Andaikan Anda membaca roman detektif, Pembunuhan di Wisma Pendeta, karangan Agatha Christie, pe nulis Inggris yang terkenal itu.
Pada awal buku diceritakan peristiwa pembunuhan. Siapa pelakunya, masih rahasia besar. Lalu setahap demi setahap, melalui pemeriksaan reserse, rahasia itu tersingkap. Tapi, semua itu baru jelas pada halaman-halaman terakhir buku tersebut.
Dalam membaca roman atau buku apa saja, pasti Anda membacanya mulai dari halaman pertama dan seterusnya sampai halaman terakhir, bukan? Tidak mungkin Anda membacanya begitu saja, tanpa mempedulikan bab atau halaman buku. Atau membacanya maju mundur, mulai dari halaman 75, lalu melompat ke halaman 32, kemudian 191, lalu mundur lagi ke halaman 128, dan seterusnya. Atau lebih parah lagi, Anda membuka buku itu sembarangan, lalu membacanya mulai dari halaman yang kebetul an terbuka (msl hlm 84), membaca beberapa kata, lalu menginterpretasikan kata-kata yang Anda baca tanpa mempedulikan konteksnya.
Tentu tak seorang pun membaca roman dengan cara aneh seperti itu. Sewajarnya kita membaca buku dari awal sampai akhir, kecuali kalau buku itu kamus atau ensiklopedi.
Jika semua orang membaca buku roman mulai dari awal sampai akhir, sesuai maksud penulis (yang adalah manusia!), bagaimana mungkin banyak orang Kristen yang membaca Alkitab dengan cara-cara aneh seperti di atas, yakni tidak sesuai maksud Penulis (yang adalah Roh Kudus! 2Tim 3:16)? Kenyataannya, banyak orang Kristen yang belum pernah membaca seluruh Alkitab dari awal sampai akhir, menurut urutannya. Mereka hanya membaca secara selektif atau sembarangan. Hari ini mereka membaca satu pasal dalam PB, besok satu perikop dalam PL, lusa pasal lain lagi, dan seterusnya. Atau mereka sengaja melewatkan bagian-bagian tertentu, yaitu pasal-pasal yang menurut mereka "tidak masuk akal", atau bahkan seluruh PL karena menganggap PL itu tidak penting lagi, lalu dalam PB mereka hanya membaca ayat-ayat yang mereka sukai atau yang sesuai prapaham dan visi pribadi mereka saja (seperti Marsion pada abad ke-2). Atau mereka membuka Alkitab begitu saja, membaca beberapa kata, lalu memaknai kata-kata itu lepas dari konteksnya untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Mereka memberi arti yang mendalam kepada kata-kata itu (alegori), atau memahaminya sebagai teladan (contoh), lambang (tipe), atau ramalan (horoskop). Tapi, perkembangan historis karya Tuhan dari awal sampai akhir serta puncak seluruh Alkitab, yakni keselamatan oleh Kristus, tidak mereka perhatikan.1
Mengapa aturan-aturan membaca yang kita gunakan secara otomatis pada saat membaca buku apa pun, tiba-tiba tidak lagi kita gunakan pada saat membaca Alkitab? Padahal, Alkitab adalah buku bacaan yang paling utama. Setiap pembaca dan penafsir Alkitab tentu mempunyai prapaham, tapi yang menentukan bukanlah pendapat subjektif kita, melainkan prolegomena yang objektif, seperti:
Mengapa aturan-aturan membaca yang kita gunakan secara otomatis pada saat membaca buku apa pun, tiba-tiba tidak lagi kita gunakan pada saat membaca Alkitab? Padahal, Alkitab adalah buku bacaan yang paling utama.
Setiap pembaca dan penafsir Alkitab tentu mempunyai prapaham, tapi yang menentukan bukanlah pendapat subjektif kita, melainkan prolegomena yang objektif, seperti:
Prapaham iman tentang inspirasi dan kesatuan Alkitab-jadi bukan hanya Sola Scriptura, tapi juga Tota Scriptura-menentukan cara kita membaca dan menafsirkan Kitab Suci. Kita mengakui bahwa seluruh Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu adalah firman Tuhan yang merupakan satu kesatuan (satu isi, satu pokok, satu konsepsi). Hendaklah kita memandang setiap kitab sebagai segi, bagian, atau "bab" dari kesatuan itu.
Di samping prapaham-prapaham iman tentang inspirasi dan kesatuan Kitab Suci, ada lagi prapaham umum, yakni "hendaklah buku di perlakukan sebagai buku". Setiap pembaca mengakui prapaham ini, entah ia Kristen atau tidak. Namun khusus untuk orang Kristen, pra paham umum ini jauh lebih penting, dalam kaitannya dengan pembacaan buku istimewa, Alkitab. Janganlah orang Kristen dalam pembacaan buku mana pun, mengikuti prapaham umum, sedangkan dalam pembacaan Alkitab, sengaja atau tidak sengaja, mengabaikannya.
