1. Di mana letak Kota Sunem (lih. Peta pada awal buku ini)? Kalau memperhatikan semua perjalanan Elisa, menurut Anda kira-kira kapan ia akan melewati kota ini? Apakah ia perlu menginap di situ berhubung dengan jauhnya perjalanannya?
2. Telitilah struktur cerita ini dengan memperhatikan sebutan waktu ”pada suatu hari” dalam ayat 8, 11, dan 18. Apa jarak waktu antara ayat 8 dan ayat 37? Berhubung dengan ini, apa sebenarnya inti atau po kok cerita ini?
3. Mengapa perempuan itu diutamakan? Bagaimana dengan suaminya? Apakah mereka mempunyai hubungan dengan salah satu rombongan nabi? Kalau begitu, di mana?
4. Apa akibat pembangunan ”kamar atas yang kecil yang berdinding batu” untuk perjalanan-perjalanan Elisa? teliti juga le tak kamar tamu dalam seluruh rumah, mengingat arsitektur yang biasanya dipakai di wilayah itu (lih. EAMK, ”rumah”).
5. Dalam cerita ini kita bertemu dengan Gehazi untuk pertama kali nya. Siapa dia? dan mengapa dia yang berbicara dengan pe rempuan itu (ay. 12-13)?
6. Apakah kenyataan Elisa menyebut raja dan kepala tentara (ay. 13) mempunyai arti istimewa? dan apa arti reaksi perempuan: ”Aku ini tinggal di tengah-tengah kaumku” (bdk. 8:1-6)?
7. Tampaknya perempuan ini masih muda, sedangkan suaminya sudah lansia. Akan tetapi, mereka belum mendapat anak (laki-laki). Maka Elisa menubuatkan kelahiran anak. Hal ini mengin gatkan kita akan peristiwa lain yang hampir sama. Peristiwa yang mana? dan apa perbedaannya?
8. Janji Elisa genap: lahirlah anak. Akan tetapi, setelah anak itu menjadi be sar, ia mati oleh sengatan matahari. Apa alasan perempuan itu membaringkan anak itu di tempat tidur Elisa di kamar tamu itu?
9. Kemudian perempuan itu pergi ke Karmel. Dapat ditarik kesimpulan apa dari reaksi suaminya (ay. 23) tentang dia sendiri dan tentang Karmel? Bagaimana perempuan itu tahu bahwa Elisa ada di situ?
10. Mengapa perempuan itu berkata ”Selamat” (Syalom) kepada Gehazi?
11. Tariklah kesimpulan dari ayat 27 perihal Elisa belum mengetahui kesu sahan perempuan ini!
12. Apa maksud Elisa, ketika ia mengirim Gehazi dengan tong-katnya? Apa pikiran Gehazi? Apakah Elisa sendiri tidak akan pergi ke Sunem?
13. Tafsirkanlah ayat 32-35. Khususnya cara yang Eli sa pakai untuk membangkitkan anak itu membuat beberapa penafsir berkesimpulan bahwa Elisa adalah ”tukang tipu-tipu” (ahli sihir). Mukjizat ini mengingatkan kita akan peristiwa lain yang mana?
14. Boleh disimpulkan bahwa TUHAN memberikan anak ini dua kali kepada perempuan (dan suami) ini. Apa maksud TUHAN dengan ini, karena sebenarnya orang bisa bersungut-sungut, ”TUHAN memberi anak, tetapi mengambilnya kem bali. Kalau begitu, lebih baik tidak memberi anak sama sekali. Ini main-main saja.” Juga: Peristiwa ini mengingatkan lagi akan suatu peristiwa lain dalam Perjanjian Lama. Yang mana?
15. Apakah peristiwa ini ada hubungan dengan Kristus? Ayat mana yang menunjukkan klimaks cerita ini?
a. Pembandingan terjemahan TB dengan TL, BIMK, dan FAH
b. Konteks terkecil (kesatuan untuk penafsiran)
Kesimpulan: Bagian 2 Raja-raja 4:8-37 merupakan konteks terkecil karena di segala bidang berbeda dengan ayat-ayat di sekitarnya. Meski pun tidak disebutkan tempat dan waktu dalam ayat 1-7, tetapi berbeda dengan ayat 8-37, karena ayat 8, ”Pada suatu hari Elisa pergi ke Sunem”, menun jukkan perpisahan tajam. Di bidang tujuan ada kesamaan umum antara ketiga cerita (pertolongan tU-HAn untuk pribadi-pribadi orang Israel), namun artinya berbeda.
c. Pembagian Melihat sebutan waktu ”pada suatu hari” ayat 8-37 dapat dibagi sebagai berikut:
Peristiwa yang diceritakan dalam 4:8-37 adalah bukti yang kesekian bahwa TUHAN tidak meninggal kan umat-nya, tetapi selalu ada sesuai nama-nya ”Yahwe” untuk menolong dan me melihara orang-orang Israel yang selalu takut akan dia. Berulang kali TUHAN me nyata kan diri-nya sebagai Yang berkuasa atas hidup dan mati (ump. 2Raj. 2:19-25). Khususnya kisah panjang yang diceritakan dalam 4:8-37 menunjukkan secara yakin bahwa dialah yang menjadikan hidup baru (dalam kelahiran anak), dan bahkan memberi hidup kembali (dalam kebangkitan anak itu, setelah ia mati). Bandingkanlah peristiwa yang dikisahkan dalam 1 Raja-raja 17:17-24. Ada beberapa kesamaan, tetapi perbedaannya lebih besar. Ingatlah apa yang telah dikatakan di atas, Bab 5, butir 6!
Sampai tiga kali kita membaca petunjuk waktu ”pada suatu hari” (ay. 8, 11, 18). Tampaknya sebutan ini menentukan struktur cerita, karena jelas dari isi seluruh cerita, bahwa kata-kata ”pada suatu hari” berfungsi sebagai pemisah waktu yang menandakan episode-episode yang beruntun.
Berdasarkan data-data ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa di antara awal dan akhir kisah ini ada jangka waktu kira-kira tujuh tahun. Lagipula sebutan waktu ”pada suatu hari” ini menunjukkan apa yang sebenarnya merupakan pokok atau inti cerita, yaitu kematian dan kebangkitan anak laki-laki perempuan Sunem itu, yaitu sebagai berikut:
Dalam 2 Raja-raja 2 sudah nyata bahwa Elia dan Elisa sering membuat perjalanan untuk mengun jungirombongan-rombongan nabi di berbagai tempatnya. Setelah terangkatnya Elia, nabi Elisa berjalan dari Yerikho ke Betel, selanjutnya ke Gunung Karmel, dan dari sana ia kembali ke Sama ria (2:25).
Sebagai abdi Allah, Elisa agaknya menetap di sekitarnya raja Israel di Samaria, ibu kota Israel Utara. Pada musim kemarau raja mungkin tinggal di Yizreel, yang tidak jauh dari Kota Sunem dan Gunung Karmel, sehingga Elisa sering ke sana. Dalam 2 Raja-raja 4:8 kita baca tentang Elisa pergi ke Sunem.
