Tentang berbicara dalam ”bahasa lidah” oleh Hans van Benthem dan Klaas de Vries
”Beberapa waktu yang lalu aku minta didoakan oleh dua orang supaya aku menerima karunia untuk berbicara dalam bahasa lidah... Mereka setuju dan berdoa untukku. Aku merasa senang, karena mereka sudah berdoa untuk banyak macam hal, kecuali untuk aku supaya aku dapat berkata-kata dalam bahasa lidah. Dan menurut aku, itu suatu berkat. Lalu mereka menaikkan doa supaya aku dikaruniai kemampuan untuk berbahasa lidah ...
Naskah di atas ialah kutipan dari sebuah pidato mengenai efektivitas karya Roh Kudus. Si pembicara ingin berkata-kata dalam bahasa roh. Dia ingin menyembah Allah, memuji dan memuliakan Dia dalam bahasa ”surgawi” yang khusus itu. Begitu besar keinginannya sehingga dia meminta orang-orang lain berdoa untuk itu. Dan dia bukan satu-satunya orang yang berkeinginan begitu.
Banyak orang merasakan kerinduan yang sama. Alangkah nikmatnya seandainya Roh memimpin kita sebegitu rupa, sehingga kita mengatakan hal-hal yang melampaui akal budi kita.
Seandainya kita begitu terkagum-kagum karena Allah, sehingga keluar kata-kata dari mulut kita yang kita sendiri tidak dapat memahami. Bayangkanlah hal itu terjadi, maka Anda menjadi sangat yakin bahwa Anda dekat Allah. Maka Anda pasti penuh dengan Roh! Sungguh tak terkatakan nikmatnya bila kita mengalami ”antusiasme rohani” yang sangat suci itu. Berkata-kata dalam bahasa roh: Pastilah itu pengalaman yang paling indah!
Untunglah Alkitab sama sekali tidak menghalangi kita untuk berusaha mendapatkan pengalaman itu. Paulus mengatakan: ”janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh...” (1Kor. 14:39). Dia bahkan mengatakan, ”Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh...” (1Kor. 14:5).
Mungkin itulah juga sebabnya mengapa dalam Alpha Course (yang dikembangkan oleh Nicky Gumbel dan dipakai dalam banyak gereja Protestan; ada juga di Indonesia) orang-orang dianjurkan dengan kuat untuk berdoa supaya diberikan karunia untuk berbicara dalam bahasa roh.
Meskipun begitu, kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan. Bukan untuk mengurangi semangat yang berkobar-kobar itu. Bukan untuk mengurangi juga rasa bahagia yang boleh kita alami sebagai orang Kristen. Bukan untuk mengerem kerinduan kita untuk menyembah Allah. Sebaliknya, setiap orang Kristen mengalami saat-saat dalam hidupnya di mana dia mengalami kerinduan yang dalam untuk memuliakan Allahnya dan memujimuji Juru Selamatnya, Yesus Kristus, melalui Roh Kudus. Hanya saja, masih harus dipertanyakan apakah Alkitab dan kita ini mempunyai maksud yang sama kalau berbicara tentang ”bahasa roh” atau ”bahasa lidah”.
Apakah yang dimaksudkan Alkitab dengan berbicara dalam ”bahasa roh”? Dan di manakah hal itu harus kita tempatkan dalam hidup kita sebagai orang Kristen?
Di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia, baik dalam TB dan BIMK, ungkapan ”bahasa lidah” sama sekali tidak ada.
Kedua terjemahan itu selalu berbicara mengenai ”bahasa Roh”.
Sedangkan dalam gereja-gereja (khususnya Pentakosta dan Karismatik) lazim dipakai ”bahasa lidah”.
Bahasa Surgawi atau Bahasa Asing?
Karena dipengaruhi oleh gerakan Pentakosta dan berbagai kelompok karismatik, maka mendengar kata ”bahasa lidah” kita segera berpikir kepada bunyi-bunyi yang asing, bahasa yang tak dapat dimengerti; bunyi-bunyi itu tak ada hubungannya dengan bahasa-bahasa yang sudah ada di kalangan umat manusia; suatu rangkaian suara-suara aneh yang hanya sedikit atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan bahasa biasa. Apakah pikiran itu benar?
