II. Aspek-aspek Pembacaan dan Penafsiran Kitab Suci

Kita telah meneliti beberapa aturan dasar pembacaan dan penafsiran Kitab Suci. Sekarang, berdasarkan aturan-aturan dasar itu, kita akan membahas beberapa aspek pembacaan dan penafsiran Alkitab.

Sebelumnya telah dikatakan bahwa setiap ayat atau pasal Kitab Suci hendaklah dibaca dan ditafsir dalam keseluruhannya. Namun, tidak mungkin dan juga tidak perlu kita lebih dahulu menafsirkan seluruh Alkitab agar dapat memahami bagian-bagian tertentu (memang membaca dan mengetahui isi seluruh Alkitab adalah syarat untuk penafsiran ayat-ayat tertentu). Jadi, secara praktis, dengan cara manakah kita menafsirkan Kitab Suci?

Penafsiran Kitab Suci mengandung banyak aspek. Pertama-tama, ada aspek bahasa. Kita biasanya membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia. Tidak masalah, yang penting kita menyadari bahwa Alkitab yang kita baca adalah terjemahan dari bahasa Ibrani (PL) dan Yunani (PB). Karena itu, sebagai penafsir, sebaiknya kita mampu menerjemahkan sendiri bagian yang kita tafsirkan dari bahasa aslinya, atau sekurang-kurangnya meneliti tepatnya tidaknya terjemahan yang kita pakai. Berkaitan dengan itu, ada lagi aspek analisis dan sintesis, di mana kita mengadakan studi kata dan meneliti hubungan antarkata.

Kemudian ada aspek-aspek konteks dan jenis (genre). Ada aspek arti Kitab Suci untuk para pendengar pertama, lalu aspek arti untuk kita yang hidup pada abad ke-21. Ada aspek penggunaan buku-buku tafsiran, ada juga aspek metode penafsiran. Setiap penafsir menggunakan metode tertentu dan memiliki prapaham-prapaham tertentu.

Semua aspek tersebut mempengaruhi atau bahkan menentukan karya penafsiran kita. Dalam bagian ini, kita akan meneliti aspek-aspek tersebut. Kita akan melihat beberapa aturan penafsiran lain lagi yang dapat menjadi panduan bagi kita dalam melakukan eksegesis Firman Tuhan.

6. Kesatuan Teks Terkecil

Apa itu "kesatuan teks"?

Sama seperti setiap buku bacaan, seluruh Alkitab dari Kejadian 1 sampai dengan Wahyu 22 merupakan satu kesatuan teks (unity of text) yang paling besar. Biasanya buku, sebagaimana juga Alkitab, terbagi ke dalam beberapa kesatuan yang lebih kecil (jilid, kitab, pasal) yang berhubungan satu sama lain (sub unity of text).

Kesatuan-kesatuan ini disebut teks atau naskah.

teks

^

kalimat

^

kata

Ungkapan bahasa terkecil yang masih dapat disebut kesatuan adalah kalimat. Walaupun satu kalimat dapat terdiri dari hanya satu kata, misalnya: "Duduklah!" atau "Pulanglah!",15 tapi biasanya sebuah kalimat terdiri dari lebih dari satu kata yang disusun secara teratur dan membentuk satu kesatuan (pengalimatan, unity of sentence). Jika seseorang hanya mengucapkan beberapa kata, misalnya "bekerja", "hari ini", dan "sakit", kita tidak akan langsung mengerti apa yang dimaksud oleh orang itu. Satu atau beberapa kata tidak dengan sendirinya menjadi ungkapan yang terpahami. Kata-kata itu perlu dihubungkan sehingga menjadi satu kesatuan: "Saya tidak bekerja, karena hari ini saya sakit." Tapi bisa juga: "Saya tetap bekerja, walaupun hari ini saya sakit." Atau: "Saya bekerja, meskipun anakku sakit, tapi hari ini sudah tidak parah lagi." Karena itu, kata-kata harus disusun secara teratur, baru kalimat itu memiliki arti.

Umumnya kalau hanya satu kalimat, itu juga belum cukup untuk dapat disebut satu kesatuan. Memang ada unity of sentence, tapi belum ada unity of text. Apa misalnya arti kalimat yang ditulis Paulus dalam Roma 1:14, "Aku berutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada bangsa-bangsa lain, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar"? Kalimat itu merupakan satu kesatuan, tapi arti kata "berutang" hanya terpahami berdasarkan keseluruhan konteks di sekitar kalimat ini. Jika kita memahami konteks itu, maka kita akan mengerti bahwa kata "berutang" tidak berarti Paulus harus memberikan uang kepada semua kelompok yang disebutkannya. Utangnya bersifat rohani.

Jadi, sebuah teks terdiri dari sejumlah kalimat tertentu yang disusun secara teratur.

Contoh: Apa arti ucapan Yesus dalam Lukas 6:20, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah"?

Apakah kalimat ini berarti bahwa Yesus memihak golongan rakyat miskin yang tidak punya uang untuk membeli makanan atau mengikuti pendidikan? Kalimat itu sendiri tidak memberi kepastian. Tapi, jika kalimat ini dibaca dalam konteksnya (Luk 6:20-38), barulah kita dapat mengerti arti yang sebenarnya (sebagaimana dimaksudkan oleh pembicara, Yesus). Ayat 20 dimulai dengan kata-kata, "Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata ...." Kata-kata Yesus itu diteruskan sampai dengan ayat 38, karena ayat 39 mulai dengan kata-kata, "Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka ...." Dari keseluruhan itu kita mengerti bahwa orang-orang miskin yang dimaksudkan Yesus adalah murid-murid-Nya yang memang sangat berbeda dari orang-orang kaya yang tidak percaya. Ba nyak murid Yesus yang berasal dari golongan miskin yang tidak berpendidikan, tapi tidak apa-apa, karena walaupun miskin, mereka anak Tuhan, sehingga lebih berbahagia dari orang kaya yang pintar dan tinggi kedudukannya tapi jauh dari Tuhan.

Menentukan kesatuan teks terkecilUmumnya tidak terlalu sulit menentukan kesatuan teks terkecil.

Untuk menentukan batas-batas kesatuan, kita dapat menggunakan beberapa "kunci" berikut:

oknum tempat waktu peristiwa pokok

Khususnya dalam kitab-kitab yang bersifat sejarah, kesatuan dalam bidang oknum, tempat, dan sebagainya menunjukkan batas-batas kesatuan teks. Pergantian waktu, tindakan, atau tempat menunjukkan dimulai (pada awal) atau diakhirinya (pada akhir) sebuah peristiwa yang baru.

Misalnya: 2 Raja-raja 2:19-22; Matius 8:1-4; Yohanes 17:1b-26; Kisah Para Rasul 2:42(!)-47.

Dalam Injil Matius, kita membaca beberapa khotbah Yesus, yaitu Khotbah di Bukit (Mat 5–7) dan Khotbah tentang Akhir Zaman (Mat 24–25). Kendati kedua khotbah itu dapat dibagi ke dalam beberapa sub unit, tapi kita perlu memperhatikan khotbah itu seutuhnya. Seluruh khotbah atau pidato selalu merupakan satu kesatuan terkecil. Demikian juga mazmur.

Dalam kitab-kitab nubuat, kesatuan-kesatuan teks terkecil sering dibatasi oleh formula seperti, "Demikianlah Firman TUHAN!" Tapi yang lebih sulit adalah surat-surat PB, khususnya surat Paulus. Namun demikian, kita masih dapat membagi surat-surat tersebut ke dalam kesatuan-kesatuan tertentu.

Misalnya: Amos 1–3; 1 Korintus.

Sebaiknya, dalam menetapkan kesatuan teks terkecil, kita tidak langsung menerima pembagian yang terdapat dalam Alkitab TB LAI, karena pembagian itu kadang kurang tepat.

Kesatuan teks terkecil adalah minimum eksegesisApa gunanya menetapkan kesatuan teks terkecil? Karena kesatuan terkecil itu adalah minimum bagi penafsiran kita. Penafsiran tidak pernah sama dengan mencari arti satu atau beberapa kata dalam satu kalimat, atau arti satu kalimat dalam satu teks. Kita selalu wajib menafsirkan seluruh kesatuan teks terkecil, dari awal sampai akhir. Ingat, banyak bidah dan kesesatan yang disebabkan oleh pencopotan kata atau kalimat dari keseluruhannya.

Misalnya: Untuk memahami apa yang dimaksud Paulus dengan "karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh" (1Kor 12:10), hendaklah kita menafsirkan seluruh bagian 1 Korintus 12 s/d 14.

Untuk mengerti arti hukuman yang diberikan Tuhan kepada Mikhal (2Sam 6:23), kita perlu menafsirkan seluruh pasal 2 Samuel 6.

Matius 8:3
Awal: ayat 1 Akhir: ayat 4
1. Oknum sama: Yesus, orang banyak
berbeda: orang sakit kusta
sama: Yesus
berbeda: perwira/budaknya
2. Tempat berbeda: turun dari bukit berbeda: Kapernaum
3. Waktu berbeda: setelah berbeda: tidak eksplisit, tapi logis karena jarak antara bukit dan Kapernaum
4. Peristiwa berbeda: penyembuhan penderita kusta atas permohonan sendiri berbeda: penyembuhan orang lumpuh atas permohonan perwira
5. Pokok berbeda: penyembuhan sebagai tanda peneguhan pengajaran sebelumnya berbeda: penyembuhan sebagai tanda peneguhan pengajaran sebelumnya

Contoh-contoh:- Matius 8:3, "Aku mau ..."

Andaikan Anda ingin memberitakan Firman Tuhan mengenai kesediaan Yesus ("Aku mau") untuk menolong semua orang yang datang kepadaNya. Kata-kata yang diucapkan Yesus dalam Matius 8:3 itu memang sangat indah dan penuh arti. Tapi, kata-kata itu tidak boleh dicopot dari kesatuannya,16 sebab perkataan itu hanyalah sebagian kecil dari kesatuan teks yang lebih besar. Kesatuan itu agaknya menjelaskan kapan Yesus menyatakan kesediaan-Nya, dan kepada siapa (tentu, Yesus pasti tidak selalu berkata, "Aku mau!"). Jadi, hal pertama yang harus kita lakukan ialah menentukan kesatuan teks terkecil bagi penafsiran kita. Mungkin saja kata-kata tersebut merupakan inti kesatuan itu. Tapi, mari kita menafsirkan lebih dahulu seluruh teks itu, untuk selanjutnya dapat memastikan apa arti "kemauan" Yesus.

Untuk menentukan kesatuan terkecil itu, kita mencari awal dan akhir cerita dengan menggunakan lima kunci: oknum, tempat, waktu, peristiwa, dan pokok (dalam kitab-kitab bersejarah, kunci "peristiwa" dan "pokok" sering sama). Mengenai Matius 8:3, dengan mudah kita melihat bahwa batas-batas kesatuan terkecil itu adalah ayat 1 dan 4 > Matius 8:1-4.

Kesimpulan

Berdasarkan perbedaan dengan ayat-ayat sebelumnya (Mat 7:28-29) dan sesudahnya (Mat 8:5-13), Matius 8:1-4 merupakan satu kesatuan teks terkecil yang merupakan minimum bagi penafsiran kita. Untuk menetapkan arti perkataan Yesus dalam Matius 8:3, "Aku mau," hendaklah kita menafsirkan ayat 1-4. Saat membaca ayat-ayat itu, kita sudah mengerti bahwa kesediaan Yesus khususnya berkaitan dengan penyembuhan orang sakit kusta. Jadi, untuk perkataan Yesus, "Aku mau," tampaknya ada alasan khusus sehingga tidak boleh ditafsirkan secara umum.-

Kisah Para Rasul 2:41, ". . pada hari itu jumlah mereka bertambah

kira-kira 3.000 jiwa"

Jika kita menafsirkan ayat ini lepas dari kesatuannya, kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa ternyata jemaat Kristus bertumbuh cepat di mana pun. Jika dalam satu hari saja jemaat Yerusalem bertumbuh hingga mencapai ribuan, maka kita pun harus dapat menumbuhkan jemaat kita atau jemaat baru, misalnya di pedalaman Papua atau Kalimantan, dalam jangka waktu singkat. Lalu, jika itu tidak terjadi, di manakah kesalahan kita sebagai pengabar Injil atau mereka sebagai pendengar? Sebaiknya kita lebih dulu menafsirkan ayat tersebut dalam konteksnya dan tidak terburu-buru mengajukan pertanyaan demikian.

Dari kata-kata itu sendiri (msl "perkataannya itu" dalam ay 41 adalah perkataan apa dan oleh siapa?) sudah nyata bahwa ayat ini adalah satu kalimat dalam teks yang lebih besar. Mari kita menentukan batas awal dan akhirnya. Dan janganlah kita langsung menerima pembagian perikop dari TB LAI!

Awal: ayat 37 (seb. ayat 41) Awal: ayat 37 (seb. ayat 37) Akhir : ayat 41
1. Oknum sama sama/berbeda sama/berbeda
2. Tempat sama sama sama (berbeda)
3. Waktu sama sama berbeda
4. Peristiwa sama: reaksi berbeda: khotbah berbeda: hidup jemaat
5. Pokok sama berbeda berbeda

Kesimpulan

Kini sudah jelas bahwa Kisah Para Rasul 2:41 adalah bagian dari kesatuan ayat 37 s/d 41! Terdapat banyak kesamaan karena semuanya terjadi pada tempat dan waktu yang kira-kira sama. Namun, ada peralihan dalam bidang peristiwa/pokok yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 2:

  • Kis 2:1-13
  • Pencurahan Roh Kudus

  • Kis 2:14-36
  • Khotbah Petrus: menjelaskan kedatangan Roh Kudus, lalu memberitakan Kristus yang mati, bangkit, dan naik ke surga, dengan dorongan supaya kaum Israel bertobat.

  • Kis 2:37-41
  • Akibat khotbah Petrus: pertobatan dan pembaptisan 3.000 jiwa dari umat perjanjian Israel dan kaum proselit (orang bukan Yahudi yang telah memasuki Israel).

  • Kis 2:42-47
  • Kehidupan jemaat Yerusalem (yang berkumpul bukan hanya di Bait Allah, tapi juga di rumah-rumah).

Penempatan ayat 41 dalam konteksnya sudah cukup untuk mencegah kita menarik kesimpulan umum yang tidak benar mengenai pertumbuhan jemaat Kristus kapan saja dan di mana saja.

- 1 Korintus 12:10, "... Kepada yang seorang, Ia (Roh) memberikan

karunia untuk berkata-kata dengan bahasa lidah ...."