Sebenarnya Sunem bukan tujuan perjalanannya. Lebih tepat TL yang berbunyi, ”berjalanlah Elisa terus dari pada negeri Sunem.” Artinya, ia melewati Kota Sunem dalam per jalanannya dari satu tempat menuju ke tempat yang lain. Letak Sunem dekat Yiz reel, tempat keluarga Ahab memi liki istana (bdk. 1Raj. 21; nabot adalah seorang Yizreel). Apalagi, jarak di antara Sunem dan pegu nungan Karmel hanya kira-kira 25 kilo meter (berjalan kaki lima sampai enam jam). Dalam Perjanjian Baru disebut beberapa kota lain lagi yang tidak jauh dari Sunem, seperti nazaret (tempat tinggal TUHAN Yesus pada masa muda-nya, wilayah Galilea) dan nain (tempat Yesus membangkitkan anak muda yang mati, Luk. 7:11-17).
Kalau kita meneliti letak Kota Sunem berhubungan dengan perjalanan-perjalanan Elisa, timbullah pertanyaan tentang kapan dan kenapa Elisa melewati Sunem? dapat dipastikan bahwa ia datang dari Karmel atau pergi ke sana (bdk. Ay 25). Akan tetapi, kalau dalam perjalanannya ke Karmel ia melewati Sunem, ia datang dari mana? Atau ke mana, jika dari Karmel? Sebenarnya, letak Kota Sunem jauh dari jalan Samaria ke Karmel. Akan tetapi, jika Elisa berjalan dari Yizreel ke Karmel (atau sebaliknya), ada kemung kinan ia mengambil rute yang lewat Sunem, walaupun tidak perlu juga, karena jalan melalui Megiddo agaknya lebih cepat. Elisa pastinya sering ke Yizreel. Hubungan antara Raja Yoram dan nabi Elisa agaknya lebih erat daripada yang kita tahu (bdk. Saja ay. 13).
Akan tetapi, masih ada kemungkinan lain. Bila menarik garis lurus dari Gunung Karmel lewat Sunem ke arah Sungai Yordan, maka kira-kira pada garis Sungai Yordan kita menemui desa Abel Mehola, tempat asal nabi Elisa. Letak Sunem persis di tengah-tengah Karmel dan Abel Mehola! terus terang, kita tidak membaca apa-apa tentang Elisa yang kadang pergi ke Abel Mehola untuk mengunjungi orang tuanya. Akan tetapi, apakah hal itu perlu diragukan? Wajar saja kita berpikir bahwa Elisa kadang pulang ke Abel Mehola untuk bertemu dengan kerabatnya, atau untuk mengambil makanan dari situ (bdk. Tafsiran 4:38). Apalagi, menurut pikiran banyak penafsir, Elisa juga dikuburkan di situ (bdk. Tafsiran 13:20-21). Tidak ada kepastian 100%, namun tidak anehlah kita menyimpulkan bahwa Elisa kadang mengunjungi kampung halamannya. Kalau dari sana ia berjalan ke Gunung Karmel, atau dari Karmel ia pergi ke sana, kemungkinan besar ia melewati Kota Sunem.
Atau, apakah konon ada alasan istimewa Elisa sering berjalan lewat Sunem, misalnya dari Samaria atau Yizreel ke salah satu lokasi di Utara, umpamanya ke Kota dan (kalau di pusat ibadah Israel Utara yang satu, Betel, terdapat rombongan nabi yang mempertahankan firman TUHAN di sana, kenapa tidak pula di pusat ibadah yang kedua, yakni di dan; bdk. 1Raj. 12:29-30)? Akan tetapi, sebenarnya kita tidak membaca sesuatu apa pun tentang adanya sebuah rombongan nabi di wilayah Utara itu. Dalam perjalanan-perjalanannya Elisa melalui banyak kota dan desa yang terletak di tengah-tengah tempat asal dan tempat tujuannya. Namun perlu ditekankan pula, bahwa perjalanan Elisa tidak pernah kebetulan. Tugasnya ialah untuk menyampaikan firman TUHAN. Dalam pelak sanaan tugas itu TUHAN selalu memimpin dia, antara lain lewat Kota Sunem. Apa yang terjadi di sana juga sesuai dengan rencana-nya.
Pada suatu hari Elisa berjalan melalui Kota Sunem. Tampaknya ia tidak bermaksud bermalam di sana, tetapi ada ”seorang perempuan kaya” yang melihat dia lewat. Lalu Elisa diundang-nya untuk singgah di rumahnya, supaya beristirahat dan makan. Boleh jadi perempuan ini sudah pernah melihat Elisa melewati rumahnya pada masa lalu, dan sudah mengira ia nabi TUHAN, karena jubahnya. Mungkin pula ia telah mendengar kabar tentang Elisa dan ingin menghormatinya. Terlebih lagi akan menjadi nyata bahwa ia bersama suaminya takut akan TUHAN, tetapi ada kemung kinan pula bahwa hal itu baru terjadi setelah Elisa mengunjungi mereka beberapa kali (ay. 9).
Perempuan ini disebut ”kaya” (TB). Bahasa ibrani memakai kata yang arti harfiahnya ialah ”besar”. Arti nya, dia seorang terhormat dan terpandang (FAH), mungkin karena termasuk golongan bangsawan (TL). Bagaimanapun ia termasuk kaum hartawan. Dari pekerja an suami nya ia seorang petani (ay. 18) jelas bahwa kaum tani cukup mewah (bdk. Boaz, Rut; Elisa sendiri pun berasal dari kaum tani yang cukup kaya, 1Raj. 19:19). Mungkin, karena mengusahakan pertanian itu, mereka tidak tinggal di dalam Kota Sunem itu sendiri, tetapi memiliki rumah di negeri sekitar nya (bdk. TL).
Pada hari tertentu nyonya ini mengundang Elisa makan, supaya sesudahnya ia dapat melanjutkan perjalanannya dengan tenaga baru. Tampaknya ia mengundang Elisa dengan dorongan kuat, hingga akhirnya Elisa menerima undangan dan singgah di rumahnya untuk makan. Janganlah dorongan perempuan ini ditafsirkan sebagai paksaan. Un dangannya berasal dari hati yang baik, dan terjadi menurut kebiasaan memberi tumpangan (bdk. Kej. 18:1-15; PB: Rm. 12:13).34 Sesuai dengan kebiasaan setempat pula, tamu yang diundang pada awalnya agak menolak undangan karena tidak mau merepotkan yang mengundang. Namun, setelah undangan itu diulang satu dua kali, ia menerimanya (bdk. Tata krama yang lazim disebut di indonesia: kalau seseorang diundang untuk makan atau minum, ia akan menjawab, ”nanti saja”).
Sesudah itu, sekian kali Elisa melewati Kota Sunem pada perjalanan-perjalanannya, ia singgah di rumah suami-istri ini untuk makan. Rupanya Elisa merasa senang mengunjungi mereka. Dia sendiri pun berasal dari keluarga tani, sehingga ia mengenal kehidupan mereka dengan baik sekali. Dengan demikian, lama-kelamaan mereka berhubung an akrab. Sudah pasti mereka berbicara banyak juga tentang perjanjian TUHAN dan keadaan buruk umat Israel itu. Jelas dari seluruh cerita, bahwa terutama perempuan itu adalah seorang yang takut akan TUHAN. Tentang kepercayaan suaminya tidak dijelaskan apa-apa. Ia tidak menonjol. Yang diutamakan ialah perempuan ini, karena dia yang merawat nabi Elisa dan mengaku, ”Orang yang selalu datang kepada kita itu adalah abdi Allah yang kudus.” dia menghormati Elisa sebagai nabi TUHAN. Itu saja maksudnya memberi tumpangan kepada Elisa (bdk. Juga Lidia di Filipi, Kis. 16:15).