”Bahasa lidah” ialah perkataan yang aneh dan yang sebenarnya dibuat-buat. Alkitab memakai kata Yunani ”glossa”. Glossa mempunyai dua arti: lidah maupun bahasa. Jadi kita harus menerjemahkannya dengan: berbicara dalam bahasa-bahasa atau berbicara dalam lidah-lidah. Pada waktu Yunani kuno itu arti kedua terjemahan itu persis sama, yaitu: berbicara dalam bahasa asing. Barangkali Anda heran, tetapi memang betul: ”berbicara dalam bahasa lidah” tidak mempunyai arti lain daripada berbicara dalam bahasa yang berbeda dengan bahasa ibu kita. Jadi, bagi kita di Indonesia, itu berarti berbicara dalam salah satu bahasa yang kita tidak kenal, misalnya bahasa Korea. Sebab itu, janganlah kita dikelirukan karena istilah ”bahasa lidah” itu! Pada masa kini istilah itu mengasumsikan sesuatu yang lain, yang tidak dikenal dalam gereja pertama 2000 tahun yang lalu.
Hari Pentakosta
Untuk mengetahui asal mulanya berbicara dalam bahasa yang asing itu, kita harus membaca Kisah Para Rasul 2, yaitu pasal tentang pencurahan Roh Kudus. Apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu?
Para rasul dan para anggota jemaat lainnya menerima Roh Kudus. Setelah itu mereka mulai berbicara dalam bahasa-bahasa yang lain ”seperti yang diberikan Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya”. Orang-orang dari segala bangsa di kolong langit, yang sedang berada di Yerusalem, mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang percaya itu. Mereka semua terheran-heran, ”Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea?
Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa tempat kita dilahirkan?” (ay. 8). Dan dalam ayat 11 lagi, ”kita mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah”.
Jadi, apa yang terjadi? Berkat pekerjaan Roh Kudus, para anggota jemaat Kristus yang baru terbentuk itu, dengan tiba-tiba pada saat itu dapat berbicara dalam bahasa-bahasa lain. Sebelum hari itu berita Injil hanya terdengar dalam bahasa bangsa Yahudi.
Namun, pada hari Pentakosta itu batasan bahasa itu dibongkar dan semua bangsa dapat mendengar Injil dalam bahasa mereka sendiri. Pembongkaran batasan itu ditandai oleh mukjizat bahasa pada hari itu!
Yesus mengatakan dalam Markus 16:17: ”Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: Mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka...”.
Bahasa-bahasa yang baru, di sini tertera lagi kata ”glossa”. Jadi kata yang biasanya juga dapat diterjemahkan dengan ”bahasa”.
Orang-orang percaya akan mampu berbicara dalambahasa-bahasa yang baru, yang asing. Hal itu cocok benar dalam kerangka penyebaran Injil kepada segala bangsa yang tidak lama sebelum itu disebut oleh Yeus dalam perintah-Nya:
”Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (ay. 15). Pada hari Pentakosta hal itu terjadi!
Sebuah tembok tebal ditiup sampai roboh
Sejak dahulu Israel adalah bangsa pilihan Allah. Hanya kepada bangsa Israel Allah telah memberikan janji-janji-Nya. Tidak kepada bangsa lain mana pun. Menurut kesadaran orang-orang Yahudi, ada tembok yang sangat tebal di antara mereka danbangsa-bangsa lain. Namun, apakah yang terjadi pada hari Pentakosta?
Pada hari Pentakosta itu Injil mendobrak keluar melalui tembok yang tebal di sekeliling Israel itu. Tiba-tiba orang-orang mulai berbicara dalam berbagai macam bahasa untuk bercerita tentang perbuatan-perbuatan besar Allah. Tiba-tiba saja orang-orang memuji Tuhan dalam bermacam-macam bahasa. Allah sendiri meniup tembok yang tebal itu hingga roboh.
Itulah makna berbicara dalam bahasa roh yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul 2. Kejadian itu menandai peralihan raksasa itu: Injil mendobrak keluar dari perbatasan bangsa Yahudi. Keluar menuju semua bangsa, sampai ke ujung bumi.
Untuk siapa tanda itu mempunyai arti yang penting? Tanda itu pertama-tama diperuntukkan bagi bangsa Yahudi sendiri! Sebab bagi mereka, peralihan yang hebat itu sangatlah mengejutkan. dan sukar diterima begitu saja. Tiba-tiba saja bangsa-bangsa lain juga mendapat pintu masuk yang bebas menuju Allah yang berabad-abad adalah Allah bagi mereka saja! Bagi mereka hal itu hampir-hampir tidak dapat dipahami; mungkin dengan akal budi, tetapi hal itu hampir mustahil diterima dalam perasaan hati mereka . Banyak orang Yahudi tidak mau menerima kenyataannya.
