5. Mendengarkan Suara-Nya

Berdoa-sambil-mendengarkan relasi Roh dengan Firman oleh Egbert Brink

”Sesudah membaca firman Allah bersama-sama, hendaklah kita berdoa bersama-sama. Undanglah Roh Kudus supaya datang. Taruhlah tangan kita dengan ringan di bahu atau di kepala kita. Jangan merasa takut kalau suasana menjadi sangat hening. Manfaatkan keheningan itu untuk menanggalkan segala pikiran kita dan memusatkan perhatian kita dengan mantap kepada Allah. Hendaknya semuanya memasang telinga untuk saling mendengarkan maupun untuk mendengar suara Allah. Pusatkan pikiran dan hati kita pada apa yang dikatakan oleh Allah dalam doa bersama itu. Perhatikan suara bisikan atau isyarat yang tidak bersuara. Ada kalanya Allah memberikan sebuah gambaran, sebuah kata, sebuah naskah, sebuah gagasan yang ”kebetulan”. Tetaplah waspada, dan lihat apa yang akan terjadi. Kalau kita semua berdiam diri di hadapan Allah, dan sesudahnya saling menanyakan apa yang telah kita lihat masing-masing, dan apa yang telah kita pikirkan, lalu ada banyak persamaan dalam jawaban-jawabannya, maka itu berarti bahwa Roh telah memimpin doa itu.” Tulisan di atas dikutip dari pedoman sebuah ”Ministry-course” yang mengajar cara berdoa yang disebut pelayanan doa, yaitu berdoa bersama-sama dengan keinginan untuk langsung dan secara jelas menerima petunjuk dari Allah sebagai jawaban yang konkret.

Dalam bab di bawah ini saya juga menggunakan buku karangan Leanne Payne ”Listening Prayer”.

1. Penyampaian doa itu dan latar belakangnya

Pelayanan doa profetik

Saran-saran di atas itu akan kita peroleh kalau kita mengakui kegiatan ”berdoa-sambil-mendengarkan-suara Tuhan” atau ”doa profetik”. Yang penting dalam doa ini ialah mendengarkan suara Tuhan, yaitu berdoa penuh keinginan agar dalam doa yang dinaikkan, kita tidak terus berbicara sendiri, tetapi Allah mulai ”berbicara” kepada kita dalam suasana yang hening. Kita mengambil sikap mendengarkan dengan menanggalkan segala pikiran, dan dengan membuka diri, serta mengarahkan seluruh perhatian dengan mantap kepada Dia. Saya mulai menggambarkan cara berdoa melalui pertanyaan-pertanyaan. Sesudah itu kita akan membahasnya secara teliti, sambil mengkritik metode doa ini, sebab menurut saya tidak sesuai Alkitab.

- Bagaimana caranya melayani doa syafaat profetik, dan bagaimana sikap orang pada waktu melakukannya?

Roh Kudus diundang untuk menyatakan diri, setelah firman Allah dibaca dan direnungkan. Allah sudah dimuliakan dan dikagumi dalam doa dan kidung. Kemudian dalam suasana yang hening, Allah dicari kehadiran-Nya dan diminta supaya berbicara. Mendengar suara Allah, bukan suatu hal yang terjadi dengan begitu saja. Untuk itu kita harus mempersiapkan diri lebih dahulu. Anda harus berdoa di dalam kuasa Roh. Dalam hal itu, yang pertama-tama diperlukan ialah pengharapan: Anda harus merasa yakin bahwa Roh pasti akan datang kalau kita mengundang Dia. Undangan itu didasarkan kepada janji Tuhan Yesus, bahwa Dia akan memberikan Roh Kudus kalau kita meminta-Nya dari Dia (Luk. 11:13). Selanjutnya harus ada pula kesediaan untuk menunggu. Jangan takut akan suasana yang sangat hening; Roh membiarkan Anda menunggu Dia. Dia minta kewaspadaan, konsentrasi, dan sikap yang mendengarkan.

- Bagaimana Allah menyatakan diri kepada mereka?

Allah bisa memperdengarkan kehadiran-Nya melalui suara bisikan dari alam bawah sadar. Dapat juga Anda menerima isyarat tanpa suara, sebuah ilham, sebuah gambaran yang konkret, gagasan yang mencuat ke depan, atau wawasan yang baru. Orang-orang yang pernah mengalaminya, sering menakjubi apa yang muncul di dalam hati mereka, sesuatu yang tak mungkin dapat mereka pikirkan sendiri.

- Mengapa hal itu disebut pelayanan doa?

Karena bukan hanya Anda sendiri yang mendapat manfaat dari ilham yang diterima dari Allah itu, melainkan Anda juga dapat membaginya dengan orang lain. Sebab ada kemungkinan bahwa secara sangat konkret Allah hendak mengatakan sesuatu melalui Anda kepada atau mengenai orang yang sedang berdoa bersamasama dengan Anda. Misalnya, dua orang sedang berdoa dengan orang yang ketiga, dan ketika berdoa, mereka masing-masing secara terpisah menerima sebuah pesan atau gambaran yang sama. Orang dapat juga berdoa untuk saling melayani. Lalu mereka masing-masing menceritakan apa yang menurut pandangan mereka telah ditimbulkan oleh Roh kepada orang yang lain.

Dengan cara berdoa ini mereka mendengarkan suara Allah, dan pada saat yang sama, saling mendengarkan juga, apabila ada yang menceritakan pesan yang telah dibisikkan oleh Allah. Dengan cara ini orang-orang Kristen mencari hubungan yang erat dengan Allah dan sesama mereka.

- Bagaimana mereka mengenali suara Allah?

Untuk itu mereka memerlukan bantuan Roh Allah supaya dapat merasakan apa yang Dia ilhamkan kepada mereka. Mereka harus merasakan adanya ketegangan antara pikiran-pikiran mereka (yang sok tahu) dengan apa yang benar-benar dikatakan oleh Allah. Untuk itu indra pendengaran kita harus dilatih dalam pergaulan yang langsung dengan Allah. Hati dapat diliputi rasa damai sejahtera sebagai tanda bahwa Allah berbicara. Dan kalau tidak, rekan-rekan doa pasti akan berbagi rasa damai dan sejahtera yang mereka alami. Dengan demikian mereka belajar bersamasama untuk memahami suara Allah. Kalau ada persamaan besar di antara pengalaman seorang dan pengalaman orang-orang lain sambil berdoa itu (sesuatu perasaan yang sama, mendengar atau melihat hal-hal yang sama) maka mereka percaya bahwa Roh telah memimpin doa mereka ke arah tertentu. Asal saja, keseluruhannya diuji dengan Alkitab. Pengujian itu adalah persyaratan yang penting di kalangan pelayanan doa seperti itu.

Pergaulan yang langsung

Banyak orang Kristen tidak biasa melakukan doa seperti itu. Pada masa kini cara mencari pergaulan dengan Allah melalui cara ini membuat orang ingin tahu. Akan tetapi, juga menimbulkan berbagai pertanyaan. Apa sebetulnya yang terjadi di balik semua itu? Saya akan mulai pembahasan saya dengan melukiskan latar belakang cara berdoa ini yang mencari kontak dengan Allah, sebagai berikut ini:

Di balik semua ini terdapat keyakinan bahwa Allah tidak hanya berbicara melalui Firman yang tertulis, tetapi juga berbicara langsung kepada anak-anakNya melalui Roh-Nya. Kalau Anda sudah merasa cukup dengan Firman yang tertulis, maka, menurut mereka, sebetulnya Anda merugikan diri sendiri.

Sebab Anda dapat memperoleh jauh lebih banyak dalam pergaulan dengan Allah, kalau Anda mencari pergaulan yang langsung dan hidup. Ada orang yang berkata begini: Alkitab adalah firman Allah (logos), tetapi ada juga Firman yang lain (rema), yang menunjuk kepada sabda Allah yang diucapkan secara pribadi dan langsung.

Siapakah orangnya, yang sebagai orang Kristen, tidak ingin mendengar suara Allah secara langsung?

Hubungan yang lebih langsung daripada itu, tidak mungkin terjalin, dan pergaulan yang lebih pribadi lagi, tidak mungkin ada. Mengapa Allah tidak dapat melakukan hal yang sama seperti pada zaman Samuel, orang yang kepadanya Ia berbicara secara langsung? (1Sam. 3:4). Mengapa Dia tidak akan memperdengarkan suara-Nya seperti pada saat Yesus dibaptis di Sungai Yordan (Mat. 3:17)? Dan juga ketika Yesus dipermuliakan di atas gunung (Mat. 17:5)? Dalam doa Tuhan Yesus yang terkenal itu, Dia berbicara tentang segala Firman (remata) yang telah diterima-Nya (Yoh. 17:8). Bukankah itu menunjuk pada komunikasi yang langsung? Dan Paulus telah menerima pengalaman yang luar biasa ketika dia mendengar kata-kata (remata) yang tak terkatakan, yang tidak boleh diucapkan manusia (2Kor. 12:4).

Masa kini pun Allah ingin berbicara melalui RohNya, itulah dasarnya. Namun, kata-kata-Nya tidak terdengar kalau manusia tidak mengambil sikap mendengarkan, dan hanya berbicara sendiri dalam doa mereka, sebagai lalu-lintas-satu-arah menuju Allah. Kalau kita mengisi saat-saat hening hanya dengan kata-kata kita sendiri, kita menghalanghalangi komunikasi yang langsung itu. Dan doa kita juga tak akan pernah menjadi lalu-lintas-dua-arah.

Kesempatan untuk itu dihalang-halangi sendiri oleh orang-orang Kristen, apabila mereka menghindari saat-saat yang hening itu.