Tidak perlu heran kalau ada mahasiswa STT yang ingin menulis skripsi dengan judul misalnya Makna karunia berbahasa roh menurut 1 Korintus 12:10. Suatu Studi Eksegesis. Saya yakin, hasil studi eksegesis itu nanti akan sesuai prapaham si mahasiswa, berdasarkan kenyataan bahwa ia hanya mengutip beberapa kata dari keseluruhan teks (sepotong dari ay 10). Jika penafsir memang mau membenarkan pandangannya sendiri, gampang: ia tinggal mengutip kata-kata Alkitab yang dibutuhkannya. Tapi, apakah eksegesisnya akan sesuai maksud penulis, yaitu Paulus, dan di atas Paulus, Roh Kudus sendiri (lih lagi 2Ptr 1:20-21)? Kita mencari lagi kesatuan teks terkecil. Dalam kitab-kitab yang berjenis surat (sama seperti jenis nubuat dan mazmur), penentuan kesatuan terkecil sering agak sulit. Tetapi mengenai surat 1 Korintus, pembagian itu tidak masalah. Paulus membahas beberapa pokok yang semuanya bersifat respons terhadap pertanyaan atau situasi jemaat Korintus. Salah satu pokok pembahasan adalah hal charisma (karunia, pemberian, hadiah) Roh Kudus kepada setiap jemaat Kristus (1Kor 12–14). Di Korintus, bukan karunia-karunia itu sendiri yang menjadi masalah, melainkan penganugerahannya kepada semua anggota jemaat, dan juga status mereka berkaitan dengan karunia yang mereka peroleh. Orang Kristen di Korintus berpikir bahwa karunia berupa kemampuan "berbahasa roh/lidah"17 adalah karunia terpenting yang memberi status tertinggi bagi orang yang memperolehnya. Anggota jemaat yang mempunyai charisma dalam "berbahasa lidah" adalah anggota pertama dan utama. Dia pasti dihormati sebagai pimpinan rohani jemaat Kristus.18 17 TB PB LAI edisi kedua menggantikan kata "berbahasa roh" dengan "berbahasa lidah". Sebenarnya menerjemahkan kata bahasa Yunani glossolalein dengan "berbahasa roh" sudah mengandung interpretasi dan prapaham tertentu. Karena arti harfiah kata itu adalah "berbicara (dengan) lidah", dan maksudnya adalah "berbicara (dalam) bahasa (tertentu)" (bnd Kis 2:5-12). Kata "roh" adalah tambahan dari penerjemah. Di pihak lain kata "bahasa lidah" tidak jelas. Terjemahan yang tepat sesuai kosa kata bahasa Yunani ialah "berbahasa (lain)". 18 Pikiran ini sangat cocok dengan latar belakang orang-orang Korintus sebagai penganut agama kekafiran (agama suku) yang sangat mengutamakan perdukunan. Bukankah dukun selalu menggunakan kata-kata rahasia dan perbuatan-perbuatan gaib yang melampaui pengertian manusia? Dan oleh sebab itu dukun menerima penghormatan besar dari masyarakat. Lihat buku-buku Ir. Herlianto, M.Th.-misalnya Theologi Sukses dan Toronto Blessing. Lawatan Roh Allah Masa Kini?, Jakarta: BPK Gunung Mulia-tentang penghargaan orang Kristen terhadap bahasa rahasia sebagai "perdukunan Kristen". Padahal Firman Tuhan adalah kebalikannya: penyataan, apokalipsis, pembukaan rahasia.

Kita mencari lagi kesatuan teks terkecil. Dalam kitab-kitab yang berjenis surat (sama seperti jenis nubuat dan mazmur), penentuan kesatuan terkecil sering agak sulit. Tetapi mengenai surat 1 Korintus, pembagian itu tidak masalah. Paulus membahas beberapa pokok yang semuanya bersifat respons terhadap pertanyaan atau situasi jemaat Korintus. Salah satu pokok pembahasan adalah hal charisma (karunia, pemberian, hadiah) Roh Kudus kepada setiap jemaat Kristus (1Kor 12–14). Di Korintus, bukan karunia-karunia itu sendiri yang menjadi masalah, melainkan penganugerahannya kepada semua anggota jemaat, dan juga status mereka berkaitan dengan karunia yang mereka peroleh. Orang Kristen di Korintus berpikir bahwa karunia berupa kemampuan "berbahasa roh/lidah"17 adalah karunia terpenting yang memberi status tertinggi bagi orang yang memperolehnya. Anggota jemaat yang mempunyai charisma dalam "berbahasa lidah" adalah anggota pertama dan utama. Dia pasti dihormati sebagai pimpinan rohani jemaat Kristus.18

Dalam suratnya, Paulus memberi tempat yang wajar kepada karunia "berbahasa roh/lidah" itu. Karunia itu hanyalah salah satu dari sekian banyak karunia lainnya. Dan karunia itu tidak berguna sama sekali jika tidak ada yang menerjemahkannya agar dapat dipahami oleh seluruh jemaat. Hal itu sudah jelas bila kita membaca bagian surat Paulus ini dengan teratur. Padahal kita belum melakukan penafsiran satu ayat pun. Jadi, jika mahasiswa tadi masih ingin menulis skripsi tentang bahasa roh, itu baik asal ia meniadakan prapahamnya sendiri dan menafsirkan sesuai maksud Paulus (dan Roh Kudus). Janganlah ia menjadi sama dengan orang Korintus yang melepaskan karunia itu dari konteksnya, melainkan hendaklah ia sama seperti Paulus yang membahas masalah tersebut dalam keseluruhannya.

Kesatuan 1 Korintus 12–14 dapat dibagi dalam beberapa sub-bagian, antara lain 1 Korintus 12:4-11, yang tetap berhubungan satu sama lain. Dalam 1 Korintus 12:12 Paulus melanjutkan pembahasan tentang karunia-karunia Roh. Dalam ayat 4-11, ia memberikan daftar karunia-karunia, lalu dalam ayat 12-31 ia menulis tentang kesatuan dan hubungan semua karunia itu.

Kesimpulan

Dalam kitab-kitab yang berjenis surat, kunci utama untuk membedakan kesatuan-kesatuan teks terkecil adalah kunci "pokok". Semua kunci lain sama untuk seluruh surat. Untuk mahasiswa tadi, tidak ada jalan lain kecuali menafsirkan dengan serius seluruh bagian 1 Korintus 12–14. Boleh saja ia menekankan ayat-ayat yang khusus menyebutkan karunia "berbahasa roh", asal selalu dalam kesatuan ketiga pasal itu. Janganlah dia memotong salah satu anggota tubuh, sehingga membuat jemaat menjadi cacat.

Kesatuan teks terkecil adalah titik pusat bagi konteks yang dekat dan jauh

Walaupun kesatuan teks terkecil menunjukkan batas-batas minimum penafsiran, tapi ini tidak berarti bahwa konteksnya yang meluas dari dekat sampai jauh, dapat diabaikan. Penentuan Matius 8:1-4 sebagai kesatuan teks terkecil bagi ayat 3 (lih di atas), tidak berarti bahwa ayat-ayat di sekitarnya tidak perlu diperhatikan.

1 Korintus 12:10
Awal: 12:1 Akhir: 14:40
1. Oknum sama : Paulus, jemaat Korintus sama : Paulus, jemaat Korintus
2. Tempat sama : Korintus sama : Korintus
3. Waktu sama : selama penulisan dan penerimaan surat sama : selama penulisan dan penerimaan surat
4. Peristiwa sama : pembacaan surat sama : pembacaan surat
5. Pokok berbeda : dalam 12:1, dimulai dengan pembahasan pokok "karunia-karunia Roh" berbeda : dalam 15:1, dimulai dengan pembahasan pokok "kebangkitan"

Istilah "kesatuan teks terkecil" kadang diganti dengan "konteks terdekat". Sebenarnya kata "konteks" tidak tepat di sini, karena kesatuan ini mengenai "teks", bukan "konteks". Namun kata "konteks" mengacu pada kesatuan-kesatuan yang lebih besar, yakni konteks yang dekat dan jauh. Artinya, kesatuan teks terkecil adalah titik pusat bagi konteksnya yang meluas dari dekat sampai jauh. Dengan kata lain, ada garis merah dari "kesatuan terkecil" sampai "kesatuan terbesar" (seluruh Alkitab).

Lingkaran-lingkaran konsentris19

Sebelumnya, pada akhir bab 4, telah disinggung aspek "lingkaranlingkaran konsentris" yang memperlihatkan posisi kesatuan teks terkecil dalam konteks keseluruhan Alkitab. Mulai dari inti atau pusat, yakni kesatuan teks terkecil, kita dapat membedakan berbagai "lingkaran", yakni konteks di sekitarnya. Sebaiknya kita menggunakan Matius 8:1-4 lagi sebagai contoh:

Teks Matius 8:1-4

Konteks

1. Paling dekat Matius 8–9 Ayat 1-4 adalah nomor 1 dari beberapa mukjizat penyembuhan;
2. Masih dekat Matius 5–9 Dalam pasal 5–9 Matius menjelaskan pro gram kerja Yesus, lihat 4:23;
3. Lebih jauh Injil Matius Teks adalah sebagian dari seluruh Injil yang mempunyai tujuan tertentu;
4. Lebih jauh Injil-injil Matius - Yohanes Ada nas sejajar/paralel dalam Injil-injil lain Matius–Yohanes (Mrk 1:40-45; Luk 5:12-16);
5. Lebih jauh Seluruh PB Mungkin ada acuan dalam kitab-kitab PB ke Matius 8:1-4;
6. Paling jauh Seluruh Alkitab Pasti ada informasi dalam seluruh Kitab Suci, misalnya tentang penyakit kusta (Im 13-14; 2Raj 5 > Luk 4:27).

Bagan

background image

Metode lingkaran-lingkaran konsentris ini dapat dipakai untuk melihat lapisan-lapisan konteks dari yang dekat sampai yang jauh bagi setiap kesatuan teks terkecil. Menurut saya, metode ini lebih tepat digunakan daripada metode pemisahan konteks dalam tiga bagian: a) konteks sebelum teks, b) konteks paralel dengan teks, c) konteks sesudah teks. Konteks yang sebelum teks bukanlah konteks yang lain dari konteks sesudah teks, karena keduanya sama-sama mengelilingi teks. Konteks tepat diumpamakan dengan buah bawang yang terdiri dari banyak lapisan di sekitar intinya.

Kesimpulan

Selain yang sudah kita tentukan dalam bab I/05, sekarang kita dapat menetapkan lagi dua aturan pembacaan/penafsiran Alkitab yang berguna untuk mencegah bahaya penafsiran kata-kata atau kalimat-kalimat Alkitab yang lepas dari kesatuannya dan konteksnya.20

Aturan 5 Minimum eksegesis adalah kesatuan teks terkecil yang batas-batas awalnya dan akhirnya ditentukan dengan menggunakan kunci-kunci oknum, tempat, waktu, peristiwa, dan pokok.

Aturan 6 Kesatuan teks terkecil adalah pusat yang dikelilingi berbagai lapisan konteks (lingkaran-lingkaran konsentris) dari yang dekat sampai yang jauh. Teks bersama konteks merupakan satu kesatuan.

7. Bahasa Teks

Aspek berikut yang penting dalam penafsiran ialah bahasa teks, entah itu bahasa asli atau bahasa terjemahan. Dalam praktik penafsiran, aspek ini mendahului aspek penentuan teks/konteks yang telah dibicarakan di atas, karena aspek bahasa langsung muncul waktu kita membaca Alkitab. Tidak mungkin menentukan kesatuan teks terkecil tanpa membaca teks lebih dahulu. Jadi, penelitian teks secara linguistik atau filologis adalah tahap pertama penafsiran Kitab Suci. Sebenarnya, penelitian bahasa ini lebih bersifat persiapan untuk penafsiran atas penafsiran.21 Bahasa asli: Ibrani, Aram, atau Yunani Tuhan memberikan Firman-Nya kepada umat-Nya dalam bahasa manusia, yakni PL dalam bahasa Ibrani dan bahasa Aram, PB dalam bahasa Yunani. Ketiga bahasa itu adalah "bahasa sehari-hari" pada saat masing-masing kitab ditulis. Tapi, sekarang ini, ketiga bahasa itu tidak lagi dipakai seperti dahulu. Bahasa Ivrit abad ke-21 sudah sangat berbeda dari bahasa Ibrani abad ke-10 SM dan bahasa Yunani abad ke-21 tidak sama lagi dengan bahasa Yunani abad ke-1.

Bahasa selalu berkembang. Bahasa disebut "hidup" dan dinamis karena selalu berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman (lih saja bahasa Indonesia). Ini berarti, bahasa yang pada abad lalu merupakan "bahasa sehari-hari" sekarang telah menjadi "bahasa kuno". Bahasa-bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani yang "hidup" pada masa penulisan Alkitab, sekarang sudah "mati".

Kita perlu menyadari bahwa bahasa-bahasa asli Kitab Suci pada masa penulisan masing-masing kitab itu adalah bahasa biasa atau bahasa sehari-hari. Bahasa Ibrani Kitab Kejadian berbeda dari bahasa Ibrani Kitab Daniel (yang sebagian ditulis dalam bahasa Aram), bukan hanya karena penulisnya berbeda, tetapi juga karena bahasa itu sendiri telah berubah. Sebenarnya, di Timur Tengah, bahasa Ibrani adalah bahasa kecil yang tidak berperan besar. Sebaliknya, bahasa Ibrani banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Aram. Pada akhir masa PL, bahasa Aram sudah menjadi bahasa umum. Kemudian bahasa Yunani menjadi bahasa umum. Perkembangan itu kelihatan dalam Alkitab. Beberapa bagian PL ditulis dalam bahasa Aram, sedangkan kebanyakan Kitab PB ditulis dalam bahasa Yunani. Apalagi, ketika bahasa Yunani menjadi lingua franca, seluruh PL langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta). Alkitab mengikuti perkembangan bahasa, sehingga orang selalu dapat membacanya. Alangkah besarnya hikmat Tuhan!