Dari pengakuan perempuan Sunem mengenai Elisa itu dapat disimpulkan bahwa sebelum nya ia belum mengenal dia sebagai nabi TUHAN. Mungkin dia (dan suami nya) takut akan TUHAN, sekalipun belum bergabung dengan rombongan nabi yang terdekat (di Karmel). Tampaknya di Kota Sunem tidak ada kelompok nabi. Itu tidak berarti bahwa di sana tidak ada orang-orang yang takut akan TUHAN. Hanya saja, kita tidak mengetahuinya. Dalam ayat 23 kita baca, bahwa pada hari Sabat dan hari Bulan Baru perempuan itu (dan suaminya?) pergi ke Karmel untuk berbakti kepada TUHAN bersama-sama dengan orang-orang setia yang lain. Kapan ia mulai menghadiri ibadah di Karmel itu, tidak dikatakan. Barang kali sesudah Elisa mulai singgah di rumahnya, hal itu menjadi kebiasaan (ay. 8b).
Penafsiran cerita Alkitab dalam dan sesuai dengan konteksnya sendiri
Perlu disebut satu hal lagi, berhubung dengan hal seorang perempuan mengundang seorang laki-laki makan atau minum di rumahnya. Menurut beberapa kebudayaan (mis. Di Papua) hal perempuan Sunem mengundang Elisa itu tidak sopan. Seorang perempuan yang menghi dang kan makanan atau minuman kepada seorang laki-laki yang bukan suaminya pastinya mempunyai rencana buruk, yakni perzina an. Hanya perempuan sundal yang akan menyapa seorang laki-laki dan memberi makanan kepadanya. Menurut kebudayaan tersebut, undangan kepada seorang tamu seharusnya disampaikan oleh suami, bukan oleh istrinya.
Akan tetapi, janganlah perempuan yang mengundang Elisa itu dianggap sebagai pelacur yang bermaksud menggodai abdi Allah, sehingga ia jatuh berdosa, dengan berfan tasi tentang suaminya yang jauh di ladang, atau tentang suami yang sudah tua, sedangkan perempuan masih muda dan cantik, dan Elisa juga orang muda, bahkan perempuan itu belum mempunyai anak. Dan nanti ada bukti perzinaan juga: setelah dibuat kamar tamu (atas usulan perempuan itu), perzinaan dilanjut kan hingga perempuan itu hamil dan mendapat anak dari jelas ‘kan Elisa. Ketika kemudian anak itu mati, perempuan itu langsung lari kepada Elisa, karena ia ayahnya yang sebenarnya, bukan? Semua ini prasangka yang tidak benar. Biarlah pikiran seperti ini timbul dari kebudayaan tertentu, tetapi di Israel tidak ada pikiran semacam itu. Seorang perempuan mengundang laki-laki untuk datang makan adalah hal biasa. Di kebudayaan lain pergaulan antara lelaki dan perempuan bebas. Pentinglah konteks kisah Alkitab ini: perempuan Sunem ini hanya bermaksud untuk menghormati Elisa sebagai nabi Allah. Tidak baik membiarkan abdi Allah yang melewati rumahnya, melanjutkan perjalanannya dalam keadaan capek, lapar, dan haus. Apalagi, suami perempuan ini sungguh-sungguh hadir dan setuju. Dan nanti ia juga membangun kamar tamu untuk Elisa, atas usulan istrinya. Jadi, dari awalnya suami perempuan Sunem itu hadir dan terlibat.
Hendaklah para pembaca dan penafsir Alkitab tetap waspada, agar jangan membaca firman TUHAN dengan kacamata kebudayaan dirinya sendiri. Penting sekali kita menyelidiki dunia Alkitab PL dan PB, supaya tahu kebudayaan bangsa Israel, lalu menafsirkan Alkitab dalam konteks itu. Selanjutnya tafsiran itu dapat diterapkan ke arah kebudayaan pembaca masa kini.
Singgahnya Elisa ke rumah perempuan Sunem itu sudah menjadi kebiasaan. Setiap kali ia melewati kota tersebut, ia makan di situ, lalu melanjutkan perjalanannya. Setelah hal ini berlang sung agak lama (agaknya beberapa tahun), perempuan itu mengusulkan kepada suami nya untuk membuat kamar atas yang kecil yang berdinding batu bagi nabi TUHAN. Dan ia mau melengkapi kamar itu dengan tempat tidur, meja, kursi, dan pelita, supaya Elisa jangan hanya singgah sebentar, tetapi dapat beristirahat dengan baik dan menginap di kamar tamunya sendiri.
Mungkin sampai sekarang Elisa hanya makan di situ, lalu setelah beberapa jam berangkat lagi. Atau boleh jadi ia bermalam di sana, tetapi karena dialah ”abdi Allah yang kudus” (yang layak mendapat penghormatan besar), sebenarnya tidak cocok ia tidur di rumah di bawah. Biasanya rumah petani mempunyai hanya satu ruang saja untuk manusia maupun hewan. Menurut perempuan itu, keadaan itu tidak pas untuk seorang nabi, meskipun untuk Elisa, yang adalah mantan petani sendiri, hal itu biasa saja. Akan tetapi sudah jelas, perempuan Sunem itu ingin menghormati Elisa sepatutnya, dengan memberi tumpangan yang sesuai dengan statusnya sebagai wakil TUHAN. Haruslah dia mendapat kamar batu dengan segala perlengkapannya.
Terjadilah demikian. Dibuat kamar batu di atas atap rumah. Di Kanaan rumah-rumah biasanya mempunyai atap rata. Di luar rumah ada tangga untuk naik ke atap itu. Pada musim kemarau sering terjadi orang hidup di atas atap dan tidur pula di sana. Pada siang hari memang sejuk di dalam rumah, tetapi pada malamnya panas, sedangkan atap adalah tempat peranginan. Orang juga menjemur gandum di atas atap (bdk. Yos. 2:6, sotoh rumah). Jika ada tamu, mereka mendirikan kemah (dari kulit) atau pondok daun di sana. Untuk Elisa mereka tidak membuat pondok daun saja, tetapi kamar tamu ”yang berdinding batu”. Artinya kamar tetap, tempat Elisa dapat tinggal setiap kali ia datang. Demikian mereka menghormati dia sebagai pembesar, sebagai orang
yang kudus. Kamar ini senantiasa siap untuk Elisa. Ini kamar yang khas untuk dia (ay. 8-10). Ini benar-benar kehormatan yang besar yang menunjukkan keseriusan perempuan kaya bersama suaminya untuk memuliakan TUHAN.
B. Ayat 11-17: Pendahuluan kedua
Elisa menubuatkan kelahiran anak kepada perempuan Sunem
Pada zaman itu Israel Utara sama sekali tidak menghormati seorang nabi TUHAN, karena tidak menaati fir man TUHAN. Sebaliknya, nabi TUHAN diolok-olok (seperti terjadi di Betel, 2:23-25) dan dipandang sebagai orang gila (9:11), bila ia berbicara atau bertindak demi nama TUHAN. Akan tetapi, kini ada perempuan yang benar-benar menghormati nabi TUHAN. Inilah bukti bahwa di Israel yang bersifat buruk itu, masih ada orang yang takut akan TUHAN. Oleh sebab itu, TUHAN menghargai kehormatan yang perempuan ini berikan kepada Elisa. Upahnya sudah tersedia.
Demikian tampak dalam ayat 11-17 bahwa apa yang akan dikatakan oleh Yesus di kemudian hari, telah berlaku pada zaman Perjanjian Lama juga, yaitu bahwa:
Sumber: Tim Dowley, Guide to the Bible
Rumah di Israel
”Siapa saja yang menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan siapa saja yang menyambut Aku, ia menyambut dia yang mengutus Aku.