Padahal itu benar-benar suatu kenyataan. Itulah yang dibuktikan, dinyatakan dan diajarkan oleh Roh Kudus pada hari peralihan yang besar itu, hari Pentakosta. Mereka sendiri (orang-orang Yahudi!) mulai berkata-kata dalam bahasa lain daripada bahasa Ibrani mereka. Pasti mereka sendiri sangat terkejut dan heran!
”Mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh”
Hal itu jelas tampak dalam Kisah Para Rasul 10 dan 11, di mana diceritakan tentang pertobatan Kornelius dengan seisi rumahnya.
Mereka bukan orang Yahudi. Baptisan mereka sangat mengejutkan orang Kristen Yahudi, dan dipertanyakan para rasul. Petrus, dalam pasal ini, membela keputusannya untuk membaptis mereka. Dalam Kisah Para Rasul 10:45-46 kita membaca: ”Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengangcengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, sebab mereka mendengar orang orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah.”
Orang-orang Kristen Yahudi orang-orang percaya dari golongan bersunat hampir tidak percaya bahwa Injil juga diberitakan kepada bangsa-bangsa lain dan dipercayai oleh mereka. Namun, kenyataan bahwa bangsa-bangsa itu juga berkata-kata dalam bahasa asing, menghapuskan segala keraguan mereka... sebab orang-orang Yahudi itu dengan jelas ”mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh...
Dalam pasal 11 Petrus harus mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius, orang yang bukan Yahudi itu, di depan jemaat Kristen Yahudi di Yerusalem. Bagaimana bunyi pembelaannya?
Dalam ayat 15 dia mengatakan, ”Ketika aku mulai berbicara, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, sama seperti ke atas kita dahulu.” Lalu dia menutup pembelaannya dengan apa yang tertulis dalam ayat 17: ”Jadi, jika Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada kita pada waktu kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah Dia?”
Jadi, kemampuan untuk berbicara dalam bahasa-bahasa asing itu adalah sarana bantuan yang sangat penting untuk meyakinkan orang-orang Yahudi bahwa batas-batas antara mereka danbangsa-bangsa lain telah dihapus. Orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem yang merasa cemas, memang berhasil diyakinkan, dan hal itu tampak dalam ayat 18: ”Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya, ”Jadi, kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup!”
Barangkali hal berbicara dalam bahasa-bahasa asing telah memainkan peran yang sama juga di dalam Kisah Para Rasul 8:4-25. Di situ Injil diberitakan kepada orang-orang Samaria, musuh bebuyutan orang Yahudi. Ketika mereka percaya, mereka menerima Roh Kudus setelah para rasul menumpangkan tangan di atas mereka. Tindakan itu boleh jadi disertai dengan tanda-tanda, antara lain berkata-kata dalam bahasa-bahasa asing.
Hal itu dengan jelas dilihat oleh orang-orang yang hadir, antara lain Simon, si tukang sihir: ”Ketika Simon melihat bahwa Roh itu diberikan melalui penumpangan tangan rasul-rasul itu...” (ay. 18). Dalam Kisah Para Rasul 8:26-39 diceritakan bagaimana pejabat istana negara Etiopia yang belum mengenal Tuhan menjadi percaya sesudah percakapan dengan Filipus. Menarik juga bahwa di situ kita justru tidak membaca apa-apa tentang hal berkata-kata dalam bahasa-bahasa asing. Mengapa begitu? Karena di situ tidak hadir orang-orang Yahudi yang perlu diyakinkan. Sebab itu tanda peralihan itu (berbahasa asing) tidak diperlukan. Itu bukti lagi bagi kenyataan bahwa berkata-kata dalam bahasa-bahasa asing adalah tanda untuk orang-orang Yahudi!
Dalam sidang penting di Yerusalem (Kis. 15), Paulus harus berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan beberapa orang Farisi yang sudah percaya, bahwa tembok pemisah antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain, benar-benar telah dirubuhkan. Paulus melakukan itu dengan menunjuk kepada Roh Kudus yang telah mereka terima: ”Dia mengaruniakan Roh Kudus kepada mereka sama seperti kepada kita, dan Dia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka...” (ay. 8b dan 9a). Ungkapan ”sama seperti mereka juga” kita jumpai di sini juga (ay. 11; bdk. Kis. 11:17). Dengan ungkapan itu sudah pasti Paulus menunjuk kepada tanda-tanda yang menyertai penerimaan Roh, seperti berkatakata dalam bahasa-bahasa asing.
