Liturgi Gereja Purba (50–500 M) biasanya dianggap sebagai hal yang penting dalam sejarah liturgi.
Ahli-ahli yang bertugas menciptakan atau membarui liturgi masa kini, sering menggunakan sumber-sumber liturgi dari abad-abad pertama sebagai patokan. Kalvin menghargai tinggi liturgi Gereja Purba. Ia menyinambungkan dirinya pada liturgi ini. Memang, di sinilah terdapat akar-akar sejarah ibadah. Akar-akar ini mempunyai arti untuk semua gereja di seluruh dunia. Kita boleh katakan: suatu arti oikumenis. Jadi juga untuk Indonesia.
Ahli-ahli itu berpendapat, bahwa tata ibadah yang dapat dilihat dalam abad-abad pertama mirip dengan tata ibadah asli, yaitu dari PB.
Walaupun demikian, untuk kita data-data ini tidak mempunyai wewenang mutlak, karena ”tradisi” tidak sama dengan Firman Allah. Firman Allah adalah patokan utama dan asasi, untuk menentukan apa yang baik dan yang tidak baik dalam ibadah.
Dalam zaman Gereja Purba (juga disebut Gereja Apostolis) secara garis besar dapat dibedakan 3 kurun waktu:
50-150 | Keterkaitan liturgi dengan liturgi sinagoge; karena perbedaan antara gereja dan sinagoge, maka liturgi gereja makin berkembang berdasarkan ajaran Injil Kristus. |
150-300 | Gereja yang dianiaya terpaksa berdiaspora dan hidup di dunia kafir, yang senantiasa memusuhi gereja; per gumulan ini mengakibatkan terbentuknya liturgi sesuai keadaan yang sulit itu. |
300-500 | Gereja diizinkan oleh Kaisar Konstantin Agung; setelah menjadi gereja negara, maka liturgi pun bebas berkembang. |
Bagaimana kita dapat mengetahui sejarah Gereja Purba? Sampai sekarang tersimpan berbagai buku, surat dan kitab ajaran (sebagai buku katekisasi) yang memberi informasi tentang liturgi pada masa itu. Diantaranya adalah:
1. Didakhè;
2. Surat dari Plinius;
3. Yustinus Martir;
4. Klemens Romanus;
5. Ignatius dari Antiokhia;
6. Hipolitus;
7. Ireneus.
1. Didakhè42(ajaran ke-12 rasul)
Didakhè menyebut beberapa bagian liturgi, tetapi kita belum mendapat suatu tata cara kebaktian yang utuh. Kita menemui antara lain naskah ”Doa Bapa Kami”, pengucapan syukur (”eka-risti”), yang berkaitan dengan ”agapè”, cawan dan roti perja-muan. Ungkapan-ungkapannya mirip dengan ”Doa Delapan Belas” dari ibadah sinagoge. Pada umumnya liturgi perdana bercorak ”Yahudi”. Umpamanya doa diadakan tiga kali sehari.
Tentang hari Minggu sebagai ”hari Tuhan” (dan bukan hari Sabat) Didakhè memberikan suatu pasal yang jelas, yaitu pasal 14:
Kamu akan berkumpul pada hari Tuhan untuk memecahkan roti dan mengucap syukur, setelah pengakuan dosamu di muka umum; demikianlah korbanmu akan disucikan.
Barangsiapa berselisih dengan temannya, tidak akan berkumpul bersama kamu, selama mereka belum didamaikan; jangan sampai korbanmu dinajiskan.
Beginilah Firman Tuhan: pada setiap tempat dan waktu harus dipersembahkan korban yang suci, karena Aku adalah Raja yang besar, firman Tuhan, dan nama-Ku ajaib diantara semua bangsa.
Tentang Perjamuan Kudus ”Didakhè” mengajarkan yang berikut:
Mengingat perkembangan Perjamuan Kudus ke misa Roma sebagai korban pendamaian yang nyata, melalui ”transubstan-siasi”, artinya perubahan roti dan anggur menjadi daging dan darah Kristus yang sungguh, Didakhè belum menggunakan kata korban dalam arti itu, tetapi sebagai korban orang Kristen sendi-ri: kehidupan Kristen yang harus menjadi korban syukur kepada Tuhan, sesuai Ibrani 13:15.