Siapa saja yang menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan siapa saja yang menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar.
Siapa saja yang memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, sesungguhnya Aku berkata kepadamu: ia tidak akan kehilangan upahnya” (Mat. 10:40-42).
Perempuan Sunem ini menerima ”upah seorang nabi”. Sama seperti ia menghormati Elisa sebagai nabi TUHAN, demikian ia sendiri dihormati oleh TUHAN. Ayat 8-10 tadi berbicara mengenai kehormatan yang perempuan Sunem berikan kepada nabi Elisa. Kini ayat 11-17 memberi tahu tentang upah yang diberikan Elisa kepada ibu itu atas nama TUHAN (bdk. Juga Mat. 25:31-46).
Pada suatu hari anu (TL) Elisa melewati Sunem lagi. Seperti sudah menjadi kebia sa annya, ia singgah di rumah perempuan itu untuk beristirahat dan makan di sana. Ternyata telah dibangun kamar batu untuk dia. Mungkin kamar itu baru selesai dibuat. Lalu ”masuklah ia ke kamar atas itu dan tidur di situ”. Dengan senang hati Elisa mene rima kamar yang khusus dibuat untuk dia. Karena merasa sangat berterima kasih, pada esok harinya ia menyuruh bujangnya, Gehazi, memanggil perempuan yang begitu baik ini. Ia ingin mengupahinya atas segala pelayanannya.
Untuk pertama kalinya di sini kita membaca tentang ”bujang” yang mengikuti Elisa sebagai pelayan. Bujang ini bernama Gehazi. Mungkin ia berasal dari rombongan nabi tertentu, atau bisa juga ia seorang budak ayahnya di Abel Mehola. Apakah Gehazi sudah lama mengikuti Elisa atau baru saja, tidak diberi tahu. Bagaimanapun, Elisa menyuruh Gehazi untuk memanggil perempuan Sunem itu. Elisa tidak berbicara secara langsung kepadanya, tetapi dengan perantaraan Gehazi. Lalu perempuan Sunem ”berdiri di depan Gehazi”. Artinya, setelah ia dipanggil oleh pelayan nabi TUHAN, ia segera siap untuk melayani Elisa. Maka, atas nama Elisa, Gehazi bertanya: Apakah yang dapat kuperbuat bagi mu? Melalui Gehazi, Elisa mencari tahu apa yang dapat diperbuatnya sebagai balasan bagi pela yanan perempuan yang tidak terhingga itu: ”Sesungguhnya engkau telah sangat bersusah-susah seperti ini untuk kami.”
Mengenai kata-kata ”lalu berdirilah ia di hadapannya” (TL), beberapa penafsir berpendapat bahwa perempuan Sunem naik ke kamar Elisa atas undangan Gehazi, dan berdiri di depan nabi sendiri. Namun, pada awalnya Elisa berbicara kepadanya melalui Gehazi. Nanti, ketika perempuan itu berdiri di pintu kamar Elisa, ia memang langsung berbicara kepadanya (ay. 16). Tepatlah terjemahan TB, ”dan dia berdiri di depan Gehazi. Elisa telah berkata kepada Gehazi....” Artinya, Elisa menyu ruh bujangnya memanggil (atau menyapa) perempuan itu, lalu menyampaikan pesan Elisa kepadanya. Kemudian Gehazi membawa jawaban kepada tuannya.
Usulan Elisa, apakah mungkin ada sesuatu tentang dia yang dapat dibicarakannya kepada raja atau kepala tentara, agak aneh. Apakah barangkali mereka mengalami kesulitan berkait dengan terjadinya perang atau kedatangan gerombolan dari pihak Aram (mis. Panen dirampas; bdk. 2Raj. 5-7)? Apakah suaminya pernah dipanggil menjadi tentara, sekalipun ia sudah lansia (bdk. 3:21), atau bahkan pernah bertugas sebagai perwira? Apakah ia seorang bangsawan dan tua-tua Israel? tidak tahu. Tampaknya Elisa berhubungan baik dengan raja Israel dan pang limanya (sejak peristiwa yang dikisahkan dalam 2Raj. 3?). Di kemudian hari raja benar-benar akan menolong perempuan Sunem ini setelah bencana kelaparan (8:1-6). Akan tetapi, sekarang kesulitan mana yang dapat diatasi oleh campur tangan langsung dari raja dan panglima, tidak dijelaskan. Bagaimanapun, Elisa siap sedia menolong perempuan ini, justru karena ia sudah sangat bersusah-susah untuk Elisa.
Perempuan Sunem menjawab bahwa ia tidak memerlukan bantuan nabi Elisa: ”Aku ini tinggal di tengah-tengah kaumku!” dia tidak berkekurangan apa pun karena kerabatnya ada untuk membantu, jika perlu. Apalagi, ia seorang ”kaya” atau ”besar” (hartawan atau bangsawan) yang berpengaruh. Ia tidak mau nabi TUHAN bersusah-susah untuk dia. Pelayanannya kepada Elisa tidak perlu dibalas. Ia selalu melakukannya dengan rasa kasih dan bersyukur kepada TUHAN.
Setelah Gehazi menyampaikan jawaban perempuan Sunem kepada tuannya, Elisa berkata lagi, ”Apakah yang dapat kuperbuat baginya?” Lalu Gehazi menyampaikan kekurangan besar yang disadarinya dalam rumah ini, yang merupakan kesulitan besar, khususnya untuk perempuan ini. Katanya, ”Ah, ia tidak mempunyai anak (laki-laki), dan suaminya sudah tua.” Artinya, keluarga ini belum diberkati dengan kelahiran anak, dan harapan untuk bisa mendapat anak sudah putus karena suaminya sudah lansia. Mungkin TUHAN telah memberitahukan rencana-nya kepada Elisa untuk memberkati keluarga perempuan Sunem dengan kelahiran anak laki-laki sebelumnya. Mungkin juga ia baru menya-takannya melalui Gehazi, yakni dengan membuka mata bujang akan kesusahan yang tidak diucapkan perempuan ini (bdk. 6:17), tetapi yang pasti dideritanya. Mendengar observasi Gehazi itu, Elisa langsung mengerti rencana TUHAN: Itu dia! Panggillah dia!
Kemudian perempuan Sunem dipanggil lagi. Ia naik tangga, tetapi tidak masuk ke kamar Elisa. Ia berdiri di pintu (hal sopan), siap seperti biasa un tuk melayani abdi Allah. Sekarang Elisa berbicara kepadanya secara langsung. Ia tidak mengulang pertanyaan, apa yang dapat diperbuatnya bagi dia, tetapi langsung memberitakan apa yang akan terjadi: ”Pada waktu seperti ini juga, tahun depan, engkau ini akan menggendong seorang anak laki-laki.” Perempuan itu sangat terkejut. Ia tidak dapat percaya berita yang menggembirakan ini. Mana mungkin apa yang sudah mereka harapkan begitu lama, terjadi begitu saja! Harapannya sudah tidak ada lagi. Karena itu, reaksi spontannya ialah: ”Janganlah tuanku, ya abdi Allah, janganlah berdusta kepada hambamu ini!” dia sungguh-sungguh menghormati Elisa sebagai abdi Allah, tetapi memohon dengan sangat agar jangan harapan mereka yang sudah habis itu, dihidupkannya kembali. Berkait waktu, kesempatan untuk bisa mendapat anak sudah tidak ada lagi. Janganlah nabi memberi janji yang tidak mungkin akan terjadi.
Baik janji dan reaksi ini mengingatkan kita akan Kej. 18, di mana Abraham dan Sara mendapat janji yang sama (dan janji itu digenapkan dalam jangka waktu yang sama juga). Janji itu diulang oleh TUHAN ketika dia singgah ke kemah Abraham dan makan di situ (hal yang sama juga). Sara tertawa, karena ia pun tidak dapat percaya berita itu, karena kedua-duanya sudah tua sekali (bdk. Ibr. 11:11-12). Akan tetapi, TUHAN selalu memenuhi apa yang dijanjikan-nya, atas dasar perjan jian-nya dengan Abraham bersama keturunannya. Kini perempuan Su nem, anak perjanjian, akan mengalami kesetiaan TUHAN itu juga, sama seperti Abraham dan Sara pada zaman dahulu. Sudah tentu, TUHAN tidak pernah memberi janji kosong. Contohnya banyak: bdk. Hakim-hakim 13 (Simson), 1 Samuel 1 (Samuel), dan Lukas 1 (Yohanes Pembaptis).
Dengan memberi tumpangan kepada Elisa, perempuan Sunem menghormati TUHAN tanpa berhenti. Itu sebabnya TUHAN menghormati dia dengan kelahiran anak laki-laki. Beberapa waktu sesudahnya, ternyata perempuan Sunem mengandung. Pada waktunya ia melahirkan seorang anak laki-laki. Perhatikanlah apa artinya! Seorang perempuan yang tidak melahirkan anak laki-laki tidak dihormati di Israel, tetapi sebaliknya, dihina. Sampai sekarang perempuan Sunem, sekalipun ”kaya” dan ”besar”, tidak dihormati oleh kerabatnya dan masyarakat Kota Sunem. Akan tetapi, akhirnya perempuan ini mendapat kehormatan yang sepatutnya. Yang mengatur ialah TUHAN sendiri. Firman TUHAN yang diberitakan oleh nabi yang kudus digenapkan, tepat pada waktunya. Terjadi seperti yang dinubuatkan oleh Elisa. Dengan demikian ia memperoleh upah besar dari TUHAN. Untuk dia dan suaminya terjadi mukjizat besar yang membuktikan kuasa TUHAN. Anak ini adalah tanda terima kasih dari TUHAN atas kesetiaan mereka. TUHAN menolong lagi dengan berlimpah-limpah.
C. Ayat 18-37: Inti cerita
Elisa membangkitkan anak mati perempuan Sunem
Beberapa tahun telah berjalan. Menurut kebiasaannya, Elisa pastinya kadang berjalan melalui Kota Sunem dan menginap di kamar tamunya di rumah perempuan Sunem itu. Sudah tentu ia sangat gembira melihat anak kecil yang membuat perempuan Sunem dan suaminya berbahagia. Setiap kali Elisa singgah di rumah itu, ia senang melihat anak itu bertumbuh dari bayi menjadi anak balita. Ia menyaksikan anak itu makin lama makin besar. TUHAN sungguh-sungguh telah mengupahi orang tua ini atas kebaikan yang ia alami dari pihak mereka.
Lalu terjadilah hal yang sangat mengerikan dengan anaklaki-laki ini. Sementara ini, anak sudah berumur sekitar enam tahun. Lalu, ”pada suatu hari” ia keluar untuk mendapat kan ayahnya. Sama seperti setiap anak kecil, anak itu senang membantu bapaknya atau menonton para penuai bekerja. Bapaknya sedang bekerja di lahan gandum, memimpin para penyabit. Mereka sedang panen. Jadi, ini musim panen (gandum dituai antara Pesta Paskah dan Pesta tujuh Minggu). Artinya, musim kemarau sudah tiba dan pada pagi hari matahari sudah bersinar sampai panas betul. Tidak diberi tahu berapa lama anak itu ada bersama ayahnya, tetapi tiba-tiba ia mulai berteriak. Ia menjerit kepada ayahnya, ”Aduh kepalaku, kepa laku!” Rupanya ia sakit kepala. Jadi, lebih baik ia pulang. Bapaknya minta seorang bujang me mikul anaknya kepada ibunya di rumah. Ia sendiri sibuk mengawasi peker jaan di ladang. Ia berpikir bahwa nanti setelah anaknya beristirahat pasti langsung sembuh.
Akan tetapi, ternyata anak itu kena sengatan matahari sehingga ia sakit keras. Keadaannya semakin parah. Sam pai tengah hari ia duduk di pangkuan ibunya, lalu matilah dia. Anak yang TUHAN berikan telah diambil-nya kembali (bdk. Ayb. 1:21). Dengan kejadian ini ia kembali pada keadaan sebelumnya, yakni ”ia tidak mempunyai anak” (ay. 14). Pada masa lalu tidak ada anak laki-laki di rumah. Sekarang juga begitu. Akan tetapi, sekarang kesusahan menjadi dua kali lipat, karena dukacita mengganti-kan sukacita. Anak yang dahulu hidup di rahimnya, sesudah nubuat abdi Allah, sekarang berbaring mati di pangkuannya. Sangat menyedihkan apa yang perempuan Sunem ini derita. Timbul pertanyaan: Kenapa TUHAN?
Perhatikanlah reaksi perempuan ini saat kematian anaknya. Menurut sifat manusia, seharusnya ia menangis dan memberontak, dan bahkan mengutuki nabi yang dahulu ia hormati karena ia benar-benar berdusta kepadanya (ay. 16). Kita akan memahami, kalau sekarang perempuan itu akan menganggap Elisa sebagai penipu. Janjinya digenap kan, tetapi dihapuskan lagi. Mengapa ia memberi janji yang ternyata kosong itu? Kita tidak akan merasa heran, kalau akan ada reaksi dari perempuan, ”Enyahlah Elisa! Enyahlah juga TUHAN! tidak akan terjadi lagi ia menginap di sini. Kamar tamu itu saya bongkar saja. Rumah saya senantiasa tertutup untuk orang itu.”
Akan tetapi, bukan itu reaksi perempuan Sunem. Sama sekali tidak. Sebaliknya, ia tetap menghormati nabi Elisa, dan juga menghormati TUHAN. Ia langsung menyadari bahwa peristiwa ini ada maksudnya. Mustahil TUHAN meniadakan janji yang dahulu diberikan dan digenapkan-nya. Jadi, hanya Elisa (= TUHAN) yang dapat me nolong dia dalam kesulitan yang sangat mengerikan ini. Perempuan ini tidak memberontak karena anaknya mati, tidak juga menerimanya dengan pasrah, tetapi ia percaya dan menyerahkan hal ini kepada TUHAN. Kepercayaannya membuat dia langsung menjadi aktif. Sambil menggendong anaknya (ay. 16), ia naik tangga dan membaringkan anaknya di atas tempat tidur di kamar Elisa, lalu menutup pintu. Tidak boleh seorang pun masuk dan mengambil anak nya untuk dikuburkan, selama belum menjadi nyata apa maksud TUHAN atas apa yang terjadi ini. Lalu ia bersiap untuk pergi dengan segera kepada abdi Allah yang tampaknya sekarang tinggal di Gunung Karmel (agaknya Elisa masih bermalam di Sunem), dan ia akan terus pulang.
Kepada suaminya ia meminta seekor keledai betina dan seorang bujang. Ia tidak berbicara tentang keadaan anak mereka, tetapi hanya menyampaikan rencananya berjalan menemui abdi Allah yang sekarang di Karmel. Tampaknya suaminya juga tidak bertanya tentang anak. Ia hanya heran bahwa istrinya mau pergi ke Karmel pada hari ini, karena hari ini bukan hari Sabat atau Bulan Baru. Tampaknya, pada hari-hari itulah mereka biasanya pergi menghadiri ibadah di lingkungan rom bongan nabi yang di Gunung Karmel. Mungkin suami langsung mengerti ada kesusahan besar, tetapi diam saja mendengar jawaban istrinya, ”Jangan kuatir” (ay. 23). Di sini, bahasa ibrani memakai kata syalom, yang berarti semuanya baik (sejahtera). Biarlah suami meneruskan saja pekerjaannya di ladang. Ia akan pergi dan segera kembali. Ia hanya perlu berbicara dengan nabi TUHAN. Sudah lewat tengah hari. Ia naik keledai dan berangkat. Kalau terus berjalan dan tidak ada yang menahannya, ia akan tiba di Karmel sesudah dua, tiga jam, lalu kembali pulang sebelum gelap.
Di Gunung Karmel Elisa melihat perempuan Sunem datang, dan langsung menyuruh bujangnya Gehazi untuk cepat turun menyongsong dia. Menurut kebiasaan setempat, tamu yang datang dari jauh dijemput dengan ucapan ”Selamat datang” dan pertanyaan ”Apa kabar?”. Demikian Gehazi diberi perintah untuk bertanya kepada perempuan itu apakah ia, suami, dan anaknya selamat. Gehazi menyebut juga anak, ”Selamatkah anak itu?” Perempuan membalas semua perta nyaan itu, katanya, ”Selamat!”. Bahasa ibrani memakai lagi kata syalom, artinya ”baik saja”. Sebenarnya mereka sama sekali tidak selamat. Hanya, perempuan Sunem tidak mau membuka kesusahannya kepada bujang Elisa, melainkan hanya kepada nabi Elisa sendiri. Dialah abdi Allah yang bertindak dalam nama TUHAN. Karena itu, ia melewati Gehazi dan menuju Elisa. Elisa pastinya sudah mulai berpikir tentang maksud kedatangannya yang tiba-tiba ini. Dan melihat mukanya, terjadi sesuatu yang menyedihkan.
Setelah perempuan Sunem sampai ke gunung, artinya ke tempat tinggal Elisa di Gunung Karmel (barangkali asrama rombongan nabi sekaligus tempat ibadah di mana Elia pernah mempersembahkan kurban kepada TUHAN; 1Raj. 18), ia turun dari keledainya dan terlihat jelas memegang atau memeluk kaki abdi Allah. Sekalipun ia selalu menghormati Elisa dengan sangat, tetapi mungkin ia belum pernah menyalami nabi yang kudus secara demikian. Bagaimanapun, Gehazi tidak mengerti tindakan ini dan mau mengusir dia dari kaki tuannya. Akan tetapi Elisa berkata, ”Biarkanlah dia.” ia sudah mengerti bahwa perempuan Sunem sedang berada dalam kesusahan yang luar biasa besar, katanya, ”Hatinya pedih!” dengan memeluk kaki Elisa ia sepertinya berteriak minta tolong. Harapannya hanya kepada TUHAN saja (bdk. FAH).
Sampai sekarang Elisa belum mengetahui kesusahan yang sedang dialami oleh perempuan Sunem itu. Ternyata TUHAN menyembunyikan hal ini darinya. Akibatnya ia juga belum tahu apa yang harus diperbuatnya. Waktu perempuan Sunem memegang kakinya sudah jelas bahwa ia berada dalam kesulitan besar. Lalu pada saat ia mulai berbicara, Elisa langsung mengerti apa kesulitannya, yaitu bahwa baru saja anaknya mati! Perempuan Sunem tidak memberitahukannya secara eksplisit. Akan tetapi, dengan mengingatkan Elisa akan janji yang pernah ia berikan kepadanya melalui Gehazi tentang anak laki-laki yang akan dilahirkannya, ia pun mengerti. Pada waktu itu ia telah berkata, ”Janganlah berdusta kepada hambamu!” ia sendiri tidak meminta seorang anak laki-laki. Karena ia tahu, itu harapan kosong saja. Hari ini kata-katanya itu sudah menjadi fakta.
Elisa mengerti bahwa keadaan perempuan ini kembali seperti di awal: ”ia tidak mempunyai anak” (ay. 14). Anak laki-laki yang telah ia terima, rupanya sekarang sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, apa maksud TUHAN dengan memberikan anak ini sesuai dengan firman-nya, dan selanjutnya mengambilnya kembali? Elisa belum tahu, karena sampai sekarang ini TUHAN belum memberita hukan kepadanya. Dan selama TUHAN belum memberikan petunjuk kepada Elisa, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Berita-berita atau tindakan seorang nabi selalu bergantung atas penyataan atau perintah TUHAN. Bilamana TUHAN berdiam, nabi terpaksa berdiam juga. Bilamana TUHAN berfirman, nabi tentunya akan berfirman juga. Akan tetapi, Elisa yakin bahwa dalam hal ini TUHAN akan memberi petunjuk karena kematian anak itu tidak sesuai dengan janji awal-nya. Jadi, Elisa sedang menantikan perintah dari TUHAN, tetapi sekarang dia dan begitu juga perempuan Sunem masih harus bersabar. Perlu Elisa berdoa kepada TUHAN dan menunggu kekuasaan-nya meliputi dia (bdk. 3:15).
Selama TUHAN belum memberi petunjuk, jenazah anak tidak boleh diambil dan dikuburkan. Karena itu, Elisa segera mengirim Gehazi ke Su nem. Ia harus lari cepat membawa tongkat Elisa ke rumah perempuan Sunem. Tidak diperkenankan ia berhenti di tengah jalan untuk menyalami orang. Setelah tiba di tempat tujuannya, ia harus menaruh tongkat Elisa di atas anak itu sebagai tanda milik Elisa (= TUHAN). Sebenarnya ibu anak itu telah membuat hal yang sama ketika ia membaringkan anaknya yang mati di atas tempat tidur abdi Allah, tetapi tongkat membuktikan bahwa nabi itu sendiri sudah siap bertindak. Tongkat itu adalah bukti miliknya yang menandai bahwa hanya dia yang berhak meme gang anak itu. Hendaklah mayat anak dibiarkan sampai nabi sendiri ada. Dengan demikian Elisa menyita anak itu, demi nama TUHAN.
Gehazi melaksanakan perintah Elisa dengan segera. Dengan tongkat Elisa di tangan nya ia berlari dari Karmel ke Sunem. Di tengah jalan ia pastinya bertemu dengan orang-orang yang bersalaman atau yang ingin tahu apa alasannya ia berlari begitu cepat. Akan tetapi, Gehazi lewat saja, tidak memberikan salam kepada orang lain atau membalas salam dari mereka. Sebenarnya, hal ini menentang kebudayaan setempat, tetapi begi tulah instruksi yang ia terima dari tuannya. Tidak ada waktu. Dia harus sampai di Kota Sunem dengan secepat-cepatnya untuk menaruh tongkat Elisa di atas anak mati itu.