Justru karena Alkitab ditulis dalam bahasa-bahasa yang sekarang sudah tidak hidup lagi, maka ada orang atau aliran-aliran tertentu yang berpikir bahwa bahasa-bahasa asli Alkitab adalah bahasa khusus atau bahkan bahasa suci, sehingga bukan hanya isi Alkitab, tapi buku itu sendiri juga dianggap mempunyai kuasa Ilahi. Pikiran seperti ini agaknya berkaitan dengan agama-agama suku di mana hanya orang-orang khususlah, misalnya dukun, yang dianggap mengetahui "bahasa dalam" nenek moyang. Kata-kata yang digunakan dalam ritus-ritus ibadah agama suku adalah kata-kata rahasia (bahasa Latin arcana) yang berasal dari "tempo dulu". Penyebutan kata-kata kuno itu (yang artinya tidak lagi diketahui) dengan sendirinya sudah cukup menjamin hasilnya (bahasa Latin ex opere operato22). Kata-kata itu dianggap mempunyai dampak supranatural, padahal itu hanya bahasa kuno saja. Tampaknya orang lebih menyukai rahasia daripada penyataan, sehingga kata-kata biasa dalam Alkitab diberi arti yang luar biasa (bnd metode penafsiran alegoris dan masalah bahasa roh; lihat juga buku The Bible Code).

Jika bahasa-bahasa asli Alkitab bersifat khusus, mengapa buku-buku lain yang ditulis pada masa penulisan Alkitab dan yang masih ada sampai sekarang, tidak dihormati sebagai "tulisan suci"?

Mengapa hukum-hukum Hamurabi tidak dihormati sebagai kata-kata Ilahi? Dan mengapa buku-buku Plato tidak diberi kehormatan supranatural? Seharusnya kita menyadari bahwa Allah yang jauh melampaui manusia berkenan menggunakan bahasa manusia biasa dengan maksud agar kita dapat mengerti Firman-Nya! Bagaimana mungkin kita mengerti jika bahasa sebagai media komunikasi bersifat asing, rahasia, atau surgawi? Bukankah itu akan mengakibatkan bahwa komunikasi tidak terjadi? Dan maksud Tuhan pun gagal!

Padahal Tuhan berkenan berkomunikasi dengan manusia, puncak penciptaan-Nya.23

Penetapan teks dari segi bahasa

Pada masa penulisan Alkitab, komputer dan percetakan belum ada. Naskah-naskah asli (yang semuanya sudah hilang)24 ditulis tangan dengan pena dan tinta, lalu diperbanyak dengan cara yang sama, misalnya oleh biarawan. Akibatnya, banyak salinan yang sangat bervariasi (lih msl Mat 18:15 dan Mrk 16:9-20).25 Subbidang teologi yang disebut Ilmu Kritik Teks, menginventarisasi dan menyelidiki semua salinan itu. Perhatikanlah "aparatus teks", yaitu catatan-catatan kaki dalam Alkitab bahasa Ibrani dan Yunani.

Sebelum penafsir mencari arti sebuah teks, hendaklah ia meneliti kata-kata teks dan berusaha menetapkan naskah yang (paling) asli.

Perhatikan, eksegese tidak menentukan isi teks, melainkan sebaliknya, teks menentukan eksegese. Karena itu, sebelum melakukan eksegese, kita perlu lebih dulu mencari kepastian tentang teks itu.

Penerjemahan teksSetelah menetapkan naskah teks, penafsir lalu menerjemahkan sendiri teks itu dari bahasa asli, tanpa menggunakan terjemahan-terjemahan yang sudah ada. Kamus dan tata bahasa di sini sangat penting.

Tentu, hanya penafsir yang menguasai bahasa-bahasa aslilah yang dapat melakukan penerjemahan demikian. Bagi penafsir yang tidak menguasai bahasa-bahasa asli itu, tidak ada jalan lain kecuali menerima saja data-data orang lain. Namun, ia dapat mengontrol terjemahan Alkitab yang dipakainya, misalnya TB LAI, dengan cara membandingkannya dengan terjemahan-terjemahan lain. Tapi, para penafsir yang belajar bahasa Ibrani dan/atau Yunani, wajib mempelajari bahasa tersebut dengan sungguh-sungguh sehingga betul-betul mampu menerjemahkan Alkitab dari bahasa-bahasa aslinya.

Contoh konkret mengenai penetapan dan penerjemahan teks Alkitab:

Para ahli teologi dan ahli bahasa bersilang pendapat tentang bahasa asli Injil Matius. Menurut tradisi gereja, Matius menulis Injilnya dalam bahasa Ibrani (Aram?), sehingga Injil Matius yang terdapat dalam PB bahasa Yunani adalah terjemahan. Secara historis ini merupakan pokok penelitian yang menarik. Secara eksegetis itu tidak relevan, karena asli bahasa Ibrani itu, kalau pernah ada, kini tidak ada lagi, sedangkan salinan Injil Matius bahasa Yunani banyak. Karena itu, bagi para penafsir Injil Matius, edisi bahasa Yunanilah yang menentukan.

Pembandingan beberapa terjemahanDi atas dikatakan bahwa bagi penafsir yang tidak menguasai bahasa-bahasa asli Kitab Suci tidak ada jalan lain kecuali menerima saja terjemahan Alkitab yang dipakainya. Namun, hendaklah ia memeriksa terjemahan itu dengan cara membandingkannya dengan terjemahan-terjemahan lain (sebaiknya penafsir yang menguasai bahasa Ibrani/Yunani juga melakukan hal serupa).

Dalam bahasa Indonesia, paling tidak ada empat terjemahan Alkitab yang dapat diperbandingkan, yaitu:

  • Terjemahan Baru (TB 1974: sedang direvisi; TB2 PB selesai dan telah diterbitkan) yang diterima sebagai terjemahan standar oleh hampir semua gereja di Indonesia;
  • Terjemahan Lama (TL, Klinkert/Bode);
  • Terjemahan Kabar Baik Bahasa Indonesia Sehari-hari (KB BIS atau BIS);
  • Firman Allah Yang Hidup (FAH, Lembaga The Living Bible).

Di samping itu, ada juga berbagai terjemahan Alkitab dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa dan bahasa Toraja (seluruh Alkitab), bahasa Mentawai dan Sabu (hanya PB).26 Dalam bahasa asing (msl bahasa Inggris atau bahasa Tionghoa) juga terdapat berbagai versi terjemahan, misalnya King James Version (KJV),

New International Version (NIV).

Apa gunanya membandingkan berbagai terjemahan Alkitab?

Melalui pembandingan itu, penafsir dapat menentukan, dengan kepastian kira-kira 75%, terjemahan yang paling tepat. Barangsiapa mengikuti perkembangan penerjemahan Alkitab, akan melihat bahwa setiap terjemahan mencerminkan metode penafsiran yang lazim pada waktu itu. Terjemahan Lama (TL) adalah terjemahan yang sangat harfiah mengikuti bahasa asli sampai detail-detailnya, menurut metode konkordan/idiolek. Akibatnya, terjemahan seperti ini kadang-kadang merupakan campuran tata bahasa/kosa kata bahasa asli dan kata-kata bahasa Indonesia. TB juga terjemahan harfiah, tetapi tidak ragu-ragu menggantikan kosa kata bahasa asli dengan kosa kata bahasa Indonesia (msl "kakiku berjalan" > "aku berjalan").

Sebaliknya, BIS dan FAH mengikuti metode dinamis-ekuivalen yang mengutamakan reproduksi makna (meaning) dari pesan (message); yang diterjemahkan bukan isi tapi arti/makna. Biasanya terjemahan seperti ini disebut "terjemahan bebas" dan lebih bersifat tafsiran ringkas (para-frase) daripada terjemahan teks asli, karena bukan hanya kata-kata, tapi kebiasaan, benda, dan lain-lain juga diganti oleh substitusi yang mirip (msl, kalau penutur bahasa-sasaran tidak mengenal binatang "unta", maka diganti dengan "kuda").

Umumnya para penafsir Alkitab di Indonesia menggunakan TB (untuk PB: TB2) sebagai "terjemahan standar", lalu membandingkannya dengan terjemahan lain. Penafsir perlu tahu bahwa TL lebih "harfiah" dan BIS lebih "bebas" dari TB. Dengan demikian ketepatan atau kekurangtepatan terjemahan TB dapat dinilai.27

Lihat contoh Matius 8:1-4 berikut ini.

Perbandingan Terjemahan Alkitab
Nas: Matius 8:1-4
TB 1 TB 2 TB 3 TB 4
1. Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. 1. Setelah Yesus turun dari atas bukit itu, maka banyaklah orang mengikuti Dia. 1. Yesus turun dari bukit, dan banyak orang mengikuti Dia. sama
2. Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku." 2. Maka datanglah seorang yang kena bala zaraat sujud menyembah Dia sambil kata-nya, "Ya Tuhan, jikalau kiranya Tuhan kehendaki, niscaya Tuhan dapat mentahirkan hamba." 2. Pada waktu itu datanglah seorang yang berpenyakit kulit yang mengerikan. Ia berlutut di hadapan Yesus, lalu berkata, "Pak, kalau Bapak mau, Bapak dapat menyembuhkan saya." TB/TL: sama
BIS: lebih dangkal
kusta > penyakit kulit yang mengerikan;
mentahirkan > menyembuhkan
3. Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga tahirlah orang itu daripada kustanya. 3. Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya serta menjamah dia, kata-Nya, "Aku kehendaki, tahirlah engkau!" Maka seketika itu juga bala zaraatnya pun lenyaplah. 3. Yesus menjamah orang itu sambil berkata, "Aku mau. Sembuhlah!" Saat itu juga penyakitnya hilang. TB/TL: sama BIS: kata ”mengulurkan tangan” hilang; tahirlah > sembuhlah
4. Lalu Yesus berkata kepadanya: "Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka." 4. Maka kata Yesus kepadanya, "Ingatlah baik-baik, jangan engkau katakan apa-apa kepada barang seorang pun, melainkan pergilah menunjukkan dirimu kepada imam, dan persembahkanlah persembahan yang dipesankan oleh Musa, yaitu akan menjadi suatu tanda kepada mereka itu." 4. Lalu kata Yesus kepadanya, "Ingatlah! Jangan ceritakan kepada siapa pun. Tetapi pergilah kepada imam, dan minta dia untuk memastikan engkau sudah sembuh. Sesudah itu persembahkanlah kurban yang diperintahkan Musa, sebagai bukti kepada orang-orang bahwa engkau sungguh-sungguh sudah sembuh!" TB/TL: sama BIS: bersifat parafrase — KB BIS Catatan: Berpenyakit kulit yang mengerikan: Menurut peraturanagama Yahudi, penyakit ini menyebabkan penderitanya tidak layak menyembah Allah di tempat ibadat. (lih kamus.)

Bahasa diperlakukan sebagai bahasa

Yang penting kita sadari dalam setiap pembacaan dan penafsiran Alkitab adalah fakta yang telah disebut pada awal bab ini, yakni bahwa bahasa mendahului teks. Teks menggunakan bahasa seba gai sarana. Bahasa itu merupakan sistem komunikasi yang terdiri dari kata-kata, pengalimatan, tata bahasa, dan seterusnya. Tak mungkin kita mengucapkan, misalnya, ceramah, tanpa lebih dahulu ada bahasa yang dapat kita pakai. Dalam merumuskan ceramah itu, kita terikat pada aturan-aturan bahasa. Demikian juga pembacaan dan penafsiran Alkitab: bukan penafsiran yang menentukan bahasa, tapi sebaliknya, bahasa menentukan arti kata-kata yang kita baca dan tafsir. Ini berarti, bahasa harus diperlakukan sebagai bahasa, dan diinterpretasikan menurut hukum-hukum atau sistem bahasa. Perhatikan, yang diilhamkan itu bukan bahasa, melainkan Firman Allah! Tuhan justru memakai bahasa biasa untuk menyampaikan Firman-Nya.

Di atas sudah dijelaskan bahwa bahasa-bahasa asli Kitab Suci adalah bahasa manusia "biasa". Walau demikian para penafsir yang memang menerima bahasa asli sebagai bahasa biasa, sering juga memberi arti istimewa kepada kata-kata yang digunakan, misalnya oleh Paulus atau Yakobus, dalam surat-suratnya. Mereka dengan tepat bertanya, "Mengapa penulis memakai kata itu di sini?" Tapi, dalam menjawab pertanyaan itu, mereka cenderung dengan cepat menyimpulkan bahwa "penulis pasti mempunyai alasan khusus untuk menggunakan kata itu di sini". Dalam menjawab pertanyaan itu, banyak penafsir yang memberi arti khusus kepada etimologi28 kata (demikian Kittel dalam Theological Dictionary of the New Testament) sambil kurang memperhatikan kenyataan bahwa arti kata berkembang menurut penggunaannya (bahasa Latin: verba valent usu). Atau mereka mengartikan kata itu sesuai pengertian yang paling cocok dengan prapaham mereka sendiri. Memang, bisa jadi bahwa penulis Alkitab mempunyai maksud khusus dengan kata-kata yang dipakainya (msl dalam Mat 8:1-4 penulis menggunakan kata "mentahirkan" dan bukan "menyembuhkan"). Tapi, mungkin sekali bahwa penulis-penulis Alkitab sendiri tidak menyadari etimologi kata-kata yang mereka gunakan, melainkan menggunakan saja kata-kata yang ada, tanpa alasan khusus.

James Barr menggunakan dua istilah untuk menunjukkan penyimpangan yang dapat terjadi dalam pemberian arti kepada kata-kata yang digunakan oleh para penulis Alkitab, yakni illegitimate identity transfer dan illegitimate totality transfer.

  • Penyimpangan illegitimate identity transfer terjadi ketika kata-kata yang berbeda, yang dipakai untuk menjelaskan arti bahasa, dianggap identik. Misalnya, untuk kegiatan pekabaran Injil para penulis Alkitab memakai berbagai kata, misalnya "menyaksikan" dan "memberitakan". Ini tidak berarti kedua kata itu memiliki arti yang sama.

    Masing-masing kata itu mempunyai arti sendiri dan hanya menjelaskan sebagian dari "pekabaran Injil". Arti kata pertama jauh lebih luas dari kata kedua. Dalam "pekabaran Injil" ada unsur kesaksian, tapi ini tidak berarti "menyaksikan" sama dengan "memberitakan", dan bahwa setiap orang Kristen yang memang wajib menyaksikan, juga wajib memberitakan. Atau terjadi yang sebaliknya, yakni arti biasa kata tertentu tidak diterima karena menurut pendapat si penafsir "justru di sinilah" kata itu mempunyai arti lain. Dalam kasus seperti ini sudah jelas bahwa penafsir telah melewati batas karena ia tidak hanya menjelaskan, tapi juga menentukan arti kata.