Plinius adalah gubernur Romawi di propinsi Pontus dan Bitinia. Ia menulis surat kepada Kaisar Trayanus tentang kumpulan-kumpulan orang Kristen. Plinius sendiri orang Kristen, tetapi sebagai pemerintah ia terlibat dalam halhal agama di daerahnya. Sebab itu ia melukiskan dalam suratnya, bagaimana kebiasaan dalam kumpulan Kristen itu. Antara lain ia menyebut yang berikut:
Mereka berkumpul untuk beribadah kepada Kristus ”seba gai Allah”, setiap minggu satu hari, pagi dan sore:
pagi mereka mendengar Firman Tuhan dan menyanyi; sore mereka mengadakan ”agapè” dan Perjamuan Kudus.
Perjamuan ini, menurut Plinius, adalah suatu perjamuan biasa, yang tidak usah dicurigai43.
Yustinus mati martir karena imannya pada tahun 165. Ia intelektual, terkenal karena pembelaan kepercayaan Kristennya. Ia melawan tuduhan dan sangkaan bahwa orang Kristen berkumpul secara rahasia, dengan banyak hal rahasia yang luar biasa. Untuk itu Yustinus menulis dua pembelaan (”Apologi”) untuk melukiskan bagaimana keadaan perkumpulan jemaat Kristus.
Apologi ini dialamatkan kepada Kaisar Antonius Pius. Bahkan tersebar sangkaan, bahwa orang Kristen adalah ”kanibal”, yaitu yang makan daging manusia. Yustinus ingin membuktikan dalam uraiannya, bahwa ibadah Kristen berlangsung tertib dan suci.
Karena itu ia melukiskan dalam Apologi I suatu kebaktian dengan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah liturgi, kita memperoleh suatu tata cara ibadah. Sebelum Yustinus, kita belum menemui suatu tata kebaktian yang agak lengkap; yang kita dapati hanyalah informasi tentang liturgi yang tersebar dalam surat-surat dan kitab-kitab (termasuk Alkitab).
Di bawah ini kita sajikan beberapa bagian yang menggam-barkan dengan baik keadaan kebaktian pada abad itu:
Apologi I, 61:2-4, TENTANG BAPTISAN
Barangsiapa mengaku dan percaya, bahwa ajaran Kristen dan pengakuan-pengakuannya adalah benar, dan ia sanggup mengatur kehidupannya sesuai dengan itu, disuruh untuk berdoa dan berpuasa sementara berseru kepada Allah, kiranya Ia mengampuni segala dosanya yang dulu. Kami, orang Kristen, berdoa dan berpuasa bersama mereka. Kemudian kami mengantar mereka ke suatu tempat, di mana ada air. Di tempat itu mereka dilahirkan secara baru, yaitu semacam kelahiran kembali, yang kami sendiri juga telah alami. Karena di tempat itu mereka menerima suatu permandian dalam nama Allah semesta alam, Allah yang adalah Tuhan, Juruselamat kami Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus.
Sebab Kristus telah berkata: ”Jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Apologi 65–67, TENTANG PERJAMUAN DAN IBADAH
Orang-orang yang yakin, dan yang menyesuaikan diri sedemikian rupa, dan yang telah dibaptis menurut cara ini, diantar ke dalam ruangan, di mana saudara-saudara berkumpul untuk berdoa bersama-sama; mereka berdoa untuk dirinya sendiri dan untuk semua orang yang diterangi dan untuk semua orang lain.