Jadi, dengan keterangan ini tidak diingkari bahwa Allah sendiri berbicara dalam Alkitab, sebagai firman-Nya yang tertulis. Alkitab itu penting dan juga menduduki tempat yang sangat unik, tetapi dia bukan satu-satunya yang mencakup segala-galanya.

Roh Kudus melebihi Firman (1Tes. 5:20-21). Dapat dikatakan, bahwa manusia tak boleh mengurung Allah di dalam firman-Nya. Bisikan Roh menduduki tempat yang penting, di samping atau segaris dengan Alkitab. Relasi yang dewasa dengan Kristus pasti mencakup kemampuan untuk mendengar bisikan itu.

Sampai sekianlah gambaran saya tentang latar belakang doa pelayanan ini. Allah Roh Kudus diundang secara terpisah, dan bersamaan dengan itu, kehadiran Allah dicari (Leanne Payne).

Mereka yakin bahwa Dia dapat menyatakan diri-Nya di dalam suasana yang hening. Dia menyatakan diri-Nya melalui ilham, di samping atau di luar Firman. Ada orang-orang Kristen yang dengan berani mengatakan: Tuhan telah berkata kepadaku.

Mereka mendasarkan diri pada pimpinan Allah secara langsung, sedangkan Alkitab mereka sebut sebagai sumber yang kedua.

Ada juga orang-orang yang lebih hati-hati dan mengatakan: tampaknya Allah hendak mengatakan ini atau itu kepadaku.

Namun, bagaimanapun juga, banyak orang sependapat bahwa ada jalan yang lain di samping Alkitab, yang dipakai Allah untuk menyatakan diri-Nya. Sebuah jalan yang harus Anda cari dan ikuti sebagai orang Kristen, kalau Anda ingin mengalami lebih banyak dalam pergaulan dengan Allah.

Penyerahan diri dari dalam batin

Masih ada sesuatu yang ikut berperan dalam latar belakang tadi. Sesuatu yang penting yang membuat kita memahami cara berdoa-sambil-mendengarkan itu. Yang saya maksud ialah kerinduan akan pengalaman yang konkret, dan bukan hanya pergaulan secara rasional dengan Allah. Di bawah saya mencoba untuk melukiskan latar belakang itu: Berdoa dalam Roh membutuhkan penyerahan diri.

Itu berarti bahwa Anda tidak lagi memegang sendiri kemudi hidup Anda. Anda harus mengakui bahwa Anda lemah dan tak berdaya, dan sepenuhnya mempercayakan diri Anda kepada-Nya. Selama Anda masih ingin mengendalikan sendiri segalagalanya, Anda tidak membuka diri, dan suara Allah pun tidak mungkin menembus hati Anda.

Kecenderungan untuk mengendalikan sendiri segala-galanya, Anda jumpai pada orang-orang Kristen yang bersikap sangat rasional. Mereka takut mengalami berbagai macam perasaan dan pengalaman. Untuk mencegah hal itu mereka memberi tekanan yang sangat kuat kepada Firman yang tertulis. Dan mereka membatasi diri pada pemahaman naskah-naskah Alkitab secara rasional.

Namun, itu tidak baik. Mereka harus memberi lebih banyak perhatian pada pekerjaan Roh, pastilah mereka akan diajak mendengar Roh secara lebih langsung. Kalau mereka membuka diri, maka akan ada lebih banyak ruang untuk perasaan dan untuk pengalaman yang luar biasa dan mesra dalam hubungan mereka dengan Allah.

Usaha ini (mencari kehadiran Allah dalam doasambil-mendengarkan itu) tidak memberi ruang pada pendekatan-pendekatan secara rasional.

Barang siapa dalam suasana hening mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah, justru harus menanggalkan segala pikirannya sendiri. Langkah yang pertama ialah bahwa orang itu benar-benar membuka diri. Tindakan membuka diri itu harus menyebabkan bahwa lapisan perasaan jiwa kita dapat dibuka bagi kehadiran Allah. Hubungan dengan kehadiran itu mengungguli pemikiran dan daya khayal manusia yang serba terbatas itu. Hubungan langsung itu menyentuh pemikiran manusia yang intuitif, yang merasakan, yang bawah sadar, di lubuk hati manusia (Leanne Payne). Perasaan itu hanya dapat dikenal dengan baik, kalau lebih terarah kepada jiwa (emosi) daripada pemikiran (rasio).

Hanya di dalam batin yang paling dalam, kehadiran Allah yang langsung itu dapat dialami, dan suara Allah dapat didengar. Kenyataan rohani datang dari dalam dan tidak dari luar manusia.

Sampai sekianlah gambaran saya tentang berbagai latar belakang pelayanan doa (doa-sambil-mendengarkan-suara-Tuhan). Nanti, dalam bagian yang ketiga, semua latar belakang itu akan dibahas secara terpisah. Dalam bagian yang berikut saya akan menelusuri lebih dahulu bagaimana Tuhan Yesus memberi teladan kepada para murid-Nya dalam pergaulan-Nya dengan Bapa-Nya dan bagaimana relasi-Nya dengan Firman yang tertulis. Sesudah itu akan dibicarakan status para rasul dan karunia untuk bernubuat.

Kemudian kita akan mencari hal ”berdoa dalam Roh” di dalam Perjanjian Baru.

2. Kembali pada sumber-sumber

Sesuai Yesus

”Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami” (Yoh. 14:8)! Keinginan Filipus ini sangat mirip dengan kerinduan yang dilukiskan di atas untuk menerimapenyataan-penyataan langsung dari Allah, di samping dan di luar Firman.

Ketika Filipus mengajukan permohonan itu, Yesus baru saja menjelaskan bahwa Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup, dan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Dia (Yoh. 14:6). Menurut Filipus itu tidak cukup. Tampaknya dia ingin menerima pengalaman yang luar biasa, yang lebih lengkap. Namun, dalam jawaban-Nya kepada Filipus, Yesus mengatakan: ”Apakah engkau belum mengenal Aku”? Sebab: ”Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya.” (Yoh. 14:10).

Setiap kali kita terkesan melihat betapa kuatnya Yesus menegaskan bahwa Dia sendiri termasuk dalam perkataan yang diucapkan-Nya. Sebab Dia adalah Firman itu sendiri (Yoh. 1).

Memang tersirat adanya komunikasi yang khusus dan langsung antara Allah Bapa dan Yesus, apabila Yesus berbicara tentang segala Firman yang telah diberikan Allah Bapa kepada-Nya (Yoh. 17:8). Namun, kemudian Yesus sendirilah yang meneruskan Firman itu kepada para murid-Nya. Dia menunjuk kepada diri-Nya sendiri apabila mereka mencari hubungan dengan Allah. Dia tidak menunjuk pada jalan atau metode yang lain, di luar diri-Nya dan di luar Firman-Nya, untuk mencari penyataan Allah. Dia sendiri adalah jalan yang satu-satunya! Dan itu yang ditunjuk-Nya.

Sungguh menarik betapa kuatnya kaitannya antara perkataan yang diucapkan Yesus dan perkataan yang tertulis (Mat. 5:17). Tuhan Yesus bukan saja menunjuk pada hukum Taurat dan para nabi, yang telah bersaksi tentang diri-Nya (Yoh. 5:39), tetapi Dia sendiri juga hidup sesuai dengan semua itu, sampai pada penderitaan-Nya di kayu salib. Sesudah suara Allah terdengar pada saat Dia dibaptis di Sungai Yordan dan Roh hinggap di atas-Nya, maka dalam pergumulan-Nya dengan Iblis di padang gurun Dia mendasarkan diri-Nya pada kata-kata ”ada tertulis” semata (Mat. 4:4-7)! Di mana pun dalam Alkitab tidak ada bukti bahwa Dia mendasarkan diri-Nya pada ilham-ilham yang langsung diterima-Nya. Dan pasti Dia tidak mengajar kepada para murid-Nya supaya mereka mencari jalan itu.

Ketika suara Allah terdengar pada saat Yesus dipermuliakan di atas gunung, maka kelompok inti para rasul diajak dan diajar untuk: dengarkanlah Dia (Mat. 17:5)!

Yesus sendiri ialah Firman yang hidup. Para murid-Nya mendengar suara Allah secara langsung, ”Sesungguhnya, Aku berkata kepadamu”. Berbahagialah orang yang mendengar suara-Nya itu secara langsung (Luk. 10:24; 11:28). Lalu bagaimana nanti kalau Yesus tidak ada lagi di dunia? Apakah suara-Nya akan terputus? Tidak, Dia mengutus Roh-Nya sebagai Juru Bicara-Nya (Yoh. 16:13). Roh itu mengingatkan para Rasul akan segala apa yang telah dikatakan oleh Yesus. Roh Allah tidak datang dengan sesuatu yang baru atau sesuatu yang melengkapi pengetahuan mereka.

Dia menerima segala perkataan Kristus dengan cara yang sangat intim, dan berjanji akan menyampaikannya kepada para rasulNya sehingga mereka dapat menghayati segala perkataan itu dan dibimbing pada seluruh kebenaran. Dia juga akan mengingatkan semua itu kepada mereka, dan memasukkannya dalam hati mereka, sehingga terjalin hubungan dengan Allah. Dengan demikian Dia menunjukkan jalan yang menuju pada seluruh kebenaran (Yoh. 16:13).

Sudah banyak yang telah diungkapkan kepada para murid, khususnya kepada para rasul. Namun, wawasan mereka belum memadai. Banyak dari apa yang telah mereka dengar dan lihat sebagai saksi-saksi mata dan telinga, belum dapat mereka pahami.