    – Kata bahasa Yunani apoluo dalam Kisah Para Rasul 13:3 yang berarti "melepaskan" (memberi izin > mengutus), dalam TB 2 diterjemahkan dengan "membiarkan". Sengaja atau kebetulan? Karena di balik kata-kata ini terdapat pandangan yang berbeda mengenai metode pekabaran Injil: melalui panggilan pribadi (kalau demikian, kata "membiarkan" lebih cocok) atau melalui pengutusan: wujud tanggung jawab jemaat misioner, dan pengabar Injil mengatasnamakan jemaat (jika demikian, kata "melepaskan" lebih tepat). Terjemahan yang sesuai kamus adalah "melepaskan" atau "mengizinkan".

    – Kata bahasa Yunani baptizo memang berarti "membaptis". Tapi, dalam bahasa Yunani sehari-hari kata itu juga dipakai dengan arti "terjun dalam" > menyibukkan diri (msl ibu yang suka masak, selalu bekerja, menyibukkan diri, di dapur). Mengapa dalam terjemahan 1 Korintus 15:29 dipakai kata "membaptis", padahal kata "menyibukkan diri" jauh lebih tepat? Penggunaan kata "membaptis" ini telah mengakibatkan munculnya sebuah "teologi baptisan bagi orang mati" yang sangat berpengaruh, padahal itu sesungguhnya didasarkan atas terjemahan yang salah.29

    – Kata bahasa Yunani kerusso dalam 1 Petrus 3:19 berarti "memberitahukan", "memproklamasikan", dan bukan "memberitakan Injil": Yesus Kristus tidak mengabarkan Injil kepada roh-roh di dalam penjara agar mereka bertobat dan diselamatkan dari belakang. Melainkan Dia hanya menyatakan secara resmi kepada mereka bahwa Dia telah menang atas Iblis, sehingga untuk mereka tidak ada lagi harapan. Lagi, di sini terjemahan yang salah memunculkan filsafat yang tidak benar tentang kemungkinan pelepasan bagi roh/orang di neraka.

    – Kata bahasa Yunani oinos berarti "anggur". Anggur, per definisi, mengan dung alkohol. Dalam Alkitab, banyak contoh yang membuktikan hal ini (karena minum anggur orang bersenang-senang sampai mabuk). Janganlah penafsir mengubah arti kata itu menjadi "sari buah anggur" (yang tidak beralkohol), sesuai pandangan pribadinya tentang hal minum anggur.

    – Kata bahasa Ibrani dabar berarti "kata" dan sering juga "perbuatan".

    Ini tidak berarti bahwa setiap kali kata dabar muncul, kedua arti itu selalu terkandung di dalamnya.

  • Penyimpangan illegitimate totality transfer terjadi ketika kepada kata-kata dalam Alkitab diberi semua arti yang muncul dalam sejarah/etimologi kata itu, misalnya kata "percaya". Abraham sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, tapi jangan berpikir Abraham menyadari hal seperti pertobatan, kelahiran baru, manusia baru, dan lain-lain (Ef 4). Penyimpangan seperti ini sering menghasilkan alegori yang jauh melewati batas.

    – Di Swiss orang mengucapkan "Selamat pagi/malam" dengan kata "Grüss Gott!" (harfiah: beri salam kepada Allah!). Apakah berarti orang yang mengatakan itu percaya kepada Tuhan, atau sekurangkurangnya masih ada sisa penghormatan kepada Tuhan? Tidak.

    Kata ini, yang dulu memang mempunyai arti religius, kini tidak lagi mempunyai arti lain kecuali ucapan selamat biasa, sama seperti ucapan "Selamat pagi". Etimologi tidak punya peran apa-apa di sini.

    Sama halnya di Amerika Serikat. Di sana orang biasanya bersalaman dan bertegur sapa "How are you today?" Tapi mereka sudah melanjutkan perjalanan sebelum Anda sempat menjelaskan bahwa sebenarnya hari ini Anda merasa kurang baik karena baru mendapat kabar bahwa ibu Anda di kota yang jauh sakit parah dan Anda tidak sempat mengunjunginya. Di Kalimantan Barat orang bersalaman sambil menyapa "Ke mana?" atau "Dari mana?", tapi bukan maksudnya Anda perlu menceritakan tujuan atau asal perjalanan Anda. Demikian juga orang Israel mengucapkan salam "Syalom!" dengan arti biasa "Selamat pagi". Artinya, tidak perlu semua kata salam ini ditafsirkan menurut etimologinya, seakan-akan orang Amerika sungguh-sungguh peduli akan keadaan Anda, atau orang Dayak betul-betul ingin mengetahui perjalanan Anda. Orang Israel pun, ketika mengucapkan "Syalom", tidak menyadari seluruh arti teologis kata itu. Arti kata "syalom" umumnya sama saja dengan kata bahasa Indonesia "selamat" (Kej 29:6) dan "tenanglah" (Kej 43:23), atau menunjukkan "damai", dengan arti "penaklukan" (Ul 20:10-12)!

    Damai seutuhnya (keadaan harmonis menyeluruh) memang termasuk salah satu arti kata "syalom", tapi untuk itu ada juga kata-kata lain.

    Dalam Yesaya 11:1-10 kata "syalom" tidak ada (bnd Yer 23:5, kata "tunas" mendapat artinya yang khusus dari kata sifat "adil").

Demi penafsiran yang jujur, hendaklah kita menimbang setiap kata dan kalimat sesuai aturan bahasa yang bersangkutan. Dalam buku-buku sekuler pun, kata-kata yang digunakan tidak memiliki arti yang luar biasa yang ditentukan oleh interpretasi si pembaca.

Tidak pernah sebuah kata menyandang semua arti yang disebutkan dalam kamus. Dan etimologi kata sering tidak berperan karena, dalam menggunakan bahasa, orang tidak menyadari perkembangan arti kata-kata yang digunakannya.KesimpulanAspek bahasa teks memang penting karena bahasa sebagai sistem komunikasi mendahului terjadinya teks. Teks tidak bisa tidak tunduk pada aturan-aturan bahasa. Karena itu, penafsiran juga tunduk pada bahasa. Dengan demikian, kita dapat menentukan lagi aturan pembacaan dan penafsiran Alkitab, sebagai berikut:

Aturan 7 Untuk penulisan Alkitab, Tuhan berkenan menggunakan bahasa manusia sebagai sistem komunikasi (tata bahasa, arti kata, dll). Bahasa mendahului teks, sehingga ia menentukan arti dan tafsiran teks, dan bukan sebaliknya.

8. Zaman Teks

Kitab-kitab Suci ditulis dalam bahasa-bahasa yang berbeda dari bahasa kita. Untuk memahami isi dan artinya, kita perlu mempelajari bahasa-bahasa itu atau menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa kita. Kitab-kitab Suci juga ditulis pada zaman-zaman yang berbeda dari zaman kita. Sekali lagi, untuk memahami isi dan artinya, kita perlu meneliti dan menjelaskan zaman-zaman lampau itu.

Tidak terikat, tapi terkait

Sebagai Firman Tuhan, Alkitab tentunya tidak terikat pada bahasanya dan zamannya, seakan-akan ia menjadi buku kuno belaka yang tidak relevan lagi pada zaman sekarang. Ini adalah pandangan teologi liberal yang khususnya muncul dalam Ilmu Neo-hermeneutik dan Metode Penafsiran Aktualistis. Metode Penafsiran Eksemplaris, Alegoris, dan Biblisistis juga tidak luput dari bahaya yang menganggap Alkitab sebagai buku kuno. Sebaliknya Teologi Alkitabiah atau Reformed mengakui Alkitab sebagai penyataan Allah yang berlaku (valid) untuk segala zaman dan tempat. Tapi, ini tidak berarti bahwa Kitab-kitab Suci tidak terkait pada zaman penulisannya. Segala sesuatu yang tertulis dalam Alkitab terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Kenyataan itu mempengaruhi atau bahkan ikut menentukan arti setiap teks yang kita tafsirkan.

Penelitian zaman teks adalah aspek yang tidak dapat diabaikan dalam setiap pembacaan dan penafsiran Alkitab. Tidak mungkin memahami arti teks yang sebenarnya kalau kita tidak mengindahkan keadaan dan zaman ketika peristiwa yang dibahas dalam teks itu terjadi atau teks itu ditulis. Penelitian situasi dan sejarah zaman ketika setiap bagian Alkitab ditulis adalah tahap penting dalam seluruh proses penafsiran. Ini juga berarti bahwa kita mencari arti Kitab Suci bagi orang-orang yang hidup pada zaman itu (pendengar pertama). Baru setelah itu kita mencari arti Kitab Suci bagi orang-orang zaman sekarang (pendengar kedua, ketiga, dst).

Kalau kita tidak mendalami zaman teks, maka tafsiran dan aplikasi Kitab Suci yang kita lakukan akan dangkal, tidak kena sasaran.

Tafsiran dangkal mengakibatkan aplikasi yang kabur, umum, dan tidak benar. Untuk mencegah bahaya itu, hendaklah penafsir "berjalan kembali" ke tempat dan zaman di mana teks yang sedang ditafsirkannya terjadi. Untuk itu ia dapat menggunakan berbagai panduan perjalanan (travel guide) yang memadai, seperti kamus, ensiklopedi, buku-buku arkeologi dan sejarah umum. Selain itu banyak juga buku dan film/video yang menjelaskan situasi pada "zaman Alkitab".

Situasi dan Sejarah (konteks historis)

Zaman teks dapat dibagi tiga, yaitu:

1. Situasi dan Sejarah Umum yaitu situasi dan sejarah dunia pada abad-abad penulisan Kitab Suci: keadaan politik, masalah geografis, kebudayaan, agama.
2. Situasi dan Sejarah Khusus I yaitu situasi dan sejarah umat perjanjian Tuhan pada masa PL dan PB, yang biasanya diberi nama Sejarah Penyelamatan Allah (bahasa Inggris Redemptive History), Sejarah Perjanjian, atau juga Sejarah Suci (bahasa Latin Historia Sacra).
3. Situasi dan Sejarah Khusus II yaitu sejarah atau perkembangan penyataan Allah (bahasa Latin Historia Revelationis).

Sejarah Umum dan Sejarah Suci

Untuk memahami arti tugas Musa dalam membawa Israel keluar dari Mesir (Kel 3–14) kita perlu meneliti situasi Mesir (umum) dan situasi Israel yang saat itu sudah lama tinggal di Mesir (khusus). Untuk mengerti arti kata-kata Pilatus kepada Yesus, "Engkau inikah raja orang Yahudi?" (Yoh 18:33), kita perlu mengetahui situasi Kekaisaran Romawi (umum) dan situasi bangsa Yahudi dan Mahkamah Agamanya pada zaman itu (khusus).

Kita dapat meneliti situasi dan sejarah umum maupun khusus menurut beberapa sub, seperti keadaan politik, geografi, kebudayaan, agama, dan juga iklim (msl musim) dan alam (msl flora, fauna).

Kita jangan sampai menyalahpahami arti dan maksud ayat-ayat Kitab Suci karena menginterpretasikannya menurut situasi dan sejarah kita sendiri, tanpa memperhatikan situasi dan sejarah pada waktu ayat-ayat itu terjadi atau ditulis.

Beberapa contoh:

– Seorang penafsir Belanda pernah menafsirkan Rut 3 dan 4 tentang pernikahan Boas dengan Rut sebagai berikut:

Menurut dia, Boas pasti duda atau bujangan, dan mungkin sekali belum punya keturunan. Padahal, informasi tentang itu tidak ada dalam Kitab Rut. Dari mana penafsir memperoleh kesimpulan demikian? Dia tampaknya dipengaruhi oleh keadaan dirinya sendiri, lalu tanpa sadar memproyeksikan keadaannya itu ke zaman Boas dan Rut. Orang Belanda memang tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu, begitu juga orang Kristen. Dan bagi orang Kristen, keturunan sangat penting.

Seyogianya penafsir itu meneliti kebiasaan "pernikahan penebusan" (bahasa Ibrani go’el) yang lazim pada zaman PL, sesuai hukum Tuhan, untuk menjamin adanya keturunan bagi suami yang telah meninggal. Umumnya Alkitab mendukung monogami (menentang berbagai kebudayaan bangsa dunia), tapi dalam kasus-kasus khusus Tuhan juga menetapkan aturan-aturan khusus (lih Ul 25). Jadi, sekalipun tidak dapat dipastikan, besar kemungkinan bahwa Boas sudah punya istri, sehingga Rut menjadi istri kedua atas dasar aturan khusus itu.

situasi politik/pemerintahan

– PL: Keluaran 1–2, penindasan Israel di Mesir.

Untuk mengerti latar belakang dan beratnya penindasan yang dialami Israel di Mesir (khususnya Kel 2:23-25), kita perlu mencari informasi tentang

"Sion, sion, sion! Sion, sion, sion!" Orang menyerukan kata-kata ini de ngan suara nyaring, sambil mengangkat tangan dengan jarinya menunjuk ke atas. Apa artinya?

Mungkin ada yang langsung berpikir dan menyimpulkan, "Oh, orang ini seorang nabi PL atau, pada konteks masa kini, seorang pendeta yang mengajak jemaat ke arah Sion, tempat tinggal Tuhan.

Karena Sion/Yerusalem terletak tinggi di atas gunung, dan karena Yerusalem yang baru turun dari atas, dari surga, maka nabi atau pendeta itu menunjuk ke atas." Satu kata, satu isyarat sudah cukup bagi penafsir seperti ini. Ia langsung menafsirkan tanpa lebih dulu mencari tahu konteks kata atau tindakan tersebut. Tapi ada juga penafsir yang mengatakan, "Jika saya tidak tahu konteks kata dan isyarat itu, saya juga tidak tahu artinya. Apa sebenarnya makna kata itu? Dan siapa yang menyerukannya?"

Benar, tanpa lebih dulu mengetahui konteks kata-kata dan isyarat itu, kita tidak mungkin memahami arti dan maksud kata-kata itu. Hal itu tetap merupakan teka-teki. Di sini saya sengaja mencopot seruan orang dan isyaratnya dari konteksnya untuk menegaskan pentingnya konteks dan situasi untuk penafsiran Kitab Suci. Kalau kita tidak memperhatikan konteks, kita akan berfantasi saja.

Secara jujur, konteks orang yang menyerukan kata "Sion, sion, sion", sambil menunjuk ke atas, yang saya angkat jadi contoh di sini, tidak punya hubungan apa-apa dengan Kitab Suci. Baru-baru ini saya pergi ke Bandung, Jawa Barat. Dari tempat penginapan, saya naik angkot ke pusat kota. Angkot itu menuju stasiun kereta api. Untuk mencari penumpang, sopir selalu berteriak-teriak, "Sion, sion, sion,"-maksudnya stasiun-sambil mengangkat tangannya ke luar jendela dan jarinya menunjuk agak ke atas, ke arah stasiun kereta di depan.