Perbedaan antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain sudah dihapus bersih. Tembok pembatas yang merupakan pemisah telah dirobohkan (Ef. 2:14). Yahudi atau Yunani, mereka semua adalah satu di dalam Kristus (Gal. 3:28). Orang-orang dari bangsa-bangsa mana pun boleh bergabung, tanpa ada persyaratan mengenai negara asal atau pun warna kulit. Bagi orang Yahudi hal itu sulit diterima. Paulus harus mengingatkannya berkali-kali kepada mereka (bdk. Rm. 3:27-29; 9:23,24; 10:12; 1Kor. 1:22-25; 12:12,13; Kol. 3:11). Dalam hal ini, khususnya orang-orang Yahudi di Korintus dapat disebut ”orangorang yang tidak beriman”.
Tanda yang sama
Paulus telah bekerja selama satu setengah tahun di Korintus (Kis. 18).
Di kota itu tinggal banyak orang Yahudi. Justru dari merekalah Paulus mengalami banyak perlawanan dan permusuhan. Pada akhirnya orang-orang Yahudi itu menyeret dia ke depan hakim dan berhasil mengusirnya dari kota itu. Injil Kristus yang diperuntukkan bagi semua bangsa, telah mereka halang-halangi dengan segala macam cara. Barangkali itulah sebabnya mengapa Tuhan justru di Korintus menganugerahkan karunia untuk berkata-kata dalam bahasa-bahasa asing itu dengan begitu melimpah. Sebagai tanda bagi orang-orang Yahudi yang tidak percaya!
Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 14:22 bahwa karunia bahasa roh adalah tanda untuk ”orang yang tidak beriman”. Yang dimaksudkannya ialah orang-orang Yahudi yang tidak percaya. Hal itu ditunjukkan dengan jelas oleh Paulus dalam ayat 21, di mana dia mengutip Yesaya 28: ”Dalam hukum Taurat ada tertulis: Olehorang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan.” Nah, ”bangsa ini” ialahorang-orang Yahudi.
Menurut pendapat kami 1 Korintus 14 (yang bagi banyak orang adalah bab yang paling jelas bagi karunia untuk berkata-kata dalam bahasa roh) karunia berbahasa roh ini mencakup tanda peralihan yang sama seperti di Kis. 2 dan 10. Jadi, istilah ”berbahasa roh” dalam Korintus juga mengacu pada berkata-kata dalam bahasa-bahasa asing. Dan tidak mengucapkan bunyi-bunyi yang tak dapat dipahami, seperti suatu bahasa raban (KBBI: ”bunyi ujar anak yang berusia sekitar 5-8 bulan, berupa pengulangan bunyi yang mirip suku kata, sebelum anak berhasil mengucapkan kata-kata”). BIMK menerjemahkan secara tepat dengan pelbagai bahasa; ada terjemahan lain yang secara konsekuen menerjemahkannya dengan ”bahasa asing”.
Ketika Paulus mengatakan bahwa bahasa lidah tidak berguna bagi siapa pun, kecuali kalau ada orang yang menafsirkannya (ay. 5), itu bukan karena bahasa itu adalah bahasa rahasia yang tidak dapat dipahami. Yang dimaksudkan Paulus dengan ”menafsirkan” adalah ”menerjemahkan”. Juga di sini berlaku bahwa kata Yunaninya hanya berarti ”mengalihbahasakan” atau ”menerjemahkan”.
Mengapa di Korintus diperlukan penerjemah, sedangkan di Yerusalem tidak (Kis. 2)? Alasan untuk itu tampaknya cukup sederhana: di Yerusalem, yang hadir adalah orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa yang mempunyai bahasa yang tidak sama dengan bahasa para murid Yesus. Orang-orang itu mendengar para murid berbicara dalam bahasa mereka sendiri, demikian tertulis dalam Kisah Para Rasul 2:9-14. Jadi, mereka tidak memerlukan penerjemah.
Coba Ikut berpikir
Bayangkan kejadian ini: Anda memasuki sebuah ruangan besar, di mana seorang Jepang sedang berbicara. Apakah Anda akan mengatakan: ”Orang itu bicaranya rancu”? Saya kira tidak. Boleh jadi Anda tidak mengerti apa yang dikatakannya, tetapi yang jelas, itu bukan bahasa yang kacau.
Bayangkan lagi, Anda mendengar 20 orang sedang berbicara dalam bermacam-macam bahasa, yang seorang bahasa Portugis, yang lain bahasa Rusia, Bahasa Inggris, Korea, dan seterusnya.
Apakah kita akan mengatakan, kacau sekali keadaan ini, sepertinya semuanya sedang bicara bahasa rancu? Memang, mungkin itulah yang akan kita katakan.
Sekarang bandingkanlah hal itu dengan apa yang tertulis dalam 1 Korintus 14:23: ”Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersamasama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila?”
