Dukungan kuat dari Roh Allah bagi mereka yang sedang lemah oleh Egbert Brink Sepasang suami istri berdiri di makam putra mereka yang sehari sebelumnya lahir tidak bernyawa. Hati mereka sangat terluka dan pedih tak terkatakan. Namun, dari luar hal itu tidak terlihat. Bersama dengan sanak saudara dan handai taulan yang menghadiri upacara pemakaman itu, mereka menyanyikan kidung-kidung rohani yang menyatakan rasa sukacita imani. Lagu-lagu kemenangan atas maut. Namun, beberapa bulan kemudian, baru kelihatan bahwa pasangan itu ternyata tidak mampu mengatasi kesedihan mereka. Mula-mula sang istri yang ambruk, disusul oleh suaminya. Segala penderitaan batin yang sebelumnya mereka simpan dalam hati, kini meluap keluar. Dan mereka sendiri tidak menduga betapa berat penderitaan itu. Minta perhatian
Setiap orang Kristen lambat laun akan mengalami kerentanan hidupnya. Bahkan dalam kekuatan Roh, ternyata tidak semua kejadian dalam hidup ini dapat diatasi. Apakah itu salah orang Kristen yang kurang kuat imannya? Atau, apakah Allah secara sengaja membiarkan manusia mengalami rasa putus asa, dengan tujuan tertentu?
Di bawah ini kita akan menyelidiki soal itu. Bagian pertama akan membahas bagaimana Allah memenuhi kerinduan akan penghiburan. Apakah yang boleh diharapkan orang-orang Kristen dari Allah Roh Kudus, kalau mereka dikonfrontasi dengan rasa putus asa? Kita ini hidup bersama-sama pada zaman yang cirinya ”belum” (#1).
Kemudian diajukan pertanyaan apakah kerentanan hidup adalah bagian berhubungan kita dengan penderitaan Kristus.
Ataukah hal itu hanya berlaku bagi penganiayaan karena iman? (#2).
Selanjutnya kita meneliti apakah ada ruang bagi kesedihan dalam kehidupan Kristen, dan bagaimana hubungan kesedihan itu dengan sukacita imani (#3).
Kemudian kita meneliti berapa ruang yang tersedia untuk berkeluh kesah atas kesedihan dalam musibah, dan sikap kita apabila Allah mengizinkan adanya sesuatu yang bengkok dalam kehidupan Kristen (#4).
Sebagai contoh tentang hidup dalam kerentanan, kita membahas juga jalan yang sulit dilalui, yaitu mengampuni orang lain yang telah menyebabkan situasi yang rusak berat (#5).
Saya akan mengakhiri bab ini dengan kerinduan kita bersama dengan Roh akan pemulihan kita (#6).
Kerinduan akan penghiburan
Teman-teman Ayub datang dengan niat yang baik. Mereka hendak menunjukkan belas kasihan dan memberi penghiburan kepada sahabat mereka itu. Namun, ketika mereka melihat betapa besar penderitaannya, mereka tak mengucapkan sepatah kata pun selama tujuh hari dan tujuh malam (Ayb. 2:11-13). Mereka sungguh sungguh merasa ikut menderita dengan dia. Sayangnya, bukan hanya itu yang mereka lakukan. Ketika Ayub sendiri mulai berbicara, teman-temannya dengan penuh semangat mengemukakan berbagai alasan mengapa Ayub sampai mengalami musibah sebesar itu. Tidak mungkin Allah yang bersalah dalam hal ini, jadi kesalahannya mestinya terletak pada Ayub. Dengan sengit Ayub membela diri terhadap teman-temannya yang bertindak sebagai pembela Allah. Kata Ayub: tidak ada alasan yang konkret untuk penderitaanku ini! Dari reaksi Ayub itu, tampak jelas bahwa dia merasa tidak dihargai oleh teman-temannya. Kerinduannya akan penghiburan mereka tidak dipenuhi mereka. Dengan sangat sedih dia mengeluh: ”Ah, hendaklah kiranya kekesalan hatiku ditimbang, dan kemalanganku ditaruh bersama-sama di atas neraca! Maka beratnya akan melebihi pasir di laut” (Ayb. 6:2 dst.)!
Dengan niat yang baik, teman-teman Ayub mengetengahkan berbagai penjelasan dan kebenaran, tetapi ternyata mereka hanya mengulurkan penghiburan yang tidak bermutu. Pada akhirnya Ayub berseru, ”Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur sialan kamu semua! Belum habiskah omong kosong itu? Apa yang merangsang engkau untuk menyanggah?” (Ayb. 16:2-3).
Semakin besar kerinduan untuk mendapatkan penghiburan dalam keadaan-keadaan yang susah, semakin besar pula rasa kecewa apabila penghiburan yang diberikan ternyata tidak menghibur. Bukan hanya Ayub yang mendapat pengalaman yang pahit bahwa dia tidak dihargai. Banyak orang lain harus merasa puas dengan penghiburan murah seperti ini: sudahlah, untung saja keadaannya tidak lebih parah lagi, seperti orang lain. Atau, Anda masih mendapat banyak berkat yang patut Anda syukuri.
Sebetulnya, di dalam penghiburan itu keputusasaan orang itu tidak diperhatikan lagi. Ada juga orang-orang yang tidak tahu bagaimana harus menghibur. Ada pula yang berbicara berputarputar untuk menghindari inti masalahnya. Dan ada juga orang yang mendesak supaya orang yang putus asa itu lebih banyak menaruh pengharapannya kepada Allah Roh Kudus, karena hanya Dia yang dapat memulihkan secara sempurna keadaan yang hancur. Menghibur adalah pekerjaan yang sulit. Untuk dapat menghibur dengan baik, kita memerlukan banyak hikmat dan wawasan. Kita tidak tahu bagaimana caranya menghibur dengan baik, Roh Allah, sang Penghibur, sangat menyadari masalahnya itu.
Dukungan Roh
Dalam surat kepada jemaat di Roma dikatakan bahwa seluruh makhluk sama-sama mengeluh dan merasa sakit bersalin (Rm. 8:18-22). Tampaknya tidak seorang pun luput dari pengalaman merasa putus asa. Seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, sehingga apa yang telah menjadi tujuan Allah sejak semula, tidak tercapai. Untuk melukiskan penderitaan itu Paulus memakai gambaran yang hidup, tentang wanita yang mengeluh karena rasa sakit bersalin. Seluruh makhluk mengeluh menantikan pemulihan.
Anak-anak Allah juga tidak luput dari penderitaan. Mereka mendapat bagian dari penghakiman umum oleh Allah (Rm. 8:20). Kalau mereka ditimpa penyakit yang tidak tersembuhkan, atau mengalami berbagai musibah lain, mereka ikut mengeluh bersama seluruh makhluk. Sebab juga mereka mengeluh dalam menantikan saat pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan dari tubuh kita (Rm. 8:23). Dan yang sangat tidak terduga ialah bahwa juga Roh sendiri ikut berdoa dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Rm. 8:26). Dia tidak menjauhkan diri dari penderitaan itu. Dia tidak hanya memusatkan perhatian-Nya pada penyembuhan dan pemulihan. Dia memedulikan penderitaan di dunia ini. Dia menunjukkan keterlibatan-Nya yang mendalam.
Karena belas kasihan-Nya yang sangat besar kepada setiap orang yang putus asa akibat berbagai pengalaman sedih yang meninggalkan retak-retak dalam hidupnya.