Kerajaan Mesir, suksesi dinasti-dinasti, kebudayaan dan agama Mesir, dan juga sikap orang Mesir terhadap bangsa-bangsa lain. Mungkinkah umat Israel di Mesir identik dengan orang Hyksos? Karena-ini luar biasa-nama Yusuf (Zafnat Paaneah), Israel, dan Musa yang dibesarkan dan dididik di istana Firaun, tidak pernah disebutkan dalam sejarah umum Mesir. Juga, bagaimana mungkin tidak ada berita apa pun tentang peristiwa Laut Teberau (Kel 14) dalam tawarikh raja-raja Mesir? Mungkinkah para sejarawan Mesir sengaja mengabaikan fakta-fakta sejarah yang merugikan kemuliaan Mesir?

– PB: Lukas 2:1, sensus warga Kekaisaran Romawi.

Lukas, seorang dokter bukan Yahudi, menempatkan kelahiran Tuhan Yesus dalam situasi dan sejarah politik Kekaisaran Romawi. Semua penulis Injil lainnya, yang berasal dari bangsa Yahudi, tidak begitu memperhatikan hal ini. Dan justru informasi Lukaslah yang memungkinkan kita menentukan secara persis tahun kelahiran Yesus. Apalagi kita mendengar berita yang mengharuskan semua warga Kekaisaran Romawi untuk mendaftarkan diri mereka di kampung halaman masing-masing. Situasi politik inilah yang digunakan TUHAN sebagai sarana untuk melakukan rencana-Nya. Jika sensus itu tidak ada, Yesus mungkin akan lahir di kota Nazaret, dan bukan di kota Betlehem sesuai nubuat Mikha (Mi 5:1). Selain itu, pada masa itu wilayah Yehuda dan Galilea termasuk Provinsi Siria (Gubernur Kirenius). Mereka tidak merdeka dan tidak mandiri, takluk kepada Kaisar Agustus ("Yang Termulia" dan menganggap dirinya "Mesias"), serta tidak punya nama (hanya wilayah saja). Secara politik, warga kedua wilayah ini sangat merindukan bangkitnya orang kuat, anak Daud, yang akan melepaskan mereka dari penghinaan itu.

situasi kebudayaan

– PL: Kejadian 16/21, masalah Hagar dan Ismael. Usulan Sarai kepada Abram untuk "mengurus keturunan" melalui budak Hagar, bukanlah idenya sendiri, melainkan sesuai kebudayaan setempat (Ur Kasdim, Babel). Raja Hamurabi menuliskan hukum-hukum negaranya pada tugu besar (yang sekarang masih ada).

Beberapa hukum pada tugu itu mengatur masalah keturunan bagi orang mandul. Ada aturan mengenai hal memperoleh anak melalui budak dan juga tentang pengusiran budak bersama anaknya.30 Dalam menafsirkan pasal-pasal ini, penafsir hendaknya memperhatikan keadaan kebudayaan pada masa Abram/Sarai, sehingga ia dapat memahami tindakan mereka, khu susnya pergumulan mereka untuk hidup sebagai "anak Tuhan" melawan "dunia Babel".

– PB: 1 Korintus 11, wanita wajib memakai tudung kepala.

Sampai sekarang masih ada gereja yang mengharuskan wanita menudungi kepala mereka atau yang melarang mereka menggunting rambutnya, atas dasar 1 Korintus 11:2-15. Apakah Paulus dalam surat-suratnya memberi hukum-hukum baru kepada gereja PB? Padahal, kita membaca dalam Kisah Para Rasul 15 bahwa tidak boleh diberi beban ekstra kepada orang-orang percaya di bangsa-bangsa bukan Yahudi, dan bahwa orang Yahudi sendiri diselamatkan sama seperti orang bukan Yahudi, yakni sola fide. Sidang Yerusalem-dan Roh Kudus!-mengeluarkan hanya empat "larangan" yang semuanya berkaitan dengan inti kekafiran: ibadah di kuil berhala.

Ternyata nasihat Paulus berhubungan dengan kebudayaan pada masa Helenisme di kota Korintus, bahkan di dunia Yunani: wanita yang sopan menggunakan tudung kepala atau berambut panjang. Ada juga wanita yang rambutnya pendek dan yang tidak memakai tudung. Tapi, mereka pelacur yang dengan penampilan demikian membedakan diri dari wanita biasa!

Janganlah wanita Kristen dianggap sebagai pelacur, karena memotong rambutnya "atas dasar" kebebasan Kristen. Di kebudayaan lain kebiasaan seperti di Korintus agaknya tidak ada.

situasi agama

– PL: Keluaran 5–10, tanda-tanda (tongkat menjadi ular) dan tulah-tulah dari Tuhan untuk menghukum Raja Mesir dan rakyatnya.

Semua tanda dan tulah itu ternyata berkaitan dengan agama bangsa Mesir. Kaitan ini memiliki arti yang sangat mendalam: TUHAN memukul bukan hanya rakyat Mesir dan raja mereka yang dimuliakan sebagai "anak allah", tapi juga agama mereka, sehingga seluruh dasar hidup mereka goyang dan hancur. Orang Mesir mengalami disintegrasi total, seperti yang dikatakan oleh orang Papua: "Bumi rusak". Penting bagi penafsir untuk mencari hubungan setiap tulah itu dengan unsur agama Mesir, misalnya gelap gulita selama tiga hari (Kel 10:21-29) membuat orang Mesir berkesimpulan bahwa Ptah atau Amon Re, dewa matahari, marah sehingga ia tidak muncul lagi. Atau mungkin dia tidur, sakit, atau bahkan mati? (bnd 1Sam 4–6; 1Raj 18).

– PB: Kisah Para Rasul 17–19, Paulus menggebrak agama dan filsafat Yunani untuk memberitakan Injil.

Paulus menggunakan "mezbah dengan tulisan ’Kepada Allah yang tidak dikenal’" yang dijumpainya di kota Atena (Kis 17:23) bukan untuk berdialog dengan orang Atena, seakan-akan mereka secara anonim sudah mengenal Allah yang hidup, melainkan untuk memperlihatkan kebodohan mereka (bnd Ef 4:17-19): orang Yunani selalu menonjolkan diri dan menganggap mereka sudah mengetahui segala sesuatu. Padahal, untuk meniadakan risiko yang mungkin terjadi, mereka toh mendirikan mezbah seperti itu. Itu tentu sangat memalukan untuk mereka. Paulus memberitakan Yesus yang bangkit. Dengan itu, ia menghina orang Yunani bahwa sebenarnya mereka belum mengetahui apa pun. Menurut filsafat mereka (Plato, Stoa), kematian adalah pembebasan jiwa dari penjara tubuh. Fakta kebangkitan meruntuhkan semua pengetahuan mereka dan itu berarti filsafat mereka tidak berarti.

situasi geografi

– PL: 2 Raja-raja 2:1-18, perjalanan Elia dan Elisa.

Elia dan Elisa berjalan bersama-sama dari Gilgal ke Betel, kemudian ke Yerikho, lalu ke Sungai Yordan dan ke seberangnya. Perjalanan ini merujuk ke masa Musa dan Yosua: pada waktu itu Israel mengikuti rute yang sebaliknya. Kenyataan bahwa Elia dan Elisa mengikuti rute ini, kembali ke tempat di mana Musa kira-kira meninggal, mempunyai arti, yakni seakan-akan sejak kematian Musa dan kepemimpinan Yosua, Israel belum mengalami perkembangan apa pun. Pada masa Elia dan Elisa, Israel begitu merosot, sehingga mereka kembali ke "titik nol". Kembalinya Elisa dari seberang ke Yerikho menyimbolkan bahwa Tuhan bersedia memulai sesuatu yang baru: rencana keselamatan-Nya pasti akan terjadi!

– PB: Wahyu 3:14-22, letak kota Laodikia berhubungan dengan keadaan "suam-suam kuku".

Kaum Kristen di Laodikia pasti tidak ragu memahami arti kata-kata surat Yohanes kepada mereka. Kota Laodikia persis terletak pada pertemuan dua sungai: sungai yang satu turun dari pegunungan di Selatan (lewat Kolose). Airnya dingin sekali. Air sungai kedua yang turun dari Utara (lewat Hiera polis) panas. Pertemuan kedua sungai itu menghasilkan air yang suam-suam kuku. Orang Laodikia tidak suka minum air seperti itu. Itu membuat mereka muntah. Apalagi kota Laodikia terkenal di Asia karena industri kain linen, minyak mata, dan emas. Ternyata Yohanes memakai situasi setempat untuk menasihati jemaat Kristus di Laodikia.

Itu membuat mereka muntah. Apalagi kota Laodikia terkenal di Asia karena industri kain linen, minyak mata, dan emas. Ternyata Yohanes memakai situasi setempat untuk menasihati jemaat Kristus di Laodikia.

situasi flora/fauna

– PL: Mazmur 23, gembala dan domba-domba.

Dalam seluruh Alkitab, gembala dan kawanan dombanya digunakan sebagai metafor bagi Tuhan dan umat-Nya. Mengapa, misalnya, bukan sapi yang digunakan? Mengapa Kitab Suci menyebutkan Yesus "Gembala yang Baik" dan sekaligus "Anak Domba"? Jawabannya tidak sulit. Untuk bangsa Israel, gembala dan kawanan domba adalah realitas sehari-hari. Lagi pula domba bersifat penurut dan tergantung total pada gembalanya. Sebaliknya, gembala bersedia mengorbankan nyawanya demi domba-dombanya.31

Metafora ini sa ngat cocok untuk menggambarkan relasi antara Tuhan dan umat perjanjian-Nya.

– PB: Yohanes 15, pokok anggur.

Yesus mengumpamakan diri-Nya dengan pokok anggur, dan murid-murid-Nya dengan ranting-ranting yang terkait padanya. Perumpamaan ini sangat tepat karena, pertama, pohon anggur mampu bertahan dalam iklim kering dan panas. Kedua, pohon anggur yang subur menghasilkan banyak sekali buah. Ketiga, buah yang banyak itu merupakan kesatuan sesuai cara berbuah pohon itu, yakni dengan tandan/tangkai. Dari zaman dulu kebun anggur tersebar di seluruh Israel, sehingga murid-murid Yesus langsung memahami maksud Yesus melalui perumpamaan ini.

Contoh-contoh ini cukup untuk memperlihatkan bahwa penafsir baru dapat memahami arti teks yang sesungguhnya bila ia mengetahui situasi dan sejarah teks itu. Melalui pengetahuan akan situasi dan sejarah tersebut, ia dapat memahami arti teks untuk para pendengar pertama. Lalu, sesudah itu, ia dapat menentukan arti teks untuk orang masa kini.Sejarah Penyataan AllahMengenai Situasi dan Sejarah Khusus II (Sejarah Penyataan Allah), kita perlu mengingat bahwa Tuhan tidak langsung sekaligus memberikan seluruh penyataan-Nya kepada dunia. Alkitab tidak jatuh dari surga di depan kaki Musa, Paulus, atau Yohanes. Sebaliknya,

Tuhan menyatakan diri melalui Firman-Nya tahap demi tahap selama berabad-abad, melalui inspirasi Roh Kudus. Kata "penyataan" adalah terjemahan kata bh Yunani apokalypsis yang berarti "pembukaan" (msl selubung pengantin, penutup belanga, atau rahasia).

Baru pada saat Anak Allah, Yesus Kristus, mati di kayu salib dan bangkit dari kubur, dan pada saat Roh Kudus dicurahkan, Allah membuka semua rahasia-Nya tentang penyelamatan dunia. Pada saat itu juga menjadi teranglah bahwa seluruh penyataan-Nya berpusat pada Anak-Nya. Semua potongan teka-teki tersusun pada tempatnya sehingga seluruh gambar menjadi jelas kelihatan.

Pendeknya, Alkitab benar-benar menafsirkan dirinya sendiri (Aturan 4). Tapi, kita jangan lupa bahwa penyataan Allah mempunyai sejarahnya dan perkembangannya, yang harus kita perhatikan dan dapat kita selidiki.32

Beberapa contoh:

– Mengikuti Tuhan: langsung atau setelah berpisah dari keluarga? (Bnd 1Raj 19:19-21 dengan Luk 9:57-62.)

Saya pernah membaca skripsi seseorang yang mengkritik Elisa, karena Elisa tidak langsung mengikuti Nabi Elia, melainkan terlebih dahulu minta izin untuk berpisah dari orang tuanya (1Raj 19:20). Atas dasar Lukas 9:57-62, di mana Yesus menolak orang-orang yang dengan alasan masing-masing tidak langsung mengikuti-Nya, penulis itu mengecam Elisa.

Teguran seperti itu sama sekali tidak tepat, karena ada perbedaan besar antara situasi historis dan tahap perkembangan penyataan Allah pada zaman Elia memanggil Elisa dan situasi historis dan tahap perkembangan penyataan Allah pada zaman Yesus memanggil pengikut-pengikut-Nya. Itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk tidak menyamakan kedua peristiwa tersebut. Selain itu, sikap Elisa yang sungguh-sungguh akan mengikuti Elia (= mengikuti Tuhan) sangat berbeda dari mentalitas orang-orang yang dipanggil oleh Yesus, yang sebenarnya tidak mau mengikuti-Nya dan oleh karena itu mencari-cari alasan untuk menolak panggilan itu.33

Prinsip seperti di atas juga berlaku untuk hal-hal berikut: kita jangan menolak perbuatan Nabi Elia minta api dari langit untuk menghanguskan tentara-tentara yang datang menangkap dia (2Raj 1:9-12) atas dasar Lukas 9:51-56, atau meno - lak perbuatan Nabi Elisa mengutuk pemuda-pemuda Betel demi nama TUHAN dengan akibat 42 orang dicabik-cabik oleh dua ekor beruang (2Raj 2:23-25) atas dasar Lukas 6:27-29. Dalam contoh-contoh ini, bukan hanya situasi dan zaman sangat berbeda, tapi juga tahap perkembangan penyataan Allah.

– Penyunatan Timotius, Kisah Para Rasul 16:3.

Dalam bukunya Membaca Alkitab (Bab II/6), Dr. Jakob van Bruggen menyebutkan contoh bahwa Timotius disunat "karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa ayahnya orang Yunani."