Tidak ada orang membaca buku dengan semena-mena mencopot satu bab atau bahkan beberapa kata begitu saja, seakan-akan semua kata atau kalimat dalam buku tidak saling berkaitan. Setiap kata dan kalimat baru mendapat artinya dalam keseluruhan buku. Arti teks ditentukan oleh konteksnya. Bila Anda melakukan angket mengenai hal ini kepada orang-orang di jalanan, akan terbukti bahwa setiap orang mengakui prapaham ini.
Prapaham umum ini sekaligus merupakan aturan membaca nomor satu untuk setiap buku, termasuk Alkitab:
Hendaklah setiap buku dibaca dalam keseluruhannya!
Orang yang hanya membaca satu bab atau beberapa kata saja dari salah satu buku, tentu tidak bisa dikatakan bahwa ia telah membaca buku itu. Demikian juga mengenai Alkitab, orang yang hanya membacanya secara selektif, belum membaca Alkitab! Pembaca seperti itu tidak berhak untuk memberi tafsiran, penilaian, atau tanggapan. Sepatutnya ia diam sampai ia selesai membaca keseluruhan Alkitab. Janganlah orang seperti itu memberanikan diri naik mimbar, lalu "berbicara dalam nama Tuhan" atau "berkhotbah oleh kuasa Roh Kudus."
Alkitab memperkenalkan diri sebagai buku yang merupakan satu kesatuan, di mana setiap kitab berfungsi sebagai "bagian" atau "bab" yang masing-masing menekankan kesatuan Alkitab di bidang isi, visi, dan konsepsi, yakni Kristus (lih Luk 24:32, 44-45; Yoh 5:39). Sebagai buku, Alkitab sama dengan setiap buku lainnya. Keunikannya dan perbedaannya dari semua buku lainnya terletak dalam asal-usulnya-Roh Kudus adalah Auctor Primarius, Penulis Pertama-serta dalam arti dan tujuan isinya.
Inspirasi Alkitab tidak mengecualikan peran manusia sebagai sarana. Tuhan justru berkenan menggunakan manusia biasa (yang berdosa dan yang kemampuannya terbatas!) sebagai Auctor Secundarius, Penulis Kedua, untuk menuliskan Kitab Suci. Roh Kudus tidak mendikte saja. Dan para penulis manusia juga tidak diilahikan agar mereka mampu menulis. Sambil menginspirasikan firman Tuhan kepada banyak penulis manusia, Roh menggunakan bahasa, kebudayaan, kemampuan, dan pendidikan mereka. Akibatnya, mereka bersama-sama menuliskan hanya satu firman Tuhan yang sungguh-sungguh terpahami oleh pembaca/pendengar manusia.
Dengan demikian Tuhan menyatakan diri, artinya, menyingkapkan rahasia diri-Nya dalam buku bacaan yang ditulis dalam bahasa manusia. Buku itu dapat dibaca oleh setiap kita. Buku itu sangat menarik, dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Tolle, lege! Ambillah, bacalah! Dan pujilah nama Tuhan, karena buku itu bukan fiksi melainkan fakta. Melalui buku itu, Roh sungguh-sungguh mengubah hati kita.
Alkitab adalah buku, sama seperti setiap buku lainnya. Namun Alkitab istimewa, karena isinya adalah firman Tuhan. Apa artinya ini untuk pembacaan dan penafsirannya?
Setiap orang yang mampu membaca buku, juga mampu membaca Kitab Suci. Dan setiap orang juga mampu menarik kesimpulan tentang arti buku yang dibacanya. Ia mampu menginterpretasikan dan menafsirkan isi buku. Untuk itu ada lagi aturan membaca yang umum:
Hendaklah setiap buku diinterpretasikan sesuai maksud penulisnya!
Jika seseorang menulis buku untuk menjelaskan pendapatnya tentang pokok tertentu, misalnya isu-isu politik, janganlah pembaca menyalahtafsirkan penjelasan penulis itu. Pembaca tidak berhak menginterpretasikan buku itu sekehendaknya sendiri. Ia wajib menghormati penulis yakni dengan membaca dan menafsirkan isi buku itu sesuai maksud penulisnya. Demikian juga Alkitab. Apa yang berlaku untuk buku-buku biasa, terlebih lagi berlaku untuk Kitab Suci yang Penulis utamanya ialah Tuhan sendiri. Setiap pembaca Alkitab wajib menginterpretasikan apa yang dibacanya sesuai kehendak Penulis, yaitu Allah sendiri. Aturan membaca itu secara eksplisit disebut dalam Alkitab itu sendiri, 2 Petrus 1:20-21: "Yang terutama harus kamu ketahui ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah."