Orang dapat mengalami atau mendengar sesuatu, tanpabenar-benar menghayatinya (lihat misalnya Yoh. 2:22). Rohlah yang memberi bimbingan secara pribadi kepada kelompok khusus ini (saksi-saksi mata dan telinga) sehingga mereka makin bertumbuh dalam pengenalan akan Yesus. Setelah kenaikan Yesus ke surga dan keturunan Roh Kudus, setiap rasul akan memperdalam pengetahuannya tentang Kristus dan mengembangkan pergaulan yang hidup dengan Dia, di bawah bimbingan Roh sebagai Juru Bicara-Nya. Dengan demikian mereka dimampukan dan diperlengkapi oleh Roh Kudus untuk mencatat semuanya itu (seluruh kebenaran) dalam Alkitab sebagai bagian keduanya, yaitu Perjanjian Baru.

Sering kali Tuhan Yesus mencari pergaulan pribadi dengan Bapa-Nya, dengan menyendiri di tempat yang sunyi untuk berdoa.

Dengan demikian Dia memberi teladan kepada para murid-Nya bagaimana menjalin pergaulan karib dengan Allah Bapa. Dia sendiri, selama Dia berada di bumi, telah memelihara kontak bicara-sambil-mendengar yang tidak pernah terputus dengan Bapa-Nya. Kendatipun demikian, tidak pernah ada catatan bahwa Dia mengajarkan jalan itu kepada para murid-Nya, supaya mereka di luar segala Firman yang telah disampaikan-Nya, dan dengan kemauan mereka sendiri, mereka mencari ilham langsung melalui doa. Yang juga mencolok ialah bahwa ketika Dia menasihati para murid-Nya supaya berdoa, Dia mendesak supaya mereka jangan berdoa sambil memamerkan kesalehan mereka. Ia menganjurkan mereka supaya masuk ke dalam kamar pribadi (Mat. 6:6) dan berdoa kepada Allah di tempat tersembunyi. Itu sangat berbeda dengan doa di mana tiap-tiap orang mencari penyataan Roh yang ditujukan kepada orang yang lain, lalu mereka saling memandang untuk melihat apa yang dibangkitkan Roh dalam diri orang-orang yang lain.

Bimbingan para rasul

Sesudah kebangkitan-Nya Tuhan Yesus menggenapi janji-Nya.

Yang pertama-tama dilakukan-Nya ialah membuka pikiran para murid, sehingga mereka mengerti Kitab Suci (= Perjanjian Lama), yaitu bahwa semuanya yang tertulis berhubungan dengan Kristus dan pekerjaan-Nya (Luk. 24:45 dst.). Para murid melihat dunia baru terbentang di depan mata mereka! Yesus tidak mengatakan:

Bacalah Kitab Suci, hayatilah kata-kata itu secara benar-benar, lalu carilah hubungan langsung dengan Roh, sambil menantikan apa yang akan disampaikan-Nya kepadamu sebagai tambahan isi Kitab Suci itu.

Dalam perjalanan menuju ke Emaus, kedua pengikut Kristus itu seperti buta akan Guru mereka yang di samping mereka. Ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia (Luk. 24:16). Sebetulnya Yesus dapat langsung menunjukkan siapa Dia. Pastilah mereka akan terkejut bukan main.

Namun, sambil berjalan bersama-sama, Yesus sedikit demi sedikit membuka mata mereka dengan mengutip naskah-naskah dalam Kitab Suci yang berbicara tentang diri-Nya. Dengan demikian Dia memberi wawasan tentang diri-Nya! Bukan penampakan-Nya secara langsung yang harus terukir dalam ingatan mereka, bukan pengalaman yang khusus dan luar biasa yang akan selalu mereka ulang menceritakan dan cari kembali. Bukan! Melainkan kenyataan bahwa hati mereka berkobar-kobar, ketika Dia menerangkan Kitab Suci kepada mereka (Luk. 24:32). Melalui keterangan itulah mereka bertemu dengan Yesus sendiri, dan mereka langsung berhubungan dengan Roh-Nya.

Rasul Petrus telah mendengar suara Allah ketika Yesus dipermuliakan di atas gunung (2Ptr. 1:18). Itu pasti pengalaman yang dahsyat. Petrus dapat menyimpan dan menikmati pengalaman yang luar biasa itu dalam hatinya seumur hidup. Dan sebetulnya, berdasarkan pengalaman itu, dia dapat mendesak orang-orang Kristen lain supaya mencari suasana hening dengan tujuan juga mendengarkan suara Allah secara langsung. Namun, ternyata Petrus membuat sesuatu yang sangat berbeda daripada itu, dalam suratnya yang kedua. Dia menyebut dirinya saksi mata kebesaran Kristus, lalu dia menunjuk pada Firman yang telah disampaikan oleh para nabi, dan yang telah semakin meneguhkan dia. Petrus tidak menunjuk pada pengalaman yang datang sesudah atau di samping Firman yang tertulis, tetapi dia menunjuk pada nubuat dalam Firman itu, dan mendesak supaya para pembaca memperhatikannya, sehingga nubuat itu bagaikan bintang timur terbit bersinar di dalam hati mereka (2Ptr. 1:19). Tanpa Roh Allah hal itu tidak mungkin terjadi, tetapi Dia telah berjanji dengan firman-Nya untuk menyalakan cahaya itu di dalam hati manusia.

Keterangan itu sesuai benar dengan apa yang telah ditulis oleh Petrus dalam suratnya yang pertama. Orang-orang Kristen yang membacanya mengasihi Yesus, sekalipun mereka belum pernah melihat Dia, dan mereka percaya kepada-Nya, sekalipun mereka tidak melihat-Nya pada waktu itu (1Ptr. 1:8). Mereka juga tidak didesak mencari pengalaman itu. Akan tetapi, Roh yang sama, yaitu Roh Kristus, yang telah berbicara melalui para nabi sejak zaman dahulu, sekarang mengizinkan juga Kristus diberitakan melalui para Rasul. Dan melalui pemberitaan itu terjalinlah hubungan yang hidup!

Paulus juga telah menerima pengalaman-pengalaman yang luar biasa. Mula-mula Kristus menampakkan diri kepadanya, kemudian dia mendengar suara-Nya (Kis. 9:4). Namun, kalau Paulus hendak memperkenalkan orang-orang kepada Kristus, dia selalu mengajar mereka berdasarkan Kitab-Kitab Suci, sampai pada akhir hayatnya (Kis. 28:23). Di mana pun tak ada tulisan di mana Paulus menyarankan untuk mencari pengalaman yang sama dan mendengar suara Kristus melalui doa dalam suasana yang hening. Masih ada pengalaman luar biasa yang lain yang diterima oleh Paulus. Dia tiba-tiba diangkat ke Firdaus dan mendengar kata-kata yang tak terkatakan (2Kor. 12:4).

Sebetulnya dia dapat membanggakan visiun atau penyataan yang luar biasa itu, dan menyarankan orang-orang lain juga untuk mencari pengalaman yang serupa. Namun, hal itu sama sekali tidak memainkan peran dalam pemberitaannya tentang Kristus. Oleh karena orang-orang Korintus telah meragukan jabatannya sebagai rasul, maka dia terpaksa menyinggung peristiwa itu. Kalau tidak, mungkin hal itu akan tetap tersimpan dalam hatinya (2Kor. 12:11). Apa yang telah didengar Paulus di Firdaus itu, bahkan tak boleh diceritakannya. Tampaknya pengalaman yang sungguh luar biasa itu tidak menambahkan apa-apa pada pelayanannya. Anugerah Allah di dalam Kristus sudah cukup baginya, dan kuasa Allah dinyatakan bukan dalam peristiwa-peristiwa yang sangat mengagumkan, melainkan dalam kelemahan.

Timotius telah menerima karunia rohani melalui tumpangan tangan. Karunia itu mula-mula telah dinubuatkan oleh seorang nabi tentang Timotius (1Tim. 1:18; 4:14). Namun, tidak diketahui apakah Timotius sendiri pernah mendapatpenyataan-penyataan yang luar biasa seperti itu. Dan Paulus pun tidak menunjukkan suatu arah kepadanya untuk mencari penyataan itu. Dengan sangat sederhana Timotius diwanti-wanti supaya tetap berpegang pada kebenaran yang telah Ia terima dan yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadanya (2Tim. 3:14). Dia tidak perlu mencari penyataan yang melengkapi apa yang telah diterimanya. Kitab Suci sendiri sudah cukup. Firman Allah, yang telah diembuskan oleh napas Roh-Nya sudah cukup bagi kita (2Tim. 3:16-17). Selama kita membiarkan firman Allah itu berbicara dan meresap dalam hati kita, maka Roh akan bekerja sambil membentuk dan memperbaiki diri kita. Firman-Nya memberikan perlengkapan yang sempurna.

Apakah dengan demikian Allah Roh Kudus seperti terkurung dalam firman-Nya sendiri? Hal itu sering dikemukakan orang yang mencari pengalaman yang lebih. Tentu saja tidak, Dia bebas pergi ke mana pun Dia suka. Dalam saat-saat yang krusial, Dia dapat memilih jalan untuk memberikan penyataan yang luar biasa, seperti dalam

- Kisah Para Rasul 8:29, Filipus dipanggil untuk memberitakan Injil kepada pejabat istana dari Etopia;
- Kisah Para Rasul 9:10-16, Ananias dipanggil untuk pergi kepada Paulus;
- Kisah Para Rasul 10:13,19, Petrus dipanggil untuk pergi ke rumah Kornelius;
- Kisah Para Rasul 13:2, Saulus dan Barnabas dipanggil untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain.