Kami semuanya berdoa dengan sungguh-sungguh, karena kami, yang telah mengenal kebenaran, ingin melakukanperbuatan-perbuatan yang baik, sehingga kami didapati sebagai warga negara yang baik, yang menjaga ketertiban dan ketaatan akan undang-undang; dan kami mengharapkan penyelamatan oleh pembebasan yang kekal. Sesudah kami selesai berdoa, maka kami memberi salam seorang kepada yang lain dengan suatu ciuman. Kemudian diserahkan kepada pemimpin perkumpulan roti satu cawan anggur yang dicampur dengan air. Setelah menerima roti dan anggur itu, pemimpin mempersembahkan pujian dan hormat kepada Bapa atas segala sesuatu, dalam nama Anak dan Roh Kudus, dan ia menyebut pengucapan syukur yang panjang lebar (”eukharistia”), sehingga kami dilayakkan untuk menerima semuanya ini. Setelah usai doadoa dan pengucapan syukur, semua orang yang berkumpul di situ berseru dengan suara nyaring ”Amin” (yang berarti dalam bahasa Ibrani: demikianlah hendaknya). Sesudah pemimpin kebaktian mengucap syukur dan jemaat menjawabnya dengan ”amin”, maka kemudian mereka, di antara kami, yang disebut ”diaken” memberikan sebagian dari roti itu kepada masing-masing hadiran (yang atasnya telah diucapkan syukur) dan juga anggur dan air. Dan mereka mengantarnya kepada anggota-anggota yang tidak hadir. Makanan ini kami sebut ”eukharistia”, yang hanya boleh dimakan oleh orang yang percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepada kami adalah benar, yaitu orang yang dibaptis dengan baptisan untuk pengampunan dosa, yakni permandian kelahiran kembali, dan yang hidup sesuai himbauan Yesus kepada kami. Karena kami menerima roti ini tidak sebagai roti dan minuman biasa, tapi sama seperti Firman Allah telah menjadi manusia, yaitu Juruselamat kami Yesus Kristus, yang menjadi daging dan darah untuk keselamatan kami, demikianlah kami diajarkan, bahwa makanan, yang atasnya kami mengucap syukur dan yang menguatkan tubuh kita secara kiasan adalah daging dan darah Yesus Kristus. Kami selalu mengingat semuanya ini, dan kami membantu semua orang yang berkekurangan, dan kami selalu berkumpul. Dan kami mengucap syukur atas semua hal yang dibawakan kepada kami, syukur kepada Pencipta segala sesuatu, oleh Anak-Nya Yesus Kristus dan oleh RohNya Yang Kudus.
Dan pada hari Minggu diadakan kumpulan semua orang yang diam di kota atau di pedalaman, setiap kali di tempat yang tetap; di tempat itu diadakan pembacaan-pembacaan rasul-rasul (In-jil-injil dan surat-surat) dan nabi-nabi (Kitab-kitab PL), selama waktu mengizinkannya. Kemudian, usai pembacaan, pemimpin kebaktian memberikan ajaran dan nasihat, sehingga kami mengikuti segala hal yang indah ini. Maka kami semua berdiri dan mengucapkan doadoa kami. Dan, sebagaimana telah dikatakan di atas, selesai berdoa, roti dan anggur yang tercampur dengan air dibawa. Pemimpin kebaktian mempersembahkan doa dan pengucapan syukur sekuat-kuatnya, dan jemaat mengakuinya dengan suara nyaring: Amin! Maka diadakan pembagian segala sesuatu yang dibawa, dan masing-masing orang menerima bagiannya yang atasnya telah diucapkan syukur. Untuk mereka yang tidak hadir diantarkan oleh diaken-diaken bagian mereka kerumah-rumah mereka. Orang yang bersejahtera memberikan (jika mereka mau) menurut kesanggupannya atau sebanyak mereka ingin memberikan. Apa yang menurut cara ini dikumpulkan, diberikan kepada pemimpin kebaktian. Dialah yang memelihara janda-jan-da dan anak-anak piatu dan mereka yang berkekurangan karena sakit atau oleh sebab lain. Atau pun untuk mereka yang tinggal di penjara, atau untuk orang asing yang tinggal di tengah-tengah kami. Demikianlah ia memelihara semua orang yang berkeku-rangan. Jadi, hari Minggu adalah hari yang, menurut kebiasaan, kami semua berkumpul, karena hari itulah hari pertama; pada hari ini Allah telah mengubah kegelapan dan menciptakan bumi; dan pada hari ini Yesus Kristus, Juruselamat kami, telah bangkit dari antara orang mati. Karena Ia disalibkan orang sebelum hari Sabtu, dan hari setelah hari Sabtu, yaitu pada hari Minggu, Ia menyatakan Diri kepada rasul-rasul-Nya dan murid-murid-Nya dan Ia mengajar mereka, apa yang sekarang kami serahkan kepadamu untuk dipertimbangkan.45
Jadi, pada zaman Yustinus kita lihat halhal berikut dalam penataan kebaktian:
Yustinus mengatakan: makanan ini juga disebut ”ekaristi” (yang artinya secara harfiah: pengucapan syukur). Yustinus juga melukiskan kebaktian biasa, yang diadakan pada tiap ”hari Matahari”, yaitu ”Sunday” (yang kita sebut hari Minggu46).
Dari uraian Yustinus dapat kita simpulkan tata kebaktian pertama dalam sejarah liturgi sebagai berikut:
TATA IBADAH PERTAMA (dari Yustinus, kira-kira 160 SM) |
Pembacaan Injil-injil; Pembacaan surat-surat rasuli; Pembacaan kitab-kitab nabi; Penjelasan kitab yang dibaca (yaitu khotbah, dibawakan oleh uskup sambil duduk) Ajakan untuk hidup sesuai dengan itu; Berdoa bersama-sama sambil berdiri; Pembagian roti dan anggur; Doa bebas; Pengaminan; ekaristi; ”kolekte” (untuk orang miskin) |
Klemens Romanus dianggap oleh Gereja Katolik Roma sebagai ”paus ketiga”. Dan Gereja Katolik Roma juga menunjuk kepada Klemens, yang berbicara tentang hal ”korban” berhubungan dengan ibadah jemaat. Gereja Katolik Roma menganggap ini sebagai bukti bahwa pada waktu Klemens gereja sudah mengajarkan sifat ”korban” Perjamuan Kudus. Mereka memerlukan bukti ini sebagai akar ajaran ”transubstansiasi”. Mereka ingin membuktikan, bahwa hal ”transubstansiasi” sudah ada sejak permulaan sejarah gereja, bukan hal yang muncul pada abad ke-3 atau ke-4. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Klemens menasihati jemaat ini untuk merendahkan diri. Janganlah mereka meninggikan diri dan memberontak terhadap pejabat-pejabat jemaat. Memang, kerendahan ini disebut oleh Klemens korban yang benar di jemaat Kristus. Dan Tuhan akan berkenan kepada korban ini, seperti ditulis Daud dalam Mazmur 51:19 (bnd Mzm 50:14, 15):
”Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina, ya, Allah.”
Dalam konteks persembahan korban macam ini, Klemens menyebut Kristus ”Imam Besar korban-korban kita”. Maksudnya ialah korban kerendahan diri. Klemens tidak mengaitkan ”ekaristi” dengan istilah Imam Besar korban-korban kita. Kata ”korban” hanya disebut oleh Klemens untuk menunjuk kepada korban kerendahan hati, seperti maksud Mazmur 50 dan 51. Dalam konteks ini kita temukan kalimat berikut di surat Klemens: ”Inilah jalan, saudara-saudara yang kekasih, melalui mana kita memperoleh keselamatan, yaitu Yesus Kristus, Imam Besar korban-korban kita, Pelindung kita dan Penyangga dalam kelemahan kita.”
Jadi, Klemens tidak menyebut ”ekaristi” sebagai korban yang dipersembahkan gereja kepada Allah.
Ignatius menulis mungkin 7 surat. Dalam surat-suratnya itu ia menggunakan kata ”Ekaristi” mengacu kepada Perjamuan Kudus. Ignatius memakai kata ”korban” dalam arti berikut:
Ignatius berpendapat, ”Ekaristi” adalah pemberian kasih dari Allah kepada manusia. Artinya, Allah yang mengaruniakan sesuatu di dalamnya. Jadi, bukan kita yang memberikan semacam korban kepada Allah! Memang, Ignatius memperuntukkan pelayanan ”Ekaristi” bagi uskup saja. Penatua-penatua tidak diizinkan untuk melayankannya. Di sini terdapat akar-akar hierarki49 Roma. Dalam surat kepada Smirna, Ignatius menulis dalam bab 8:
”Taatilah uskup, sebagaimana Yesus Kristus juga menaati Bapa-Nya, hormatilah diaken-diaken seperti kepada perintah Allah. Tidak seorang pun diperbolehkan membuat apa saja mengenai gereja, tanpa uskup mengetahuinya. Ekaristi hanya dapat dianggap sah, jika dilayankan oleh uskup sendiri, atau dilayankan oleh mereka, yang ditugaskan uskup untuk melayankan Ekaristi. Tanpa uskup tidak diizinkan untuk membaptis atau untuk mengadakan Perjamuan Kasih (’agapè’).”
Secara umum dapat dikatakan, Gereja Purba mempertahankan liturgi Gereja Rasuli; tapi tidak lama setelah babak pertama ini, beberapa unsur liturgi berkembang akibat berbagai perubahan keadaan (ump dari pihak pemerintah).
Kita dapat melihat suatu pola liturgi yang umum dalam Gereja Purba, tetapi bersama pola ini ternyata banyak variasi50 unsur-unsurnya. Pola liturgi yang pertama ini berkembang menjadi upacara kebaktian dengan bentuk-bentuk dan peraturan yang agak tetap. Sejalan dengan perkembangan ini kita lihat juga perkembangan dalam ”kanon”51.
Sebenarnya tidak banyak sumber yang memberikan informasi tentang liturgi jemaat pada abad-abad pertama. Itu disebabkan oleh penganiayaan atas gereja. Jemaat-jemaat dicurigai oleh pemerintah, sehingga jemaat-jemaat berkumpul secara tersembunyi; juga tata ibadah dirahasiakan. Untuk pengetahuan liturgi, kita harus memetik dari kitab-kitab para bapak apostolis, seperti sudah kita lakukan di atas. Data-data liturgi ditemukan di beberapa tempat. Itu pun tidak memberikan susunan unsur-unsur yang lengkap. Salah seorang yang memberikan informasi agak banyak tentang ibadah zaman itu ialah Hipolitus.
Hipolitus, penulis dari Gereja Purba, bekerja sebagai uskup di Roma pada tahun 220. Lahir kira-kira tahun 170 dan mati martir kira-kira tahun 235. Hipolitus tegas mempertahankan keadaan awal dan tradisi rasuli. Itulah sebabnya ia bertentangan dengan semua ”ajaran palsu” yang ada pada waktu itu. Ia melawan berbagai perubahan ajaran Kristen, antara lain ajaran Sabelius52. Sikap Hipolitus konservatif, karena ia ingin membela tradisi rasuli. Jadi, ia melukiskan keadaan awal itu dalam bukunya Penyerahan Apostolis. Karena ia berusaha mempertahankan keadaan awal itu, maka tentu ia sendiri menyelidiki dan menguraikan keadaan itu dengan teliti. Karena itulah kitabnya dianggap sebagai sumber yang sangat penting untuk pengetahuan liturgi pertama.
Kitab Hipolitus adalah semacam ”tata gereja”, tetapi isinya terutama liturgis, yaitu petunjuk-petunjuk untuk ibadah jemaat. Hipolitus menggambarkan dalam bukunya liturgi ”yang ia masih ingat dari masa mudanya”. Pertama-tama ia memberikan peraturan penahbisan uskup. Seterusnya tentang penahbisan penatua dan diaken. Setelah itu diberikan petunjuk mengenai katekisasi, baptisan, masa puasa, dan doa harian. Dua kali ia menguraikan perayaan Perjamuan Kudus.
Hipolitus memberikan suatu ”doa Ekaristi”, yang diucapkan pada perayaan Perjamuan Kudus, yaitu sebelum pembagian roti dan anggur. Doa ini sangat penting, karena separo masih terdapat dalam doa misa di Gereja Katolik Roma. Tetapi, juga dalam doa Formulir Perjamuan Malam Kudus, sebagaimana diguna kan dalam Gereja-gereja Reformasi, masih adabekas-bekas ”doa Ekaristi” Hipolitus.
”Ekaristi” (sudah menjadi istilah untuk menunjukkan Perjamuan Kudus) menurut Hipolitus juga diadakan dalam rangka liturgi penahbisan uskup dan juga dalam rangka liturgi baptisan orang-orang dewasa. Kedua macam kebaktian ini berlangsung sampai unsurnya yang terakhir, yaitu Perjamuan Kudus.
Pada kesempatan penahbisan uskup, liturgi kebaktian berlangsung sebagai berikut: l calon uskup diberi hormat, karena dianggap sanggup untuk memegang jabatan uskup l penyerahan roti dan anggur kepada uskup baru (roti dan anggur ini dikumpulkan oleh diaken-diaken darianggota-anggota jemaat) l uskup (bersama para imam) mengulurkan tangan di atas pemberian ini, lalu upacara berlanjut sebagai berikut:
Salam | Tuhan beserta kamu |
Jemaat | DAN DENGAN ROHMU |
Uskup | Angkatlah hatimu (”sursum corda”) |
Jemaat | SUDAH ADA DENGAN TUHAN |
Uskup | Bersyukurlah kita kepada Tuhan |
Jemaat | PATUTLAH KITA BERSYUKUR KEPADA TUHAN |
Uskup prefasi53 | Kami bersyukur kepada-Mu, ya, Tuhan, karena Yesus Kristus, Anak-Mu yang kekasih. Engkaulah yang menyuruh Dia kepada kami pada waktu zaman yang terakhir ini, untuk menjadi Juruselamat dan Penebus kami dan Pemberita kehendak Tuhan, yaitu Firman-Mu, yang tidak dapat berpisah dari-Mu. |
ketetapan (”konsekrasi”) | Oleh Dialah Engkau telah menciptakan segala sesuatu dan Engkau berkenan kepada-Nya, yang disuruh oleh Engkau dari surga ke dalam rahim anak dara, yang diterima dalam rahim itu, menjadi daging dan menyatakan Diri sebagai Anak-Mu, lahir dari Roh Kudus dan dari anak dara itu, memenuhi kehendak-Mu menciptakan suatu umat yang kudus bagi-Mu, yang mengulurkan tangan-Nya dalam penderitaan-Nya untuk melepaskan mereka yang percaya kepada-Mu dari penderitaan mereka, yang dengan rela hati menyerahkan diri-Nya sendiri ke dalam penderitaan, untuk memusnahkan maut, untuk memutuskan tali pengikat milik Iblis dan untuk menginjak neraka di bawah kaki-Nya. Dialah yang datang menerangi orang-orang yang benar dan untuk mengakhiri masa terpenjara mereka, untuk memperlihatkan kebangkitan kepada mereka. |
Anamnese54 | Ia mengambil roti, dan sesudah itu Ia mengucap syukur bagimu dan berkata, ”Ambillah dan makanlah,inilah tubuh-Ku yang dipecahkan bagi kamu.”Demikianlah juga Ia mengambil cawan, dan berkata,”Inilah darah, yang dicurahkan bagi kamu,setiap kali kamu meminumnya,menjadi peringatan akan Aku.” Oleh sebab itu, sedang mengingat kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, kami membawa roti dan cawan ini di hadapan-Mudan kami bersyukur kepada-Mu, Engkau, yang menghargai kami pantas untuk menghadap Engkau danuntuk beribadah kepada-Mu |
Epiklese55 | dan kami doakan kiranya Engkau mengirimRoh-Mu Yang Kudus pada pemberian gereja-Muyang kudus ini, dan semoga Engkau mengaruniakan kepada semua orang yang kudus, yang turutperayaan ini, sehingga mereka tetap bersatupenuh dengan Roh Kudus dan diteguhkan dalam iman yang sejati. |
Doksologi56 | Demikianlah boleh kami memuji Engkau dan boleh kami membawa hormat kepada-Mukarena Anak-Mu Yesus Kristus,oleh Dialah ada hormat dan kemuliaan bagi-Mu, dengan Roh Kudus dalam gereja-Mu yang kudussekarang dan untuk selama-lamanya. |
Jemaat | AMIN |
Doa ini dianggap sebagai doa Ekaristi yang paling tua.
”Sursum corda” (= angkatlah hatimu) pertama kali terdapat dalam tata gereja Hipolitus. Kata ini terkenal dalam liturgi Perjamuan Kudus. Pada liturgi reformasi ”sursum corda” terdapat dua kali dalam kebaktian, yaitu sebelum berkat (”angkatlah hatimu kepada Tuhan dan terimalah berkat Tuhan”) dan sebelum pembagian roti dalam Perjamuan Kudus.