Rasul Petrus mengingatkan bahwa pembaca Kitab Suci tidak diperbolehkan memberi arti kepada firman Tuhan sesuai kehendaknya sendiri. Sepatutnya pembaca menghormati maksud Penulis itu. Roh Kudus mengilhamkan firman Tuhan kepada para penulis Alkitab (melalui inspirasi), selanjutnya mencerahkan para pembaca dan penafsir Alkitab (melalui iluminasi), supaya mereka memahami isi dan maksud Firman itu, lalu memberitakan atau melaksanakannya sebagaimana mestinya, sesuai kehendak Allah.
Teologi Alkitabiah/Reformed selalu mempertahankan dua aturan membaca yang umum itu. Dalam hal ini, Teologi Reformed berbeda dari Teologi Liberal/Neo-ortodoks maupun Teologi Kharismatik:
Walaupun teologi tersebut saling bertentangan, keduanya sebenarnya sama dalam pemberian peran utama kepada manusia untuk menentukan kebenaran Kitab Suci. Menurut yang satu, kebenaran Kitab Suci ditentukan oleh akal budi manusia, sementara menurut yang lain oleh perasaan/pengalaman. Tidak mengherankan bila Teologi Reformed, atas dasar firman Tuhan sendiri (2Ptr 1:20-21), tidak menyetujui pendapat kedua aliran tersebut.
Roh Kudus melibatkan manusia dalam penulisan Kitab Suci melalui inspiratio. Namun tugas Roh tidak selesai di situ. Dia juga mengak tifkan dan bahkan memampukan kita membaca dan menafsirkan Kitab Suci melalui illuminatio. Sepatutnya setiap penafsir berdoa memohon pencerahan Roh Kudus, sebelum ia menafsirkan apa yang dibacanya.
Dalam penafsiran seluruh Kitab Suci, kita bergantung pada pencerahan Roh Kudus. Tanpa pertolongan Roh, maka penafsir, kita atau orang lain, sekalipun ia ahli terkenal, tidak mungkin dapat menafsirkan firman Tuhan secara tepat dan benar. Akibatnya, kita akan menafsirkan sesuai kehendak kita sendiri, sehingga usaha kita tidak sesuai kehendak Tuhan. Kita hanya memberikan pendapat kita sendiri, dan itu bukan penafsiran, melainkan manipulasi.
Tapi, kita atau pemberita firman Tuhan juga tidak boleh pasif menunggu pertolongan Roh Kudus. Kita tidak boleh naik mimbar tanpa persiapan apa-apa berdasarkan anggapan bahwa Roh akan langsung berbicara melalui kita. Untuk pemberitaan, kita memang bergantung pada Roh, tapi sekaligus kita sendiri bertanggung jawab untuk dengan teliti membaca dan menafsirkan Alkitab sesuai aturan-aturannya. Penafsiran memang merupakan pekerjaan berat yang menuntut banyak waktu, apalagi penerapan firman Tuhan ke situasi dan kondisi gereja masa kini. Tapi, justru itulah tugas pelayan Firman, bukan? Kita secara khusus mendapat panggilan Tuhan untuk setiap hari meneliti Firman-Nya dengan seksama, lalu mengabarkan Firman itu kepada umat Tuhan dalam situasi konkret.
Jadi, pembaca, penafsir, dan pengkhotbah tidak boleh mencampuri inspirasi dan iluminasi itu. Hanya penulis-penulis Alkitablah yang mengalami inspiratio. Kata illuminatio atau pencerahan menjelaskan apa yang dilakukan oleh Roh Kudus kepada pembaca Kitab Suci: Dia meneranginya dalam proses penafsiran dan penerapan firman Tuhan. Roh aktif menolong pembaca yang aktif. Jadi dua-duanya aktif.
Contoh:
Mazmur 69
(kutipan dari buku Dr. Jakob van Bruggen, Membaca Alkitab, Bab 1.6)
Mazmur 69 berisi ucapan-ucapan yang keras. Menurut C.S. Lewis,4 ayat 28 bahkan melanggar batas apa yang diperbolehkan menurut Hukum Musa. Dalam ayat itu Daud berdoa sebagai berikut, "Tambahkanlah salah kepada salah mereka, dan janganlah sampai Engkau membenarkan mereka." Apakah orang berhak berdoa seperti itu? Jika demikian, siapa yang berhak melakukannya?
Siapakah yang pertama kali menaikkan doa Mazmur 69 itu? Judul dalam ayat 1 menjelaskannya, yaitu Daud. Untuk eksegese, penting kita mengingat papan nama pada pintu masuk mazmur ini. Untuk mengetahui betapa penafsir-penafsir dengan seenaknya memperlakukan petunjuk mengenai pengarang itu, cukup kita baca buku tafsiran J. Ridderbos.5 Ayat 35-37, yang berbicara tentang "Allah membangun kota-kota Yehuda", diperkirakannya berasal sekurangkurangnya dari Masa Pembuangan atau sesudahnya. Boleh jadi ayat-ayat lain mazmur ini berasal dari zaman yang lebih awal.