Walaupun Gehazi melakukan tugasnya dengan tepat dan cepat, tetapi pikirannya tentang arti tindakan menaruh tongkat Elisa di atas mayat anak itu tampak keliru. Dari cerita selanjutnya kita mengerti bahwa Gehazi menantikan anak mati itu langsung akan bangkit pada saat tongkat Elisa menyentuh badannya, seandainya tongkat itu mempunyai kuasa gaib. Tampaknya Gehazi tidak meman dang tongkat Elisa sebagai hanya tanda milik saja, tetapi sebagai benda yang berkuasa sendiri. Karena tidak terjadi apa-apa, Gehazi langsung kembali dari Sunem ke arah Karmel (tidak diberi tahu apakah ia masih bertemu dengan ayah anak itu di rumah). Bila di tengah jalan ia bertemu dengan Elisa dan perempuan Sunem, ia memberi tahukan kepada mereka bahwa ”anak itu tidak bangun!”. Cabarlah tongkat itu. Banyak penafsir berpikir sama dengan Gehazi. Mereka juga mengandaikan tongkat Elisa sebagai tanda kuasanya (tongkat sihir). Perkiraan Elisa, kata mereka, bahwa tongkatnya mencukupi untuk membang kitkan anak itu. Dari tidak ada suara dan tidak ada tanda hidup, para penafsir tersebut menyim pulkan bahwa anggapan Elisa itu gagal, sehingga terpaksa ia harus berjalan sendiri. Menurut mereka, reaksi perempuan Sunem juga menunjukkan bahwa pada awalnya Elisa tidak berencana pergi sendiri, tetapi percaya akan kuasa tongkatnya. Perempuan itu tidak pulang bersama Gehazi, sebaliknya, ia mengajak Elisa untuk juga pergi.
Akan tetapi, perginya Elisa sendiri sama sekali tidak terjadi secara terpaksa dan dari belakang oleh karena tindakan Gehazi menaruh tongkatnya di atas anak itu tidak berhasil, karena argumen-argumen berikutnya:
Dari pilihan kata-kata dalam bagian cerita ini tampak jelas bahwa Elisa sendiri tidak menantikan mukjizat dari tongkatnya, dan juga bahwa ia benar-benar akan pergi ke Sunem sendiri. Hanya, belum waktunya. Karena Elisa belum mendapat petunjuk dari TUHAN, ia mengirim bujangnya lebih dahulu agar ia menaruh tongkat Elisa di atas anak mati, dan dengan demikian menyita mayatnya. Nanti ia akan datang sendiri, tetapi ia harus menunggu penyataan TUHAN dahulu. Itulah sebabnya ia belum berangkat. Maka, karena dorongan perempuan itu, ia toh segera berangkat, dengan harapan bahwa nanti di tengah jalan atau di Sunem TUHAN akan memberi tahu apa yang harus ia lakukan. Akan tetapi, ia yakin bahwa dengan kejadian ini TUHAN mempunyai maksud istimewa, karena mana mungkin TUHAN begitu saja mengambil kembali apa yang sebelumnya ia berikan sesuai dengan janji-nya?
Setelah tiba di rumah perempuan Sunem, nabi Elisa langsung naik tangga dan memasuki kamar tamunya. Di sana ia mendapati anak itu benar-benar mati: ”ternyata anak itu sudah mati”. Yang terbaring di atas tempat tidurnya bukanlah anak yang hidup, melainkan mayat. Dan di atas mayat itu terletak tongkatnya. Elisa menutup pintu, sehingga ia sendiri dengan anak itu. Ia tidak mau diganggu. Apa yang akan dibuatnya bukanlah hal umum, melainkan hal yang sangat pribadi. Abdi Allah mengasingkan diri untuk berdoa kepada TUHAN. Tampaknya sampai saat ini TUHAN belum me nyata kan diri kepada Elisa tentang anak ini. Belum ada petunjuk. TUHAN berdiam diri. Sekarang Elisa akan berjuang dengan TUHAN ten tang anak ini. Apa sebenarnya maksud TUHAN dengan menarik kembali janji-nya mengenai anak itu? dengan berbuat demikian TUHAN memberi kesan bahwa firman-nya kosong dan tidak berarti, bahwa janji-nya adalah dusta. Sebagai nabi TUHAN yang sudah terbukti adalah Allah yang hidup. Elisa tidak dapat menerima perbuatan TUHAN ini, sama seperti perempuan Sunem tidak menerimanya (yang menjadi jelas dari perjalanannya kepada nabi TUHAN). Tidak mungkin janji TUHAN kosong saja. Mustahil TUHAN menipu orang yang takut akan dia. Elisa menyadari bahwa kematian anak ini tidak mungkin terjadi justru karena janji TUHAN sebelumnya. Bayangkan, seandainya TUHAN menipu, dia sama dengan iblis! dalam doanya Elisa menegaskan kesetiaan TUHAN. Dan doa itu tidak percuma.
Sebagai nabi yang diangkat oleh TUHAN sendiri, Elisa berhubungan akrab dengan TUHAN. Hubungan itu selalu mempunyai dua arah. Bukan hanya TUHAN berbicara kepada nabi-nya, tetapi nabi juga menghubungi TUHAN dalam doanya. Tugas nabi ialah untuk mewakili TUHAN di depan umat-nya: ia berfirman atas nama TUHAN. Dan sebaliknya, ia mewakili umat TUHAN di hadapan TUHAN. Ia berdoa atas nama mereka, bersama-sama atau masing-masing, sambil membela hak dan perkara mereka. Sekarang Elisa mengingatkan TUHAN akan janji-nya kepada perempuan Sunem itu, dan ia juga menye but kesetiaan perempuan ini. Elisa tentu tidak memaksa TUHAN untuk menghidupkan kembali anak ini, tetapi dengan rendah hati ia meminta perhatian TUHAN, dengan berkata, ”Ji kalau Engkau menghendakinya.”
Bukankah kita semua selalu boleh memperingatkan TUHAN akan janji-janji-nya. Walau pun TUHAN tidak akan pernah melupakan firman-nya, tetapi dia menyukai kesadaran kita akan segala janji-nya. Bolehlah kita berdoa kepada TUHAN atas dasar perjanjian-nya. Dan tidak perlu kita ragu-ragu: doa kita pasti didengar TUHAN (bdk. Yak. 5:17; 1Raj. 17:17-24; juga Katekismus Heidelberg 45).
Setelah berdoa, Elisa meniarap (membaringkan dirinya) di atas anak itu, supaya badan anak yang sudah menjadi dingin itu kembali menjadi hangat. Elisa membaringkan dirinya di atas anak itu, dengan mulutnya di atas mulut anak itu, matanya di atas mata anak itu, dan tela pak tangan di atas telapak tangan anak itu. Pada saat ini anak itu sudah mati selama lima–enam jam sehingga badannya pasti sudah dingin. Oleh tindakan Elisa ini badan anak itu menjadi panas lagi. Kemudian Elisa berdiri kembali dan berjalan di dalam kamar (atau di rumah, di bawah), sekali ke sana dan sekali ke sini, karena agaknya TUHAN belum menjawab. Selanjut nya Elisa meniarap lagi di atas anak itu. Perbuatan Elisa ini tidak bermaksud lain dari membuat badan anak itu kembali menjadi hangat. Dan hal berjalan dalam kamar (atau rumah) tidak berarti lain dari Elisa me nunggu dengan sabar. Ia menantikan jawaban dari TUHAN.