Usia doa Hipolitus ini terutama ditekankan oleh mereka, yang membela ajaran Katolik Roma, yaitu bahwa misa adalah korban. Berdasarkan usia doa Hipolitus ini, mereka ingin buktikan kebenaran pendapat mereka (yaitu bahwa roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Kristus dalam Ekaristi), terutama oleh kata-kata penetapan yang ada di dalamnya; ini di kemudian hari disebut ”konsekrasi”,57 sudah ada sejak permulaan sejarah gereja. Di pihak lain kita lihat, bahwa gereja Protestan juga mendasarkan upacaranya untuk merayakan Perjamuan Kudus atas tulisan Hipolitus.
ISTILAH--ISTILAH LITURGI [yang berhubungan dengan Perjamuan Kudus) |
Sursum Corda — angkatlah hati! Prefasi — pendahuluan dalam doa (Konsekrasi) — kata-kata penetapan Anamneses — peringatan akan Kristus Epiklese — seruan agar dikuduskan Doksologi — pemujaan |
Di atas (bagian tentang Ignatius) sudah kita uraikan bahwa hal ”korban” pada abad-abad pertama tidak mengacu kepada korban Kristus, akan tetapi kepada korban orang Kristen, yaitu pengabdian segenap hati dan kehidupan kepada Allah. Itulah kor ban yang dimaksudkan Maleakhi 1:11:
”Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan korban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman TUHAN semesta alam.”
Hipolitus murid Ireneus58. Ireneus menekankan pentingnya ajaran bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah. Roti dan anggur termasuk ciptaan ini. Kedua elemen ini menjadi semacam persembahan dari buah-buah pertama, dan adalah tanda persembahan seluruh ciptaan kepada Allah. Kristus mengubah roti dan anggur oleh kata-kata penetapan. Karena itu, roti bukan roti biasa lagi, dan anggur bukan anggur biasa. Tetapi, roti dan anggur mengandung dua zat, yaitu zat duniawi dan zat surgawi. Demikianlah seluruh ciptaan (bumi dan surga) dipersembahkan kepada Allah. Dan inilah korban yang Maleakhi maksudkan. Jadi, siapa yang mendapat bagian dalam Perjamuan Kudus memperoleh keselamatan dan kekudusan untuk tubuhnya. Tubuhnya tidak takluk lagi kepada kebinasaan.
Tampaknya di sini juga tidak ada ajaran tentang transubstansiasi59. Karena untuk Ireneus roti dan anggur tidak berubah menjadi daging dan darah Kristus. Malahan elemen-elemen ini di hubungkan dengan daging dan darah Kristus. Lagi pula Ire neus tidak menulis tentang korban Kristus, sebagai persembahan yang harus diulang-ulang setiap hari. Ireneus hanya menekankan persembahan seluruh ciptaan Allah, yaitu di dalam Kristus.
Nyatalah betapa pandangan Ireneus itu berbeda dari tafsiran Perjamuan Kudus dalam ajaran reformasi. Tetapi, Ireneus juga tidak berpendapat bahwa dalam Ekaristi terjadi ”konsekra-si” dan oleh ”konsekrasi” ”transubstansiasi”.
Di atas telah terurai doa Ekaristi dan ihwal korban dalam perayaan Perjamuan Kudus. Kepentingannya jelas, karena berkaitan dengan perkembangan ajaran misa dalam Gereja Katolik Roma. Dan juga karena Perjamuan Kudus merupakan unsur yang terpenting dalam setiap kebaktian pada hari Minggu. Dan karena pada waktu itu Perjamuan Kudus dirayakan dengan frekuensi itu. Di samping perayaan Perjamuan Kudus ada unsur lain dalam liturgi, yang polanya secara garis besar sebagai berikut:
POLA LITURGI PADA ABAD KE-3 |
Pembacaan PL Pembacaan kitab-kitab baru (PB) Khotbah Doa jemaat dengan doa syafaat Ciuman kudus Perayaan Perjamuan Kudus Roti dan cawan dibawa kepada uskup, Pengucapan syukur (doa Ekaristi), Diaken-diaken membagi roti dan anggur, Nyanyian-nyanyian di tengah unsur-unsur ini. |