Tentang doa penyembuhan oleh Klaas de Vries dan Hans van Benthem Sudah bertahun-tahun Widyawati mengidap penyakit yang bernama multiple sclerose, suatu penyakit yang menyerang sumsum tulang punggung dan otak. Sehari lepas sehari dia duduk di kursi rodanya. Penyakitnya dinyatakan para dokter medis tidak dapat tersembuhkan. Keadaan itu teramat menyedihkan, baik bagi dia maupun bagi keluarganya. Kemudian dia bersama suaminya bergabung dengan sebuah kelompok doa. Widyawati merasa sangat didukung di situ. Pada suatu malam, ketika dia tidak hadir, para anggota kelompok itu dengan intensif berdoa untuk kesembuhannya. Besoknya, seorang dari mereka menelepon Widyawati, dan menanyakan bagaimana keadaannya. Apakah sudah tampak tanda-tanda kesembuhan? Ketika si penanya mendengar jawaban
”belum”, dia mengatakan: ”Kalau Anda tidak juga sembuh, coba periksa diri sendiri secara jujur. Mungkin penyebabnya terletak pada diri Anda sendiri. Soalnya, Yesus adalah Penyelamat Yang Sempurna. Dia sanggup menyembuhkan Anda.” Beberapa bulan kemudian Widyawati dan suaminya pergi makan malam dengan dua sahabat yang baik, yang setelah itu mengajak Widyawati dan suaminya berdoa bersama. Maka mereka semua memohon dengan sangat kepada Tuhan supaya menyembuhkan Widyawati. Kedua sahabat itu mendesak agar Widyawati sendiri dengan tak jemu-jemunya berdoa untuk kesembuhannya, supaya nantinya dapat memuliakan nama Tuhan. Namun, kesembuhan itu tidak kunjung datang. Setahun kemudian seorang kenalan lain menyarankan kepada Widyawati supaya menghadiri kebaktian penyembuhan yang sedang diadakan di kota itu, katanya: ”Datanglah, karena yang memimpin ialah orang terkenal yang memiliki karunia khusus untuk menyembuhkan. Dia menyembuhkan dalam nama Yesus. Jangan sampai Anda melewatkan kesempatan ini.” Lalu dia menambahkan, ”Soalnya, suamimu berhak memiliki istri yang sehat.” Betapa besar rasa kecewa Widyawati, ketika ternyata dia belum sembuh juga sesudah menghadiri kebaktian itu dengan penuh harap.
Ditimpa penyakit
Ditimpa penyakit berarti ditimpa musibah. Penyakit selalu membawa rasa nyeri, dan rasa tak nyaman. Orang yang sakit merasa terkungkung dalam penyakitnya, dan dia harus menunggu dan menunggu datangnya kesembuhan, dengan ditemani rasa tak pasti, rasa cemas, dan rasa takut...
Orang yang sakit mendambakan kesembuhan. Dan kalau kesembuhan itu tidak kunjung datang, si sakit mulai putus asa, mungkin hatinya penuh kepahitan. Apalagi kalau dia mendengar dari dokter bahwa penyakitnya tidak tersembuhkan sehingga dia menyadari bahwa antara lain, dia tidak akan sempat melihat anak-anak atau cucu-cucunya tumbuh menjadi dewasa.
Sungguh berat penderitaan yang harus ditanggungnya.
Dia rela melakukan apa saja asal sembuh. Ajakan untuk mengambil langkah menuju kebaktian-kebaktian penyembuhan semakin gencar, ditambah dengan dorongan orang-orang Kristen yang lain untuk menghadirinya. Dan akhirnya dia mulai mempertimbangkan ajakan-ajakan itu.
Ada kalanya anak Anda sendiri yang ditimpa penyakit parah atau harus menyandang cacat berat sehingga sangat menderita.
Kalau penyakitnya tidak kunjung sembuh, bahkan berlangsung sampai bertahun-tahun, Anda dapat diliputi rasa putus asa.
Ada orang tua yang merana karena tak tega melihat buah hatinya menderita tidak habis-habisnya, sedangkan mereka sendiri tidak berdaya untuk menolongnya. Ketika Tuhan Yesus ada di bumi, Dia bertemu dengan orang-orang yang sangat sedih karena penyakit anak mereka, atau bahkan penyakit budak mereka.
Pujilah Tuhan... yang menyembuhkan segala penyakitmu...
Apakah yang dikatakan oleh Alkitab tentang penyakit dan penyembuhan? Terdengar kata-kata penghiburan mengenai hal itu. Seperti ayat indah dalam Mazmur 103 yang sering dikutip oleh pemimpin ibadah sesudah jemaat merayakan perjamuan kudus: ”Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur”.
Alangkah hebat janji itu! Penyakit kita akan sembuh. Kita tidak akan mati, melainkan hidup. Bukankah itu juga yang dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada Maria, setelah Lazarus, saudara laki-lakinya, meninggal akibat suatu penyakit? ” ...siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25,26).
Percaya pada janji itu merupakan pegangan yang teramat kuat bagi setiap orang yang sakit atau yang menghadapi maut. Itulah yang telah terjadi sepanjang sejarah gereja.
Mari kita melihat apakah arti janji-janji itu dalam perjalanan manusia ke arah tujuan Allah yang terakhir.
Aku meremukkan dan Aku menyembuhkan...
Perjanjian Lama tidak banyak membicarakan penyakit dan penyembuhan, hanya kadang-kadang saja tetapi serba fundamental.
Perjanjian Lama menyatakan dengan jelas, bahwa kesehatan dan penyakit datang dari Allah. Misalnya, Tuhan berfirman di tempat air pahit (Mara) di padang gurun: ”Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepadaperintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit mana pun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku TUHANlah yang menyembuhkan engkau” (Kel. 15:26).
Kata-kata serupa kita temukan juga dalam nyanyian Musa (Ul. 32:39): ”Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku.”
Sesudah Ayub jatuh sakit, dia mengatakan kepada istrinya: ”Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb. 2:10).
Peristiwa-peristiwa yang luar biasa
Dalam periode selama lebih dari 2000 tahun yang melingkupi Perjanjian Lama, kita melihat adanya lebih dari 10 laporan tentang penyembuhan yang ajaib. Berikut ini terdapat yang paling terkenal.
Di antaranya ialah beberapa peristiwa di mana wanita yang mandul akhirnya dapat melahirkan juga. Dalam kejadian dengan ular tembaga (Bil. 21) banyak orang sembuh dari gigitan ular berbisa setelah mereka memandang ular tembaga itu. Sebagai tanggapan atas doa Elia, dia diperkenankan membangkitkan bocah laki-laki seorang janda di Sarfat dari kematian (1Raj. 17:17-24). Elisa melakukan hal yang sama dengan anak laki-laki seorang perempuan Sunem (2Raj. 4:18-37). Dia telah juga menyembuhkan dengan cara yang ajaib Naaman dari negeri Siria (2Raj. 5:1-27). Raja Hizkia yang ditimpa penyakit yang mematikan, sembuh setelah ia berdoa sambil menangis, dan dia diberi tambahan masa hidup selama 15 tahun (2Raj. 20:1-11).
...dan Dia menyembuhkan mereka yang sakit...
Ketika Anak Allah datang ke bumi, keadaannya berubah. Dia menyembuhkan banyak orang sakit, apalagi pada awal penampilanNya di tengah-tengah masyarakat. Matius 14:14 berbunyi, ”Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit”.
Adapun, hal itu tidak terjadi di segala tempat dan dengan semua orang. Di tanah kelahiran ayah-Nya sendiri, Nazaret, Yesus hanya menyembuhkan beberapa orang, karena di situ orang-orang tidak percaya kepada-Nya (Mrk. 6:5,6; Luk. 4:23-27). Di pinggir kolam Betesda terdapat banyak orang sakit, orang buta, orang lumpuh dan orang yang tidak berdaya. Namun, Tuhan Yesus hanya menyapa salah seorang dari mereka, seorang pria yang sudah terbaring lemah selama 38 tahun, lalu menyembuhkan dia (Yoh. 5:1-13).
Peristiwa lain yang juga patut diperhatikan ialah yang menyangkut seorang pria yang lumpuh sejak lahir, yang duduk di depan gerbang Bait Allah, yang bernama Gerbang Indah (Kis. 3:1-10). Lukas menceritakan bahwa orang itu setiap hari diusung ke gerbang itu untuk meminta sedekah di situ. Kalau begitu, pastilah Tuhan Yesus juga pernah melihat dia. Mungkinkah itu menunjukkan sesuatu tentang kebijakan Allah dengan orang-orang sakit? Apakah Tuhan baru menganggap saatnya matang untuk penyembuhannya ketika kedua rasul-Nya, Petrus dan Yohanes berjalan melewati orang itu?
Apakah Tuhan kadang-kadang menunda kesembuhan?
Ciri-ciri khas dari penyembuhan oleh Yesus
Penyembuhan-penyembuhan oleh Tuhan Yesus berciri khas sebagai berikut:
- terjadinya spontan, tanpa diprakarsai lebih dahulu (mis. Mat. 9:27). - kesembuhannya langsung terjadi dan secara sempurna;Wewenang untuk menyembuhkan dialihkan
Yesus mengalihkan wewenang untuk menyembuhkan kepada para murid-Nya.
Pertama-tama hal itu dilakukan-Nya kepada ke-12 rasul, disertai kata-kata ini: ”Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; sembuhkanlah orang kusta; usirlah setan-setan” (Mat. 10:7-8; Mrk. 3:13-15, Luk. 9:1-3).
Dan di kemudian harinya diberikan-Nya wewenang itu juga kepada 70 murid yang lain (Luk. 10:1-24).
Yesus mempunyai rasul-rasul lain, di samping ke-12 rasul yang utama. Sudah sebelum hari Pentakosta, Yesus mengutus lebih dari 80 pengikut-Nya untuk memberitakan Injil, dan diberikanNya kepada mereka antara lain tugas dan wewenang untuk menyembuhkan orang sakit. (bdk. juga 1Kor. 15: 5-8).
Beberapa saat sebelum naik ke surga, Yesus mengulangi pemberian tugas itu secara pribadi kepada ke-11 rasul (Mrk. 16:15-20). Inti tugas itu berbunyi: beritakanlah Injil kepada segala makhluk dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku. Lalu ditambahkan-Nya janji bahwa mereka akan disertai oleh tanda-tanda yang berikut:setan-setan akan lari terusir, batas-batas bahasa akan ditembus, gigitan ular berbisa dan minuman beracun tidak akan membawa celaka.
Dan selain itu juga tanda ini: ”Mereka akan meletakkan tangan mereka atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.”
Awas! Naskah itu berbunyi: tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya! Dan tidak: semua orang percaya akan melakukan tanda-tanda itu. Tanda-tanda itu tidak dimilikiorang-orang yang percaya, melainkan menyertai berita baik yang diberitakan ke seluruh dunia oleh para rasul. Di mana pun para rasul dan pemberita Injil memberitakan Kabar Baik itu, sehingga orang-orang menjadi percaya, di situlah Tuhan memberikan tanda-tanda. Sebab itu dalam ayat 20 tertulis, ”Mereka pun pergi memberitakan Injil ke segala penjuru (itulah tugas mereka!), dan Tuhan (!) turut bekerja dan meneguhkan Firman itu dengantanda-tanda yang menyertainya.”
Bukan wewenang umum bagi semua orang percaya
Kepada siapakah Yesus memberi tugas itu? Kepada ke-11 rasul yang sedang berdiri mengelilingi-Nya. Dan barangkali tugas itu berlaku juga untuk tujuh puluh murid yang lain (Luk. 10), sebab dalam Alkitab tidak ada catatan bahwa wewenang mereka telah dicabut kembali. Meskipun begitu, masih belum jelas apakah Yesus telah memberikan mereka wewenang kepada mereka yang berlaku untuk seumur hidup, atau hanya sebuah tugas yang sementara, seperti tugas ”magang” yang harus dilakukan para murid-Nya.
Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa kebanyakan mukjizat dan tanda-tanda terjadi melalui tangan para rasul (Kis. 4:29-33; 5: 12). Paulus bahkan menyebut mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukannya sebagai ”tanda-tanda seorang rasul” (2Kor. 12:
12). Tampaknya tanda-tanda itu membedakan dia dari orang lain dan membuktikan bahwa ia adalah benar-benar seorang rasul!
Jadi, mukjizat dan tanda-tanda itu adalah bukti legitimasi seorang rasul. Dalam Ibrani 2: 3-4 hal itu disinggung lagi. Di situ kita diwantiwanti supaya kita jangan menyia-nyiakan keselamatan ”yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah (telah) meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan....”
Kata ”meneguhkan” ditulis dalam bentuk kala lampau dalam bahasa Yunani. Kalimat yang berisi partisip ”meneguhkan” jelas ditulis dalam bentuk kala lampau. Menurut tata bahasa Yunani, partisip menyesuaikan diri pada kala kata kerja utama.
Sayangnya hal itu tidak dilakukan dalam banyak terjemahan, juga tidak TB dan BIMK.
Perhatikanlah tujuan tanda-tanda itu. Gunanya ialah untuk meneguhkan Injil Kristus dan memberi kesaksian tentang Injil itu, yang sedang diberitakan ke mana-mana sampai menaklukkan seluruh dunia (bdk. Mrk. 16:20).
Perhatikan juga bentuk kala lampau yang dipakai oleh penulis surat Ibrani. Tampaknya dia pada waktu itu sudah menganggap peneguhan berita Injil oleh tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat itu sebagai sesuatu yang tergolong tahap kehidupan para saksi mata dan saksi telinga, jadi bukan sebagai sesuatu yang masih terus berlangsung. Semua kesaksian itu masih sangat meyakinkan dan memenuhi tujuannya, juga bagi orang-orang Kristen dari generasi kedua dan seterusnya. Tidak tanpa maksud maka banyak tanda mukjizat yang diperbuat Yesus dan para rasul telah dicatat untuk generasi-generasi yang berikut, yaitu supaya mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias dan supaya mereka memperoleh hidup di dalam Dia (bdk. Yoh. 20:30,31), dan supaya gereja percaya bahwa para Rasul itu dipercayakan-Nya untuk meletakkan dasar kebenaran bagi gereja, sebagai saksi-saksi mata dan telinga.
Jadi, dalam jemaat Kristen yang mula-mula telah terjadi banyak kasus penyembuhan melalui tangan tokoh-tokoh seperti Petrus sampai kepada Paulus. Namun, itu tidak berarti bahwa mereka mempunyai wewenang sepenuhnya atas penyakit dan kesehatan.
Buktinya ialah suatu kenyataan yang sarat dengan arti, sebab Paulus sendiri sedang sakit ketika dia memberitakan Injil, padahal dia adalah rasul yang terpanggil! Dan tampaknya, penyakitnya itu sangat hina dan menjijikkan bagi orang lain (Gal. 4: 13-14). Selain itu sahabat dan teman sekerjanya, Timotius, mengidap berbagai penyakit, antara lain gangguan di lambungnya. Paulus tidak menyuruhnya pergi ke orang yang mempunyai karunia untuk menyembuhkan, melainkan menasihatinya supaya minum anggur (1Tim. 5: 23). Juga Trofimus terpaksa harus ditinggalkan di Milete dalam keadaan sakit (2Tim. 4: 20).
Allah tidak berubah, tetapi zaman yang berubah
Bolehkah kita menganggap pemberian tugas untuk menyembuhkan (Yesus kepada rasul-rasul-Nya) sebagai tugas kepada orang-orang Kristen dari segala zaman? Dan apakah janji-janji yang tercatat dalam Markus 16 juga berlaku bagi kita pada zaman ini? Kita harus selalu bertindak hati-hati dalam menyamaratakan naskah-naskah Alkitab. Tidak semua nelayan harus meninggalkan perahu-perahu mereka dan tidak lagi menjalankan profesi mereka. Begitu pula tidak semua orang muda yang kaya harus menjual harta benda mereka. Demikian juga janji Yesus kepada para rasul dalam Markus 16, tidak berarti bahwa semua orang percaya di semua zaman akan dapat mengusirroh-roh jahat, berkata-kata dalam bahasa-bahasa baru, memegang ular-ular berbisa, dan minum racun tanpa mengalami celaka, serta menyembuhkan orang-orang sakit melalui peletakan tangan.
Akan tetapi, bukankah Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya? Memang pasti begitu. Dia tidak berubah. Namun, yang berubah ialah zaman dan keadaan. Zaman rasuli adalah tahap dalam sejarah keselamatan yang sangat berbeda dari zaman di mana gereja telah berkembang.
Dalam Kisah Para Rasul kita melihat di berbagai tempat bahwa pemberitaan Injil yang mula-mula disertai dengan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat. Gunanya ialah supaya hubungan antara para rasul Kristus yang ada di dunia ini dengan Tuhan mereka di surga, menjadi kasat mata. Selain itu tanda-tanda mereka, seperti juga pada Yesus, adalah tanda-tanda mengenai Kerajaan Surga yang akan datang secara sempurna. Tanda-tanda itu seakanakan memberi pandangan ke depan melalui teropong, ke sebuah dunia yang akan dibawa Allah kepada kita. Sebuah dunia tanpa penyakit, tanpa kekacauan bahasa, tanpa roh-roh jahat maupun penderitaan lainnya (lihat juga Why. 21:4).
Penyembuhan yang langsung oleh Allah, tanpa perantaraan apa pun
Kesimpulan berdasarkan data-data alkitabiah sangat jelas.
Penyembuhan datang dari Allah. Hanya berkat Dia saja kita ini sehat. Dialah yang tetap memegang kekuasaan atas kesehatan kita. Tidak seorang pun dapat menjaga agar dirinya atau orang lain selalu terhindar dari penyakit. Hanya Tuhan yang dapat melakukannya.
Dan karena itulah maka pertama-tama kita harus berpaling kepada Tuhan untuk segala urusan yang menyangkut kesehatan dan penyembuhan. Di samping dan bahkan sebelum kita mengunjungi dokter, kita harus mencari pertolongan Allah dalam doa. Dan doa itu kita naikkan dengan penuh kepercayaan bahwa Allah memegang segala kekuasaan: satu perkataan TUHAN sudah cukup! Itulah yang dialami oleh Hizkia (2Raj. 20:1-11; Yes. 38:21).
Kita telah mendengar banyak kesaksian orang-orang Kristen yang menunjukkan bahwa Tuhan sering mengucapkan perkataan yang manjur seperti itu.
Beberapa tahun yang lalu, pada suatu Minggu sore, seorang gadis yang sakit parah sudah sangat kritis keadaannya. Pada kebaktian sore hari itu, seluruh jemaat berdoa untuk kesembuhannya, dan tiba-tiba saja anak itu sembuh dengan sangat ajaib.
Kasus lain lagi adalah sebagai berikut: Seorang anggota jemaat diberi tahu oleh dokter bahwa sebuah tumor bersarang di kepalanya. Alangkah herannya dokter itu ketika dalam pemeriksaan yang berikut, tumor itu ternyata hilang tanpa bekas, dan tak tampak lagi pada satu foto pun.
Ada juga seorang bayi berumur enam bulan yang diserang demam tinggi. Dia didoakan dan tiba-tiba demamnya turun.
Sangat banyak orang hanya berdoa dengan sederhana, mohon anugerah dan kesembuhan. Dan juga sangat sering terjadi bahwa dalam situasi-situasi itu, Tuhan Allah mengucapkan sebuah perkataan manjur, sehingga terjadi suatu keajaiban di bidang medis.
Penyembuhan oleh Allah secara tidak langsung
Dalam rencana-rencana-Nya untuk menyembuhkan, Tuhan Allah sering menggunakan bakat-bakat dan ketrampilan yang telah diberikan-Nya kepada manusia Seperti para rasul dan juga kaum tua-tua. Akan tetapi, juga para dokter, ahli bedah, dan ahli terapi.
Misalnya ada seorang yang ditimpa penyakit sklerosis multiple (pengerasan otak atau sumsum tulang belakang). Jemaat berdoa dengan sungguh. Dan di rumah sakit si pasien menerima segala pengobatan yang diperlukannya. Maka melawan segala prognosis medis, ternyata pengobatannya berhasil dengan baik; penyakitnya terhenti dan tidak menjadi lebih parah lagi.
Atau ada seorang yang sering diserang sakit kepala yang tak tertahankan. Pada suatu hari ketika dia mendapat serangan lagi, seorang rohaniwan gereja datang, dan mereka berdoa bersamasama. Setelah itu sang rohaniwan menumpangkan tangannya tepat pada tempat yang terasa nyeri, maka rasa sakitnya menjadi jauh berkurang.
Dengan kata lain: Tuhan juga dapat memakai orang-orang biasa untuk menyembuhkan.
Kadang-kadang karunia untuk menyembuhkan itu merupakan bakat alami tertentu, yang oleh Roh Pencipta diletakkan dalam diri seorang manusia. Maka karunia itu harus dipakai dalam pelayanan bagi Allah, dengan disertai doa.
Kadang-kadang Roh juga memberikan karunia yang khusus, yang ”supernatural” kepada orang-orang percaya, entah apakah itu diterimanya sebagai tanggapan atas doa atau tidak. Dengan karunia itu Tuhan hendak memakai mereka dengan cara yang luar biasa, supaya nama-Nya dimuliakan dan anak-anak-Nya diselamatkan.
Namun, dalam segala peristiwa seperti itu, kita harus mengingat satu hal. Dalam praktik adalah sulit untuk mengadakan pemisahan yang tegas antara yang kita sebut saja karunia yang alami atau karunia yang ”supernatural”. Dalam Alkitab, pemisahan itu juga tidak diadakan.
Namun, ada satu ciri yang tidak dapat diabaikan, yang membuat bakat menjadi karunia roh, yaitu: karunia itu selalu berfungsi dalam rangka pembangunan jemaat (lihat khususnya 1Kor. 12-14).
Mengenai karunia untuk menyembuhkan yang ditulis oleh Paulus dalam 1 Korintus 12:28 (bdk. juga dengan Rm. 12:6-8), kita cenderung dan tampaknya memang wajar, untuk menganggapnya sebagai sebuah karunia yang khusus, yang ”supernatural”. Namun, pada sisi lain, Paulus seakan-akan hanya dengan sambil lalu menyebut karunia itu di tengah-tengah serangkaiankarunia-karunia yang ”biasa”, seperti: karunia untuk melayani dan untuk memimpin. Selain itu: para rasul, pemberita Injil, gembala dan pengajar, juga disebut oleh Paulus sebagai karunia Roh.
Adapun yang terakhir itu menunjukkan dengan jelas bahwa pengertian ”karunia-karunia Roh” adalah istilah yang sangat luas yang mencakup segala macam hal. Secara sangat umum, karunia berarti: setiap pemberian yang dianugerahkan Roh kepada jemaat Allah, tidak peduli jenisnya.
Dengan penjelasan itu, istilah ”karunia-karunia roh” kehilangan sesuatu dari nadanya yang eksentrik dan ”supernatural”. Penyataan itu juga menunjukkan dengan jelas bahwa kita boleh bertanya apakah mungkin Roh tidak lagi memberikan beberapa karunia yang telah disebut satu per satu di dalam Perjanjian Baru, atau masih memberikannya tetapi dengan cara yang berbeda, atau dalam ukuran yang tidak sama. Misalnya pertanyaan apakah roh masih memberikan rasul pada zaman ini untuk membangun gereja-Nya?
kebaktian-kebaktian penyembuhan
Allah menyembuhkan. Dan untuk itu Dia mempekerjakan manusia. Itulah kesimpulan yang boleh kita tarik dari firman Allah, kesimpulan yang dapat memberi harapan dan ketenangan kepada orang-orang sakit.
Sekarang pertanyaannya timbul apakah kita perlu mengatur atau menghadiri kebaktian-kebaktian penyembuhan yang khusus. Apakah orang sakit disarankan untuk menghadirinya?
Apakah seorang Kristen yang sakit harus dinasihati minta tolong kepada seorang yang, menurut kata orang, memiliki karunia untuk menyembuhkan orang?
Buku ini ditulis dalam periode ketika kebaktian-kebaktian penyembuhan dikunjungi orang dengan berbondongbondong. Dengan berkobar-kobar orang sakit diundang dan didorong untuk datang mengunjungi kebaktian-kebaktian penyembuhan.
Semua itu melahirkan perhatian yang seru dalam media. Berbagai kesaksian beredar tentang orang-orang yang disembuhkan dalam kebaktian-kebaktian seperti itu.
Pertanyaan yang timbul ialah ini, apakah hal itu sesuai dengan Alkitab? Bolehkah atau haruskah kita melakukannya? Dan apakah kesembuhan itu mutlak dan untuk selamanya?
Meskipun pertanyaan yang terakhir itu boleh jadi yang paling penting bagi si sakit, tetapi dalam diskusi teologis jawabannya seyogyanya tidak bersifat menentukan. Sebab, seandainya pun kesembuhannya mutlak, bukankah itu belum membuktikan bahwa cara memperolehnya bertanggung jawab di hadapan Allah? Metode mana yang telah dipakai? Dan dari sumber manakah asalnya? Bukan pengalaman penyembuhannya, melainkan firman Allah sendiri adalah tolak ukur dan pedoman bagi iman dan perbuatan kita.
Di bawah ini yang pertama-tama dibahas ialah hal pengolesan minyak terhadap orang sakit. Kemudian kita akan membicarakan berbagai praktik dan latar belakang kebaktian-kebaktian penyembuhan dan orang-orang yang mengklaim karunia roh untuk menyembuhkan (tabib pendoa).
Yakobus 5 dan pengolesan minyak terhadap orang sakit
Dalam Yakobus 5: 14-16a kita membaca: ”Kalau ada seseorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu, hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”
Di sini dengan jelas diberikan sebuah janji: doa yang penuh iman akan menyelamatkan orang sakit itu.