Menurut seorang penafsir tindakan Elisa ini bersifat magis atau sihir. Dengan meniarap di atas anak itu (mulut Elisa di atas mulut anak, mata di atas mata, telapak tangan di atas telapak tangan), kuasa Elisa mengalir ke dalam anak itu (seperti kuasa TUHAN meliputi Elisa). Karena belum ada hasil, diperkira kannya kuasa Elisa masih kurang, sehingga ia harus mengulang tindakannya sekali lagi. Sama halnya dengan perbuatan Elisa berjalan di rumah, sekali ke sana dan sekali ke sini. Itu pun mempunyai arti magis, kata penafsir itu. Agaknya, dengan berbuat demikian Elisa mau mengusir segala kuasa jahat yang menyebabkan kuasa dirinya lemah. Dan lihat, setelah meniarap sekali lagi, anak itu bangun! tafsiran semacam itu mempersamakan TUHAN dengan dewa. Benar, untuk orang yang tidak percaya kepada TUHAN, doa agaknya adalah sama dengan perbuatan sihir. Akan tetapi, TUHAN bukanlah dewa yang dapat dipaksa dengan perbuatan gaib manusia, melainkan Allah yang hidup yang berdaulat. Dia bertindak sesuai dengan kehendak, rencana, dan janji-nya.
”Maka bersinlah anak itu sampai tujuh kali, lalu membuka matanya.” Artinya, TUHAN telah mengabul kan doa abdi-Nya, Elisa. Anak yang mati itu hidup kembali. TUHAN telah mengadakan mukjizat besar: dia membangkitkan orang yang sudah mati. Janji-nya tidak kosong! Anak Sunem dihidupkan-nya kembali, sama seperti di kemudian hari anak Yairus di Kapernaum dan juga anak muda di nain (Luk. 7:16, kota yang tidak jauh dari Sunem) dibangkitkan oleh Yesus Kristus. TUHANlah yang memberi hidup, yang mengambil hidup, dan yang memberi hidup kembali. Alangkah besarnya kuasa TUHAN! terpujilah nama-nya.
Justru itu jugalah reaksi ibu anak itu. Ia sedang menunggu kabar dari kamar tamu Elisa yang tertutup itu (tak ada informasi apa pun tentang suaminya, tetapi hal itu wajar karena perempuan Sunem yang berperan utama). Yang juga menunggu ialah Gehazi. Tindakan menaruh tongkat Elisa di atas anak itu tidak berhasil. Apakah Elisa sendiri akan berhasil? Mungkin sekali Gehazi menunggu di depan pintu kamar tamu di atas atap, dan perempuan Sunem menunggu di rumah di bawah. Karena, setelah anak itu hidup kembali, Elisa membuka pintu dan memanggil bujangnya, Gehazi. Lalu Gehazi disuruhnya untuk memanggil perempuan Sunem itu. Sudah tentu ibu ini lari ke atas untuk mendengar kabar tentang anaknya. Ketika berdiri di pintu (ay. 15), ia melihat anaknya masih terbaring di atas tempat tidur Elisa. Akan tetapi, sudah ada perubahan besar. Pada waktu ia membaringkan nya di sana, anak itu mati (ay. 21). Padahal, sekarang ia hidup dan mengulurkan tangannya kepadanya. Elisa hanya berkata, ”Angkatlah anakmu ini!” Lalu kita tidak membaca: ”masuk lah perempuan itu, lalu mengangkat anaknya”, tetapi ”masuklah perempuan itu, lalu tersungkur di depan kaki Elisa dan sujud menyembah dengan mukanya sampai ke tanah.” Se-belum membawa anaknya yang hidup kembali, ia mengucapkan syukur kepada TUHAN. Baru setelah itu ia mengangkat anaknya, lalu keluar.
Anak yang sebelumnya dibaringkannya karena sudah mati, sekarang diangkatnya, bukan karena saat pemakamannya telah tiba, melainkan karena ia hidup kembali. Dukacita sudah berubah menjadi sukacita. Anak ini nanti hidup seperti biasa (tinggal bersama ibu atau membantu ayah), seakan-akan hal yang mengerikan itu tidak pernah terjadi. Akan tetapi, perempuan ini pastinya akan selalu memuliakan nama TUHAN. Lebih dahulu, setelah anak janda Sarfat hidup kembali, perempuan itu berkata, ”Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan adalah benar” (1Raj. 17:24). Kini perempuan Sunem dapat mengaku hal yang sama, yaitu bahwa, ”Aku sudah lama tahu bahwa engkaulah nabi Allah dan bahwa firmanmu benar. Tetapi sekarang aku mendapat buktinya: TUHAN berkuasa untuk memberi hidup ganti kematian.” Kehormatan yang telah perempuan Sunem ini berikan kepada nabi Elisa lebih dahulu (ay. 10, 17) tidak diganti oleh kemarahan dan benci karena anaknya mati, tetapi menjadi kehor matan dua kali lipat oleh karena anaknya hidup. Kepercayaannya kepada TUHAN tidak hilang karena kesulitan, tetapi menjadi semakin besar. Sudah ada bukti nyata: janji TUHAN sungguh-sungguh tidak kosong!
12. Sola fide: semata-mata oleh iman
Peristiwa kebangkitan anak Sunem ada analoginya dengan kebangkitan anak Sarfat (1Raj. 17:17-24), tetapi mengingatkan kita juga akan peristiwa lain yang diceritakan dalam Kejadian 22. di sana Abraham, yang atas janji TUHAN mendapat anak laki-laki, ishak, pada waktu ia dan Sara sudah lansia, disuruh mengembalikannya kepada TUHAN. Dengan demikian TUHAN menguji Abraham apakah ia sungguh-sungguh percaya kepada TUHAN dan tetap mengakui janji-nya (”Engkau akan menjadi bapak sejumlah besar bangsa”, lih. Kej. 17:5). Dan syukurlah, Abraham percaya dengan sungguh-sungguh, ”karena ia berpikir bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali” (lih. Ibr. 11:17-19). Dalam Roma 4 Paulus menulis bahwa ”kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai kebenaran”. Semata-mata oleh iman kita dibenarkan: Sola fide.
Dengan cara sedemikian TUHAN menguji perempuan Sunem (dan suaminya), supaya menjadi nyata benar bahwa mereka percaya kepada-nya. Syukurlah, perempuan itu tetap menghormati nabi Elisa, artinya TUHAN sendiri, juga dalam kesusahan yang paling besar. Dari reaksinya tadi sudah tampak jelas bahwa perempuan Sunem tanpa henti-hentinya menaruh pengharapannya kepada TUHAN (bdk. Katekismus Heidelberg 10). Dalam kematian dan kebangkitan anaknya menjadi nyata bahwa ia selalu ”takut akan TUHAN”, baik dalam kesenangannya maupun dalam pergumulannya. Ia berharap semata-mata kepada TUHAN, juga dalam kesusahan yang paling hebat (bdk. Kitab Ayub).
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis tentang pengujian Abraham dalam rangka kebenaran yang semata-mata terjadi oleh iman. Selanjutnya ia berbicara tentang Adam dan Kristus. Maka Paulus menjelaskan bahwa kita semua mati karena dosa, dan perlu dibangkitkan menjadi manusia baru. Demikian halnya untuk Abraham (dan Sara) dan untuk umat Israel pada zaman Elisa. Dan begitu juga untuk kita yang hidup pada akhir zaman. Setiap orang yang sungguh-sungguh percaya kepada TUHAN, tidak perlu merasa bingung tentang kebangkitannya menjadi manusia baru, yaitu sesuai dengan janji dan rencana keselamatan TUHAN. Tidak perlu kita berjuang sendiri, tetapi Yesus Kristus, Anak Allah, melepaskan kita dari maut: ”... Kamu telah mati terhadap dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm. 6:1-14). Untuk semua orang yang percaya ada pengharapan yang teguh. Karena janji TUHAN tidak pernah kosong!