Demikianlah pada saat-saat yang khusus, Allah telah memimpin langkah Paulus atau menahannya untuk berangkat (Kis. 18:9; 22:18). Ingatlah saja pada perjalanan ke Eropa (Kis. 16:6). Dan jangan lupa pada penyataan bahwa hukuman penjara akan menantikan Paulus (Kis. 20:23; 21:11). Sungguh mencolok bahwa penyataan-penyataan yang saling terpisah itu, masing-masing tidak dicari oleh Paulus. Para rasul juga tidak berusaha untuk mendapatkannya. Apabila mereka dihadapkan pada pengambilan keputusan yang sulit, mereka berkumpul.

Pastilah pertemuan itu didukung oleh doa. Namun, tidak ada catatan mana pun bahwa mereka berdoa khusus untuk mendengar suara Allah. Dengan bimbingan Roh, Yakobus memberi wawasan yang bersifat nubuat, dengan mengutip nubuat yang diucapkan nabi Amos ribuan tahun yang lalu, dan dengan menerapkannya pada situasi itu (Kis. 15:12-21, 28).

Karunia untuk bernubuat

Kita asumsikan bahwa setiap orang Kristen dapat dipanggil untuk berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah (1Ptr. 4:11). Dalam arti itu setiap orang Kristen mempunyai tugas untuk bernubuat. Karunia untuk bernubuat menduduki tempat yang penting dalam Perjanjian Baru (1Kor. 14:1-5). Tidak ada daftar karunia-karunia yang tidak memuat karunia itu (mis. 1Kor. 12:10).

Kita belum tahu apakah karunia untuk bernubuat itu masih tetap sama dengan karunia yang dijumpai dalam periode awal di mana seorang langsung menyampaikan firman Roh Allah. Telah disinggung adanya pelayanan khusus yang dilakukan oleh para nabi, yang bersama-sama dengan para rasul membentuk dasar gereja (Ef. 2:20; 3:5; 4:11; Kis. 15:32). Nubuat menyoroti masa kini, masa lalu dan masa depan (Kis. 11:27; 21:11; Why. 1:3). Akan tetapi, pada waktu itu surat-surat para rasul dan kitab-kitab Injil belum ditetapkan dengan kukuh. Hal itu baru terjadi setelah penutupan kanon (Why. 22:10; 22:18-19). Sehabis kitab Wahyu, tidak ada lagi nubuat yang tertulis atau yang disampaikan secara lisan, yang secara resmi diakui oleh orang-orang Kristen sebagai firman Allah yang sungguh terpercaya. Bersamaan dengan tuntasnya penyelamatan, juga wahyu dibimbing Roh pada penyelesaiannya. Berdasarkan Perjanjian Baru kita mendapat kesan bahwa pada mulanya masih ada nabi-nabi yang menyampaikan penyataan Allah (mungkin mereka adalah saksi mata atau saksi telinga tentang pekerjaan dan hidup Yesus di bumi), dan yang mengadakan perjalanan keliling (Kis. 6:5-8; 11:27; 13:1; 15:32).

Penampilan nabi Agabus sangat menarik. Atas nama Roh, dia memberitahu bahwa Paulus akan ditangkap (Kis. 21:11).Kata-Katanya digarisbawahinya dengan suatu lambang, yaitu dengan melepaskan ikat pinggang Paulus, dan mengikat kaki dan tangannya sendiri. Dari situ jemaat di Kaisarea menyimpulkan bahwa Paulus sebaiknya jangan pergi ke Yerusalem (seperti juga di Tirus, para murid mengatakan ”karena bisikan Roh”, bahwa sebaiknya dia jangan berlayar menuju Yerusalem; Kis. 21:4).

Namun, Paulus menafsirkan nubuat itu sebagai pemberitahuan tentang penderitaan yang harus dijalaninya dalam mengikuti Yesus (Kis. 21:13). Tampaknya sebuah nubuat dapat ditafsirkan secara berbeda-beda waktu itu.

Lagi pula dari tulisan-tulisan para Bapa Rasuli (Didakhe, Hermas) tampak bahwa dalam jemaat-jemaat Kristen yang pertama, ada nabi-nabi yang aktif, tetapi yang tidak selalu dapat dipercaya. Dalam tulisan-tulisan itu diperingatkan bahwa ada pertumbuhan liar di bidang nubuat; ada kalanya yang diperkenalkan sebagai nubuat, ternyata bukan. Sebab itu gereja Kristen harus belajar melawan nubuat seperti itu dengan mengenakan persenjataan rohani.

Lambat laun tampak adanya peralihan ke arah nabi-nabi jemaat, yang hampir tak dapat dibedakan dari para guru dan pemberita Injil. Mereka adalah orang-orang yang bernubuat di dalam ibadah gereja, dan telah menerima karunia untuk itu (1Kor.11:3,4).

Dalam 1 Korintus 14:3, Paulus mengatakan bahwaorang-orang itu mengucapkan kata-kata yang membangun, menasihati dan menghibur. Bernubuat itu dapat juga mengubah pendapat orang dan mengungkapkan segala rahasia yang terkandung di dalam hatinya (1Kor.14:25). Sebuah hal yang penting ialah bahwa apa yang dikatakan oleh para rasul harus dipercaya, sedangkan nubuat itu tidak selalu benar (1Kor. 14:29; 1Kor. 13:9; 1Tes. 5:19-20). Tidak semua perkataan yang diperkenalkan sebagai nubuat, adalah benar-benar nubuat (1Yoh. 4:1; bdk. Ul. 13:1-3 dan 18:22).

Nubuat yang benar, tidak dimaksudkan sebagai pelengkap bagi Alkitab, tetapi sebagai pesan Ilahi untuk menunjukkan arah dan memberi penerapan yang spesifik. Nubuat itu baru berwibawa kalau dipimpin oleh Roh Allah, dan kalau bermanfaat dalam membangun jemaat. Nubuat selalu harus diuji apakah sesuai dengan apa yang sebelumnya telah dicatat dalam firman Allah (Kis. 17:11), dan apakah tidak menyalahi inti agama (Rm. 12:6).

Jadi, nubuat itu harus sesuai dengan apa yang lebih dahului telah diucapkan dan dinyatakan oleh Allah. Dan di dalam semua itu, Kristus menduduki tempat sentral dengan karya hidup-Nya yang dalam salib dan kebangkitan-Nya merupakan fondasi yang kukuh.

Berdoa dalam Roh

Ungkapan ”berdoa dalam Roh” kita jumpai pada dua tempat, yaitu dalam Efesus 6:18 dan Yudas ayat 20. Paulus mendesak kepada jemaat di Efesus supaya mereka jangan mencari kekuatan dalam diri sendiri, tetapi di dalam Tuhan (Ef. 6:10). Perlengkapan senjata yang diberikannya kepada mereka ialah berupa nasihat supaya mengenakan Kristus sendiri dalam pergaulan yang hidup dengan Dia (bdk. Rm. 13:14). Firman Allah disebutnya pedang Roh, sebagai senjata pertahanan untuk menangkis serangan. Hal itu tidak mungkin berhasil tanpa doa dan permohonan yang dinaikkan dengan sangat tekun. Dengan demikian digambarkan sikap orang Kristen yang menggantungkan diri kepada Tuhan. Doa di dalam Roh tidak mencari kekuatan dalam diri sendiri, tetapi dalam Tuhan.

Allah Roh telah membangkitkan doa itu di dalam hati kita, dan Dia mendukung dan memperkuatnya.

Hal itu mengingatkan kita dengan kuat kepada doa Roh Kudus sendiri, seperti digambarkan dalam Roma 8:26 dst. Gerakan itu bukan dari atas ke bawah, seakan-akan kata-kata dalam doa kita dibisikkan oleh Roh. Gerakan itu ialah dari bawah ke atas. Allah Roh Kudus mengajarkan bagaimana kita harus berdoa. Dia mendukung doa kita dari dalam hati kita dan dengan cara yang tidak terkatakan, Dia meneruskan doa itu kepada Allah. Roh itu menaruh nama Bapa pada bibir kita, seperti pengakuan ini, ”Yesus adalah Tuhan”. Hal yang mencolok ialah bahwa doa dalam Roh ini dicirikan sebagai doa syafaat bagi semua orang kudus (Rm. 8:27 dan Ef. 6:18).

Dalam Yudas 20, kita menemukan susunan kata-kata yang sama. Yudas menggarisbawahi warisan kita yang sangat berharga, yaitu iman yang paling suci berdasarkan apa yang dahulu telah dikatakan kepada kita oleh rasul-rasul Tuhan kita, Yesus Kristus. Yang dimaksudkannya ialah kebenaran iman yang telah diberitakan.

Dan dasar untuk itu telah diletakkan oleh para rasul denganajaran-ajaran mereka. ”Berdoa dalam Roh” tidak menunjuk ke arah sebuah penyataan yang melengkapi atau yang mempertajam. Berdoa dalam Roh menggarisbawahi ketergantungan kita sepenuhnya dari Roh Allah yang menghubungkan kita dengan Allah sendiri. Hanya dengan Dia kita berdiri dengan teguh dan kita mengalami pergaulan yang intensif dengan Allah. Berdasarkan pada semua yang telah dinyatakan oleh para rasul. Di sini tidak ada alasan untuk berpikir pada doa yang dinaikkan dalam ekstase atau padakata-kata yang muluk-muluk yang diucapkan di dalam Roh (bdk. Bab 6).

Doa di dalam Roh juga menyinggung kerinduan akan kedatangan Kristus. Yudas ayat 21 menghubungkan doa dalam Roh dengan penantian akan rahmat Tuhan Yesus untuk hidup yang kekal. Seperti juga Roh dan pengantin perempuan Kristus mengatakan bersamasama: Marilah! Doa bersama Roh itu didorong oleh kerinduan akan kedatangan-Nya kembali (Why. 22:17).

3. Pertimbangan lebih lanjut

Dalam bagian yang berikut saya akan membahas lebih lanjut pergaulan dengan Allah melalui berdoa-sambil-mendengarkan.

Saya tahu bahwa banyak nuansa yang dapat ditambahkan pada pembahasan itu. Bukan maksud saya untuk mengecampengalaman-pengalaman yang membangun, atau untuk menyinggung perasaan orang-orang Kristen. Namun, penilaian yang menyentuh perasaan selalu sangat pelik. Saya sendiri juga rindu akan pergaulan pribadi dengan Allah dan juga sangat ingin merasakan secara nyata hubungan dengan Kristus. Saya hanya bertanya pada diri sendiri apakah inilah jalan yang Dia tunjukkan, yang menuju pada pergaulan karib dengan Dia. Saya mulai membahas bagaimana kita mengundang Roh, kemudian hubungan antara Roh Allah dan Firman Allah. Sesudah itu kita akan berbicara tentang hubungan antara akal budi dan perasaan. Dan akhirnya tentang kepekaan dan pembatasan yang kita jumpai kalau kepercayaan kita berpatokan pada pengalaman melalui berdoa-sambil-mendengarkan.

Mengundang Roh

Dalam berdoa-sambil-mendengarkan (pelayanan doa) Allah Roh Kudus diundang supaya datang. Ada pendeta-pendeta yang bahkan menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil untuk membuka jalan bagi Dia. Kata mereka, kalau Anda mengikuti langkah-langkah itu, Anda akan dapat mengadakan kontak yang khusus dengan Dia. Sungguh menarik betapa besar peran yang diberikan orang-orang itu kepada manusia untuk membujuk Allah Roh Kudus supaya mau bertindak. Menurut ide mereka, Dia baru dapat memulai sesuatu, apabila kita telah berserah sepenuhnya.

Dan kalau Roh tidak datang, maka yang mereka persalahkan ialah manusia sendiri: Cukup besarkah imanmu? Sudahkah engkau sungguh-sungguh membuka dirimu? Yang lebih parah lagi ialah kalau mulai ada paksaan, setelah semua langkah diambil, maka Roh harus muncul! Bukankah Tuhan Yesus Kristus telah berjanji bahwa Dia akan memberikan Roh Kudus kepada semua orang yang meminta-Nya kepada-Nya? (Luk. 11:13).

Saya tidak menyetujui usaha mencari kontak dengan Allah secara metodis begitu, karena hal itu merongrong kebesaran-Nya dan kebebasan-Nya. Tampaknya seakan-akan Dia baru menjadi benar-benar aktif, kalau kita mengundang Dia dengan menjalin kontak dengan-Nya melalui doa. Padahal tidak benar bahwa Roh Allah baru mulai bekerja kalau Dia aktif di dalam hati manusia (mis.

Mzm. 104:30). Dia juga tidak mau dikurung di dalam batin manusia.

Dan Dia sudah pasti tidak tergantung dari langkah-langkah manusia yang mereka ambil untuk mendekati Dia. Keadaannya sama sekali terbalik. Kalau Bapa sudah mengetahui apa yang kita perlukan, sebelum kita minta kepada-Nya, maka itu adalah berkat Roh yang menyelidiki hati nurani kita (Mat. 6:8 dan Rm. 8:27)!

Selain itu, kita mengingkari Roh Allah, kalau mengatakan bahwa Dia baru menjadi sangat aktif setelah Alkitab dibuka. Menurut metode ini Dia diundang sesudah kita, sebagai batu loncatan, bersama-sama membaca Alkitab dan memuji nama Allah. Padahal kalau firman Allah yang tertulis, dibacakan, dijelaskan secara hidup dan diterapkan, maka Roh Kudus sudah sepenuhnya hadir (Yes. 55:11). Manusia dapat mencari Dia di tempat yang jauh, dan dapat menyerbu langit (Ul. 30:12), tetapi firman-Nya sangat dekat, yaitu di dalam mulut dan batin (Ul. 30:140) berkat Allah Roh Kudus (Rm. 10:6-8). Apalagi, Roh Allah tinggal di dalam jemaat. Dia tidak perlu datang karena sudah hadir. Dia diam dalam jemaat Kristus sebagai bait-Nya (Ef. 2:22). Dia tinggal dalam diri setiap orang percaya (1Kor. 6:19). Dia sudah ada.

Roh Allah telah dijanjikan kepada barang siapa yang dengan tekun meminta-Nya kepada Kristus dalam doa (Luk. 11:13, bdk. penjelasannya dalam bab 2, #5, Berdoa). Untung saja begitu! Namun, itu tidak sama dengan mengundang Roh untuk datang dan menghadiri pertemuan doa kita, dan supaya

Dia mau menyatakan diri-Nya secara khusus. Saya tidak berani mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin, karena Roh Allah bebas untuk menentukannya sendiri. Akan tetapi, Tuhan Yesus tidak menjanjikan ”tambahan” itu. Roh Allah telah dijanjikan untuk mendampingi kita, untuk memberi iman kepada kita, untuk memperbarui kita dan untuk menaklukkan hati kita bagi Allah. Pembaruan itu tidak terjadi karena kita ”menangkap” Roh, melainkan karena Dia menangkap kita.

Roh Allah dan Firman Allah

Roh Kudus telah menghubungkan diri-Nya dengan kuat pada Firman (Kis. 1:16). Secara pribadi, Dia telah mengilhamkan isi semua buku di dalam Alkitab (2Tim. 3:16). Kesaksian Yesus telah disebut ”Roh Nubuat” (Why. 19:10). Dan Yesus sendiri telah mengangkat Dia sebagai Juru Bicara-Nya, yang akan menerima segala perkataan dari Dia dan memberitakannya (Yoh. 16:12-15).

Firman Allah disebut pedang Roh (Ef. 6:17), yang diberikan kepada orang-orang Kristen milik-Nya, untuk dapat menangkisserangan-serangan musuh. Roh Allah sendiri memakai firman-Nya sebagai pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita (Ibr. 4:12).

Hubungan Roh Kudus dengan Firman itu begitu kuat sehingga disebut firman Allah yang hidup (1Ptr. 1:23).

Ada orang-orang Kristen yang telah menegaskan bahwa Roh bekerja melalui Firman. Dalam hal itu Roh Kudus berhubungan sangat erat dengan Alkitab. Slogan berikut ini sangat terkenal: ”Firmanlah yang melakukan segala-galanya”, dan Roh Kudus bahkan tidak disebut secara terpisah. Seakan-akan kita percaya sepenuhnya pada sebuah Buku yang kata-katanya magis. Seakan-akan Roh juga tidak perlu menjelaskan kata-kata itu, atau menerapkannya serta mewanti-wanti kita untuk menaatinya dengan setia.

Mencegah hal itu, orang-orang Kristen lain lagi mengatakan:

Roh bekerja sama dengan Firman. Dia memakai Firman sebagai pedang. Namun, Dia adalah lebih daripada alat yang dipakai-Nya.

Tidak sia-sia Dia disebut secara terpisah (1Tes. 5:19 dst). Tanpa hubungan Roh yang hidup itu, Alkitab hanyalah kata-kata saja, tanpa efek apa pun.

Memang sungguh benar bahwa Roh bebas untuk memilih jalan-jalan lain di samping Firman. Namun, itu tidak menghapus kenyataan bahwa Dia telah mengikat kita pada firman-Nya.

Saya teringat kepada seorang gadis Prancis yang hidup dalam abad ke-17. Namanya Isabeau Vincent. Dia bernubuat dalam keadaan tidur, pada zaman jemaat dianiaya dan kehidupannya diobrak-abrik, sehingga timbul rasa lapar dan haus akan firman Allah. Biasanya dia hanya berbicara dalam bahasa daerah, tetapi ketika bernubuat, dia berbicara bahasa Prancis baku dengan lancar. Khotbah-khotbah yang telah didengarnya sendiri, disimpannya di dalam hatinya, lalu disampaikannya di waktu tidur nyenyak. Kata-katanya itu telah dicatat dan disimpan, dan tidak bersifat fanatik rohani, melainkan berasal dari Kitab Suci.

Dengan cara yang sama, Roh Allah dapat memakaivisiun-visiun di dunia Muslim. Seorang imam yang menjadi Kristen, sedikit demi sedikit merasa yakin karena membaca Injil Yohanes. Namun, di samping itu, ketika dia sedang dalam suatu perjalanan, dia mendengar namanya dipanggil, kemudian dia menerima penjelasan tentang Yesus sebagai Anak Allah. Penyataan-penyataan yang luar biasa ini tidak membawa orang menjauhi Firman, tetapi jelas membimbingnya kepada firman Allah.

Dalam ”berdoa-sambil-mendengarkan” itu, kata-kata alkitabiah masih dapat memainkan peran, apabila kata-kata itu muncul dalam roh kita. Namun, dalam hal itu hubungan antara Roh dan Firman sering menjadi kurang kuat. Dan sering bahkan terputus: sehingga ungkapan di atas Firman, berarti lepas dari Firman. Biasanya dituntut ruang untuk penyataan Roh Allah secara terpisah. Maka perbedaan antara logos dan rema tampak jelas. Logos diartikan sebagai Firman yang telah ditulis secara objektif, sedangkan rema adalah sabda Allah secara langsung dan hidup. Pada hakikatnya perbedaan itu tidak ditemukan di dalam Alkitab. Kata-kata Yunani ini bukan saja menunjuk pada pokok kata yang sama, tetapi kata-kata itu juga dipakai secara berdampingan dan sebagai sinonim (1Ptr. 1:23; Yoh. 15:3,7).

Ada bahaya yang nyata, bahwa dalam praktik, Kitab Suci menjadi sumber kedua, di samping pengalaman khusus yang menjadi arah haluan manusia.

Sebagai ilustrasi saya mengutip seorang yang mengatakan:

”Aku tidak merasa terdorong untuk meneliti Alkitab, sebab aku mengenal Yesus sebagaimana Dia menyatakan diri-Nya di dalam aku. Dan karena Dia tinggal di dalam aku, Firman selalu ada padaku. Aku membaca Kitab Suci, dan Kitab Suci memang penting dan mutlak diperlukan tetapi tidak menduduki tempat sentral atau krusial, karena aku sudah memiliki Dia atau lebih baik lagi, Dia memiliki aku. Kitab Suci hanyalah sumber yang kedua. Karena baptisan dengan Roh Kudus, maka Firman tinggal di dalam aku, dan itulah yang paling penting.

Aku mengatakan ini berdasarkan pengalaman yang hidup mengenai apa yang dikatakan-Nya kepadaku.” (diambil dari John F. MacArthur, Charismatic Chaos).

Di dalam praktik, usaha mencari lebih banyak dari Firman memang tidak dapat membantu usaha untuk benar-benar mendengar suara Tuhan. Orang mengusahakannya kalau dalam mendengarkan suara Allah di dalam Firman, mereka tidak merasa puas dan dialaminya sebagai tidak cukup. Kalau dalam pikirannya ada keinginan untuk mendapatkan lebih banyak, maka sukar baginya untuk mendengarkan suara Allah berdasarkan firman-Nya. Pengalaman yang diinginkannya dapat menghambat kemampuannya untuk mendengar. Padahal Allah mencari tanggapan atas firman-Nya di dalam hati kita. Mencari pengalaman dapat menjadi mencari ”penyataan langsung”, lalu kadang-kadang tanpa sengaja, Alkitab mendapat tempat yang kedua. Roh bukan lagi Roh dari Firman, melainkan telah menjadi Roh di samping Firman. Hendaknya bagaimanapun kita jangan melepaskan Roh Allah dari firmanNya, dan hendaknya kita jangan melepaskan firman Allah dari Roh-Nya. Roh mengembus ke mana Dia suka, dan tidak secara acak. Allah dan manusia saling bertemu di sekeliling firman-Nya.

Di dalam Firman itu Dia mengizinkan diri-Nya dikenal dan dialami persekutuan-Nya. Di dalam Firman itu kita mendengar suara-Nya.

Dia sendiri berbicara melalui Kitab Suci dan Roh menghubungkan kita dengan firman-Nya.

Perasaan dan akal budi (emosi dan rasio)

Ada orang yang berkata: Akal budi menyangkut Firman yang objektif. Perasaan menyangkut Roh yang membangun subjek. Hal itu tampil di atas di mana kita menggambarkan latar belakang praktik pelayanan doa. Orang-orang yang menekankan Firman, digolongkan pada orang-orang Kristen yang lebih bersikap rasional dan yang mendesak perasaan-perasaan mereka ke latar belakang. Sebaliknya, orang-orang yang menampilkan pekerjaan Roh ke depan, mempunyai lebih banyak perhatian untuk perasaan, intuisi, pengalaman dan penghayatan. Dalam praktik kita sering menjumpai pembagian seperti itu. Jadi: Firman/akal budi berlawanan dengan Roh/perasaan. Dengan kata lain: Firman/bagian luar (ajaran, kepala, rasio, struktur, peraturan-peraturan) berlawanan dengan Roh/bagian dalam (hidup, hati, perasaan, kehangatan, spontanitas). Atau ”objektivisme” berlawanan dengan ”subjektivisme”.

Dilema ini tidak memuaskan dan tidak menggambarkan Allah Roh Kudus dengan sejujurnya. Dia menginginkan perasaan kita, tetapi juga akal budi kita. Bagi Dia, kedua hal itu tidak berlawanan.

Dia mencari hati kita (Kis. 16:14), di mana terdapat perasaan, akal budi dan kemauan. Dia ingin menyentuh manusia selengkapnya dengan kata-kata-Nya. Dia ingin menembus sangat dalam, sampai ke dasar jiwa kita dengan kata-kata-Nya (Ibr. 4:12). Dia menguraikan segala maksud dan pikiran kita. Dia mencari inti keberadaan kita, sambil menaklukkan segala pikiran kita (2Kor. 10:5), tetapi juga menyentuh perasaan kita. Barang siapa dengan akal budinya sungguh-sungguh mengerti sambil menghayati Kitab Suci, akan memperoleh banyak perasaan dan pengalaman. Dalam pergaulan yang hidup dengan Allah, perasaan tetap ada tempatnya. Roh Allah membangkitkan berbagai perasaan dalam hati kita, rasa lega, rasa percaya, dan rasa aman. Namun, juga rasa sombong, rasa marah, rasa bangga, dan rasa benci. Dan juga rasa terkejut, dan rasa malu.

Atau rasa menyesal, rasa cemas dan rasa sedih. Dan jangan lupa, juga rasa senang, rasa bahagia dan sukacita yang tidak terkatakan (1Ptr. 1:8).

Bukan salah Roh, melainkan salah kita, apabila kita bergaul dengan firman-Nya secara rasional. Kita mendukakan Roh Allah dengan setiap dosa yang kita lakukan (Ef. 4:30). Namun, kita mendukakan Dia juga kalau kita bergaul dengan firman-Nya secara rasional semata-mata, atau secara dingin. Kita bahkan dapat memadamkan Roh (1Tes. 5:19). Kalau kita membaca Alkitab hanya dengan akal budi, kita sendiri tidak merasa terlibat, dan Firman itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan hidup kita. Perasaan kita harus ikut serta, dan menyangkut keseluruhan keberadaan kita sebagai manusia. Dengan demikian kita memberi tanggapan terhadap Injil, berdasarkan pengalaman sendiri. Karena tanggapan seperti itulah, maka hati para murid berkobar-kobar ketika Yesus menerangkan Kitab Suci kepada mereka.

Kalau kita melepaskan kebenaran Kitab Suci dari pengalaman maka yang kita peroleh hanyalah ajaran ortodoks yang benar, tetapi yang kering. Di sebelah lain, kalau orang-orang tidak mendengar pemberitaan yang hidup, dan mereka tidak dijiwai oleh keinginan untuk bergaul dengan firman-Nya sebagai sumur kehidupan, ada kemungkinan bahwa mereka dengan mudah dihanyutkan oleh keinginan akan memperoleh pengalaman. Kalau kita terseret dalam pesona rohani, maka kita dapat menempatkan perasaan berlawanan dengan akal budi. Yang diutamakan mereka adalah pertanyaan apakah mereka juga merasa tersentuh. Jika begitu halnya, maka Allah Roh Kudus dengan mudah disamakan dengan pengalaman rohani manusia. Maka hanya perasaan sajalahsatu-satunya hal yang nyata di mana manusia masih menginginkan Allah.

Akan tetapi, dengan demikian hilanglah segala keseimbangan yang telah ditentukan-Nya sendiri dengan begitu teliti. Roh Allah mencari hati kita. Firman-Nya ingin menyentuh kepribadian kita sampai kepada semua lapisan yang terdalam.

Menguji penglihatan-penglihatan dan ilham-ilham

Pada waktu orang menaikkan ”doa-sambil-mendengarkan” dengan keinginan untuk menerima petunjuk profetik, banyak hal yang dapat timbul. Ada orang-orang Kristen yang berbicara tentang berbagai pengalaman dan penghiburan luar biasa yang telah mereka alami. Dengan tujuan-tujuan yang baik, mereka mengharapkan banyak dari Roh Allah. Namun, hal itu juga berhubungan dengan sikap orang-orang yang sangat ingin disentuh dalam emosi mereka, dan sangat rindu akan memperoleh pengalaman. Hal itu memang memiliki daya tarik tertentu dan sangat memikat. Akan tetapi, pada akhirnya, apakah artinya untuk usaha mempraktikkan iman kita? Orang tidak bisa hidup dari pengalaman-pengalaman rohani.

Ada orang-orang Kristen yang mempunyai banyak pengalaman dengan bentuk doa ini. Mereka mengenal juga segi kepekaannya, segi bahayanya dan kemungkinan penyesatannya. Mengenai yang terakhir itu: kalau Anda mulai berdiri di atas Firman, bisa saja timbul hal-hal yang tidak berasal dari Allah. Dalam hal itu dengan sangat mudah orang menyamakan berbagai ilham dan intuisi dengan apa yang dikatakan oleh Roh. Padahal apa yang telah ditimbulkan akibat segala pergumulan di dalam hati seorang, tidak selalu berasal dari Roh. Kita dapat juga sangat keliru dan menganggap apa yang sebetulnya timbul dalam batin sebagai pimpinan Roh.

Dan sejarah gereja telah menunjukkan bahwa pembukaan jalan itu dapat dengan mudah juga merupakan pintu masuk bagi serangan roh-roh penyesat dan kuasa-kuasa setan (lihat Jessie Penn Lewis dan Evan Roberts, ”War on the saints”). ”Bisikan suara” yang terdengar, tidak selalu dapat dipercaya.