Berdasarkan naskah itu, maka semakin banyak orang, juga dari gereja-gereja yang Reformasi, mendesak agar ritual pengolesan minyak terhadap orang sakit dilakukan (lagi). Ada kalanya seorang pendeta atau anggota majelis gereja diminta oleh orang sakit atau keluarganya untuk melakukan pengolesan minyak itu. Dan ada kalanya, permintaan itu diajukan untuk seorang yang sedang menghadapi maut, dengan harapan agar dia dapat meninggal dengan tenang dan damai. Kadang-kadang di balik permintaan itu, ada pengharapan bahwa si sakit akan sembuh setelah didoakan dan diolesi dengan minyak.
Mengenai penafsiran naskah ini sudah sering terjadi perdebatan yang seru. Berdasarkan kata Yakobus ini maka tradisi Katolik Roma telah mendasarkan sakramen khusus untuk orang yang sakit dan yang sudah sangat kritis keadaannya, yaitu sakramen ”Pengurapan Terakhir”, salah satu dariRitus-Ritus Terakhir. Kaum reformasi menolak ritus yang terakhir itu, sehingga hilang dari tradisi Reformasi. Soalnya, apakah tradisi Reformasi ini sesuai dengan firman Allah? Apakah petunjuk Yakobus di sini tidak sangat jelas?
Tiga pendapat yang berbeda
Berikut ini kami menggambarkan tiga pendapat yang saling berbeda tentang naskah itu.
Pendapat yang pertama merohanikan seluruh bagian naskah itu. Menurutnya, yang dimaksudkan dalam naskah itu bukan penyakit jasmani, melainkan kelemahan dan dosa yang bersifat rohani (a).
Pendapat yang kedua melihat dalam naskah itu sebuah tugas bagi para penatua jemaat. Menurutnya, juga pada zaman ini, mereka harus mengunjungi para anggota jemaat yang sakit, berbicara dengan mereka tentang kemungkinan adanyadosa-dosa, berdoa dengan mereka dan (atas permintaan mereka) mengolesi mereka dengan minyak sambil menyerukan nama Allah (b).
Pendapat yang ketiga mengetengahkan gagasan bahwa kata ”penatua” di sini menunjuk kepada kelompok yang sangat spesifik, yaitu para tua-tua dan para rasul yang mula-mula, yang dalam gereja pertama menerima tugas dan wewenang khusus untuk mengolesi orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka. Kelompok spesifik itu hanya hidup pada masa pertama gereja itu (c). Mari, kita meneliti pendapat a, b dan c itumasing-masing, sebagai berikut ini.
a. Bukan penyakit melainkan dosa
Menurut pendapat pertama kita harus merohanikan seluruh bagian naskah Yakobus itu secara konsekuen. Jadi menurut mereka: ”orang yang sakit” (astheneoo) berarti ”orang lemah”, dalam arti rohani ia kurang kuat untuk melawan dosa. Sebab itu, para penatua harus datang membantunya dengan doa dan dengan pengolesan minyak sebagai tanda pemberian kekuatan oleh Roh Kudus. Maka doa yang penuh iman itu akan ”menyelamatkan” orang yang ditimpa kelemahan itu dari kebinasaan, dan Tuhan akan membuat dia kuat lagi. Dan seandainya dia telah berbuat dosa, maka ”dosanya akan diampuni”. Sebab itu, langsung sesudah ayat 15 terdengar seruan untuk saling mengaku dosa, ”supaya kamu sembuh” (maksudnya supaya kamu menerima pengampunan).
Memang benar bahwa ”dosa” dan ”pengampunan” di dalam Alkitab disebut secara kiasan sebagai ”penyakit” dan ”penyembuhan” (mis. dalam Mat. 9:12). Meskipun begitu, penjelasan itu kurang wajar, mengingat kenyataan bahwa naskah ini berisi banyak kata yang secara bernada medis (sakit, mengolesi dengan minyak, menderita, menyembuhkan).
b. Tugas untuk para penatua
Ada juga teolog-teolog yang makin setuju dengan ide bahwa juga di dalam gereja-gereja tradisi Reformasi ritual pengurapan dengan minyak harus dipulihkan. Mereka menjelaskan bahwa dalam ayat-ayat ini Yakobus menasihati orang sakit supaya mengundang para penatua supaya datang. Yang dimaksudkan ialah penatua seperti mereka yang diangkat dalam semua jemaat. Merekalah yang harus mengolesi si sakit dengan minyak.
Pengolesan minyak dapat mengacu tindakan sehari-hari, yaitu sebagai perawatan tubuh biasa (Mat. 6:17; Luk. 7:46), yang juga sering dilakukan dengan tujuan medis, di mana minyaknya dianggap sebagai obat untuk mengurangi rasa nyeri dan untuk menyembuhkan (bdk. Yes. 1:6; Luk. 10:34). Namun, pengolesan minyak juga dapat mengandung arti keagamaan, yaitu sebagai lambang darma bakti kepada Allah dan kepada pekerjaan Roh Kudus (bdk. Mis. Kel. 29; Im. 14 dan 21; 1Sam. 16:13).
Selain itu, yang harus terutama dilakukan para penatua ialah berdoa untuk si sakit. Doa yang penuh iman akan menyembuhkan si sakit dan Allah akan membangkitkan dia dari pembaringannya. Seandainya ada dosa yang belum diakui (dan yang mungkin ikut mengakibatkan penyakit itu?), maka dosa itu akan diampuni sesudah diakui dan didoakan, supaya kesembuhannya menyusul.
Pada penjelasan ini masih mengganjal beberapa pertanyaan.
Pertama-tama: istilah ”mengolesi dengan minyak”, yang dipakai di sini menunjuk kepada kebiasaan sehari-hari untuk memakai minyak, dan itu berbeda dengan suatu kata lain yang dalam Alkitab dipakai untuk pengurapan dengan minyak secara ”rohani”.
Selain itu: mengapa di dalam semua catatan mengenaitugas-tugas yang diberikan oleh Paulus dalam surat-suratnya kepada para penatua, tidak ada keterangan bahwa mereka mendapat tugas dan wewenang untuk menggunakan cara mengolesi dengan minyak dan berdoa seperti itu bagi orang sakit?
Dan juga: bagaimana ayat ini akan dapat menjanjikan di sini bahwa si sakit akan sembuh? Apakah pengampunan dosa selalu dan pasti disusul oleh kesembuhan secara langsung? Dan kalau kesembuhan itu tidak terjadi, apakah mungkin si sakit juga tidak diberikan pengampunan?
Dan: mengapa di dalam Perjanjian Baru ada hamba-hamba Tuhan yang tidak sembuh dari penyakit mereka? Bukankah mereka semua pada akhirnya meninggal dunia, seperti semua orang? Melalui kesakitan tubuh?
Sebuah jawaban yang indah atas pertanyaan yang terakhir itu berbunyi: ”menyembuhkan” (sooizoo) dan ”membangkitkan (eigeroo) adalah kata-kata dengan dua arti. Kata untuk ”menyembuhkan” (sebagaimana BIMK menerjemahkan sooizoo) dapat juga berarti ”menyelamatkan” (sebagaimana diterjemahkan TB). Dan eigeroo dapat berarti ”membangkitkan” dan juga ”memulihkan” (TB: ”membangunkan”) Maksudnya bangkit dari kematian (jadi tidak sembuh dari kesakitan melainkan mati lalu bangkit dalam kehidupan kekal). Diperkirakan bahwa Yakobus dengan sengaja memakai kata-kata itu untuk menjamin penghiburan sejati, yaitu entah sekarang sudah ada kesembuhan di bumi ini, entah nanti di surga melalui kematian.
Pada kenyataannya, itu adalah kebenaran yang sangat dalam.
Allah akan menyembuhkan segala penyakit kita. Dia sendiri menentukan waktunya dan caranya kesembuhan itu terjadi.
Sebenarnya keterangan ini sangat menarik dan mirip dengan sakramen Katolik Roma. Sakramen itu menjamin penghiburan pada saat meninggal dunia, dan sekaligus menandai janji Allah bahwa kita akan hidup sesudah kematian. Mungkin gereja-gereja Protestan dapat merenungkan kemungkinannya kembali, sebab pada awal kehidupan ada sakramen baptisan, selama hidup di bumi ini ada sakramen Perjamuan Kudus, dan mengapa pada akhir kehidupan di bumi ini tidak juga ada sakramen yang memperlihatkan penyelamatan justru pada saat yang nyeri berat itu?
c. Para penatua dalam jemaat yang mula-mula, yang menerima wewenang khusus
Penafsiran yang ketiga dengan tegas memperhitungkan kemungkinan bahwa surat Yakobus telah ditulis pada zaman yang paling dini, barangkali surat itu yang pertama pada zaman rasuli.
Dr. J. van Bruggen memperkirakan bahwa waktu penulisannya ialah dalam periode Kisah Para Rasul 8 dan 9, zaman diaspora, pada waktu jemaat di Yerusalem telah bercerai-berai akibat penganiayaan, dan menyebar ke seluruh Palestina dan Siria.
Kepada merekalah Yakobus menulis surat edaran ini.
Kejadian itu berlangsung dalam periode pertama, yaitu ketika Injil masih diberitakan kepada orang-orang Yahudi saja (Kis. 2-9).
Di dalam dan di sekitar Yerusalem terdapat sekelompok besar ”tuatua”, yang sebagai golongan saleh diakui di samping para rasul sebagai tua-tua Yerusalem” (bdk. mis. Kis. 15, TB: ”penatua-penatua”, BIMK: ”pemimpin-pemimpin”). Tokoh-tokoh periode mula-mula ini, sangat dihormati sebagai saksi mata dari kehidupan Yesus di bumi, dan mereka sangat berpengaruh. Besar kemungkinannya bahwa penulis surat ini, Yakobus, sendiri termasuk kelompok itu atau bahkan memimpinnya sebagai pemimpin jemaat pertama di Yerusalem.
Siapakah para tua itu? Kita teringat misalnya kepada ke-120 orang yang pada hari Pentakosta sedang berkumpul bersama (Kis. 1: 15), atau kepada ke-500 orang yang sedang berhimpun ketika Yesus menampakkan diri sesudah kebangkitan-Nya; kebanyakan dari mereka masih hidup beberapa waktu kemudian (1Kor. 15: 6).
Di antaranya (sebagai kelompok tertentu) terdapat ke-12 rasul, tetapi juga ke-70 (atau ke-72) rasul lainnya (bdk. 1Kor. 15: 7). Tentang ke-12 rasul, dan juga tentang ke-70 rasul yang lain itu, Alkitab mencatat bahwa Tuhan Yesus telah mengutus mereka dengan tugas supaya memberitakan Injil. Tugas itu juga disertai wewenang untuk mengolesi orang sakit dengan minyak (!, Mrk. 6: 13-15) dan menyembuhkan (juga Mat. 10: 7-8; Luk. 10: 1,8-9). Jadi, sebelum Yesus naik ke surga, di tanah Yahudi itu sudah ada lebih dari 80 rasul yang telah diutus oleh Yesus sendiri secara khusus, dan yang telah diberi-Nya wewenang-wewenang yang luar biasa itu. Dan beberapa saat sebelum Yesus naik ke surga, kekuatan yang sama untuk menyembuhkan itu juga telah dijanjikan Yesus kepada para rasul untuk periode pertama sesudah Pentakosta (Mrk. 16: 17-20).
Jadi, ketika Yakobus mengirim surat ini kepada jemaat yang terdiri dari orang-orang Kristen Yahudi yang tersebar di seluruh tanah Yahudi (karena melarikan diri dari Yerusalem) maka yang dimaksudkannya dengan ”para tua-tua jemaat” itu, ialah kumpulan orang-orang yang mula-mula itu. Mereka merupakan kelompok khusus, yang berbeda dengan para penatua di dalam jemaat-jemaat kemudian hari. Para penatua jemaat masa kini lain tugasnya, lain wewenangnya, lain posisinya. Mereka tidak termasuk kelompok pertama itu, yang sebagai saksi mata dan telinga telah memiliki tugas khusus dalam sejarah gereja.
Penatua-penatua masa kini tidak secara otomatis juga menerima wewenang untuk menyembuhkan orang melalui pengolesan dengan minyak.
Maka penjelasan Yakobus 5 sesuai pendapat ini ialah sebagai berikut: barang siapa yang pada waktu itu sakit di kalangan jemaat diaspora di Palestina, boleh harap kelompok tua yang mula-mula itu dan minta mereka datang. Karena mereka telah menerima dari Yesus sendiri wewenang untuk mengolesi orang yang sakit dengan minyak, dan menyembuhkan mereka.
Sebuah contoh yang bagus dari hal ini terdapat dalam Kisah Para Rasul 9: 36. Ketika Tabita jatuh sakit dan meninggal dunia, para murid dalam jemaat itu tidak mencoba melakukan sesuatu sendiri dengan doa dan penyembuhan. Melainkan mereka meminta pertolongan dari seorang tua yang juga merangkap rasul, yaitu Petrus. Mereka mengundangnya secara khusus supaya datang dari Lida. Rupa-rupanya karena mereka sadar bahwa tidak sembarang orang dapat atau boleh melakukan sesuatu, kecuali orang yang telah menerima tugas atau wewenang untuk melakukannya.
Keberatan terhadap pendapat ini ialah bahwa ungkapan ”para penatua jemaat” diruncingkan kepada satu kelompok penatua yang tertentu, yang dilihat dari sudut sejarah adalah kelompok unik yang setelah mereka semua meninggal (abad pertama) tidak ada lagi dalam sejarah gereja.
Namun, yang menarik dari penjelasan ini ialah bahwa Yakobus 5 dengan nyata ditempatkan dalam kerangka yang jelas-jelas historis, dalam konteks khususnya. Itulah cara eksegesis yang paling wajar. Tambah pula, kini dapat dimengerti mengapa tua-tua yang khusus ini tampaknya memiliki wewenang, yang selanjutnya tidak dijumpai di mana-mana dalam surat-surat para rasul yang kemudian. Lagi pula janji penyembuhan, yang diberikan Yakobus di sini, telah diperlakukan dengan benar, sehingga pembaca tidak menduga-duga tentang pemenuhan janji itu. Sebab pemenuhan itu memang sudah terjadi pada abad pertama itu!
Kesimpulan
Melihat ketiga keterangan di atas, ternyata penjelasan mengenai Yakobus 5 bisa disanggah, meskipun penjelasan C kelihatannya paling cocok dengan naskahnya, juga dengan konteks historisnya dan dengan keseluruhan Kitab Suci. Dalam hal itu pengolesan minyak terhadap orang sakit yang dibicarakan dalam Yakobus 5, mestinya tidak lagi dilakukan pada zaman sekarang.
Namun, bagi siapa yang tidak dapat diyakinkan oleh penjelasan C, perlu menyadari hal-hal yang berikut ini:
- Dalam Yakobus 5 sama sekali tidak ada pembicaraan tentang seorang yang memiliki karunia-karunia luar biasa untuk menyembuhkan, atau tentang seorang tabibpendoa. Yang dibicarakan hanyalah para tua (jemaat).Sebab itu, bagian naskah Yakobus 5 ini bagaimanapun tidak dapat berfungsi sebagai penunjang dan pembenaran bagi metodik-metodik yang dipakai oleh orang-orang yang berusaha menyembuhkan orang sakit melalui doa, dan juga sama sekali tidak di dalam banyak kebaktian penyembuhan.
Kebaktian-kebaktian penyembuhan
Kita beralih dari praktik pengolesan minyak terhadap orang sakit kepada kebaktian-kebaktian penyembuhan. Ada kalanya kebaktian seperti itu diadakan dalam jemaat setempat. Dan untuk menarik perhatian masyarakat, sering hal itu diumumkan lewat berbagai media. Di samping itu ada juga orang-orang yang menyembuhkan orang sakit melalui doa (para pendoa penyembuhan). Mereka berkeliling di mana-mana, lalu menyewa sebuah aula yang luas atau bahkan gedung besar yang dipakai untuk kongres, dan di situ mereka mengadakan semacam pertunjukan yang menarik banyak pengunjung. Sering ada juga yang datang dari luar negeri dan yang paling terkenal (misalnya Benny Hinn, Creflo Dollar, Joyce Meyer, Kenneth Coopeland, T.B. Yoshua, dsb. Di Indonesia ada juga banyak kebaktian khusus untuk mengatur penyembuhan, misalnya dalam KPPI, Kebaktian Pemujian dan Penyembuhan Ilahi).
Praktik kebaktian-kebaktian penyembuhan
Pernah kami menghadiri sebuah kebaktian yang dipimpin oleh penyembuh ilahi yang sangat terkenal. Berikut ini ada laporan singkat mengenai kebaktian itu yang diadakan pada Sabtu malam.
Sekitar 250 orang hadir dalam ruangan itu. Dan pada pukul 19.00 acara dimulai dengan banyak nyanyian. Hampir semuanya adalah nyanyian pembangkitan semangat, yang diiringi dengan musik yang bagus. Yang menarik ialah bahwa beberapa nyanyian dibawakan oleh tiga gadis cantik dengan busana yang ketat dan berwarna perak mengkilat. Mereka bernyanyi sambil menari dan melambai-lambaikanbendera-bendera kecil.
Acara menyanyi itu berlangsung lama, sekitar setengah jam. Dan baru setelah itu, sang pelayan utama maju ke depan. Ia menyambut kedatangan hadirin, berdoa, membaca dari Alkitab, lalu berkhotbah (isinya ialah bahwa penyakit didatangkan oleh roh jahat karena Allah tidak menghendaki bahwa anak-anak-Nya sakit). Semua itu berkali-kali diselingi dengan nyanyian-nyanyian.
Sesudah itu dia berbicara panjang lebar tentang segala rencananya, di antaranya untuk mempersiapkan beberapa turne dan untuk menerbitkan serta mengedarkan majalah berwarna. Semua itu memerlukan banyak uang. Dia mendesak dengan sangat supaya hadirin rela memberi sumbangan untuk kepentingan Kerajaan Yesus Kristus. Dan cara yang menurutnya paling baik ialah dengan mengisi sebuah formulir kesediaan menjadi penyumbang bulanan. Formulir-formulir itu sudah dibagi-bagikan kepada para pengunjung pada saat memasuki ruangan.
Sesudah pengumpulan kolekte, seorang pengkhotbah dari luar negeri diminta tampil ke depan, dan dia juga memberi kata-kata sambutan. Kemudian para hadirin dipanggil supaya maju ke depan untuk menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan. Sekitar empat orang memenuhi panggilan itu. Si pelayan berdoa dengan mereka, lalu memberi berkatnya sambil meletakkan tangannya di kepala mereka.
Sementara itu banyak hadirin keluar masuk ruangan.
Beberapa di antara mereka kelihatan tegang, atau tampak sakit.
Aku sendiri mulai lelah karena harus duduk begitu lama.
Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 lewat, ketika acara penyembuhan dimulai. Kamera video pun dipasang, dan aku menyaksikan bagaimana empat orang sakit berturut-turut menjalani tindakan penyembuhan itu. Setiap kali si pelayan bertanya lebih dahulu apakah mereka percaya kepada Yesus Kristus dan apakah mereka telah menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan. Sesudah itu dia menanyakan penyakit yang mereka derita, lalu menyentuh bagian tubuh yang sakit itu, atau meletakkan tangannya di kepala mereka. Apabila pertanyaan ”percayakah kita bahwa Allah dapat menyembuhkan Anda”, dijawab dengan ya, maka ia mulai berdoa dengan sangat nyaring, lalu dengan nada memerintah menyuruh roh yang mengakibatkan penyakit itu supaya segera keluar. Berulang kali diulanginya kata-kata ”dalam nama Yesus”, sementara dari dalam ruangan pun terdengar banyak orang ikut menggumam kata-kata itu. Di belakang tiap pasien berdiri seorang pria yang siap menopang si sakit apabila dia terjatuh.
Di antara para pasien itu terdapat seorang wanita yang menderita sakit perut yang menahun. Juga seorang pemuda yang selalu merasa tegang dan sangat sulit untuk memusatkan pikirannya. Ada pula seorang bocah laki-laki berumur sekitar 10 tahun, yang bersama-sama ibunya maju ke depan. Meskipun anak itu dapat berjalan, tetapi ibunya mengatakan bahwa akibat sebuah penyakit otot, kakinya sangat lemah. Si pelayan mendoakan anak itu dengan nada memerintah. Kemudian dia berkata kepada anak itu: ”Ayo nak, berjalanlah, berlarilah, dalam nama Yesus! Ayo, turunlah dan larilah melintasi ruangan.”
Ketika anak itu ragu-ragu, ia mendorongnya sedikit. Kemudian si anak memang berlari-lari kecil melintasi ruangan itu dan kembali lagi ke depan. Hadirin bertepuk tangan dan banyak yang mengucapkan ”haleluya”. Setelah itu anak itu, seperti juga pasien-pasien sebelum dia, segera dibawa keluar ruangan oleh anggota panitia.
Aku sendiri pulang ke rumah pada pukul 22.30. Jadi aku tidak tahu berapa pasien yang kemudian menyusul, dan berapa lama kebaktian itu masih berlangsung. Bagiku, yang sebelumnya telah mengadakan perjalanan jauh dari rumah, kebaktian itu yang berlangsung dua setengah jam, tanpa istirahat atau minum seteguk pun, terasa sangat melelahkan.
Aku pun bertanya dalam hati, bagaimana keadaanorang-orang yang sakit itu setelah begitu lama harus menunggu giliran untuk disembuhkan, dan apakah akibat kelelahan itu bagi mental mereka. Aku juga tidak mengerti mengapa panitia tidak memperhitungkan hal itu melihat para orang sakit itu yang hadir. Saya kira, daya tahan para orang sakit yang hadir itu telah sangat berkurang setelah satu jam kebaktian.
Banyak sekali kisah yang beredar tentang kebaktian-kebaktian penyembuhan seperti itu. Juga banyak sekali cerita diedarkan melalui media (misalnya Youtube) dengan kesaksianorang-orang yang telah sembuh. Sudah pasti ada orang-orang yang disembuhkan dalam kebaktian-kebaktian seperti itu. Ada juga banyak orang yang sakit kanker dan yang tidak sembuh. Dan di dunia Afrika misalnya, semua pelayan-pelayan penyembuhan yang besar (seperti T.B. Yoshua) tidak bergerak ketika penyakit ebola mematikan banyak sekali orang di regio itu.
Ada situasi-situasi di mana orang sakit, atau orang tua darianak-anak kecil yang sakit, didesak oleh lingkungan mereka supaya menghadiri KPPI atau mengadakan pertemuan penyembuhan di rumah-rumah mereka. Kalau mereka enggan menuruti nasihat itu dan memilih untuk tetap berdoa dengan tekun di rumah dan dalam ibadah hari Minggu di gereja, maka sebagai akibat, biasanya timbul perasaan bersalah dalam hati mereka. Jangan-jangan mereka telah menutup diri terhadap kesempatan-kesempatan yang telah diberikan oleh Allah. Dan memang hal itu sering dituduhkan kepada mereka. Ada kalanya juga rasa bersalah itu timbul setelah melihat kekecewaan para penasihat karena ajakan mereka ditolak. Apakah akibat kesalahanku, maka aku tidak akan sembuh, atau anakku akan meninggal? Apakah aku kurang berharap? Apakah aku telah menutup diri terhadap tugas-tugas yang diberikan Tuhan?
Sebelum kita beralih pada penilaian terhadapkebaktian-kebaktian penyembuhan dan cara bertindak para pelayan penyembuhan, kami sekali lagi mengingatkan kita pada rasa bingung dan panik, yang bisa timbul akibat suatu penyakit.
Bayangkan saja bahwa kita sendiri yang sakit parah dan tak punya harapan akan sembuh lagi. Atau bahwa kita sendiri harus melihat penderitaan anak kita yang didera penyakit parah. Boleh jadi karena rasa putus asa yang mendalam, kita akan menghadiri sebuah kebaktian penyembuhan. Siapa orangnya yang tidak akan memahami tindakan itu?
Keberatan-keberatan terhadap kebaktian-kebaktian penyembuhan
1. Si sakit harus menyadari benar bahwa dia sendiri bertanggung jawab atas kekuatan imannya. Tekanannya diletakkan dengan kuat pada iman yang harus ada pada si sakit. ”Asal kita percaya, kita pasti sembuh.” Dengan demikian secara keliru tekanannya diletakkan pada iman sebagai tenaga di dalam diri kita sendiri.
Pesan itu dapat merusak iman kepercayaan si sakit. Dalam hatinya dapat timbul rasa takut, apakah imanku cukup besar? Atau sesudahnya si sakit dapat mencela dirinya sendiri, atau bahkan timbul kesangsian yang mendasar, mungkin imanku dan iman lingkunganku kurang kuat, mungkin kami kurang tekun berdoa.
Bagaimanapun, si sakit terancam untuk disuruh bertanggung jawab atas dirinya sendiri, alih-alih mencari perlindungan kepada Kristus.
Banyak orang Kristen mengenal Joni Eareckson, wanita Kristen Amerika yang sangat terkenal. Bukunya Hikmat Seumur Hidup juga diterbitkan di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Ketika dia masih seorang remaja berusia 17 tahun, dan hendak berenang, dia terjun dari ketinggian ke dalam air yang dangkal. Akibatnya lehernya patah, dan dia mengalami kerusakan pada sumsum tulang belakangnya. Joni pun mengunjungi kebaktian seorang yang dikenal dapat menyembuhkan orang sakit melalui doa. Di situ dia diberi tahu bahwa semuanya tergantung dari imannya sendiri. Inilah laporannya: ”Memang, yang menjadi pokok ialah imanku aku harus mengembangkan imanku, dan berusaha agar iman itu indah dan terlatih dan berada dalam kondisi yang paling sempurna. Aku percaya dengan sungguh-sungguh!
Meskipun begitu kedua tangan dan kedua kakiku sama sekali tidak bereaksi.” Akibat kekecewaan itu dan karena penyakitnya tidak kunjung sembuh, dia menjadi depresif. Pada suatu hari dia ditelepon seorang wanita yang mengatakan bahwa dia telah menerima penyataan dari Tuhan tentang Joni. Dan isinya ialah demikian, ”Anak-Ku, dosamu menjauhkan karya penyembuhanKu. Depresi yang kau alami menghalang-halangi persekutuan-Ku denganmu.” Joni mengatakan, ”Banyak penggemarkebaktian-kebaktian penyembuhan itu menganggap iman sebagai tali yang harus kita tarik dan dengan pengharapan yang sesuai dengan pengharapan kita, supaya Allah berkarya. Dengan cara itu kita seakan-akan membuat Allah menjadi boneka yang digerakkan dengan tali.”
2. Kerugian rohani lain yang dialami si sakit dan lingkungannya. Kebaktian-kebaktian penyembuhan merenggut ketenangan si sakit untuk memusatkan hatinya sepenuhnya kepada Tuhan Allah sendiri. Pribadi si penyembuh itu memaksa masuk di antara Tuhan dan si sakit. Hal itu dapat juga terjadi karena ulah para penganjur kebaktian-kebaktian penyembuhan. Kerusakan sudah mulai dengan rasa bersalah yang timbul di hati orang-orang yang menolak ajakan mereka, aku pasti kurang membuka diri, jangan-jangan salahku sendiri nanti kalau penyakitku ini tidak sembuh... Selanjutnya kerugian rohani dapat terjadi sebagai akibat tekanan yang kadang-kadang dilakukan kepada si sakit dan lingkungannya. Harapan akan sembuh yang diberikan terlalu berlebih-lebihan, dapat menimbulkan rasa kecewa dan kekesalan hati yang mendalam apabila kesembuhan itu tidak kunjung datang, juga rasa malu, rasa bersalah, rasa putus asa dan tindakan mencela diri sendiri. Karena si sakit harus dibawa-bawa ke kebaktian-kebaktian penyembuhan yang kadang-kadang diadakan di tempat-tempat yang jauh, maka si sakit direnggut ketenangannya untuk berpaling kepada Allah sendiri dan minta kesembuhan kepada-Nya. Dan yang juga direnggut ialah ruang untuk memusatkan diri (mungkin juga sebagai keluarga) pada penyakit itu, dan mempersiapkan diri secara rohani untuk kemungkinan bahwa tak lama lagi si sakit akan kembali ke pangkuan Tuhan, dan menghadapi serta rela menerima kemungkinan itu dalam iman.
3. Pesan yang menyesatkan. Dalam kebaktian-kebaktian penyembuhan sering diberitakan pesan yang menyesatkan mengenai beberapa pokok. Pesan yang pertama ialah seruan yang tidak disertai keterangan yang jelas, bahwa Allah tidak menghendaki penyakit. Kalau meskipun begitu, seorang jatuh sakit juga, maka itu diakibatkan oleh dosa dan barangkali juga oleh kuasa roh-roh jahat. Yesus memberi kesembuhan kepada setiap orang yang memiliki iman untuk disembuhkan. Barang siapa benar-benar percaya, tidak hanya minta kesembuhan kepada Allah, tetapi mengklaim penyembuhan yang telah dijanjikan oleh Allah. ”Hai roh jahat yang membawa penyakit ini, aku memerintahkan engkau untuk keluar dari wanita ini, dalam nama Yesus.” Kalau dia tidak sembuh, makapenyebab-penyebabnya mungkin ialah: ketidakpercayaan, kesangsian, kekerasan hati si sakit atau suami/ istrinya atau anggota keluarga lain untuk melepaskan dosa tertentu, dst.
Pesan-pesan seperti itu dapat disanggah dengan banyak alasan. Memang benar bahwa dalam beberapa situasi, Allah mengadakan hubungan antara dosa dan penyakit, misalnya dalam 1 Korintus 11:30 dan Yohanes 5:14. Namun, bagaimana sifat hubungan itu, tidak mudah dikatakan. Akan tetapi, yang sangat jelas ialah jawaban yang diberikan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya.
Ketika mereka melihat seorang laki-laki yang buta sejak lahirnya, mereka bertanya, ”Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: ”Bukan dia dan bukan juga orang tuanya” (Yoh. 9:2,3). Kalau kita mengatakan tanpa bukti-bukti bahwa ada hubungan antara penyakit dan sebuah dosa yang diasumsikan, kita melakukan dosa yang sama seperti para sahabat Ayub, orang yang paling benar di dunia, yang meskipun begitu menjadi sakit parah...
Dosa para ”sahabat” itu bukan hanya karena mereka sangat kejam terhadap Ayub. Murka Allah terutama berkobar terhadap mereka karena mereka telah berbicara secara keliru tentang Allah (Ayb. 42:7). Dosa mereka ialah kesombongan yang luar biasa.
Mereka bertindak sombong sebagai manusia yang sama sekali tidak ada artinya, dan dengan akal budi yang gelap. Mereka memberanikan diri untuk memberi ceramah tentang seluk beluk kebijakan Allah. Dengan pongah mereka menjelaskan apa yang telah menggerakkan Yang Mahakuasa yang bertakhta di surga yang mahatinggi itu, sehingga Dia menghajar Ayub dengan penyakit dan penderitaan. Alasan itu ialah jelas bagi mereka: dosa yang tersembunyi di dalam hidup Ayub! Nah, dosa para ”sahabat” Ayub itulah yang juga dilakukan pada zaman ini oleh banyak orang yang mengklaim menyembuhkan melalui doa, beserta para penganjur mereka.
Apakah tidak mungkin ada hubungan antara penyakit dan dosa? Tentu saja mungkin. Penyakit jantung danpembuluh-pembuluh darah dapat menimpa orang yang secara sadar terusmenerus dan tanpa terkendali menjalankan pola hidup, pola kerja dan pola makan yang keliru. Cacat yang selama-lamanya harus disandang akibat kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kemabukan. Demikian pula, ketegangan, dan batin yang dirongrong rasa pahit, kesulitan tidur dan gejala-gejala penyakit lain, kadang-kadang mempunyai penyebab yang lebih dalam, yang berkaitan dengan kebencian atau sebuah dosa yang belum diakui (bdk. Mzm. 32:3-5). Namun, yang berhak untuk menghubung-hubungkan penyakit dan dosa itu, khususnya dan pertama-tama ialah si sakit sendiri, dan bukan orang luar. Orang lain sekali-kali tidak boleh begitu saja menarik kesimpulan bahwa ada hubungan itu apabila kesembuhan tidak kunjung datang. Memang dalam praktik, penyakit sering dianggap sebagai kesempatan bagi si sakit untuk merenung dan mawas diri. Dan itu benar.
4. Tempat sentral para ahli pendoa penyembuhan. Orang-orang seperti itu mengadakan perjalanan keliling di seluruh negeri, mempromosikan profesi mereka, dan berhasil menarik perhatian banyak orang (dan biasanya juga menarik banyak uang).
Kebaktian-kebaktian yang mereka selenggarakan dibanjiri pengunjung. Nama dan wajah para tabib-pendoa itu menghiasi banyak poster dan majalah. Segala lampu sorot dan kamera diarahkan kepada mereka. Kalau mereka betul-betul ingin tetap bekerja di latar belakang, tak akan pernah mereka mau memakai metode-metode seperti itu. Pada zaman dahulu, para rasul tidak mempromosikan dirinya seperti itu. Bahkan beberapa kali Yesus melarang seorang yang telah disembuhkan-Nya untuk memberitahukan mukjizat itu kepada khalayak ramai. Memang benar bahwa para hamba Tuhan yang melakukan penyembuhan, berkali-kali mengatakan bahwa bukan mereka yang menyembuhkan melainkan Allah. Namun, itu tidak menghapus kenyataan bahwa dalam praktik nama merekalah yang menjadi terkenal. Hampir semua orang pernah mendengar nama Benny Hinn, Creflo Dollar, atau T.B. Joshua. Hal itu tidak terjadi secara kebetulan, sebab mereka sendiri ikut mengusahakan ketenaran itu. Orang-orang sakit semuanya harus kena sentuhan tangan mereka. Meskipun tanpa hentinya terdengar ucapan ”dalam nama Yesus”, tetapi para perantara penyembuhan itu sendiri berada di titik tengah segala perhatian. Dari situ diberi pesan yang jelas:
Allah menyembuhkan, dan untuk itu sebaiknya kita berpaling kepada si perantara ini. Si tabib-pendoa mendesakkan dirinya sebagai medium atau perantara antara Yesus dan si sakit. Dengan bakatnya, dia membentuk mata rantai penghubung yang penting, yang nyaris mutlak diperlukan. Sebabnya bukan hanya karena dia membiarkan dirinya dipimpin oleh firman Allah dalam Kitab Suci, tetapi juga karena dia mengaku telah mendengar suara Allah dalam hatinya sendiri. ”Aku harus menyampaikan pesan Allah ini kepadamu: engkau akan sembuh.”
Namun, kita mengaku bahwa kita hanya mempunyai satu Perantara, Tuhan kita, Yesus Kristus. Kita boleh langsung berpaling kepada-Nya untuk minta tolong. Kita tidak memerlukan seorang pengantara untuk berdoa kepada Tuhan dan minta kesembuhan.
Para tabib-pendoa maju ke depan, dan mengaku dirinya sebagai pengantara. Adapun hal itu dapat juga dilakukan oleh seorang pendeta, atau orang yang ingin membantu atau seorang dokter. Dengan demikian manusia dapat menghalang-halangi pandangan kita sehingga kita tidak dapat melihat Kristus, yang tidak mau disembah di samping orang lain.
5. Suasana dalam kebaktian-kebaktian penyembuhan. Di samping adanya unsur-unsur pertunjukan, sering terdapat juga suasana yang kurang khidmat: teriakan ”dalam nama Yesus” yang diulang ulang tanpa hentinya, akhirnya terdengar sebagai sebuah klise, mantra, ucapan yang terus-menerus dikeluarkan, atau bahkan sebagai makian. Cara berbicara dengan nada yang memaksa, baik terhadap Tuhan maupun kepada orang-orang yang sakit, memancarkan sikap yang keras, yang menuntut. Dan dengan demikian mau tak mau orang-orang yang sakit itu dipengaruhi supaya menuruti kemauan para tabib itu.
6. Jemaat setempat dilampaui. Seandainya Yakobus 5 juga pada zaman ini masih dapat diterapkan pada penyembuhan melalui doa seperti yang kita kenal, maka paling tidak,ketentuan-ketentuan dalam pasal itu harus diperlakukan dengan serius. Si sakit dapat meminta para penatua dari jemaatnya sendiri supaya datang mengunjunginya. Banyak kebaktian penyembuhan sama sekali tidak menghiraukan jemaat setempat. Hal itu menyebabkan juga bahwa harus diajukan pertanyaan-pertanyaan yang penting mengenai wewenang yang dimiliki orang yang mengaku dirinya sebagai tabib-pendoa, dan mengenai pengawasan terhadap dia. Sikap otoriter yang sering terpancar dari mereka, membuat orang khawatir bahwa di baliknya ada penyalahgunaan kuasa dan tindakan memanipulasi. Sehubungan dengan itu, perlu dipertanyakan juga mengapa permintaan sumbangan diberi tempat yang begitu penting dalam kebaktian-kebaktian seperti itu.
Nabi Elisa menolak menerima uang dari Naaman orang Siria yang telah sembuh dari penyakitnya. Dan ketika Yesus menugaskan para rasul supaya antara lain menyembuhkan orang sakit, Dia menambahkan kata-kata ini, ”Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengancuma-cuma.” (Mat. 10: 8). Bukankah pada titik ini, juga contoh tentang Simon si tukang sihir (Kis. 8:18-23) seharusnya mengingatkan kita supaya membatasi diri dalam hal-hal seperti itu?
Apakah sumbernya?
Berdasarkan keberatan-keberatan yang di atas, banyak hal perlu dipertanyakan mengenai kebaktian-kebaktian penyembuhan itu. Mungkin saja beberapa pengalaman dan kesaksian tentang kesembuhan-kesembuhan yang sangat mencolok, tidak dapat begitu saja dipungkiri keasliannya. Namun, sumber kesembuhan-kesembuhan itu harus terus-menerus menjalani pengujian. Ada juga banyak orang sekuler yang mengklaim karunia untuk menyembuhkan. Mereka pasti tidak akan berhasil menarik begitu banyak pengunjung dalam kebaktian-kebaktian penyembuhannya kalau tidak ada kesembuhan-kesembuhan yang dikhayalkan. Pastilah terjadi sesuatu di sana. Namun, apa yang terjadi? Juga ada kuasa-kuasa penyembuhan yang dipraktikkan dalam agama-agama lain, seperti Islam, Hindu, dll.
Tambah pula penyembuhan-penyembuhan yang diklaimtabib-tabib adat-istiadat.
Kita perlu diingatkan dengan sungguh-sungguh pada peringatan-peringatan yang ada dalam Kitab Suci mengenai pokok itu.
Tuhan Yesus mengatakan dalam Matius 7: 22-23 tentang banyak orang (!) yang nantinya akan mengatakan kepada-Nya: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Akan tetapi, Yesus akan mengusir mereka, dan mengatakan: Aku tidak pernah mengenal kamu!
Ketika Yesus berbicara tentang masa depan, Dia mengatakan bahwa akan muncul banyak mesias-mesias dan nabi-nabi palsu, dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mukjizat-mukjizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka akan menyesatkan orang-orang pilihan juga. ”Jika orang berkata kepada kamu: Lihatlah, Mesias ada di sini atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya.... Jadi, apabila orang berkata kepadamu: Lihatlah Ia ada di padang gurun, janganlah kamu pergi ke situ” (Mat. 24: 23-26). Dalam surat-surat yang ditulis oleh para rasul (2Tes. 2:9; 2Tim. 4:3-5), terdengar lagi kata-kata peringatan Yesus itu.
Setelah Roh menyampaikan kata-kata peringatan itu kepada kita, sebaiknya kata-kata itu ikut diperhitungkan dalam keputusan apakah kita akan pergi kepada seorang tabib-pendoa yang membuat promosi bagi pelayanannya, atau padakebaktian-kebaktian penyembuhan ilahi (seperti KPPI).
Apakah yang harus kita lakukan kalau kita jatuh sakit? Atau kalau anak kita sangat kesakitan? Resep yang pertama dan yang paling baik ialah, berdoa kepada Tuhan Yesus, dengan penuh iman bahwa bagi Dia satu kata sudah cukup. Sebab Tuhan dapat menyembuhkan, dan itu sudah pasti. Dia juga menyembuhkan lewat jalan yang kita sebut mukjizat medis (artinya sesuatu yang terjadi yang tidak dimengerti para medis). Yang selalu menjadi pertanyaan ialah apakah Dia mau menyembuhkan aku pada saat ini. Hati kita akan menjadi sangat tenang apabila pertanyaan itu kita letakkan sepenuhnya di tangan Allah.
Sebab itu, hendaklah Anda berdoa. Di rumah, dan di dalam jemaat. Pergunakanlah karunia-karunia untuk menyembuhkan, yang diberikan Allah di lingkungan Anda. Kalau ada seorang dalam jemaat yang memiliki karunia khusus yang dipakainya untuk membangun jemaat, pergilah kepadanya tanpa ragu. Di samping itu, sambil berdoa, jalanilah juga pengobatan medis pada dokter atau di rumah sakit.
Namun, di atas segala-galanya, carilah selalu ketenangan dan keyakinan kita di dalam Allah. Mintalah supaya dalam penyakit ini, Dia berkenan untuk memberikan kepada kita ketenangan dan kepercayaan untuk menyerahkan diri pada pimpinanNya. Mintalah kesabaran dan ketekunan di dalam penderitaan.
Berdasarkan kepercayaan pengakuan iman, bahwa apa pun yang dilakukan Allah, adalah baik. ”Bukan kehendak kami tetapi kehendak-Mu jadilah”.
Yesus sendiri ialah Pengantara kita. Seperti pada waktu Dia ada di bumi, sekarang pun hati-Nya masih penuh iba melihat penyakit dan kelemahan kita. Dan Dia tidak jauh dari kita. ”Aku menyertai kamu, senantiasa...” Jadi, tidak perlu kita mengadakan perjalanan ke luar negeri atau kota yang jauh, dan dengan panik mencari-cari kesembuhan. Tidak perlu Anda naik pesawat terbang atau kereta api. Melainkan lipatlah saja tangan Anda dengan penuh iman, berlututlah dengan khidmat. Akuilah segala dosa Anda di hadapan Tuhan. Dan katakan ini: Tuhan, Engkaulah Tabibku. Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku.
Satu perkataan saja, ya Allah Yang Mahakuasa, sudah cukup!
Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas bersama
1. Apakah sebabnya bahwa pada zaman ini penyembuhan begitu menarik minat umum? Bagaimana penilaian Anda?Drs. K. de Vries (1959) dan Drs. J. van Benthem (1960) adalah pendeta- pendeta Gereja-Gereja Reformasi di Belanda.