Di sini Paulus menegaskan supaya mereka jangan semuanya beramai-ramai berbicara dalam bahasa bahasa asing. Untuk seorang yang memasuki ruangan itu, keadaannya seperti sedang kacau balau.
Tampaknya keadaan itu berbeda apabila yang berbicara dalam bahasa asing itu, hanyalah satu orang! Bagi seorang dari luar yang kebetulan memasuki ruangan itu, kedengarannya tidak seperti bahasa rancu.
Hal yang terakhir itu menunjukkan bahwa Paulus memang membahas pemakaian sebuah bahasa biasa. Perbandingan dengan bunyi-bunyi yang tak dapat dimengerti (bahasa lidah masa kini) yang diucapkan oleh seorang yang sedang mengalami ekstase, memberi kesan yang berbeda dengan kata-kata seorang yang sedang berbicara dalam bahasa negeri yang asing.
Relativitas yang penting
Apakah berbicara dalam bahasa asing pada waktu itu di Korintus salah? Tidak. Paulus mengatakan: janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa asing. Itu adalah tanda peralihan yang dikaruniakan oleh Roh Kudus untuk menegaskan pembukaan Injil kepada semua bahasa dan bangsa. Dan pada hari Pentakosta dan juga sesudahnya, misalnya di Korintus, tanda itu sangat membantu pendobrakan tembok dan pembukaan kepada semua.
Namun, di Korintus telah terjadi sesuatu yang sangat mengelirukan.
Orang-orang Korintus membiarkan karunia itu mengacaukan ibadah, lepas dari tujuannya yang sebenarnya. Apa yang dimaksudkan Roh sebagai tanda semata, mereka membuatnya menjadi sebuah pengalaman. Mereka jatuh hati pada karunia itu dan menganggapnya sebagai hadiah Allah yang paling indah dan yang paling mereka dambakan. Bukankah itu kejadian yang luar biasa kalau kita tiba-tiba saja dapat berbicara dalam bahasa yang asing? Karunia itu menjadi sesuatu yang dibanggakan, seakanakan mereka mengatakan: Hai, dengarkan aku...! Sebab itu mereka mulai berbicara bahasa itu secara sembarangan, entah saatnya tepat atau tidak tepat. Juga di dalam pertemuan-pertemuan jemaat, di mana hal itu tak berguna (tidak membangun) bagi siapa pun.
Sebagai reaksi terhadap situasi yang keliru itu, Paulus mulai merelatifkan karunia bahasa itu dengan kuat. Argumennya yang paling utama ialah ini: karunia Roh harus dipakai untuk membangun jemaat, bukan untuk membangun dan memuliakan diri sendiri. Itu merupakan peraturan yang teramat penting!
Untuk membangun jemaat
Peraturan yang penting itu sudah mulai disebut Paulus dalam pasal 12. Dalam ayat 28 dia memberi urut-urutan dalam menyebut karunia-karunia Roh itu, yaitu, yang pertama, yang kedua, yang ketiga. Namun, baru sebagai yang terakhir dan yang paling bawah, di bagian yang paling belakang, dia menyebut ”berkata-kata dengan bahasa lidah” (BIMK: ”berbicara dengan berbagai bahasa yang ajaib”). ”Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersamasama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa lidah, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, bukankah mereka akan katakan, bahwa kamu gila?” (1Kor. 14:23).
Juga sebelumnya dalam pasal yang sama itu, ketika Paulus menyebut secara satu per satu segala karunia Roh (ay. 8-10), maka karunia untuk berkata-kata dengan bahasa lidah, mendapat tempat yang terakhir. Lalu Paulus menambahkan catatan bahwa jemaat harus berusaha memperoleh karunia-karunia yang paling utama (ay. 31). Jadi, berkata-kata dalam ”bahasa lidah” (artinya bahasa asing) tidak termasuk karunia-karunia yang paling utama!
Dan mengapa begitu, dijelaskan Paulus dalam pasal 14.
Benang merah dalam pasal 14 ialah ini: apakah kita terarah kepada diri kita sendiri atau kepada jemaat? Apakah tindakan kita hanya berguna bagi kita sendiri atau juga berguna bagi orang lain? Dengan sangat jelas Paulus mengutamakan karunia-karunia lainnya, yaitu yang dapat membangun orang lain.
Hal itu sudah langsung terlihat: ”Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia”, kata Paulus dalam 1 Korintus 14:2. Dengan kata lain, pembicaraan dalam bahasa roh hanya dapat dimengerti Allah, dan dengan demikian kita hanya membangun kita sendiri. Lagi pula kita mengatakan hal-hal yang bagi kita sendiri tidak dapat mengerti dan yang penuh rahasia. Bukankah oleh Roh kita berbicara dalam bahasa-bahasa asing yang sama sekali tidak kita pahami? Anda sendiri tidak paham. Jadi Anda tak dapat juga menjelaskannya kepada orang lain.
Dalam ayat 4 Paulus mengatakan, ”Siapa yang berkata-kata dengan bahasa lidah, ia membangun dirinya sendiri...” Padahal justru bukan itulah tujuannya! Karunia-karunia Roh diberikan untuk membangun jemaat, bukan untuk membangun diri sendiri. Bacalah lanjutannya, ”...tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun jemaat.” Jadi, apabila kita berkata-kata dalam bahasa roh, dan efeknya hanyalah bahwa kita membangun diri sendiri, maka tindakan itu gagal mencapai tujuan umum karunia: membangun jemaat.
Nicky Gumbel (penulis Alpha Course) sangat membela karunia untuk berbicara dalam bahasa rahasia yang diucapkan penuh ekstase. Inilah yang ditulisnya: ”Kerinduan untuk berkatakata dalam bahasa lidah, tidak bersifat egois. Memang ada tertulis bahwa ”Siapa yang berkata-kata dengan bahasa lidah, ia membangun dirinya” (1Kor. 14:4), tetapi hal itu secara tidak langsung dapat membawa pengaruh besar bagi orang lain.”
Sementara Paulus di sini membuat kontras jelas antara kedua hal ini (atau terarah kepada diri kita sendiri, atau terarah kepada orang lain; Paulus dalam hal ”terarah kepada orang lain” sangat negatif), maka Gumbel membuat-buatnya sesuatu yang positif.
Dengan keterangan ini juga menjadi jelas soal tentang berkatakata dalam bahasa roh di kamar kita sendiri, untuk membangun diri sendiri. Bukankah hal itu menyalahi tujuannya? Karena karunia itu justru merupakan sebuah tanda yang berguna bagi orang lain, terutama bagi orang Yahudi yang tidak beriman...
Apa yang dikatakan Paulus kemudian dalam pasal ini mengenai berdoa dalam bahasa lidah, sesuai benar dengan garis tadi. Ayat 14 berbunyi: ”Sebab jika aku berdoa dengan bahasa lidah, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak menghasilkan apa-apa.” Dengan kata lain, kalau Paulus berdoa dalam bahasa lidah, dia sendiri tidak mengerti arti kata-katanya. Akibatnya ialah bahwa dia tidak dapat menyampaikan isinya kepada orang lain, sehingga orang itu tidak dapat juga menyatakan persetujuannya.
Hal yang sama berlaku untuk lagu puji-pujian dan ucapan berkat dalam bahasa lidah: ”...bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan ”amin” atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan?” (ay. 16). Kalau begitu, dia juga tidak dibangun oleh bahasa itu. Tak henti-hentinya Paulus menekankan hal itu dalamsurat-suratnya. Dalam 1 Tesalonika 5:11, Paulus menulis: ”Saling membangunlah kamu!” Dan surat ini, yaitu 1 Korintus, penuh berisi nasihat-nasihat seperti itu. Misalnya pasal 10:23-24, ”Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi tidak semua membangun. Jangan seorang pun mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.” Pasal 12:7: ”Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama”. Semua karunia diberikan untuk bersama-sama membentuk satu tubuh dan untuk saling memelihara dan saling melayani. Itulah sebabnya Paulus menyisipkan pasal 13 di sini. Yaitu kidung yang terkenal tentang kasih. Lihatlah saja misalnya ayat 5: kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri! Lalu menyusul pasal 14: pokoknya tentang membangun orang lain atau membangun jemaat! Hal itu berkali-kali dicamkan oleh Paulus dalam lebih daripada 10 ayat (ay. 3-8, 12, 17, 19, 26, 31).
Nasihatnya itu merupakan pedoman yang sangat penting untuk karunia-karunia Roh: semua karunia itu harus dipakai untuk membangun jemaat. Dan hal itu tidak akan mungkin terlaksana apabila ungkapan-ungkapan dalam bahasa roh tidak disertai dengan penerjemahannya. Jadi, kalau kita dapat berkatakata dalam bahasa lidah, tetapi tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, sehingga orang-orang lain tidak mendapatkan manfaatnya, hendaklah kita berdiam diri saja! (1Kor. 14:28).
Sebetulnya 1 Korintus 14 lebih baik disebut: pasal yang paling jelas membahas karunia bernubuat, atau pasal yang paling utama untuk merelatifkan soal berkata-kata dalam bahasa lidah.
Jadi, itu bukan sesuatu yang harus dikejar untuk diperoleh?