Van Bruggen dengan tepat menulis, "Penyunatan itu terjadi dalam konteks historis di mana para rasul telah mengambil keputusan (di bawah pimpinan Roh Kudus), yakni bahwa sunat bukan lagi prasyarat mutlak (Kis 15:28; 16:4). Konteks itu menunjukkan betapa kecil arti penyunatan Timotius itu. Penyunatan itu tidak lebih dari sekadar tindakan yang dilakukan demi orang Yahudi, yang mungkin akan mengira bahwa Timotius tidak mau disunat untuk menghormati ayahnya yang secara lahiriah seorang Yunani, padahal justru demi Bapa Surgawi, orang-orang yang tidak bersunat harus diterima di dalam Kristus tanpa disunat lebih dahulu." Berdasarkan perkembangan penyataan Allah, penyunatan Timotius bukan lagi prasyarat religius sesuai Hukum Musa, melainkan sebuah aksi strategis agar kaum Yahudi tidak mencari alasan untuk menolak pemberitaan Timotius tentang Yesus Kristus.

Melihat perkembangan penyataan Allah, kita menyadari:

1. Fakta bahwa "rahasia Kristus" telah dibuka secara tuntas bagi kita, tidak berarti bahwa misalnya Abraham, Daud, dan Yesaya sudah memahami semua fakta tersebut. Bagi mereka, selubung hanya dibuka sedikit atau separuh saja. Sepanjang sejarah, sejak awal sampai akhir,

Allah melaksanakan rencana penyelamatan-Nya. Abraham melihat sedikit saja pelaksanaan rencana itu. Daud melihat lebih ketimbang Abraham, tapi kurang ketimbang Yesaya. Bagi kita pun masih ada hal-hal yang belum genap.

2. Semua peristiwa Sejarah Suci terjadi dalam konteks historis pelaksanaan rencana penyelamatan Allah. Alkitab merupakan kesatuan yang berpusat pada Kristus. Segala yang terjadi sepanjang sejarah, berkaitan dengan kesatuan dan pusat itu. Hendaklah setiap bagian Kitab Suci memperoleh posisinya pada "garis waktu" Kejadian sampai Kesudahan (lih bagan di bawah) untuk melihat kapan persisnya setiap peristiwa terjadi dalam seluruh Sejarah Suci.

Bagan34

background image

Kesimpulan

Sudah jelas bahwa aspek zaman penulisan teks ikut menentukan arti teks. Tak mungkin kita memahami isi teks terlepas dari konteks sejarahnya dan situasinya. Ini satu lagi aturan penafsiran.

Aturan 8 Dalam proses penafsiran Alkitab, penelitian situasi dan sejarah umum maupun khusus (Sejarah Penyelamatan Allah dan Sejarah Penyataan Allah) sangat menentukan arti teks. Aplikasi teks Alkitab kepada masa kini (pendengar kedua, ketiga, dst) hanya tepat bila kita terlebih dahulu mengetahui arti teks bagi orang yang hidup pada zaman ketika teks itu ditulis (pendengar pertama).

Sebagai penutup bagian ini, saya memberi lagi satu contoh yang menunjukkan pentingnya kedua aspek yang telah dibahas di atas, yaitu aspek bahasa dan aspek zaman, untuk penetapan arti teks:

– Markus 6:12-13, "Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka." Yesus mengutus ke-12 rasul, masing-masing dua orang setiap kelompok, ke kota-kota di Galilea. Dalam ayat 8-11 Dia memberi pesan dan instruksi kepada mereka. Lalu, dalam ayat 12-13 kita membaca tentang pelaksanaan misi mereka. Sama seperti Yesus, mereka juga memberitakan dan menyembuhkan. Mengenai penyembuhan, Markus menceritakan bahwa mereka "mengoles banyak orang sakit dengan minyak". Kemudian hanya Yakobus, adik Yesus dan pemimpin jemaat Yerusalem, yang dalam suratnya menyebutkan hal yang sama dengan tambahan kata-kata "dalam nama Tuhan" (Yak 5:14). Apa artinya ini?

Aspek bahasa

Dalam bahasa asli disebut tiga perbuatan (kata kerja imperfek duratif): "... mereka melempar keluar banyak setan, dan mengoles banyak penderita dengan minyak zaitun (harum) dan menyembuhkan." Perhatikan, kata "menyembuhkan" tidak mempunyai objek. Tapi, semua terjemahan menambahkan kata "mereka" setelah kata menyembuhkan. Tepatkah itu? Secara tidak langsung, ya. Karena tanpa objek, maka arti kata "menyembuhkan" agaknya lebih bersifat sebagai kesimpulan: demikianlah ke-12 rasul melakukan penyembuhan.

Aspek zaman

Gereja Katolik Roma telah menetapkan sakramen "pengolesan orang sakit" atas dasar Yakobus 5:14, seakan-akan terjadi sesuatu yang luar biasa melalui pengolesan itu. Ini adalah pengaruh kebiasaan ritus suku-suku bangsa kafir. Padahal, "mengoles dengan minyak harum" sama dengan "mandi". Pada zaman Alkitab, orang mandi dengan air, lalu mengolesi diri dengan minyak harum karena sabun dan shampo belum ada. Mereka juga memandikan orang sakit dan mengolesinya dengan minyak, bukan dengan maksud gaib, melainkan untuk menurunkan panas dan menyegarkannya. Orang biasanya mengolesi luka dengan minyak (dan anggur) untuk mengurangi rasa sakitnya (bnd Luk 10:34).

Rupanya Tuhan Yesus dan ke-12 rasul menggunakan kebiasaan ini untuk menyembuhkan orang sakit. Ini sama dengan Tuhan menyembuhkan orang sakit "melalui tangan" rasul (Kis 5:12; 19:11) atau bahkan melalui saputangan dan kain yang pernah dipakai oleh rasul. Tuhan Yesus sendiri juga menggunakan tangan-Nya atau bahkan ludah-Nya untuk menyembuhkan orang buta.

Kesimpulan: pengolesan orang sakit dengan minyak bukanlah "hal yang khas dan ajaib" pada dirinya sendiri. Tuhan dan rasul menggunakan cara tersebut sebagai salah satu sarana yang berfungsi sebagai "gambar" atau "ilustrasi", sama seperti sarana-sarana lainnya.

9. Analisis dan Sintesis

Aspek lain yang merupakan inti seluruh proses pembacaan dan penafsiran Kitab Suci adalah analisis dan sintesis. Kedua unsur ini bersifat komplementer (saling melengkapi) sehingga bersamasama merupakan satu aspek. Tak ada analisis tanpa sintesis, dan sebaliknya. Kendati demikian, banyak penafsir yang sering kali hanya menganalisis, tanpa membuat sintesis.

Analisis

Analisis teks juga tepat disebut "studi kata" (word study). Penafsir meneliti setiap kata dalam teks, satu demi satu. Sebelumnya, penafsir telah menerjemahkan teks dari bahasa aslinya dengan bantuan kamus dan tata bahasa. Sekarang ia mendalami arti kata-kata itu. Kamus bahasa memberi banyak data tentang arti dan penggunaan kata (msl mengenai kata kerja tenses dan person). Di samping itu ada kamus-kamus lain, seperti Kamus Etimologi yang menyelidiki asal, latar belakang, dan perkembangan arti kata; Kamus Teologi (untuk PL misalnya Ernst Jenni dan Claus Westermann, Theological Dictionary to the Old Testament; untuk PB: Gerhard Kittel, Theological Dictionary to the New Testament), dan juga Ensiklopedi Alkitab (msl J.D. Douglas dan kawan-kawan, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini).

Tapi, janganlah penafsir melupakan Alkitab sendiri sebagai sumber informasi utama! Setiap kata dianalisis dengan seksama, sehingga penafsir tahu persis artinya, bentuknya, dan penggunaannya.

Secara praktis, kata-kata dapat dianalisis ayat demi ayat, atau kelompok demi kelompok. Maksudnya, semua kata yang menunjuk oknum diteliti, kemudian kata-kata yang mengacu ke perbuatan atau kegiatan, dan seterusnya.35 Sehingga setelah analisis selesai, tidak ada lagi satu kata pun dalam teks yang tidak jelas bagi penafsir.

Sintesis

Sintesis dilaksanakan sesudah analisis. Sekarang penafsir meneliti setiap kata yang telah dianalisis dalam hubungan dan kesatuannya dengan kata-kata lain. Teks tidak terdiri dari sejumlah kata yang tidak berkaitan satu sama lain. Setiap kata memiliki posisi tertentu dalam kalimat, alinea, pasal. Ada kata yang merujuk pada perbuatan (yang disebut predikat dan tampil dalam bentuk kata kerja), ada pelaksana perbuatan (subjek) dan biasanya ada pula yang mengalaminya (penderita, objek). Apa relasi, kalau ada, antara subjek dan objek? Selain itu, ada juga kata-kata keterangan, misalnya dalam hal waktu dan tempat. Apa artinya untuk perbuatan tadi? Atau adakah alasan untuk penggunaan kata tertentu? Gaya bahasa juga penting: oknum pelaku itu mungkin sangat emosional. Emosi itu mempengaruhi kata-kata yang digunakan atau perbuatan yang dilakukannya. Kata-kata itu barangkali mempunyai "arti tambahan", tergantung dari situasi (konteks literer). Selanjutnya, perbuatan yang satu mungkin lebih penting dari yang lain. Mana perbuatan utama dalam seluruh teks? Oknum mana yang paling penting?

Singkatnya, dalam sintesis penafsir meneliti hubungan antara semua kata dalam teks dan menentukan mana yang penting, kurang penting, dan sebagainya.

Penafsir yang melakukan analisis dan sintesis dapat diumpamakan dengan montir mobil. Jika ada mobil mogok, montir membuka mesin mobil itu dan memeriksa atau menganalisis semua onderdil, satu demi satu. Kemudian ia memasang kembali semua onderdil dan meneliti setiap onderdil dalam hubungannya dengan onderdil-onderdil lain dalam keseluruhan mesin. Mungkin montir perlu mengganti onderdil yang rusak. Tapi, ia tentu tidak akan membuka mesin sampai semua onderdil tersebar di lantai bengkel, menggantikan yang rusak, lalu memanggil pemilik mobil dan mengatakan sambil menunjuk ke lantai, "Selesai. Silakan membawa mobilmu." Sudah jelas, dia akan memasang kembali semua onderdil sampai mesin kembali menjadi satu kesatuan. Dalam proses ini, montir melakukan "sintesis". Setelah semua onderdil berfungsi sebagaimana mestinya, montir kemudian menyerahkan mobil itu kepada pemiliknya.

Contoh:

  • Markus 1:35-39

Dalam ayat 35, oknum-subjek ialah Yesus. Dalam analisis, penafsir mencari tahu siapa Yesus, khususnya pada saat peristiwa teks itu terjadi, yaitu pada awal pelayanan-Nya. (Waktu itu Israel dan murid-murid yang baru dipanggil-Nya, belum mengenal Dia.) Selanjutnya ada predikat yang terdiri dari empat kata kerja, yang mengacu ke empat perbuatan: anastas (ba ngun, partisip aoristus), exelthen (Ia pergi keluar, aoristus ketiga tunggal), apelthen (Ia pergi ke, aoristus ketiga tunggal), dan proseukheto (Ia berdoa, imperfek ketiga tunggal). Dalam analisis, penafsir meneliti arti keempat kata itu, dengan memperhatikan bahwa untuk ketiga kata kerja pertama, penulis menggunakan bentuk waktu aoristus, sedangkan untuk kata keempat ia memakai bentuk waktu imperfek (ditekankan bahwa doa itu berlangsung selama waktu tertentu). Dalam sintesis, penafsir menentukan hubungan antara keempat perbuatan itu, dan menetapkan perbuatan mana yang utama. Sudah jelas: untuk "berdoa", Yesus "bangun", lalu "pergi keluar", dan "pergi ke". Perbuatan paling penting di sini adalah "berdoa". Kemudian penafsir meneliti hubungan antara "Ia" (Yesus) dan "berdoa". Tentu saja doa Yesus berbeda dari doa kita, karena Dia Anak Allah. Dari konteks dekat dan jauh sudah jelas bahwa Yesus seringkali berdoa, dan untuk itu Ia selalu pergi ke tempat sunyi.

Perhatikan keseluruhan ayat 35-39. Apakah inti perikop ini adalah kegiatan Yesus berdoa itu? Tidak. Ayat 35 bermaksud untuk menjelaskan kepada pembaca mengapa Yesus tidak ada lagi di rumah, sehingga nanti Simon dan kawan-kawannya pergi mencari Dia. Karena itu, penafsir tidak perlu bicara panjang lebar tentang doa Yesus. Jauh lebih penting adalah reaksi-Nya pada kata-kata Simon dan perbuatan-Nya selanjutnya, yaitu memproklamasikan Injil (bahasa Yunani kerusso!) di seluruh Galilea.

Dalam ayat 36 kita membaca bahwa Simon dan orang-orang yang menyertainya (TL lebih tepat) "menyusul" (TB) atau "mencari-cari" (TB 2) Dia. Tapi, arti kata bahasa Yunani katadioko lebih ke arah "mengejar" (polisi "menyusul" pencuri untuk menangkapnya). Analisis kata akan menjelaskan bahwa perbuatan Simon dan kawan-kawannya mempunyai arti yang agak negatif. Mereka menyusul Yesus bukan agar mereka dapat bersama-sama dengan Dia, melainkan untuk menahan Dia, lalu membawa Dia kembali ke Kapernaum. Sintesis yang memeriksa kaitan antarkata akan menjelaskan bahwa Simon dan kawan-kawannya tidak menyetujui keberangkatan Yesus secara diam-diam; mereka kritis terhadap Yesus. Kata-kata "semua orang mencari-cari Engkau" mereka ucapkan dengan emosional.

Arti tambahan

Kadang nama atau kata yang digunakan dalam teks mendapat arti khas yang tidak muncul dalam analisis, tapi arti itu menjadi nyata dari sintesis atau dari konteks literer/historis.

– 2 Samuel 11: Dosa perzinaan Daud dengan Batsyeba sebenarnya tidak berbeda dari perzinaan yang dilakukan oleh orang lain. Kendati demikian, ternyata ada perbedaan besar. Dalam sintesis menjadi jelas bahwa nama Daud mempunyai arti tambahan: dia adalah raja teokratis, bahkan raja mesianis. Dampak dosa orang besar jauh lebih besar dari dosa orang biasa.