Hal itu harus diperhatikan dengan sangat saksama! Itu terbukti apabila kita mengkaji serangkaian pengujian di bawah ini yang telah disusun oleh seorang Leanne Payne, seorang pakar di bidang pelayanan doa itu:

- Dalam menantikan keputusan Allah, yaitu apakah Dia mau memperdengarkan suara-Nya dalam doa atau tidak, tidak boleh Anda seakan-akan memaksa Dia.
- Usaha untuk mendengarkan menjadi tercemar kalau pada saat yang sama tidak menyadari dosa-dosa Anda.
- Kalau tidak ada kebersatuan di antara orang-orang Kristen, suara Allah tidak akan menembus dalam doa itu.
- Ada kemungkinan cara mendengarkan adalah keliru, kalau yang Anda dengar hanya apa yang ingin Anda dengar (subjektivisme yang egoistis).
- Janganlah mengatakan dengan mudah bahwa Tuhan telah mengatakan sesuatu, sebab dengan demikian ada kemungkinan Anda menghujat nama-Nya. Katakanlah dengan hati-hati bahwa tampaknya Dia ingin mengatakan sesuatu.
- Anda harus bersikap sangat rendah hati dan tidak gegabah, sebab manusia dapat membanggakan ilham-ilham yang mereka terima.
- Semua ilham harus diuji apakah sesuai dengan firman Allah.
- Pada akhirnya ”roh doa”, yang hanya dapat diilhamkan oleh Allah, dapat menilai apakah suara Allah terdengar, ”ya” atau ”tidak”. Karunia roh ini lebih unggul daripada pemikiran secara sadar, dan membangun pemikiran yang berciri perasaan intuitif.

Namun, demikian saya bertanya, apakah karunia terakhir yang luar biasa itu (yang secara hakiki tidak dapat ditemukan dalam Kitab Suci) tidak perlu diuji? (Ul. 13:1-3; 18:22; Kis. 17:11; 1Yoh. 4:1; 1Tes. 5:20,21; Gal. 1:8; 2Ptr. 3:15 dst). Gambaran-gambaran dan pengalaman-pengalaman muncul, orang-orang menerima berbagai ilham, tetapi siapakah yang menentukan apakah itu semua penyataan Allah? Siapakah yang akan menilai itu? Apakah sebuah lingkaran para pakar dan orang-orang Kristen yang sudah matang dapat melakukannya? Praktik membuktikan juga bahwa pengujian terhadap semua pengalaman itu sangatlah peka...

Sebab pengalaman seseorang merupakan otoritas yang kuat.

Apa yang diterima oleh seorang secara teramat pribadi, pasti diyakininya sebagai pengalaman yang sejati dan yang tidak dapat dibantah.

Memperhatikan batasan-batasan

Selain itu masih dipertanyakan apakah pikiran dan perasaan yang timbul, boleh kita samakan dengan pikiran dan perasaan Allah (Yes. 55:9; Hos. 11:9). Pikiran dan perasaan kita sendiri dapat saja dibalut dengan wibawa Ilahi. Tidak pernah roh kita dan Roh Allah dapat menjadi satu, dalam arti bahwa kita telah berpadu dengan Allah. Allah tidak memberikan perasaan-Nya kepada kita.

Perasaan kita tetap adalah perasaan kita, yang berbeda setinggi langit dengan perasaan Allah. Janganlah kita memudarkan batas-batas antara Allah dan manusia (Pkh. 5:1)! Kedekatan Allah dengan kita, dapat membangkitkan berbagai emosi, karena Allah menyentuh perasaan kita, lalu segala macam hal mulai timbul pada permukaan. Namun, janganlah kita bertindak terlalu berani dan mengatakan bahwa itu pasti Allah, dan bahwa emosi-emosi itu berasal dari Allah. Dia menyentuh perasaan kita dari dalam firman-Nya, untuk mengendalikan perasaan kita, mengawasinya, mengoreksinya, dan kalau perlu mencucinya.

Dengan berpikir secara rasional, kita tahu bahwa juga di luar suatu bentuk berdoa-sambil-mendengarkan, Roh dapat memberikan berbagai wawasan mengenai situasi orang lain serta pendekatan-pendekatan yang intuitif. Karena orang-orang Kristen begitu mengenal firman Allah, dan hidup menurut Alkitab, maka Alkitab itu juga terbuka dalam kehidupan manusia. Untunglah bahwa karunia bernubuat belum menghilang dari gereja maupun dari dunia ini!

Sebagai tambahan masih suatu keterangan yang bersifat merelatifkan: seorang pendeta dalam gerakan Pentakosta pernah mengatakan bahwa sebetulnya semua ilham itu tidak begitu luar biasa, dan dapat juga muncul dalam sebuah khotbah atau penerapan dan pengarahan khusus oleh orang Kristen yang lain.

4. Pergaulan yang hidup

Dalam bagian yang terakhir ini saya akan berusaha memberikan pendekatan yang positif terhadap unsur-unsur yang telah dikemukakan. Tangkapan berhubungan dengan saat teduh, hidup dalam ketergantungan dan penyerahan diri, dan pergaulan yang hidup dengan Kristus.

Saat teduh

Saya tidak mengatakan bahwa saat teduh tidak mempunyai fungsi. Perhatian untuk saat-saat hening guna mencari pergaulan karib dengan firman Allah, adalah sangat berharga (Mzm. 62:2).

Kita sering tidak mempunyai ketenangan batin untuk menyerap keheningan itu ke dalam diri kita. Bagi pergaulan dengan Allah, maka saat-saat hening itu sangat diperlukan. Dalam saat-saat itu kita membaca firman Allah, merenungkannya, menghayatinya, dan sungguh-sungguh merasakan apa yang hendak dikatakanNya. Seakan-akan kita mengetuk-ngetuk sebuah naskah sampai dia terbuka dan berbicara ke dalam hati kita. Dan semua itu diiringi dengan doa, di mana kita mencari kehadiran Allah dan memohon bimbingan-Nya, wawasan-Nya dan hikmat-Nya (Mzm. 119:18). Saat teduh seperti itu, sebagai saat ketenangan meditasi, kita dapat tiru dari para tokoh besar dalam sejarah gereja.

Saat teduh itu juga kita alami apabila bersama-sama kita membaca firman Allah, dan sesudahnya merenungkannya serta merasakan apa yang telah kita baca. Kita mengamini Mazmur 1 yang mengatakan bahwa berbahagialah orang yang merenungkan firman Allah siang dan malam. Saat teduh itu juga penting kalau kita bersama-sama menundukkan kepala dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Allah. Atau kalau kita bersama-sama mendengarkan seorang yang dipanggil untuk menjelaskan firman Allah dan menerapkannya.

Penyerahan diri

Di mana saja hal ”berdoa dalam Roh” dibicarakan dalam Perjanjian Baru, maka yang menjadi pokok ialah jelas sikap ketergantungan dan penyerahan diri. Perhatian yang diberikan pada kerentanan kita itu sangat berguna. Alangkah baiknya kalau kita membuka diri ke arah Allah, dan menunjukkan bahwa kita tergantung daripada-Nya dan ingin selalu menempel kepada-Nya. Kerinduan agar kita semakin intensif dan semakin bertumbuh dalam hal itu, sesuai benar dengan isi Alkitab. Dalam hal itu pengoreksian dibutuhkan terhadap keinginan manusiawi untuk mengendalikan sendiri dan mengontrol segala-galanya.

Namun, apabila seorang tidak ”berdoa-sambil-mendengarkan” dengan cara seperti diajukan dalam ide pelayanan doa, itu tidak berarti bahwa dia hidup dengan keinginan mengendalikan sendiri segala-galanya. Menyerahkan diri dan melepaskan kendali hidup, bisa juga kita lakukan dengan berpedoman pada apa yang telah dikatakan Allah dalam Kitab Suci. Dan dengan membiarkan diri kita dipimpin oleh firman-Nya. Dengan berpegang teguh kepada Allah, dan tidak mengandalkan wawasan dan usaha sendiri untuk memecahkan segala masalah.

Janganlah kita berdoa ke arah diri sendiri, melainkan ke arah Dia. Bersikaplah penuh ketergantungan kepada Allah, dengan keyakinan bahwa kekuatan kita terletak dalam kerentanan kita.

Saya yakin benar bahwa Allah mau memimpin hidup kita, juga dalam situasi-situasi konkret, di mana kita harus mengambil keputusan. Allah telah berjanji untuk menolong mereka yang membaca firman-Nya dan merenungkannya serta mencurahkan segala-galanya kepada-Nya dalam doa. Dia dapat menyebabkan bahwa sebuah pesan dalam Alkitab berbicara dengan kuat pada hati kita. Namun, Dia tidak berjanji akan memberi pesan-pesan yang baru. Allah telah memberikan karunia untuk mengambil keputusan-keputusan, yaitu, iman, hikmat, wawasan, kepekaan untuk dapat membeda-bedakan antara pengetahuan dan pengertian yang benar dan yang tidak (Flp. 1:9). Semua itu didukung oleh doa mohon pimpinan. Kita dapat melihat secara pribadi pimpinan-Nya, tetapi itu tidak sama dengan menyebut pikiran-pikiran kita sebagai pesan-pesan dari atas. Roh hendak memimpin hati dan pikiran kita, sehingga kita sendiri juga bertanggung jawab atas arah hidup kita. Dia mencerahkan akal kita, membentuk hati nurani kita dan mengembangkan ”kepekaan” kita, sehingga tahu mana jalan Allah. Dengan membuka diri kita bagi pimpinan-Nya, kita akan selalu berjalan ke arah Kristus, dan tidak pernah menjadi orang kerdil yang mandiri, melainkan dihubungkan dengan Dia.