Kalau begitu, mengapa Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 14:5: ”Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa lidah...”? Bukankah ayat itu menunjukkan suatu ”norma”, yaitu kamu harus berusaha untuk dapat berkata-kata dalam bahasa lidah, sesuatu yang berlaku untuk seluruh jemaat? Tidak, ayat itu tidak perlu dipahami begitu. Di tempat lain, Paulus mengatakan dengan ungkapan-ungkapan yang sama demikian: aku anjurkan supaya kamu tetap dalam keadaan seperti aku, yaitu tidak kawin. Itu juga tidak berarti bahwa semua orang harus berusaha untuk tetap tidak kawin. Yang dimaksudkan Paulus: keadaan itu mempunyai sedikit kegunaannya. Demikian juga ada gunanya bagi jemaat di Korintus untuk berkata-kata dalam bahasa lidah, apalagi dalam konfrontasi terhadaporang-orang Yahudi yang tinggal di Korintus dan terhadap para pelaut yang berasal dari segala pelosok dunia dan singgah di kota pelabuhan Korintus.
Namun, di dalam jemaat, Paulus jauh lebih suka bilaorang-orang bernubuat. Itulah sebabnya dia mengatakan: aku lebih suka kamu bernubuat, sebab hal itu membangun jemaat.
Nubuat yang diucapkan dengan kata-kata yang dimengerti, juga berguna untuk para anggota jemaat yang lain. Dan dalam ayat 25, Paulus mengatakan, kalau jemaat sedang bernubuat, lalu masuk orang yang tidak percaya atau orang yang baru, maka ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku bahwa Allahsungguh-sungguh ada di tengah-tengah jemaat. Dan hal seperti itu tidak akan terjadi apabila seluruh jemaat bersama-sama berkata-kata dengan bahasa lidah (ay. 23). Perhatikanlah hal itu baik-baik!
Membangun diri sendiri
Di kalangan gerakan Pentakosta, hal berkata-kata dalam bahasa roh (”bahasa lidah”, dalam arti sejenis bahasa rahasia yang diucapkan dalam keadaan penuh ekstase) tidak berfungsi sebagai tanda untuk orang-orang yang tidak beriman (terutama orang Yahudi), tetapi justru untuk orang yang percaya itu sendiri. Hal itu dianggap sebagai tanda dan bukti yang jelas terjadinya baptisan dengan Roh Kudus. Jadi, sebuah pengukuhan diri, sehingga orang percaya itu memperoleh kepastian, ini buktinya bahwa aku memiliki Roh Kudus. Dia membangun dirinya sendiri, dan itu berguna baginya.
Namun, orang-orang lain yang hadir, hanya melihatnya. Atau mereka menjadi begitu terpesona, sehingga mereka juga ingin berkata-kata seperti itu. Akan tetapi, bukan itu yang dimaksudkan oleh Alkitab dengan berkata-kata dalam bahasa roh. ”Bahasa lidah” seperti itu tidak ditemukan dalam Alkitab.
Apa lagi ada juga kemungkinan bahwa ekstase itu bukan pekerjaan Roh Kudus, melainkan pekerjaan roh-roh lain. Mungkin juga hal itu adalah sebuah teknik yang sudah dipelajari, atau semacam hipnosis, seperti juga dijumpai pada agama-agama lain, misalnya pada agama Hindu dan Muslim, dan bahkan juga dalam okultisme. Juga Paulus telah memperingatkan akan kemungkinan bahwa sebuah ungkapan yang diucapkan penuh ekstase dapat lebih berhubungan dengan roh-roh jahat daripada dengan karunia Roh (1Kor. 12:1-3)!
Perhatikanlah: Gerakan Pentakosta di Afrika Selatan tidak mengakui pendapat bahwa bahasa ajaib (dalam arti ”bunyi-bunyi penuh ekstase”) adalah bukti kehadiran Roh Kudus. Soalnya, gerakan itu tahu betul betapa banyaknya hal itu dijumpai dalam sinkretisme agama asli Afrika. Sering hal itu sungguh-sungguh bersifat berhala.
Apakah sekarang ini ”bahasa roh” seperti itu masih dijumpai?
Pertanyaan itu tidak begitu aneh. Misalnya, Para Rasul disebut sebagai karunia pertama dari Roh dalam 1 Korintus 12:28. Namun, para rasul itu sudah lama tidak ada: Mereka hanya hidup dalam zaman peralihan yang pertama itu. Apakah mungkin hal itu (kehilangannya) juga berlaku untuk karunia-karunia lain dari Roh?
Misalnya tanda peralihan itu, berkata-kata dalam bahasa-bahasa roh, sebab tanda itu berlaku semata bagi zaman peralihan itu?
Tentu saja Roh Kudus bebas untuk membagi-bagikan karunia khusus kepada setiap orang sesuai kehendak-Nya. Tidak mungkin kita menentukan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan-Nya, di lapangan zending maupun di tempat lain. Namun, pada saat yang sama kita boleh mengatakan dengan penuh kesadaran bahwa karunia ini, yaitu berkata-kata dalam bahasa roh, sudah berabad abad lamanya tidak diberikan-Nya. Barangkali karena itu adalah tanda peralihan, yang sekarang tidak diperlukan lagi, karena seluruh dunia sudah tahu bahwa Injil itu diberitakan dalam semua bahasa manusia dan menuju semua bangsa. Bahkan orang Yahudi sudah tahu kenyataan hal itu.
Seandainya Roh berpendapat bahwa itu diperlukan lagi, pastilah Dia akan memberikannya. Namun, janganlah terlalu mengharapkannya. Janganlah kita berdoa untuk menerimanya, atau menanti-nantikan saat kita menerimanya. Para penginjil kita diharapkan juga supaya jangan begitu saja memasukihutan-hutan belantara, tanpa mempelajari dahulu bahasa daerah di situ, dan berharap saja bahwa Roh akan memberi mereka kemampuan untuk berbicara dalam bahasa-bahasa lain. Lebih baik mereka berdoa kepada Allah dan memohon kekuatan dan kemampuan, supaya dapat diberkati dalam mempelajari bahasa daerah-daerah yang akan mereka kunjungi !
Masihkah karunia untuk berkata-kata dalam bahasa roh itu dijumpai pada masa kini? Barangkali pertanyaan yang lain lebih baik, yaitu: masihkah gereja memerlukannya? Masihkah sekarang ini kita harus belajar bahwa juga orang-orang bukan Yahudi boleh menjadi umat Allah? Karunia untuk berkata-kata dalam bahasa lidah adalah sarana bantuan supaya orang-orang benar-benar yakin bahwa batas antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain, sudah diterobos. Dan sekarang ini hal itu sudah jelas-jelas terjadi, 2000 tahun setelah hari Pentakosta. Jadi, kita benar-benar tidak memerlukan lagi tanda itu. Kalau begitu, untuk apa kita masih akan berusaha keras mendapatkannya? Bukankah itu hanya buang-buang waktu dan tenaga? Lebih baik kita memakai tenaga kita untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa.
Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 13:8: ”...nubuat akan berakhir; bahasa lidah akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.”
Kapankah semua itu akan terjadi? Paulus tidak mengatakannya.
Konteks naskah itu membiarkan kemungkinannya terbuka bahwa hal itu akan terjadi sebelum Kristus datang kembali.
Pada hakikatnya, itu bukan masalah juga, karena karunia yang tertinggi yaitu kasih tetap ada!
Intinya
Inti persoalan di sini segaris dengan kali pertamaorang-orang berkata-kata dalam bahasa-bahasa roh. Yaitu: Injil harus diberitakan dalam segala bahasa, kepada semua bangsa.
Dalam gereja Kristus, negara asal ataupun warna kulit tidak lagi memainkan peran lagi.
Inti persoalan yang menyangkut masalah berbicara dalambahasa-bahasa asing pada masa kini, tercakup dalam pesan ini:
- Bicaralah dengan bebas dan berani tentang Yesus Kristus sebagai Juru Selamat dan Penebus dunia, baik untuk bangsa Indonesia dan semua suku-sukunya, maupun untuk bangsa-bangsa lain.Demikianlah apa yang menjadi pokok dalam Kisah Para Rasul 2 dan 1 Korintus 14, akan tetap berlaku: firman Allah tidak terhenti oleh batas-batas sebuah negara atau sebuah bahasa. Memang hati kita sungguh terharu bila mendengar orang-orang memakai bahasa-bahasa lain untuk mengatakan hal-hal yang sama dan menyanyikan kidung-kidung yang sama seperti kita sendiri! Roh berembus ke mana Dia suka. Roh memakai semua bahasa dan membuat agar orang-orang Kristen seluruh dunia dapat saling mengerti.
Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas
1. Bagi kami, kedua penulis, kenyataan bahwa ”berkata-kata dalam bahasa lidah” adalah ”berkata-kata dalam bahasa asing” adalah sebuah kejutan. Bagi Anda juga?Drs. K. de Vries (1959) dan Drs. J. van Benthem (1960) adalah pendeta-pendeta Gereja-Gereja Reformasi di Belanda.