– Yohanes 19:10-11: Yesus Kristus dihakimi oleh "hakim dunia". Tapi, hakim itu bukanlah hakim biasa karena Pontius Pilatus adalah pegawai Romawi-procurator, gubernur khusus-yang langsung mewakili Kaisar Roma. Tindakan-tindakan pegawai tinggi seperti Pilatus mempunyai arti khusus. Vonis Pilatus dapat dianggap sebagai vonis kaisar sendiri. Mengenai kasus Yesus, raja dunia mengadili Raja Surga. Berhubung dengan itu, papan yang dipakukan pada kayu salib, di atas kepala Yesus, memberi banyak informasi. Perhatikan bahwa kaisar menyebut dirinya kurios dan

Khristos, dan dalam tahun-tahun selanjutnya dia disembah sujud sebagai "anak allah" (khususnya di Asia Kecil).

– Matius 8:3 (lih di atas): Yesus "menyentuh" (TB 2) penderita kusta yang ditahirkan-Nya. Berdasarkan arti kata bahasa Yunani hepsato (berasal dari hapto), kata "menyentuh" lebih tepat diganti dengan kata "memegang".

Kata-kata "mentahirkan" dan "tahir" dalam ayat-ayat ini mengingatkan kita akan aturan-aturan di sekitar penyakit lepra dalam Imamat 13–14.

Penyakit kusta adalah lambang dosa. Penderita kusta hidup terisolir dari masyarakat. Tak boleh terjadi kontak antara orang sehat dan penderita kusta. Barangsiapa menyentuh penderita kusta, ia akan najis. Tapi, Yesus tidak sekadar menyentuh, Ia bahkan memegang penderita kusta. Artinya, Dia menajiskan diri-Nya dengan luar biasa. Dengan itu Dia mengambil alih beban dosa orang lain dan memikulnya ke kayu salib (bnd Yes 53).

Kesimpulan

Di atas telah dijelaskan bahwa Hermeneutik Alkitabiah/Reformed selalu melihat teks dalam konteks dekat hingga konteks jauh (teks adalah sebagian kecil dari keseluruhan Alkitab). Dengan demikian, kata adalah "onderdil" dari kalimat atau perikop. Tak mungkin penafsir memberi arti tertentu kepada kata tertentu tanpa memperhatikan hubungan kata itu dengan kalimat/perikop itu. Karena itu, analisis kata selalu disusul oleh sintesis yang meneliti kata dalam konteks literernya.

Aturan 9 Inti seluruh proses penafsiran Alkitab adalah analisis dan sintesis. Keduanya saling melengkapi. Dalam analisis, penafsir mencari arti kata-kata teks, satu demi satu ("studi kata"). Kemudian dalam sintesis, ia meneliti hubungan antarkata dalam keseluruhan teks.

10. Bantuan Melalui Sejarah dan Buku

Aspek berikutnya adalah penggunaan buku-buku tafsiran (atau buku-buku lain, misalnya monografi, tesis, atau disertasi yang bersifat studi eksegesis). Terus terang, banyak pengkhotbah yang menganggap pembacaan buku-buku tafsiran sebagai kegiatan utama dalam seluruh proses penafsiran. Atau bahkan mereka hanya membaca buku tafsiran. Hal itu terjadi karena waktu mereka sempit untuk mempersiapkan pemberitaan Firman Tuhan dalam ibadah Minggu, sehingga mereka cepat-cepat mengambil buku tafsiran, membacanya, dan ... itu saja. Tapi, membaca buku tafsiran tidak sama dengan menafsir! "Penafsir" seperti itu adalah pemalas, plagiator, pencuri!

Bagaimana jika buku itu mengandung tafsiran sesat? Bukankah jemaat jadi ikut sesat? Lagi pula, sempitnya waktu bukanlah alas an yang sah bagi para pelayan Firman. Bukankah beban (atau jabatan) mereka adalah untuk memberitakan Firman Tuhan? Karena itu, sangat wajar kalau mereka menyediakan beberapa hari untuk menafsirkan dan merenungkan Kitab Suci. Justru itulah tugas mereka!Posisi pembacaan buku-buku tafsiran dalam proses penafsiranPenafsiran tidak sama dengan pembacaan buku-buku tafsiran. Membaca buku tafsiran bukanlah kegiatan satu-satunya, bukan kegiatan utama, juga bukan kegiatan pertama untuk seorang pelayan Firman Tuhan. Pembacaan buku-buku tafsiran hanyalah salah satu bagian dalam seluruh proses penafsiran. Dan pembacaan itu baru dilakukan pada akhir proses itu. Sebelum penafsir membaca buku tafsiran, ia telah melaksanakan banyak langkah lain dengan urutan sebagai berikut:

1. Menerjemahkan teks dari bahasa asli;
2. Mengevaluasi beberapa terjemahan bahasa Indonesia (dan bahasa-bahasa lain);
3. Menentukan konteks nas, dari dekat sampai jauh;
4. Menetapkan kesatuan teks terkecil yang harus ditafsirkannya;
5. Meneliti situasi dan sejarah pada masa teks, baik umum maupun khusus;
6. Melaksanakan analisis dan sintesis;
7. Mendalami konteks dengan meneliti nas-nas sejajar, paralel, dan kutipan (karena seluruh Alkitab merupakan satu kesatuan; Alkitab menafsirkan dirinya sendiri);
8. Meneliti hubungan teks dengan Yesus Kristus (karena seluruh Alkitab berpusat pada Kristus). Sesudah penafsir melakukan sendiri kedelapan langkah di atas, maka tibalah saatnya untuk:
9. Mencari bantuan dari penafsir-penafsir lain. Akhirnya ia menggabungkan semua data yang dikumpulkannya, dan
10. Menetapkan tafsiran teks. Tafsiran selesai!

Jadi, posisi pembacaan buku-buku tafsiran terletak dalam akhir proses penafsiran, yaitu dalam langkah yang berjudul "Bantuan".36Tujuan pembacaan buku-buku tafsiran: mencari bantuanPenafsir yang sekarang menafsirkan Kitab Suci bukanlah penafsir pertama. Sebelumnya, sudah banyak penafsir lain yang mendalami Firman Tuhan dan yang menuliskan tafsiran mereka dalam bentuk buku atau makalah. Di antaranya ada buku-buku yang sangat bagus.

Jadi janganlah seorang penafsir menganggap dirinya lebih penting dari penafsir lain.

Tapi di lain pihak, penafsir juga tidak perlu merasa rendah diri, seakan-akan semua tafsiran lainnya lebih bagus dari tafsirannya sendiri. Tak terhitung jumlah buku tafsiran. Ada puluhan buku tafsiran yang menafsirkan setiap kitab dalam Alkitab. Melihat kepustakaan yang sangat banyak itu, wajar bila seorang penafsir beranggapan bahwa ia harus membaca semua buku itu sebagai syarat untuk menghasilkan tafsiran yang baik. Sebenarnya, pembacaan semua buku itu tidak terlalu penting.

Yang penting bagi setiap penafsir adalah sikap untuk (1) bertanggung jawab dalam melakukan penafsiran dan (2) bersedia dikoreksi. Hendaklah ia sendiri menafsirkan Kitab Suci lebih dahulu, baru kemudian mencari bantuan dari rekan-rekan, misalnya, membaca buku penafsir lain atau berdiskusi dengan teman sekerja.

Pembacaan buku-buku tafsiran lebih bersifat bantuan dan khususnya dilakukan untuk mendapat kepastian, memperoleh koreksi, dan mencari informasi tentang hal-hal yang mungkin belum jelas. Bantuan dari sejarah, kemudian dari buku tafsiran Jika pada akhir proses eksegesis penafsir hendak mencari bantuan untuk memeriksa dan menetapkan tafsiran yang benar, yang sesuai kehendak Tuhan (2Ptr 1:20-21), pembacaan berbagai buku tafsiran bukan lagi yang utama. Yang pertama-tama harus dilakukannya adalah meneliti sejarah, khususnya sejarah ajaran Kitab Suci yang dirumuskan Gereja Kristen secara ringkas dalam pengakuan-pengakuan iman.37 Di sini, penafsir memeriksa apakah teks yang ditafsirkannya memiliki hubungan dengan pokok ajaran tertentu, dan bagaimana fungsi teks itu dalam pokok ajaran itu. Misalnya, Mazmur 127 dan 128 berperan dalam ajaran gereja tentang Providensi Allah (Pemeliharaan dan Pemerintahan Allah). Hendaklah tafsiran kedua mazmur itu cocok dengan ajaran seluruh Alkitab tentang berkat dan pemeliharaan Tuhan. Mengenai Efesus 4:1-16, penafsir memeriksa sejarah ajaran alkitabiah tentang jabatan-jabatan gerejani. Walaupun tradisi gereja tidak normatif, namun tradisi itu sangat berperan dalam sejarah penafsiran.

Setelah pemeriksaan sejarah selesai, penafsir membaca beberapa buku tafsiran, baik dari masa lalu (msl Agustinus, Luther, Calvin) maupun dari masa kini. Semua buku tafsiran itu tentunya berhubungan juga dengan sejarah dan teologi. Setiap tafsiran punya latar belakang.Membaca buku-buku tafsiran: waspadalah!Untuk mencegah penafsir keliru atau tenggelam dalam melakukan penafsiran, dia tidak perlu membaca sebanyak mungkin buku tafsiran. Lebih baik ia mempelajari beberapa tafsiran yang sungguh-sungguh mendalami teks. Menurut saya, buku-buku renungan tidak begitu berguna karena tafsirannya agak dangkal dan kurus. Selanjutnya, hendaklah penafsir selalu waspada dan jangan menerima saja apa yang tertulis dalam buku-buku tafsiran. Perlu dicari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, seperti, "Siapa penafsir itu? Bagaimana pandangan teologisnya? Metode penafsiran yang mana yang dipakainya?" Mungkin saja penafsir itu penganut Teologi Reformed/Alkitabiah (Alkitab adalah Firman Tuhan), atau penganut Teologi Liberal (Alkitab berisi Firman Tuhan) yang berani menyangkal kebenaran teks dan tidak keberatan mengkritik Kitab Suci, atau berasal dari tradisi kharismatik yang sering memakai metode biblisistis dan alegoris.

Dalam pembacaan buku-buku tafsiran, hendaklah penafsir membela tafsiran yang dikonsepkannya sendiri (jangan langsung menyerah!) dan bersedia menerima informasi tambahan atau koreksi dari buku yang dibacanya. Karena penafsir telah mempersiapkan tafsirannya sendiri, maka ia mampu mendiskusikan apa yang dibacanya dan mengevaluasi hasilnya.

Aturan 10 Dalam seluruh proses pembacaan dan penafsiran Kitab Suci, penelitian sejarah gereja, khususnya sejarah dogma, dan pembacaan buku-buku tafsiran
menyusul upaya penafsir sendiri
bersifat bantuan
bermaksud untuk mengoreksi dan menyempurnakan tafsiran yang telah dirumuskan oleh penafsir sendiri.

11. Jangkauan Kitab Suci

Aspek terakhir yang kita bahas adalah jangkauan (ruang lingkup)

Alkitab. Kitab Suci tidak terbatas pada zaman penulisannya; ia memiliki cakupan (scopus) yang sangat luas, baik sebagai sejarah (yang pernah terjadi) maupun sebagai janji dan nubuat (yang belum terjadi).

Uraian tentang jangkauan Kitab Suci, dapat kita baca antara lain dalam PL: Ulangan 16; Yosua 4; Mazmur 78, 105, dan 106; dalam PB: Roma 15:4; 1 Korintus 10:1-13; 2 Timotius 3:16-17; Wahyu.

Alkitab mempunyai arti bagi orang Kristen abad ke-21

Menurut kesaksian Alkitab sendiri, Alkitab bukan hanya buku historis yang mengisahkan semua peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu. Alkitab juga buku pelajaran, buku peringatan, buku instruksi. Semua peristiwa, sejarah, nubuat, nyanyian, dan lain-lain yang ditujukan dalam Kitab Suci sangat berarti untuk kita sekarang ini.

- Banyak penafsir berpendapat bahwa Alkitab tidak memiliki arti untuk kita yang hidup masa kini karena Alkitab berasal dari abad-abad kuno.

Fakta-fakta dan tradisi kuno yang terdapat di dalamnya memang sangat menarik, dan kita dapat belajar darinya. Tapi, janganlah menyimpulkan bahwa cerita-cerita klasik itu masih memiliki arti untuk abad ke-21 ini, demikian pendapat mereka.

- Penafsir lain berpendirian bahwa Alkitab, khususnya PL, adalah sejarah nasional bangsa Israel. Dan sejarah nasional hanya berarti untuk bangsa yang bersangkutan. Sama halnya, sejarah nasional Indonesia penting hanya untuk WNI dan bukan untuk WNA. Demikian pula, sejarah nasional Israel hanya berarti untuk kaum Yahudi dan bukan untuk orang bukan Yahudi.

- Ada juga penafsir, termasuk kita, yang mengaku bahwa Alkitab adalah seratus persen Firman Tuhan. Itu prapaham iman kita. Pengakuan itu sudah cukup untuk menarik kesimpulan bahwa Alkitab pasti memiliki arti yang jauh lebih besar untuk dunia masa kini dibandingkan kisah sejarah atau tradisi. Sebagai dasar hidup kita, Alkitab tak bisa tidak sangat berarti. Untuk kita, Alkitab adalah Firman yang hidup.

Sejarah Kitab Suci adalah sejarah kita

Khususnya kata-kata Paulus dalam suratnya 1 Korintus 10:1-13 sangat penting untuk memahami luasnya arti Kitab Suci bagi kita (dan semua orang) yang hidup pada awal abad ke-21 ini.

Rupanya anggota jemaat Korintus berpendapat bahwa PL tidak punya arti bagi mereka. Mereka tidak berasal dari bangsa Yahudi! Mereka Yunani. Sejarah Israel bukan sejarah mereka. Kalau orang Yahudi mau mempertahankan pentingnya PL untuk mereka sendiri, silakan. Tapi, janganlah orang Kristen bukan Yahudi direpotkan dengan itu.

Tapi, perhatikanlah apa yang ditulis Paulus dalam ayat 1: "Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan ..." (dan seterusnya). Kata "kamu" merujuk kepada jemaat Korintus yang sebagian besar bukan Yahudi. Tetapi siapakah "nenek moyang" itu? Nenek moyang itu adalah leluhur bangsa Israel yang keluar dari Mesir, yang hidup di padang gurun, dan yang akhirnya memasuki tanah Kanaan. Mereka nenek moyang orang Yahudi, bukan nenek moyang orang Yunani. Perhatikan sekali lagi: kepada "kamu" (jemaat Korintus yang sebagian besar bukan Yahudi) itu Paulus bicara tentang "nenek moyang kita". Paulus tidak menggunakan kata "kami" (dia sendiri orang Yahudi, bukan?), melainkan "kita"! Ini sangat penting karena dengan kata itu dia menegaskan bahwa nenek moyang Israel adalah nenek moyang semua orang Kristen dari bangsa mana pun. Semua pengikut Kristus, termasuk kita, adalah keturunan leluhur Israel, Abraham, Isak, Yakub, Ruben, Lewi, Yehuda, Yusuf, dan seterusnya. Juga dalam surat-surat lain, misalnya Surat Roma dan Surat Galatia, Paulus menulis bahwa orang Kristen dari semua bangsa adalah "keturunan Abraham". Setiap orang percaya adalah "anak Abraham". Kesimpulannya: sejarah yang dikisahkan dalam Alkitab adalah sejarah kita! Alkitab mereka adalah Alkitab kita, dan mempunyai arti bagi kita.