Pergaulan yang hidup

”Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20). ”Hendaklah perkataan Kristus tinggal dengan limpahnya di antara kamu” (Kol. 3:16). Dan sejajar dengan itu, ”Hendaklah kamu penuh dengan Roh” (Ef. 5:18).

Kalau perkataan Kristus tinggal di dalam aku, maka itu bukan pertama-tama karena ada suara yang berbisik di dalam kalbuku.

Yang mula-mula jelas terdengar ialah suara yang dari luar datang kepadaku, dengan permintaan untuk diizinkan masuk.

Dengan demikian Dia masuk dan menuntut tempat tinggal bagi Dia. Dia memengaruhi aku dengan firman-Nya, sehingga hidupku dipenuhi oleh-Nya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau perkataan-Nya menduduki tempat yang penting dalam hidupku. Semakin aku mengenal firman-Nya, semakin Firman itu menjadi bagian diriku. Dengan demikian Dia mendapat segala ruang untuk berbicara dengan aku. Dan aku pun secara pribadi rela diperintah oleh-Nya. Dialah Tuan Rumah. Dia mau tinggal seterusnya dalam hatiku, hidup bersama-sama dengan aku, dan menjadi bagian hidupku. Tidak ada sesuatu dalam kehidupanku yang tidak penting bagi Dia. Dia bukan hanya tertarik kepada bagian rohani dari keberadaanku, seperti lantai atasnya saja, tetapi dalam seluruh lingkungan tempat tinggalku. Dia memilih kehidupanku sehari-hari sebagai rumah-Nya. Dan karena dia menjadi begitu dekat denganku, maka dalam pergaulan dengan Dia, aku semakin lama semakin menyadari betapa besardosa-dosaku yang telah ditebus-Nya dengan darah-Nya. Kalau kita rela dipimpin oleh-Nya, maka makin lama kita makin menyadari segala kekurangan dan kesalahan kita. Dan semakin lama semakin kita menyadari pula betapa besar kasih-Nya kepada kita.

Dalam pengalaman dengan pergaulan rahasia dengan Tuhan Yesus, orang-orang Kristen dapat merasakan bahwa Tuhan Yesus datang begitu dekat, sehingga seakan-akan terjalin dialog antara Dia dan mereka sendiri (Thomas a Kempis). Maka dapat dikata bahwa mereka mendengar suara Dia yang kita jumpai dalam Kitab Suci, dan yang melalui jalan itu memperkenalkan diri. Seperti bunyi Mazmur 27:8: ”Hatiku mengikuti firman-Mu:

”Carilah wajah-Ku”. Di sini hati berbicara sebagai hati nurani, dan di dalamnya bergema suara Allah yang menembus ke dalam hati.

Jadi, yang terdengar bukan suara batin kita sendiri, melainkan suara Roh yang mengembus dari Kitab Suci ke arah kita.

Bangkitkan karunia untuk bernubuat

Apakah karunia untuk bernubuat itu sudah ketinggalan zaman?

Bukankah pada hari Pentakosta nubuat Yoel sudah digenapi, yaitu bahwa kaum muda dan kaum tua akan mendapatmimpi-mimpi dan penglihatan-penglihatan? (Kis. 2:17). Bukankah semua orang Kristen menjadi nabi? (1Yoh. 2:20; 1Ptr. 2:9). Di sini kita tidak akan membahas lebih jauh fenomena nubuat dalam Perjanjian Lama dan Baru. Makna nubuat untuk masa kini mendapat bab tersendiri. Saya hanya akan memberi beberapa catatan untuk memperlengkapi bab ini. Kalau kita hendak mendasarkan diri pada penyataan Allah yang langsung diberikan kepada Samuel, kita harus memperhitungkan saat yang luar biasa waktu itu. Pada zaman itu firman TUHAN jarang didengar di Israel (1Sam. 3:1). Pada saat itu Allah hendak membuat permulaan yang baru dengan garis nubuat tersendiri sejak Musa, dengan siapa Dia berkatakata dengan berhadap-hadapan (Bil. 12:6-8). Seperti dalam Perjanjian Lama para nabi mengajar bangsa Israel dan mendesak mereka supaya kembali menjalin hubungan yang hidup dengan Allah, demikian pula di dalam Perjanjian Baru, kita lebih dahulu mengenali para nabi yang memberi penyataan di samping para rasul. Dan selanjutnya karunia berupa visi nabi yang diberikan kepada beberapa orang, yang bertugas supaya dalamsituasi-situasi yang konkret, mereka menerapkan kebenaran Allah yang telah dinyatakan-Nya. Adapun karunia itu tidak selalu luput dari kekeliruan, sehingga perlu diuji lebih jauh (1Kor. 12:19; 1Yoh. 4:1; 1Tes. 5:19-21). Di situlah Roh berbicara dan masih tetap bekerja, yaitu dalam mengembangkan kepekaan untuk menafsirkan berbagai situasi. Itu tidak berarti bahwa Firman disepelekan, bahkan sebaliknya, Firman justru dimaksimalkan dan diterapkan. Dan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan pergaulan hidup dengan Kristus.

Orang-orang Kristen dapat memiliki dengan jelas karunia untuk bernubuat (1Kor. 11:4,5; 13:2; 14:3-5). Dalam hal itu saya ingat kepada sejumlah pria dan wanita, yang kadang-kadang sangat sederhana. Mereka telah diajari oleh Allah untuk mampu mengucapkan kata-kata yang tepat dalam berbagai situasi pada zaman kita ini. Mereka hidup begitu dekat dengan Allah dan berdasarkan firman-Nya, sehingga mereka memiliki karunia untuk memahami zaman mereka dan menerapkan perkataanNya secara praktis. Mereka mampu membawa firman Allah secara mengesankan, mampu memahami manusia, mampu memberi pandangan-pandangan ke depan yang melegakan, dan apabila perlu mereka dapat memberi kritik yang tajam. Mereka tidak berbicara dalam kebenaran-kebenaran yang umum, melainkan secara terarah dan pribadi. Seandainya karunia-karunia itu sudah terpendam, maka tiba saatnya untuk menggalinya kembali.

Untuk itu perlu disediakan waktu guna menyelidiki Firman secara mendasar, supaya dapat diterapkan dengan nyata. Sebuah nubuat yang sejati harus muncul dari firman Allah sendiri. Allah yang hidup masih saja memperdengarkan suara-Nya.

5. Penutup

Roh itu bebas

”Kalau sesuatu ternyata sesuai dengan Kitab Suci, maka perhatikanlah supaya Roh mempertahankan ruang-Nya sendiri”.

Ucapan Hendrik de Cock ini tak pernah saya lupakan. Kita dapat mendukakan Roh kalau kita tidak mengakui bahwa Dia bebas memilih jalan-Nya. Hal itu tidak diperdebatkan di sini. Roh itu bebas untuk memilih jalan-jalan lain dalam mendatangi hati manusia, apabila firman-Nya jarang diberikan (1Sam. 3), dan apabila Injil tidak mendapat tempat, atau kalau Dia hendak memperkuat sebuah permulaan baru pada zaman yang baru.

Roh Allah bebas untuk pergi ke mana pun dan tinggal di mana pun, menurut kehendak-Nya. Dia tidak terkurung dalam firman Allah. Dia bebas, berdaulat dan berkuasa penuh untuk memilih jalan-jalan yang lain. Namun, Dia tidak menugaskan kita untuk mencari komunikasi langsung di samping Kitab Suci, apalagi lepas dari Kitab Suci itu. Tidak ada petunjuk sama sekali bahwa kita harus mencari penyataan yang khusus atau bahwa kita harus membuka diri dengan sadar dan secara metodis.

Alangkah besar anugerah Kristus kalau Dia tinggal di dalam diri kita melalui Roh-Nya. Alangkah nikmatnya kalau firman-Nya memengaruhi diri kita. Namun, komunikasi langsung disediakan untuk masa depan. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal (1Kor. 13:12). Nanti, kalau Allah adalah segala-galanya di dalam semua orang. Dan kalau kita hidup sepenuhnya di atas nafas suara-Nya.

Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas

1. Apakah Anda mempunyai pengalaman dengan pelayanan doa (berdoa-sambil-mendengarkan)? Pengalaman sendiri atau melalui orang lain?
2. Ada orang-orang Kristen yang mencari sesuatu dalam pelayanan doa, yang tidak dapat mereka temukan di tempat lain. Apakah sesuatu itu? Bagaimana kita bersama-sama dapat membicarakan hal itu?
3. Bagaimana pendapat Anda tentang ucapan ini: Allah Roh Kudus bebas untuk memilih jalan-jalan lain, tetapi Dia telah mengikat kita pada Firman? Bagaimana Anda menyikapi ”pengalaman-pengalaman yang luar biasa”?
4. Apakah Anda mengenali karunia untuk bernubuat dalam jemaat dan dalam hidup Anda sendiri?
5. Bagaimana Anda memecahkan dilema palsu: Firman/ akal budi berlawanan dengan Roh/ perasaan, rasio kontra emosi?
6. Apakah makna saat teduh dalam pergaulan dengan Allah? Apakah Anda mendapat cukup ruang untuk meditasi alkitabiah dalam hidup Anda?

Drs. E. Brink (1961) adalah pendeta jemaat di dalam Gereja-Gereja Reformasi di Belanda.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk ten Brinke, J.W. Maris, dkk.
  3. ISBN:
    978-602-0904-42-9
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak, 2004
  5. Penerbit:
    Literatur Perkantas