Roh Allah tahu bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Rm. 8:18). Meskipun begitu Dia merasa penting untuk ikut menanggung penderitaan itu! Dia adalah sang Penghibur, yang menanggapi kerinduan seperti yang diungkapkan oleh Ayub: ”Ah, hendaklah kiranya kekesalan hatiku ditimbang” (Ayb. 6:2). Roh Kudus adalah Penghibur yang ikut mengeluh. Tindakan itu bukan bukti kelemahan, melainkan bukti kekuatan. Roh Kudus ikut turun ke dalam jurang yang dalam. Dia menangkap keluh kesah manusia yang sedang menderita. Dia ikut mengeluh, dan keluhan-Nya sangat mendukung, karena Dia sebagai Roh Kristus ikut merasakan segala kelemahan kita.
Dia telah berjanji memberi dukungan dengan doa syafaatNya yang kuat sesuai kehendak Allah (Rm. 8:26,27). Dia berdoa dari dalam batin kita. Dengan cara yang tidak terkatakan Dia mengungkapkan kelemahan-kelemahan kita. Dia mengukur beratnya penderitaan manusia yang tak terkatakan itu, lalu menyampaikannya kepada Allah. Roh Allah mengumpulkan segala doa di langit dan bumi dan membawanya ke hadapan takhta Allah (Why. 8:3). Dia menggabungkan keluhan di bumi dengan keluhan di surga yang berbunyi, ”Berapa lamakah lagi?” (Why. 6:10).
”Belum”
Kalau di surga pun kesempurnaan tidak dijangkau sebelum waktunya, mengapa kita mau digoda untuk menjangkaunya?
Apakah segala luka, penyakit dan kesedihan, kesusahan dan kekecewaan di dunia ini seharusnya hilang dari kehidupan Kristen?
Pernahkah Allah menjanjikan akan melakukan hal itu? Mengapa di sini dan pada saat ini semuanya harus dipulihkan, mau tidak mau?
Roh Allah tidak menjangkau kesempurnaan sebelum waktunya.
Dia tidak memulihkan segala garis keretakan yang ada. Dia tidak menghapus bersih semua penderitaan pada zaman sekarang ini.
Banyak yang masih dibiarkannya ada. Sebagai Penghibur Agung Dia berjanji akan ikut menanggungnya. Dan janji itu memberi cukup pengharapan!
Orang-orang Kristen telah menerima Roh sebagai karunia yang pertama, sebagai hasil panen sulung yang belum dipetik (Rm. 8:23).
Tidak sia-sia Dia disebut sang Sulung. Dia datang lebih dahulu.
Dia datang paling depan. Akan tetapi, panen yang lengkap belum semuanya masuk ke dalam lumbung. Itu memerlukan waktu yang lama. Namun, sekarang ini Dia sudah menumbuhkan buah-buah kasih, iman, kesabaran dan daya bertahan dalam penderitaan yang juga harus dialami oleh anak-anak Allah.
Ada pun penantian itu bukan hal yang baru. Penantian adalah ciri khas bagi orang-orang percaya dari segala abad (Ibr. 11). Ingatlah betapa sering dan betapa lama bapa segala orang percaya, yaitu Abraham, harus menunggu? Begitu banyak yang telah dijanjikan kepadanya, tetapi setiap kali dia harus menunggu dengan sabar, karena belum juga janji-janji itu digenapi. Mula-mula janji mengenai tanah yang akan diberikan kepada keturunannya (Kej. 12:7; 15:18), kemudian mengenai anak laki-laki yang akan lahir daripadanya (Kej. 15:2; 17:17).
Dalam Ibrani 11:13 tertulis, ”Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya”. Hal itu masih juga berlaku sesudah kedatangan Kristus dan pencurahan Roh-Nya. Kita ini terus hidup berdasarkan iman, bukan berdasarkan apa yang kelihatan (2Kor. 5:7), meskipun dibandingkan dengan dahulu, sudah banyak janji Allah yang telah digenapi pada masa kita, tetapi belum semua.
Semua ini sekali lagi digarisbawahi oleh perkataan Paulus yang sangat indah, yang berisi banyak penghiburan bagi kita. Dia memberi tekanan kepada ”hal yang belum terjadi” itu dengan pengakuannya bahwa kehidupan setiap orang Kristen masih tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah (Kol. 3:3). Baru apabila Kristus, yang adalah hidupnya, menyatakan diri kelak, ia pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan (Kol. 3:4).
Kelegaan dalam keresahan
Ketika Tuhan Yesus masih ada di bumi, Dia telah mengambil alih banyak beban yang ditanggung oleh manusia. Namun, hal itu tidak selalu dilakukan-Nya, dan juga tidak semua beban diambil alih-Nya. Dia mengundang semua orang supaya datang kepada Nya: marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Dia tidak mengatakan: semua orang yang merasa berbeban berat. Tampaknya menurut pandangan-Nya, semua orang sama berbeban berat. Dia berjanji: Aku akan memberi kelegaan kepadamu! Namun, itu tidak berarti bahwa setelah kita menerima kelegaan dari Kristus itu, tidak ada lagi kesusahan dalam hidup kita.
Akan tetapi, Dia berusaha keras untuk membantu orang-orang Kristen milik-Nya, dan berkata: ”Pikullah gandar yang Kupasang...
Sebab gandar yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan.” (Mat. 11:29,30). Tidak ada seorang pun yang tidak perlu belajar apa-apa lagi. Sebab itu Dia melanjutkan: ”Belajarlah kepada-Ku” (Mat. 11:29), dan kata-kata-Nya yang menyusul sangat menarik, yaitu: ”karena Aku lemah lembut dan rendah hati.”
Dalam sekolah kehidupan bersama Dia ini, manusia belajar untuk merindukan dan mengingat kerendahannya.
Dengan latar belakang itu, kita mengerti sekarang mengapa Paulus mengatakan: aku diberi suatu duri di dalam dagingku, supaya aku jangan meninggikan diri. Ditekankannya alasan itu sampai dua kali (2Kor. 12:7). Dengan sangat intensif Paulus telah berdoa supaya dilepaskan dari duri itu (2Kor. 12:7,8). Tidak seorang pun tahu persis apa yang dideritanya. Yang pasti ialah bahwa dia menderita karenanya. Dia mendengar bahwa tak akan ada perubahan dalam situasi itu. Dan bukan karena kesalahannya sendiri! Bukan juga karena imannya kurang kuat! Namun, karena belajar bahwa anugerah Allah cukup baginya! Kekuatan Kristus baru dapat dinyatakan dengan sepenuhnya dalam kelemahan Paulus (2Kor. 12:9).
”Hidup dengan Kristus hanya dapat menjadi semakin baik”, demikian dikatakan seorang pengkhotbah. ”Sebab segala sesuatu mungkin bagi orang yang percaya. Aku mampu melakukan apa saja di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Percayalah, Anda sanggup berbuat apa pun, asal Anda membiarkan diri dipimpin oleh kekuatan Allah. Anda ini merupakan gelas berisi air seperti semua orang lain, tetapi kita menerima Roh Kudus sebagai sebuah tablet yang membuat air dalam gelas itu berbuih-buih penuh semangat!”
Kehidupan penuh kemenangan
Dalam banyak ”pelayanan penyembuhan” sering ditekankan dengan kuat bahwa Allah hendak memuliakan nama-Nya melalui penyembuhan. Dikatakan bahwa Allah tidak menghendaki penyakit apa saja di dunia ini, melainkan hanya kesembuhan.
Apabila orang-orang Kristen berkemauan sama seperti Dia dan memiliki pengharapan yang lebih tinggi, hal itu pasti berhasil...
Hal itu tidak hanya dihubungkan dengan penyembuhan penyakit, tetapi juga dengan semua kesusahan dan kekerasan hati yang dijumpai manusia. Dan memang begitu, Allah dapat melakukan mukjizat, hal itu tidak diragukan kita pun. Kuasa dan kekuatan-Nya cukup besar untuk itu (Ef. 3:20)!. Segala kemenangan yang dicapaiNya adalah berdasarkan kuasa kebangkitan Kristus. Dalam hal itu orang-orang Kristen mengalami persekutuan dalam kebangkitanNya (Flp. 3:10).
Namun, jelas ada juga sisi yang lain! Paulus mengatakan dalam ayat yang sama itu bahwa kita juga mengalami persekutuan dalam penderitaan-Nya. Bukankah itu aneh? Mulai dengan kuasa kebangkitan, dan hasilnya ialah persekutuan dalam penderitaan.
Bukankah urut-urutannya harus terbalik? Bukankah seharusnya menderita dahulu kemudian bangkit? Lagi pula: bukankah penderitaan Kristus sudah selesai? Bagaimana orang masih dapat mengambil bagian dari penderitaan yang sudah selesai? Yang dimaksudkan di sini bukan penderitaan di kayu salib, seakan-akan hal itu belum selesai. Kristus sudah melewati penderitaan-Nya. Dia telah menjalani segala penderitaan itu, dan berhasil mengatasinya.
Kejahatan sudah dikalahkan oleh-Nya. Kemenangan sudah tercapai. Namun, dengan demikian penderitaan para pengikutNya belum terhapus dari dunia ini. Untuk menekankan betapa dekatnya Kristus terkait dengan penderitaan milik-Nya, maka Paulus bahkan dapat menyebutnya sebagai penderitaan Kristus (2Kor. 1:5; Kol. 1:24). Tuhan Yesus sendiri telah memberitahukan hal itu. Barang siapa mengikuti Dia, jangan berharap akan meraih sukses demi sukses. Sebaliknya, berbagai kemalangan dan penindasan pasti akan dialaminya. Seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya (Yoh. 15:20; Mat. 10:24; Luk. 6:40; Yoh. 13:16). Namun, betapapun besar penderitaan kita, kalau kita tetap terhubung dengan Kristus, kita adalah pemenang (Rm. 8:37). Mengikuti Kristus dapat meminta pengorbanan-pengorbanan besar, yang dibarengi dengan penderitaan dan kerja keras (1Ptr. 2:20-25).
Meliputi seluruh kehidupan
Memang penderitaan yang dibicarakan Paulus, pertama-tama berhubungan dengan penganiayaan yang dialaminya dalam melayani Kristus (2Kor. 1:3-7). Dia menanggung penghinaan karena Yesus, mengalami perlawanan, hukuman penjara dan penganiayaan (2Kor. 4:8-10; 11:23,24). Dengan kata-kata itu pula dia mengakhiri suratnya dalam Roma 8,35: ”Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Tidak ada kuasa apa pun dari penyakit atau maut yang dapat memisahkan kita dari Dia (Rm. 8:38,39). Oleh sebab Dia telah menanggung segala rasa sakit, maka orang-orang Kristen milik-Nya pasti akan kuat menanggungnya.
Namun, hal itu dikatakan setelah penderitaan segala makhluk dan anak-anak Allah digambarkan Paulus. Kenyataan bahwa Kristus juga ikut menanggung semua penderitaan itu, memberi kita keberanian untuk melibatkan Dia dalam segala penderitaan yang kita alami. Termasuk juga rasa nyeri yang diakibatkan oleh duri dalam daging, dan yang mempersulit jalan hidup Paulus.
Dia harus merasa puas dengan anugerah Allah. Sebab Allah menunjukkan kekuatan-Nya dalam kelemahan manusia (2Kor. 12:9,10). Itu tidak berarti bahwa Paulus disuruh menanggungnya sendiri. Tidak, tetapi dia diserahkan kepada Allah yang hidup, yang berjanji akan menolong dia dalam penderitaannya. Dalam segala permohonannya yang tidak dipenuhi, dia boleh berserah kepada Dia. Apakah itu banyak bedanya dari pesan ini: hendaknya kehadiran Roh-Ku cukup bagimu?
Paulus sendiri juga menghubungkan hal itu dengan seluruh hidupnya. Ketika dikurung dalam penjara, dia meninjau kembali keadaannya yang terus-menerus berubah-ubah itu. Dia pernah mengalami rasa lapar maupun rasa kenyang. Pernah dia hidup dalam kemewahan, tetapi juga dalam keadaan serba kekurangan (Flp. 4:11,12). Dia sudah belajar untuk merasa puas di dalam keadaan apa pun di mana dia berada! (Dia tidak mengatakan bahwa dia merasa puas dengan apa yang dialaminya). Kasih Paulus kepada Allah telah menjadi begitu besar sehingga dia tidak lagi tergantung dari apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. Memang, segala keadaan yang dialaminya penting juga, tetapi dia tidak tunduk atau tergantung kepadanya.
Kalau kita milik Kristus, kita tidak hanya menilai keadaan kita.
Yang penting ialah siapa kita bagi Dia. Tidak seorang pun di antara kita hidup untuk dirinya sendiri. Dalam keadaan sehat atau pun sakit, hidup atau mati, ya, dalam keadaan apa pun, kita adalah milik Tuhan (Rm. 14:7,8). Allah dapat memuliakan nama-Nya melalui penyembuhan. Namun, Dia dapat juga melakukannya melalui jalan penderitaan (Flp. 1:20). Apalagi kalau rasa sakit itu menyebabkan Dia menumbuhkan kasih, dan menghasilkan buah-buah berupa kesetiaan, kesabaran, ketabahan dan ketekunan. Sering kali terjadi, sesudah kita mengalami kejadian yang sangat menyakitkan, kita harus mengakui bahwa kejadian itu telah menghasilkan begitu banyak keindahan, sehingga pada akhirnya kita dibawanya lebih dekat kepada Allah! Pemangkasan menghasilkan pertumbuhan.
Jadi, kejadian itu bukan pengecualian, melainkan jalan yang ditunjukkan Allah sendiri, yaitu bahwa melalui penderitaan kita memperoleh kemuliaan (Rm. 8:17, 2Tes. 1:3-7; 2Tim. 4:5; 1Ptr. 5:10).
Kekuatan dalam kelemahan
Paulus harus belajar hal itu dengan jatuh dan bangun. Dia telah diberi tahu sebuah rahasia yang sebelumnya tidak diketahuinya (Flp. 4:20). Dan inilah rahasia itu, jika aku lemah, maka aku kuat (2Kor. 12:10)! Pada masa lalu Paulus kuat dan perkasa dalam dirinya sendiri. Dibandingkan dengan itu, sekarang kelihatannya dia seorang yang lemah. Dahulu dia bergaul di kalangan orang-orang yang cerdik pandai, sekarang dia berteman dengan para budak.
Dahulu dia warga negara yang terhormat, sekarang seorang tahanan. Dilihat dengan mata manusia, kedudukan Paulus sangat merosot sejak dia belajar mengenal Kristus. Kariernya sama sekali tak dapat disebut sukses sejak dia mengikuti Kristus. Penampilannya di depan orang-orang Korintus sungguh tidak mengesankan (2Kor. 5: 12,13).
Apakah sebetulnya keistimewaannya sebagai rasul? Apakah mungkin sosok yang begitu lemah dan tak berarti seperti Paulus, berasal dari Kristus yang kuat itu?! Hampir-hampir Paulus terpaksa mulai memuji dirinya sendiri (2Kor. 3:11).
Lambat laun Paulus harus menyadari bahwa dalam kelemahannya kuasa Kristus menjadi sempurna. Kelemahan itu bahkan diperlukan agar kuasa Kristus dapat berkembang (2Kor. 4:7-15). Itulah sebabnya Paulus dapat begitu membanggakan kelemahannya (2Kor. 12:9).
Bukan karena dia menikmatinya. Sebetulnya dia tidak suka memuji dirinya. Namun, dia telah menyadari bahwa Kristus justru membuat ruang untuk menunjukkan kuasa-Nya apabila kehidupan kita diserang. Sebab itu penghiburan yang diberikannya begitu manjur, karena dia sendiri telah dihibur dengan penghiburan itu (2Kor. 1:3-7).
”Segala hal dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp. 4:13). Penyataan itu tak boleh dengan cara apa pun diperlemah atau dikurangi kekuatannya. Kalau Kristus mengatakan: di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh. 15:5), itu juga berarti, bersama Aku kamu dapat melakukan banyak hal. Kita dapat mengatakan bersama-sama dengan Paulus, ”Bagi Dia yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” (Ef. 3:20)! Kita tidak boleh memperlemah kuasa Kristus, tetapi ucapan Paulus dalam suratnya kepada jemaat Filipi, sama sekali tidak mengandung nada kemenangan. Yang terdengar di situ bukan kata-kata seorang Kristen yang gagah berani. Melainkan sebuah pengakuan yang benar-benar disadari, yang diucapkan seorang Kristen yang lemah tentang Kristus yang kuat. Paulus menulisnya sambil menengok kembali pada kehidupannya. Dan dalam tulisan itu dia tidak minta perhatian untuk seorang Kristen yang kuat (2Kor. 4:5). Di sini yang berbicara ialah seorang manusia yang mengakui bahwa dia sendiri masih tetap lemah! Namun, yang di dalam kelemahannya berpegang kepada Kristus yang kuat.
Menjadi orang Kristen bukan berarti mengikuti sebuah sistem belajar, yang harus sebanyak mungkin dipraktikkan supaya dapat meraih sukses. Kehidupan seorang Kristen bukan suatu kekuatan yang telah berhasil berdiri sendiri. Kalau demikian halnya, maka kita tidak melihat lagi hubungan yang benar antara ”aku” dan ”Dia”. Lalu, hampir tanpa disadari, tekanannya menjadi terletak pada ”aku”, dan kita dipulangkan lagi kepada diri kita sendiri. Dan kita mulai berpikir: asal iman kita cukup besar, kita dapat melakukan apa saja.
Padahal tekanannya tidak terletak pada iman kita, yaitu asal saja kita menimba cukup banyak kekuatan... Tidak! Tekanannya terletak kepada Dia! Bisa juga terjadi, bahwa ketika kita sendiri berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh kekuatan itu, Kristus justru ingin membuat kita kuat di dalam usaha itu. Jadi, tidak ada apa pun yang berasal dari manusia, semuanya berasal dari Kristus. Dan sungguh mengherankan, bagaimana Dia dapat membuat manusia kuat, justru dalam kelemahan mereka. Ingatlah saja padakejadian-kejadian di mana orang-orang Kristen dianiaya, disiksa, dan dibakar hidup-hidup. Selain itu juga di dalam penyakit, dalam penderitaan, dalam perkabungan yang sangat menyedihkan. Kekuatan Kristus cukup untuk segala keadaan, untuk segala kemampuan dan untuk ketidakberdayaan kita. Itulah berita Injil tentang orang Kristen yang lemah dan sang Kristus yang kuat.
Seorang bocah laki-laki yang usianya belum genap 12 tahun, meninggal akibat penyakit yang parah. Seisi rumah seakan-akan tenggelam dalam perkabungan dan dicekam oleh kesedihan. Kehidupan keluarga itu berubah sama sekali. Kemudian seorang mengirimkan sebuah kartu pos. Kartu itu memuat gambar balon- balon yang berwarna-warni, seperti kartu ulang tahun. Dan di baliknya tertulis: Mari kita bergembira, sebab Agus ada di dekat Tuhan.
Perasaan yang saling bertentangan
Contoh pertama (mengenai pasangan muda yang kehilangan anaknya yang baru lahir) maupun contoh tadi (tentang Agus), telah saya kemukakan dengan berbagai perasaan yang saling bercampur. Pada satu sisi diperlihatkan bahwa iman Kristen lebih kuat daripada maut dan sanggup mengatasi kesedihan apa pun (1Kor. 15:54-57). Namun, pada sisi lain kesedihan itu begitu ngilu dan menyakitkan, karena kain perkabungan yang menyelubungi maut belum dikoyakkan (Yes. 25:7-8). Dan juga karena kita masih hidup di bawah bayang-bayang maut. Yang sekarang terutama ingin saya tegaskan ialah bahwa kebahagiaan iman kita tidak perlu mendesak ke luar kesedihan karena kematian, kesakitan atau kecelakaan. Lagi pula, iman kita belumlah sempurna. Memang, kita dapat merasa tenang karena kekasih kita ada di dekat Tuhan (itulah janji), tetapi itu tidak berarti bahwa kesedihan yang mengoyak hati kita telah tersembuhkan (itulah kenyataan).
Memuji Allah juga tidak selalu bersifat riang gembira. Memang, kedua hal itu bisa saja terjadi secara saling beriring, tetapi tidak perlu selalu begitu. Hati kita dapat terarah kepada Allah untuk mencari Dia, untuk menemukan pegangan erat kepada-Nya. Pada saat itu boleh jadi kita sedang mengalami kesedihan, rasa sakit dan pergumulan. Ketika Ayub mengatakan, ”TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN” (Ayb. 1,21), dia lebih dahulu mengoyak jubahnya, mencukur kepalanya, dan sujud menyembah Allah. Dia mencurahkan isi hatinya kepada Allah.
Memuji Allah berarti mengarahkan segala perhatian kepada Nya, mencari wajah-Nya dengan sungguh-sungguh. Dalam keyakinan bahwa kita selalu didengar-Nya, bahwa perhatian-Nya terarah kepada kita. Sang Pengkhotbah telah mengatakannya penuh hikmat: ada waktu untuk menangis; ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari (Pkh. 3:4). Sebab itu sesuaikanlah diri kita dengan saat-saat tertentu. Meniadakan atau mengabaikan kesedihan tidak menunjukkan rasa hormat kepada orang-orang yang sedang mengalaminya. Meratap bersama orang yang meratap berarti menunjukkan rasa setia kepadanya. Ingatlah kepada nyanyian ratapan Daud yang sangat mengharukan bagi Yonatan dan juga Saul (2Sam. 1:17-27)! Apabila kehidupan rusak berat dan maut menimpa, masakan tidak boleh ada rasa nyeri di hati? Orang yang pernah kehilangan kekasih karena direnggut maut, pasti tahu bagaimana hancur hatinya kalau tidak diberi ruang untuk mengungkapkan kesedihannya. Rasa ngilunya sering dipendam dalam-dalam, seakan-akan dia sudah sanggup mengatasinya.
Padahal bekas-bekas kesedihan itu masih tetap segar dan terus merasa ngilu hari lepas hari. Ada tertulis: Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega (Pkh. 7:3).
Memang, sangat tidak wajar, bahkan sangat tidak rohani, apabila kesedihan tidak mendapat tempat. Allah melihat kesedihan kita, sebab Dia memang melihat kesusahan dan sakit hati manusia untuk mengambilnya ke dalam tangan-Nya sendiri (Mzm. 10:14).
Bukan kegembiraan yang dibuat-buat
Namun, apakah artinya iman kristiani, kalau tidak ada rasa bahagia? Ada orang yang menyebutnya ”ateisme praktis” jikalau sebagai orang Kristen kita tidak merasa gembira. Sebab, menurut mereka, dengan demikian kita sebenarnya mengingkari karya Kristus. Menjadi Kristen bukanlah sesuatu yang suram, yang membuat segala-galanya berwarna kelam. Pendamaian yang dilakukan oleh Kristus mewarnakan semua merah, Kristus telah memulihkan kita. Kebangkitan Kristus mewarnakan semua putih, tidak ada kuasa maut atau kuburan yang mampu merenggut kita dari tangan Yesus. Dia memberi makna kepada hidup kita. Dia memperbarui kita dari hari ke hari. Dia menaruh masa depan yang gilang gemilang di hadapan kita. Nah, bukankah mustahil bahwa kita tidak pernah merasa senang dengan Kristus? Bukankah mustahil bahwa setiap hari kita hanya bersungut-sungut saja, dengan muka yang masam dan hati yang penuh kepahitan, karena keadaan kita tidak pernah atau jarang menyenangkan?
Ya memang benar, tidak mungkin kita tidak pernah merasa senang dan bahagia, kalau kita mengingat bahwa Kristus telah mengurbankan diri bagi kita dan mau melakukan begitu banyak untuk Anda.
Akan tetapi, janganlah kita percaya omongan bahwa seorang Kristen adalah manusia yang selalu harus riang gembira. Selalu berwajah bersinar-sinar dan tersenyum dan senantiasa merasa senang dan bahagia. Itu gambaran khayalan! Gambaran itu sering menarik bagi orang yang telah mengalami banyak kesedihan dalam hidupnya. Namun, jurang antara latar belakang yang suram itu (banyak kesedihan) dan latar depan yang bahagia itu (kegembiraan imani) luar biasa dalamnya. Di balik gambaran khayalan itu sering tersembunyi rasa ketidaksanggupan untuk merasa senang. Memang, suatu hal yang sangat meletihkan ialah keharusan untuk selalu menyinarkan rasa sukacita! Saya pernah mendengar anak-anak dalam sebuah keluarga yang mengatakan bahwa mereka tak tahan lagi melihat apa yang mereka sebut ”senyum Pentakosta” yang selalu tampak pada wajah orang tua mereka. Soalnya, mereka tahu bahwa senyum itu hanyalah topeng untuk menutup-nutupi kesedihan yang amat mendalam.
Sukacita yang dimaksudkan oleh Alkitab, sudah pasti bukan sukacita yang dibuat-buat, yang memendam rasa sedih dan rasa pilu jauh-jauh di lubuk hati. Sukacita yang dimaksudkan Alkitab sangat berbeda dengan keharusan untuk selalu merasa riang gembira. Janganlah kita memaksa diri untuk merasa gembira seperti itu. Dengan demikian rasa murung kita malahan akan bertambah. Bagaimana mungkin paksaan itu bisa menjadi berita Injil? Bukankah hati kita tidak selalu merasa senang? Aku sendiri merasa beruntung bahwa tidak ada yang memaksaku untuk selalu merasa bahagia.
Sukacita di dalam Kristus
”Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan:
Bersukacitalah!” (Flp. 4:4,5). Tidak tanpa tujuan Paulus mengulangi kata-katanya. Ketika dia mengatakan, ”sekali lagi kukatakan”, yang dimaksudkannya ialah: aku tahu apa yang kukatakan! Surat kepada jemaat di Filipi itu ditulis di dalam penjara, dan di situ Paulus lebih sering diliputi rasa murung daripada rasa senang.
Bahkan menurut pendapatnya, ada kemungkinan bahwa dukacita dapat bertambah-tambah akibat segala kesulitan dan kekecewaan (Flp. 2:27). Yang dinasihatkan Paulus itu bukan sukacita yang tidak wajar dan dibuat-buat.
Yang dimaksudkan Paulus ialah: bersukacitalah kamu di dalam
Tuhan! Persekutuan dan hubungan dengan Kristus adalah dasar bagi sukacita yang tetap. Sukacita itu bukan rasa senang yang ada pada permukaan saja, tetapi yang mendalam, yang berakar di dalam Tuhan. Sukacita itu tidak datang dari kita sendiri dan tidak pula berasal dari batin kita. Sukacita itu selalu kita temukan di luar kita sendiri, yaitu di dalam Kristus. Sukacita itu berakar di dalam Dia. Justru di dalam dukacita, Kristus berjanji bahwa kegembiraan kita tidak akan dirampas siapa pun (Yoh. 16:22)! Sukacita itu ialah kegembiraan yang disertai berlinang air mata. Pada saat seperti itu boleh jadi kita merasa sangat sedih, tetapi ada juga rasa sukacita.
Rasa senang bercampur sedih. Tentu saja Paulus tidak senang dengan keadaannya yang terkurung itu. Namun, dia bahagia bahwa dia memiliki Kristus dalam segala keadaan. Dia yakin bahwa dia terikat dengan Kristus. Sukacita itu ialah keyakinan bahwa Kristus tidak pernah meninggalkan kita seorang diri.
Berkeluh kesah? Wah, siapa yang mau mendengarkannya? Aku tidak berani mengungkapkan segala keluhan dan kesusahanku. Sejak kecil kata-kata ini selalu dijadikan pedomanku: jangan berkeluh kesah, tanggung saja, dan minta kekuatan dari Allah. Dan pasti dalam keadaan semacam itu saya ditegur bahwa aku kurang berdoa dan bahwa imanku tidak cukup kuat. Inilah pengalamanku: ketika aku sedang mengalami kesulitan, tak banyak ruang diberikan kepadaku untuk mengungkapkannya.
Alamat yang tepat untuk berkeluh kesah
Kepada siapa manusia dapat mencurahkan isi hatinya? Nasihat ”jangan berkeluh kesah, tanggunglah saja!” terdengar saleh, seakanakan kita dilarang untuk merepotkan Tuhan dengan kesusahan kita.
Namun, Roh Kudus telah mengizinkan bahwa di dalam firman Allah dicatat beraneka ragam keluh kesah. Bahkan ada buku dalam Alkitab yang berjudul Ratapan, yang penuh ruang untuk berkeluh kesah.
Berbagai penderitaan manusia dihubungkan langsung dengan Allah:
”Laksana beruang Ia menghadang aku (...). Ia membelokkanjalan-jalanku, merobek-robek aku (...). Ia meremukkan gigi-gigiku dengan memberi aku memakan kerikil; Ia menekankan aku ke dalam debu” (Rat. 3:10; 11; 16). Keluhan-keluhan manusia mempunyai tempat di dalam pergaulan hidup dengan Allah. Bukankah seruan dan teriakan minta tolong umat-Nya telah didengar oleh Allah? (Kel. 2:23).
Allah merasa terhormat apabila kita berseru kepada-Nya di dalam kesesakan dan tidak setelah kita luput dari keadaan itu (Mzm. 50:15).
Kita tak dapat membayangkan adanya kitab Mazmur yang tidak ada suara-suara ratapannya. Sebagian besar dari kidung-kidungnya terdiri dari keluh kesah (Mzm. 55:18; 64:2; 102:1; 142:3). Beranikah kita menyampaikan segala keluhan kita ke alamat Allah? Dan apakah kita saling memberikan ruang untuk itu? Kita diizinkan untuk meratap! Kalau kita berkeluh kesah, seakan-akan penderitaan yang menyesakkan dada itu, agak berkurang. Namun, tentu saja adabatas-batasnya. Tidak semua keluh kesah adalah benar dan tepat (Rat. 3:39 dst.).
Yang menarik ialah bagaimana Ayub yang takut akan Allah itu mengutuk hari kelahirannya dalam serangkaian ratapan. Hal itu terjadi sesudah teman-temannya dengan sabar tidak mengucapkan sepatah kata pun selama tujuh hari tujuh malam, karena melihat betapa berat penderitaannya (Ayb. 3:1). Tampaknya waktu itu Ayub merasa aman untuk mengungkapkan isi hatinya yang sedang panas membara dan penuh kesedihan. Pada saat itu dia melangkah di jalan yang sepi dalam pergaulannya dengan Allah, dengan sikap yang berani dan kadang-kadang menantang. Jalan yang dilaluinya sempit antara mengapakah dan oleh sebab itu. Dia bahkan minta tolong kepada Allah untuk menentang Allah (Ayb. 16:19-21). Dia bergumul dengan sangat dahsyat dengan Allahnya. Segala keluh kesahnya diungkapkannya kepada Allah, seperti yang di kemudian hari juga dilakukan oleh para pemazmur dalam kitab Mazmur. Pada akhirnya Ayub sadar, lalu mencabut kembali banyak dari ucapan-ucapannya itu (Ayb. 39; 42:5-6). Namun, terakhir Ayub mendengar kata-kata Allah bahwa di tengah penderitaannya Ayub telah berkata benar tentang Allah (Ayb. 42:8). Meskipun dia telah mengutuk hari kelahirannya, tetapi belum pernah Ayub berpaling dari Allahnya. Dalam segala keluh kesahnya dia tetap berpegang erat kepada Allah.
Sulit menerima hal-hal bengkok, yang dibiarkan saja oleh Allah
Dalam kitab-kitab hikmat dalam Perjanjian Lama, ada kalanya terdengar kesulitan untuk menyetujui kebijakan Allah dalam memerintah. Seorang pemazmur seperti Asaf menunjukkan rasa tidak senangnya dengan kemujuran orang-orang fasik, yang sangat kontras dengan apa yang dialami orang-orang yang beriman (Mzm. 73:3-12). Dalam kitab Pengkhotbah keadaan yang bengkok digambarkan dengan kata ”kesia-siaan” (angin semilir, yang mudah menguap, yang tak dapat ditangkap, yang mengecewakan, yang aneh). Itu adalah ratapan penuh pilu tentang manusia yang jatuh ke dalam dosa (bdk. Rm. 8:20). Namun, begitu banyak hal yang patah dan bengkok, yang juga langsung berkaitan dengan Allah: siapakah yang dapat meluruskan apa yang telah dibengkokkan oleh Dia? (Pkh. 7:13; 1:15). Dia telah menjadikan hari yang mujur maupun hari yang malang (Pkh. 7:14; 3:11)!
Pengkhotbah juga menyebut ketidakadilan (Pkh. 3:16-17), rasa kesepian (Pkh. 4:7-12), penindasan tanpa adanya penghibur (Pkh. 4:1). Dan terutama keadaan yang bengkok, di mana orang yang benar binasa meskipun dia saleh, dan orang yang fasik mujur meskipun dia jahat (Pkh. 7:15; 8:10-11). Bagaimana mungkin Allah membiarkan saja situasi yang bengkok seperti itu? Pengkhotbah bukansatu-satunya orang yang mengungkapkan kesulitannya untuk menyetujui kebijakan Allah dalam pemerintahan-Nya.
Contoh yang sangat mengena ialah juga Yeremia: ”Engkau memang benar, ya TUHAN, bilamana aku berbantah dengan Engkau! Tetapi aku mau berbicara dengan Engkau tentang keadilan: Mengapakah mujur hidup orang-orang fasik, sentosa semua orang yang berlaku tidak setia” (Yer. 12:1)? Ada ruang untuk mengajukanpertanyaan-pertanyaan seperti itu, asal saja Allah tidak digugat kedaulatan-Nya yang tiada terukur itu. Artinya ialah bahwa kita harus melihat dan mengakui segala batasan dan kekurangan kita sendiri. Namun, kita boleh saja mengajukan kepada Allah rasa tidak senang kita dengan situasi itu! Boleh saja kita menghampiri Dia dengan segala rasa pahit dan kekecewaan Anda, tanpa berpaling daripada-Nya.
Tidak diragukan bahwa sampai sekarang pun masih sering terjadi mukjizat. Allah sanggup melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita sadari. Namun, kenyataan bahwa Allah juga mengizinkan adanya banyak kebengkokan, mungkin saja berarti bahwa Dia ingin agar kita juga belajar bergaul dengan hal-hal yang bengkok itu.
Tidak sulit untuk menunjukkan garis-garis keretakan dalam hidup ini.
Ingatlah kepada anak-anak yang pada masa lalu telah ditelantarkan secara emosional dan bahkan dilecehkan. Anak-anak itu menjadi cacat mental seumur hidup mereka. Memang, banyak yang dapat disembuhkan, tetapi bekas luka-luka itu tetap ada. Ingatlah saja kepada pasangan-pasangan suami istri yang terus-menerus berjuang untuk mempertahankan perkawinan mereka, meskipun relasi mereka sudah berantakan. Mereka telah melakukan apa saja untuk memperbaiki relasi mereka, tetapi ternyata tidak semua hal dalam hidup ini dapat diatur sesuka kita. Ada lagi orang lain yang menjalani hidup ini seorang diri karena tidak dapat menemukan teman hidup, meskipun dia sangat mendambakannya. Ada orang tua yang terus cekcok dengan anak-anaknya, yang meskipun telah mendapat didikan yang saleh, bersikeras memilih jalan yang lain. Ada juga orang yang harus hidup dengan batasan-batasan psikis atau mengidap salah satu bentuk autisme. Atau ada orang yang diserang penyakit Alzheimer (kepikunan yang parah) yang akhirnya merenggut segala harga dirinya tanpa dapat ditahan siapa pun. Hal-hal yang bengkok, yah, jumlahnya terlalu besar untuk disebut satu per satu. Dan hal itu juga terjadi dalam hidup orang-orang Kristen.
Kita tidak selalu dapat mengatakan bahwa penderitaan diakibatkan oleh perilaku manusia (Pkh. 7:16, tanggapan terhadap penyataan bahwa orang yang saleh binasa: ”janganlah terlalu saleh”.
Maksudnya: janganlah berperilaku terlalu benar). Masih banyak tekateki kehidupan yang tidak ada penjelasannya. Kita harus menemukan cara hidup atau hikmat kehidupan yang tepat supaya kita jangan hancur karena terbentur pada kebengkokan-kebengkokan itu, dan kita harus belajar hidup dengan hal-hal yang kurang sempurna. Iman kita dapat menjadi kuat dalam berbagai-bagai pencobaan (Yak. 1:2-5). Semua itu dapat juga meningkatkan pertumbuhan kita sehingga lebih mendalami pergaulan yang hidup dengan Kristus (Kol. 2:7).
Meskipun begitu...
Bagaimana kalau kita sendiri diperlakukan dengan tidak adil, sehingga mengalami kebengkokan yang tidak berhasil kita luruskan? Apakah yang kita lakukan apabila kita berbeban berat karena hal itu dan sangat menderita? Atau kalau kita harus menanggung ketidakadilan dan ketidakjujuran yang begitu melampaui batas, sehingga seakan-akan melumpuhkan kita? Kita sangat ingin agar keadaan menjadi baik kembali, dan agar yang tidak benar diluruskan. Namun, kita menyadari bahwa keinginan itu tidak terwujud, dan bahwa tampaknya kita harus belajar melanjutkan kehidupan dalam keadaan itu. Wah, alangkah sulitnya untuk hidup dengan menerima kenyataan itu, dan alangkah panjang rasanya perjalanan hidup itu. Dapatkah manusia bertahan hidup di tengah-tengah ketidakadilan, tanpa menjadi lelah dan diliputi rasa pahit? Dia hanya dapat bertahan, kalau berserah sepenuhnya kepada Allah. Sebab Allah sanggup menangani segala situasi yang bengkok.
Sang Pengkhotbah menunjukkan sebuah jalan dalam hal ini.
Dia mengatakan: janganlah terlalu saleh (Pkh. 7:16). Janganlah berpikir bahwa dengan hidup lebih saleh atau lebih beriman, kita dapat menghindari situasi-situasi yang bengkok itu. Atau, dalam keadaan bengkok itu, kita berkata: Siapakah aku ini, kenapa aku, sehingga ditimpa oleh situasi seperti ini? Di bumi ini tidak ada orang yang begitu saleh, sehingga dia hanya berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa (Pkh. 7:20). Jangan juga bersikap seakanakan kita sangat berhikmat dan dapat menjelaskan mengapa yang bengkok, tetap bengkok (Pkh. 7:16). Akan tetapi, di sisi lain, jangan juga menanggapinya dengan bersikap terlalu bodoh dan fasik, sehingga kita tidak memedulikan lagi bagaimana kita hidup, dan bahkan kita berpaling dari Allah (Pkh. 7:17).
Takutlah akan Allah! Hormatilah Dia (Pkh. 7:18). Rasa hormat kepada Allah yang dinasihatkan oleh Pengkhotbah itu sangat mengharukan. Itu sangat cocok bagi orang-orang yang hatinya diliputi banyak pertanyaan. Mereka menanggung banyak ketidakadilan. Tak habis-habisnya mereka mengalami bermacammacam kebengkokan dalam hidup ini, dan sampai sekarang pun mereka masih terus menanggung beban itu. Dan kadang-kadang mereka putus asa. Nah, bukankah indah sekali bahwaorang-orang seperti itu tetap menghormati Allah? Ketika orang-orang seperti itu membaca kitab Pengkhotbah, mereka merasa bahwa apa yang sedang mereka alami, telah dikenal dan diakui di situ, sehingga mereka menemukan kecocokan emosional. Betapapun sulitnya kita menyetujui cara Allah memimpin hidup ini, tetapi bagaimanapun kita tetap mau berpegang erat kepada-Nya. Bukan takdir yang menentukan segala sesuatu, melainkan Allah. Aku mau berserah sepenuhnya kepada Dia. Aku tetap yakin teguh bahwa Dialah yang memimpin seluruh jalanku.
Takut akan Allah, menghormati Dia. Kalau kita melakukannya, kita akan sanggup menanggung apa pun! Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sedangkan orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan, karena dia tidak takut akan Allah (Pkh. 8:12,13). Kata ”namun” itu memberi ciri khas pada rasa takut akan Allah. Sekalipun aku mengalami macam-macam musibah, namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan (Hab. 3:16), namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku (Hab. 3:18). Begitu juga terdengar kata-kata ini dalam kitab Ratapan, di tengah-tengah segala keluh kesah:
”Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! ”TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.” (Rat. 3:22-24). Sebab Dia memuaskan hatiku.
Ampunilah semua orang! Juga mereka yang telah melakukan pelecehan terhadap kita. Hendaknya lebih dahulu kita yakin bahwa Tuhan hadir dalam hati kita. Undanglah Dia dengan sungguh- sungguh supaya datang. Sebutkan dosa yang telah terjadi terhadap kita dan juga nama pelakunya. Ucapkan dengan jelas pengampunan yang kita berikan: Tuhan, aku mengampuni...atas....terhadap diriku. Bantulah orang itu supaya dapat menyadari bahwa dosa dan kejahatannya telah diletakkan di kaki salib Kristus. Lalu berdoalah supaya luka-luka yang dalam, yang diakibatkan oleh dosa itu sembuh. Percayalah, itu tidak sulit. Dengan melakukan apa yang kita kehendaki, kita mengungkapkan iman kita dengan penuh kepercayaan, maka kita akan menerima apa yang telah kita minta, lalu kita mengucap syukur kepada Allah atas jawaban yang pasti kita terima.
Sebuah perintah
Pengampunan kristiani yang diberikan kepada orang lain, sangat besar kuasanya. Tidak ada obat yang lebih manjur daripada memberi pengampunan, dan sebaliknya, tidak ada yang lebih banyak menyebarkan kehancuran daripada sikap yang tak mau berdamai. Pengampunan kristiani ialah cara yang sangat indah untuk menggarisbawahi kasih sepihak yang ditunjukkan oleh Sang Juru Selamat, dan yang diikuti oleh orang-orang Kristen. Pengampunan kristiani bukan tawaran yang tidak mengikat.
Pengampunan itu bukan suatu pilihan, melainkan sebuah perintah (Ef. 4:32), yang berlaku untuk segala macam kejahatan.
Tuhan Yesus telah menjalin hubungan antara pengampunanNya kepada kita dan pengampunan kita kepada orang lain (Mat. 18:35). Dia mau membebaskan kita dari segala rasa benci, dendam dan dengki. Namun, hendaknya kita menyadari bahwa selain itu, Tuhan Yesus telah memasukkan juga hal pengampunan itu dalam Doa Bapa Kami, yang telah diajarkan-Nya kepada kita. Secara tidak langsung kita minta kepada Tuhan: buatlah kami bersedia untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kami.
Pengampunan tidak diberikan secara serampangan
Banyak yang dapat dikatakan tentang perintah untuk saling mengampuni, tergantung dari situasi yang sedang kita alami.
Namun, untuk sekarang yang saya bahas adalah pikiran orang bahwa pengampunan harus segera diberikan. Kalau bisa, secepat mungkin. Kalau tidak, kata orang, kita sendiri akan membangun rintangan untuk mengalami kehadiran Allah...
Wah, kedengarannya kejam bagi si korban. Bukankah pemberian pengampunan merupakan sebuah proses? Dan sering proses itu sangat menyakitkan, dan memerlukan waktu. Katekismus Heidelberg telah menyusun rumusan yang sungguh mengharukan, yang mengandung penggembalaan, ketika memberi penjelasan tentang doa mohon pengampunan:... seperti juga kami dapati tanda anugerah dalam hati kami, yaitu bahwa kami berniat sungguh-sungguh akan mengampuni sesama kami manusia dengan tulus.” Kalau kita berniat sungguh-sungguh, maka kita memperoleh ruang. Dan hal itu bukannya hal sembarangan, bukan seakan-akan kita mengatakan: Ya deh, sewaktu-waktu aku akan mengampuni. Tidak, keputusan itu diambil dengan mantap.
Kita memilih sebuah arah, lalu kita jalan. Tindakan itu harus menunjukkan kerelaan hati kita untuk mengampuni.
Pengampunan ialah proses yang jelas tidak boleh dilakukan dengan terburu-buru. Yang penting ialah bahwa ketidakadilan yang telah dilakukan, harus disebut dengan jelas dan diakui sebagai hal yang tidak adil. Yesus sendiri juga melakukan proses itu (Luk. 23:34). Selanjutnya perlu juga bahwa orang yang telah melakukan ketidakadilan terhadap kita, mengakui perbuatannya (Luk. 17:3). Sebab ada kemungkinan bahwa orang itu merintangi jalan menuju pengampunan karena dia tidak merasa bersalah (bdk. Mat. 18:21-35). Dan di samping pengakuan itu, si pelaku harus pula menyatakan kesediaannya untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya. Kalau tidak ada konfrontasi, maka ketidakadilan itu akan tetap mengganjal. Lagipula, pengampunan tidak sama dengan pendamaian, karena pendamaian tidak pernah terjadi sepihak.
Kita baru dapat mengatakan bahwa ada pendamaian, apabila si pelaku kejahatan dengan sungguh-sungguh menunjukkan penyesalannya dan kesediaannya untuk menanggung segala akibat, dan apabila hubungan itu dapat dipulihkan.
Bekas-bekas luka tetap terasa nyeri
Terutama pada peristiwa-peristiwa yang telah sangat melukai seorang, hendaknya kita bersikap penuh pengertian, dan menyediakan banyak ruang baginya untuk menjalani proses pengampunan. Apalagi, kalau seorang bersedia mengampuni, itu tidak berarti bahwa dia mau tak mau, melainkan harus menyesuaikan perasaan-perasaannya dengan kesediaan itu.
Seakan-akan dosa orang lain tidak meninggalkan kerusakan dan bekas-bekas luka pada kita. Dan seakan-akan segala kepahitan, kesedihan dan rasa dendam di hati dapat dihapus begitu saja, dan seluruh pergumulan berat itu, dilupakan!
Apakah perbuatan mengampuni memang ditakdirkan bagi kita di dunia ini? Sehingga keadaannya menjadi pulih kembali seperti sediakala? Bukankah tak mungkin kita mengatakan: sudahlah, kita lanjutkan saja hidup ini seperti sebelumnya? Bukankah tidak mungkin kita mengadakan perjanjian, mari kita bersikap seolaholah tidak pernah terjadi apa-apa. Soalnya, hubungan dengan orang yang kita ampuni sudah berubah menjadi hubungan yang baru. Setelah terjadi pengampunan, kita melanjutkan hubungan itu, tetapi dengan cara yang lain... Kadang-kadang melalui jalan yang sulit dilalui. Maka perbuatan mengampuni melibatkan dua pihak, artinya, bersama-sama membuat awal yang baru, bersamasama memikul kejadian itu dan melanjutkan perjalanan. Itu sebuah proses yang pelik, yang dijalani bersama-sama. Kalau keadaannya baik, maka pengampunan itu seharusnya meningkatkan dan mempercepat proses untuk melupakan. Akan tetapi, ada hal-hal yang tidak mungkin dilupakan, tidak pernah. Itu tidak berarti bahwa kita masih saja memendam dendam atau benci. Namun, luka-luka yang dalam meninggalkan bekas-bekasnya. Bisa saja kita mengampuni, sementara dalam ingatan kita kejadian itu masih tetap segar dan menyakitkan. Bagi kita manusia mengampuni belum berarti bahwa semuanya benar-benar harus dilupakan.
Sekarang ini kita belum sanggup melakukan itu. Namun, kita harus berdoa untuk dapat mencapai kesempurnaan itu! Seperti di surga, begitu pula di bumi.
Allah Roh Kudus membangkitkan kerinduan akan pemulihan. Bahkan Dia ikut berkeluh kesah. Namun, keluh kesah-Nya bukan disebabkan oleh rasa putus asa. Keluh kesah-Nya penuh pengharapan. Seluruh ciptaan Allah sedang merasakan sakit bersalin, bukan karena sedang merenggang nyawa. Roh sendiri sangat merindukan kelahiran ciptaan yang baru. Ialah yang paling mendambakannya. Dia merindukan dunia di mana untuk selama-lamanya tidak ada lagi malam yang kelam, suatu dunia di mana segala penderitaan, sakit penyakit dan airmata tidak ada lagi.
Roh Allah mengumpulkan semua doa yang dinaikkan ke hadapan takhta Allah. Disamakan-Nya dengan keluhan di dalam surga yang berbunyi: berapa lama lagi? Semua doa dan keluhan itu ditempaNya menjadi sebuah kesatuan. Dan semuanya diringkas menjadi satu perkataan: Datanglah! Datanglah Tuhan Yesus! Dan Allah Bapa yang menyelidiki hati nurani, mendengar doa yang dinaikkan oleh Roh-Nya itu (Rm. 8:27). Dia mengetahui maksud Roh itu. Dia melihat niat Roh-Nya. Masakan Dia tidak memenuhi doa permohonan yang sesuai dengan kehendak-Nya?! Sudah pasti Dia memenuhinya.
Pengharapan Roh tadi memang beralasan. Allah Bapa pasti akan menanggapi doa Roh-Nya. Bumi yang baru sudah dekat.
Pada akhirnya pemulihan adalah karunia utama yang diberikan pada masa depan! Pemulihan secara sempurna bagi segala-galanya yang sudah patah. Tidak ada lagi manusia yang sakit, yang lemah, yang renta atau letih lesu. Pemulihan manusia secara sempurna, baik rohani maupun jasmani, akan terjadi nanti kalau Kerajaan Allah dengan definitif datang dan mulai memerintah. ”Maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita” (Why. 21:4). Daun-daun pada pohon-pohon kehidupan yang dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa merupakan tanda yang hidup dari Kerajaan Allah itu (Why. 22:2). Dan yang paling indah dari semuanya itu ialah bahwa Allah sendiri ada di tengah-tengah bangsa-bangsa itu! Sengsara kita Allahlah yang menghitung-hitung, air mata kita ditaruh-Nya ke dalam kirbat-Nya.
Bukankah semuanya telah didaftarkan-Nya? (bdk. Mzm. 56:8).
Hatiku hancur kar’na rindu. kupanggil Allah yang hidup, yang memb’ri napas jiwaku.
Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas bersama
1. Di manakah Anda sendiri terbentur pada kerentanan hidup ini?Drs. E. Brink (1961) adalah pendeta jemaat di Gereja-Gereja Reformasi di Belanda.