Rupanya anggota jemaat Korintus berpendapat bahwa PL tidak punya arti bagi mereka. Mereka tidak berasal dari bangsa Yahudi!

Mereka Yunani. Sejarah Israel bukan sejarah mereka. Kalau orang Yahudi mau mempertahankan pentingnya PL untuk mereka sendiri, silakan. Tapi, janganlah orang Kristen bukan Yahudi direpotkan dengan itu.

Tapi, perhatikanlah apa yang ditulis Paulus dalam ayat 1: "Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan ..." (dan seterusnya). Kata "kamu" merujuk kepada jemaat Korintus yang sebagian besar bukan Yahudi. Tetapi siapakah "nenek moyang" itu?

Nenek moyang itu adalah leluhur bangsa Israel yang keluar dari Mesir, yang hidup di padang gurun, dan yang akhirnya memasuki tanah Kanaan. Mereka nenek moyang orang Yahudi, bukan nenek moyang orang Yunani. Perhatikan sekali lagi: kepada "kamu" (jemaat Korintus yang sebagian besar bukan Yahudi) itu Paulus bicara tentang "nenek moyang kita". Paulus tidak menggunakan kata "kami" (dia sendiri orang Yahudi, bukan?), melainkan "kita"! Ini sangat penting karena dengan kata itu dia menegaskan bahwa nenek moyang Israel adalah nenek moyang semua orang Kristen dari bangsa mana pun.

Semua pengikut Kristus, termasuk kita, adalah keturunan leluhur Israel, Abraham, Isak, Yakub, Ruben, Lewi, Yehuda, Yusuf, dan seterusnya. Juga dalam surat-surat lain, misalnya Surat Roma dan Surat Galatia, Paulus menulis bahwa orang Kristen dari semua bangsa adalah "keturunan Abraham". Setiap orang percaya adalah "anak Abraham". Kesimpulannya: sejarah yang dikisahkan dalam Alkitab adalah sejarah kita! Alkitab mereka adalah Alkitab kita, dan mempunyai arti bagi kita.

Alkitab adalah buku instruksi dan peringatan

Dalam 1 Korintus 10:1-5 Paulus menyebut beberapa fakta sejarah, lalu dalam ayat 6 dan 11 ia menulis,

6 "Semuanya ini telah terjadi sebagai contoh bagi kita, untuk memperingatkan kita, supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat seperti yang telah mereka perbuat."

11 "Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu zaman akhir telah tiba."

Melalui dua kata, yakni "contoh" dan "peringatan", Paulus menjelaskan bahwa sejarah Israel (juga sejarah gereja) bukan hanya "kisah" tentang apa yang telah terjadi pada masa lampau, melainkan juga "contoh" dan "peringatan" untuk gereja Kristen masa kini.

Dalam surat-surat lainnya, Paulus juga menulis tentang ini, misalnya dalam Roma 15:4, "Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci."

Di sini Paulus memakai kata "pelajaran". Istilah ini sangat tepat, apalagi seluruh Kitab Suci memberi pengharapan dan penghiburan kepada kita yang hidup sekarang.

Kepada Timotius, Paulus menulis tentang sifat Kitab Suci, dan juga artinya. Dalam ayat yang sangat terkenal, 2 Timotius 3:16, dia menulis, "Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik."

Setelah Paulus menegaskan bahwa Kitab Suci adalah Firman Tuhan, dia menyebut manfaatnya bagi "pendidikan dalam kebenaran", yaitu sebagai buku pelajaran, pedoman, dan perlengkapan (atau instruksi).

Kata-kata yang digunakan Paulus memperlihatkan bahwa seluruh isi Alkitab bukan hanya "kisah", melainkan-lebih penting lagi!-"contoh", "peringatan", "pelajaran", "pendidikan", "pedoman", dan "perlengkapan". Alkitab benar-benar sangat berarti bagi kita.Sejarah Alkitab berfungsi sebagai "tipe"Dalam Alkitab bahasa Indonesia (TL, TB) fakta-fakta sejarah Israel disebut "contoh" atau "teladan". Kata contoh memiliki beberapa arti:

  • sesuatu yang patut ditiru atau diikuti (msl kelakuan; bnd 1 Korintus 11:1);
  • pola (msl untuk membatik);
  • model (msl rumah).

Sebenarnya arti "pola" dan "model" paling sesuai dengan arti kata "tipe" (bahasa Yunani typos). Juga cocok dengan kata-kata lain yang digunakan Paulus, seperti "pelajaran", "peringatan", dan "pedoman".

- Banyak penafsir cenderung memilih arti pertama tadi. Mereka memperlakukan Alkitab seakan-akan itu buku contoh. Mereka berpikir, kita disuruh untuk meniru Abraham, kita diwajibkan mengikuti contoh Yusuf di Mesir, kita dinasihati untuk hidup seperti Ester, dan sebagainya. Tapi, jika ini juga diterapkan pada 1 Korintus 10, kita akan keliru: apakah kita harus, misalnya, "dibaptis dalam awan dan dalam laut"? Apakah kita harus memakan "makanan rohani" dan meminum "minuman rohani", sama seperti orang Israel di padang gurun?

- Ada juga penafsir yang memakai metode alegori. Dengan demikian, semua fakta sejarah Israel pada masa PL dengan sendirinya "dirohanikan".

Fakta-fakta itu tidak punya arti lagi sebagai fakta, karena yang penting hanyalah "arti rohaninya" atau "arti dalamnya". Misalnya, cerita tentang Rahab yang menyembunyikan dua pengintai Israel di Yerikho. Dalam penafsiran dengan metode alegori, yang diutamakan dalam cerita ini adalah warna tali yang dipakai Rahab untuk menurunkan mereka dari jendela, yakni benang kirmizi (Yos 2:15-18). Warna merah dianggap selalu mengacu ke darah Kristus. Sama halnya, kalau penafsir menggunakan metode biblisisme: ia mencopot fakta-fakta Alkitab dari keseluruhannya, lalu memberi arti tersendiri kepada fakta itu. Ia misalnya menginterpretasikan nasihat Paulus kepada para wanita untuk memakai tudung kepala (1Kor 11:5-6) sebagai aturan umum. Dengan demikian, Alkitab mudah menjadi buku sakral atau buku sihir yang memberi petunjuk-petunjuk supranatural kepada pembacanya (bnd dengan horoskop).

- Paulus, dalam 1 Korintus 10, mempertahankan fakta sebagai fakta.

Fakta-fakta itu terjadi pada saat tertentu dan bermakna untuk semua orang yang mengalaminya saat itu. Lalu fakta itu mempunyai pesan bagi gereja segala zaman dan tempat, bukan untuk ditiru atau tidak ditiru, melainkan untuk digunakan seba gai pelajaran atau instruksi bagi hidup kita sekarang ini. Fakta terjadi tempo dulu, tetapi artinya masih ada hingga sekarang sebagai peringatan.

Jangkauan Kitab Suci menentukan identitas kita

Mengapa hampir semua suku bangsa di bumi mempunyai kebiasaan untuk mengadakan pesta-pesta atau ritus-ritus di mana "cerita-cerita nenek moyang" (mitos) diceritakan, khususnya kepada kaum muda?

Hal itu dimaksudkan bukan hanya untuk mengetahui sejarah suku, melainkan untuk mengajarkan cara hidup yang berdasarkan mitos itu. Benda-benda peringatan (stones of remembrance) di hutan Papua Selatan, misalnya, memberi instruksi tentang dasar hidup suku guna mengokohkan identitas suku.

Sama halnya Israel pada masa PL. Atas nama Tuhan, Musa memberi perintah kepada Israel, yakni agar setiap tahun seluruh hukum Taurat dibacakan kepada mereka. Kita dapat membaca pelaksanaan perintah ini antara lain dalam Yosua 8 dan Nehemia 8.

Selain itu, setiap orang Israel berziarah ke Kemah/Bait Suci setahun tiga kali untuk merayakan Pesta Paskah, Pesta Tujuh Minggu (= Pentakosta), dan Pesta Pondok Daun. Setiap pesta itu berhubungan dengan sejarah Israel. Fakta-fakta sejarah umat Tuhan selalu digunakan sebagai sarana pendidikan agar umat Israel "berjalan pada jalan TUHAN" (Mzm 128). Karena itu, kata "Taurat" (Ibrani "Torah"), yang berarti "ajaran" atau "pengajaran" itu sangat tepat.

Melalui pengajaran itu, identitas Israel sebagai umat perjanjian Tuhan dikukuhkan. Mereka tidak boleh melupakan ajaran Tuhan (Ams 3:1) agar identitas mereka tidak kacau.

Demikianlah Paulus mengajar jemaat Korintus agar dalam dunia kekafiran-yang memang merajalela di Korintus-mereka mempertahankan identitas mereka sebagai Kristen (1Kor 10:14, 18; bnd Ef 4:17-25). Demikian juga kita sekarang, pada abad ke-21 ini.

Setiap hari Minggu, Kitab Suci dibaca dan dijelaskan dalam ibadah kita. Kita juga melakukan kegiatan lain, seperti kebaktian keluarga dan Pemahaman Alkitab. Mudah-mudahan pula kita melakukan kegiatan masing-masing secara pribadi atau di lingkungan keluarga: membaca Alkitab, berdoa, menyanyi. Hendaklah kita selalu membaca Sejarah Suci untuk mengingat pola/model hidup yang sesuai kehendak Tuhan. Dengan demikian kita selalu memperkuat identitas kita sebagai jemaat Kristus.

Seluruh Alkitab berpusat kepada Kristus

Jangkauan Kitab Suci sangat luas karena seluruh isinya mengacu kepada Kristus. Sifat Kristosentris seluruh Alkitab telah dibahas di atas. Dalam pembahasan tentang arti Kitab Suci, Paulus juga menekankan bahwa segala-galanya terhubung kepada Kristus. Dalam 1 Korintus 10:1-13 masih ada dua hal mencolok yang belum kita teliti:

- Paulus mengambil semua fakta sejarah, yang dikatakannya menjadi tipe bagi kita, dari zaman ketika Israel keluar dari Mesir dan hidup di padang gurun sampai mereka memasuki tanah pusaka Kanaan. Faktafakta itu merupakan dasar bagi kehidupan umat Israel di Tanah Kanaan (penggenapan janji Tuhan kepada Abraham). Tanpa fakta-fakta tersebut, mereka pasti masih hidup dalam kegelapan dan kesengsaraan. Faktafakta itu memperlihatkan keselamatan umat Tuhan, sambil mengacu kepada Yesus Kristus (bnd pesta-pesta Israel sebagai peringatan akan fakta-fakta itu). Sejak awal, TUHAN memimpin mereka (melalui awan sebagai tanda kehadiran-Nya). Ia juga memelihara mereka (makan, minum), dan menjanjikan keselamatan yang lebih besar dan istirahat yang kekal bagi mereka. Beberapa kali kata "rohani" menunjuk kepada Kristus (Roti yang hidup, Air yang hidup, 1Kor 10:4).

Kemudian Paulus mengatakan: Tapi Allah tidak berkenan kepada sebagian besar dari mereka (ay 5). Mengapa? Paulus menjawab dengan langsung menerapkannya kepada jemaat Korintus: "supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat ..." (ay 6-10: penyembahan berhala).

- Kepada jemaat muda di Korintus, Paulus menulis tentang berkat-berkat yang diberikan Tuhan kepada umat Israel yang muda. Permulaan bangsa Israel di Kanaan, setelah mereka diselamatkan dari perbudakan di Mesir, berhubungan dengan permulaan gereja di dunia, setelah mereka diselamatkan oleh Yesus Kristus. Tapi, walaupun jemaat Korintus masih muda, mereka dan kita semua "hidup pada waktu zaman akhir telah tiba" (ay 11). Artinya, bagi kita yang hidup sekarang, kesudahan abad-abad telah datang. Fakta-fakta yang disebut oleh Paulus semuanya terjadi pada awal sejarah umat Israel. Kita kini hidup bukan pada awal, melainkan pada akhir sejarah. Tidak lama lagi, Kristus akan datang untuk kedua kalinya.

Hari dan jamnya kita tidak tahu. Tapi, hendaklah kita siap menyambut Dia!

Akhirnya

Dalam ayat-ayat pertama Kitab Amsal (1:1-7), Salomo menyajikan tema bagi seluruh kitab-yang tepat menjadi tema untuk seluruh Alkitab-yakni, "Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan."

Tema itu sangat tepat bagi setiap orang Kristen, keturunan Abraham, agar ia jangan mengabaikan fakta-fakta sejarah sebagai peringatan dan didikan yang jelas. Juga tepat bagi jemaat Kristus agar mereka mendasarkan hidup barunya hanya atas dasar Firman TUHAN. Tugas penafsir adalah mencari arti Kitab Suci supaya menjadi pelajaran dan peringatan bagi jemaat Kristus masa kini.

Aturan 11 Kitab Suci berjangkauan luas, bukan hanya seba gai fakta historis, tapi terutama sebagai pelajaran, peringatan, instruksi, dan pola (tipe) hidup (khu susnya 1Kor 10:1-13; 2Tim 3:16-17).

12. Metode Historis-Kristologis

Dalam bab-bab sebelumnya kita telah membahas beberapa aspek pembacaan dan penafsiran Kitab Suci. Jika semua aspek itu digabungkan, maka ia merupakan metode penafsiran yang tepat dinamai metode Historis-Kristologis. Metode penafsiran yang sesuai Hermeneutik Alkitabiah/Reformed adalah metode yang bertitik-tolak dari Sejarah Penyelamatan Allah (Redemptive History) sebagai uraian fakta-fakta yang sungguh-sungguh terjadi dan yang berarti sebagai pelajaran dan pola hidup bagi umat Tuhan pada segala abad dan tempat. Semuanya berpusat pada Kristus.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk Venema
  3. ISBN:
    978-602-8009-03-4
  4. Copyright:
    © LITINDO 2008
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih