan keseimbangan dengan yang supranatural.
Dalam gereja yang lemah dikacau oleh berbagai ajaran palsu, manusia bertindak dan berusaha mempertahan basic trust, perasaan selamat dan relasi dengan Allah yang terancam hilang.
Penyesuaian ritual-ritual Kristen digunakan sebagai alat untuk menjamin tujuannya itu.
Dalam keadaan sekularisasi manusia bertindak dan mencari ritual-ritual lain untuk merasakan hubungan antara yang fisikal dan yang metafisikal.
Tetapi dalam Gereja Kristus Allah bertindak, mencari, menjamin, dan menguatkan hubungan dengan umat-Nya. Ia tidak tergantung kepada segala macam manipulasi manusia. Ia tidak dapat dijebak dalam suatu ritus atau ritual.
Ia tidak dapat dijebak dalam formula-formula atau simbol-simbol.
Ia tidak membiarkan diri-Nya dijadikan patung dalam suatu liturgi yang kaku.
Dan manusia yang dipanggil-Nya diberi-Nya Roh kemerdekaan. Manusia tidak takluk kepada emosi-emosi dan obsesi-obsesi yang tidak disadarinya.
Manusia adalah objek kasih Allah. Manusia adalah objek suatu penciptaan baru.
Manusia bukan objek psikoanalisis, yang oleh Ilmu Jiwa disebut perlu didorong dan diizinkan memegang ritual-ritual yang indah untuk memuaskan kebutuhannya yang asasi, untuk memperoleh basic trust (Erikson).
Tokoh reformator Luther dan Calvin menekankan bahwa yang sangat menentukan dalam gereja ialah: sola Scriptura, sola Gratia, sola Fide. Keyakinan ini harus menyifatkan pembentukan ibadah-ibadah gerejawi. Ketiga Sola ini tidak memberi peluang untuk membenarkan bentuk ritualisme yang mana pun juga.
Sebab yang terutama dalam ibadah gereja ialah firman-Mu berbunyi dengan kuasa hidup yang menghidupkan!
Keyakinan ini mempunyai dampak yang sangat mendasar dalam segala macam tindakan terhadap liturgi:
1. Pelayanan Firman mutlak tetap merupakan pusat ibadah Kristen
Pelayanan Firman sekalikali tidak boleh digeser atau disamarkan oleh unsur-unsur ibadah yang lain (ump musik yang merdu, organ yang hebat sekali, vokal group, dsb).
2. Keterjaminan pelayanan Firman adalah tanggung jawab para pejabat gerejawi
Dalam hal ini Majelis bersama pelayan Firman mempunyai tanggung jawab yang besar. Mereka harus menyadari, bahwa pelayanan Firman merupakan sumber yang satu-satunya untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan Jemaat Kristus.
3. Ibadah Gereja harus disusun menurut pola Firman Jawaban
Tuhan berfirman, jemaat menjawab. Bila jemaat mengalami ibadah yang hambar atau suam-suam kuku, maka tindakan pertama yang harus dilakukan oleh majelis ialah meneliti pelayanan Firman; mungkin karena kesalahan tata ibadah dan karena kesalahan pelayan Firman, maka Firman itu tidak berbunyi lagi dengan kuasa; mungkin Firman tidak dilayankan secara sehat, sesuai ajaran yang sehat; oleh sebab itu pelayanan Firman tidak lagi menghidupkan dan tidak membangkitkan semangat.
4. Ibadah tidak kaku dalam PB
Dalam PB kemerdekaan dalam Roh merupakan prinsip asasi untuk menciptakan ibadah. Yang penting ialah hati yang percaya, “hukum” Allah dalam hati manusia, Kristus yang memerintah dalam hati seluruh kehidupan manusia. Dalam ibadah gerejawi memang perlu ada beberapa bentuk konkret untuk mengadakan suatu konteks, suatu kerangka yang memungkinkan jemaat mengemukakan jawaban yang sepatutnya.
5. Ibadah akan penuh semangat bila Allah yang bersuara dan jemaat menanggap
Suara Allah diperdengarkan melalui pelayanan Firman (kerukhma). Memang menyuarakan Firman Allah adalah kewajiban dan sekaligus tanggung jawab pelayan Firman. Sebagai manusia ia pasti merasa tidak sanggup mengemban tugas yang begitu luhur dan mulia. Tetapi, Roh Kudus yang memanggil dan mengangkat pelayan Firman sebagai alat, akan mengaruniakan (kharisma) kesanggupan kepadanya untuk melayankan Firman. Pelayan Firman perlu menalar tugasnya dengan keyakinan demikian.
Maka melalui dia, Roh Kudus pasti akan berhasil. Roh Kudus akan menyentuh hati orang-orang, dan mereka akan bersuka ria dengan semangat membara.
Kita ditantang untuk berani hidup dalam kemerdekaan Roh. Kita juga berulang-ulang ditantang untuk sanggup mengambil keputusan dan memikul beban tanggung jawab manusia baru. Apakah kita dapat hidup sebagai ciptaan baru, sesuai gambar dan rupa Allah, gambaran Kristus? Apakah para pelayan Firman melalui pelayanan mereka pada hari Minggu, akan berhasil mengubah anggota jemaatnya, sehingga mereka menjadiSurat-Surat Kristus? Ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada lohloh batu, melainkan pada lohloh daging, yaitu di dalam hati manusia. Hal itu bisa terjadi oleh pelayanan kita. Dalam ibadah-ibadah kita.
Demikianlah besarnya keyakinan kita kepada Allah oleh Kristus!
Dialah yang akan memampukan kita menjadi pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertu-lis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.
Karena kita mempunyai pengharapan yang demikian, maka kita berani bertindak.
Sebab Tuhan adalah Roh;
dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.
Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan
dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh,
maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar! (2Kor 3:17-18)