Komentar mengenai kemungkinan filologis bahwa judul bahasa Ibrani le-dauid dapat juga berarti "tergolong dalam kumpulan Daud", tidak ba nyak menolong di sini. Terlalu banyak Mazmur yang dapat dipastikan merupakan karya Daud menurut penandaan-penandaan historis yang rinci (Mzm 3; 7; 18; 36; 51; 52; 54; 56; 57; 59; 60; dan 142), mempunyai judul yang sama (le-dauid). Selain itu, dalam PB Mazmur 69 tidak hanya secara formal dikutip sebagai Mazmur Daud (Rm 11:9-10), melainkan juga secara material ditunjukkan sebagai mazmur yang disampaikan "dengan perantaraan Daud" (Kis 1:16). Atas dasar data-data ini, mau tidak mau kita harus memilih arti "(berasal) dari Daud". Buku-buku tafsiran yang tidak memperhitungkan hal itu, sudah langsung kehilangan banyak wewenangnya.
Mazmur 69 adalah gubahan seruan minta tolong kepada Allah dalam keadaan gawat darurat (ay 2-4, dilanjutkan lagi dalam ay 14-19) serta ungkapan kepercayaan dan harapan (ay 31-32, 33-37). Seruan minta tolong itu datang dari seseorang yang mengakui ketidakberdayaannya karena dosa-dosa yang telah dilakukannya (ay 6), dan yang dipukul oleh Allah (ay 27). Dia meminta pertolongan Allah melawan musuh-musuh yang memanfaatkan situasi itu (ay 5, 20-29). Pemazmur mengutamakan keselamatan umat Allah yang sejati (ay 7; 33-37). Dia berjuang untuk rumah Allah (ay 10), dan itu menjadi alasan ia sekarang dihina dan tidak dihargai oleh lingkungan terdekatnya (ay 8-13).
Yang dipertaruhkan adalah seluruh keberadaan umat Israel, setidaknya keberadaannya sebagai umat Allah. Ternyata musuh-musuh tidak datang dari luar, melainkan dari dalam. Dua hal itu membuat kita teringat pada peristiwa Raja Daud, sesudah masa reformasinya, diusir oleh anaknya sendiri, Absalom, dan oleh para penasihatnya sendiri. Dia harus meninggalkan Yerusalem dan Yudea. Tampaknya reformasinya gagal. Apalagi, Simei mengutuki dia. Air yang membinasakan sudah sampai ke bibirnya. Dan Daud-yang telah membunuh Uria-menyadari bahwa dirinya adalah orang yang berdosa, juga pada saat musuh-musuh menyalahgunakan situasi dirinya. Karena Daud tinggal di seberang Sungai Yordan sebagai semacam ra-ja-dalam-pembuangan (betapa khidmatnya penggambaran Daud kembali memasuki Yudea, nanti dalam 2Sam 19:9-43!), tidak perlu kita heran bahwa dalam ayat-ayat 35-37 mazmur bernada pasca pembuangan.
Juga pada masa pengusiran Daud sangat belum tentu, apakah orang-orang benar, yang mencintai Kemah Suci dan nama TUHAN, akan perrnah kembali memiliki tanah Yehuda.
Mazmur karangan Daud yang digubahnya pada saat-saat krisis terbesar dalam hidupnya, ketika ia diusir oleh keluarganya dan menjadi nyanyian ejekan di pintu-pintu gerbang Yerusalem. Gundik-gundiknya diperkosa dengan sewenang-wenang oleh Absalom, anaknya. Dan Daud sendiri melarikan diri terpontangpanting dan kemudian menghilang di seberang Sungai Yordan.
Meskipun Daud berada dalam krisis, tapi ia toh mengarang sebuah mazmur. Yang mengejutkan dalam nyanyian ini bukan seruan minta tolongnya, melainkan motivasi dan tujuan permintaan itu. Fokusnya tetap pada rumah dan umat Allah. Juga sekarang. Ternyata Daud adalah raja TUHAN yang bercirikan keimaman.
Situasi Daud pulih kembali. Dia pulang ke Yerusalem. Apakah itu berarti mazmur telah menjadi kedaluwarsa? Atau mungkin ada sesuatu yang masih "terbuka" dalam nyanyian ini? Mengapa sebenarnya Tuhan memeras keluar mazmur ini dari Daud, kalau situasinya pulih dalam kembalinya ke Yerusalem, kota yang baik itu? Daud sendiri tidak layak menerima kepulangan itu dan juga tidak mampu mengusahakannya.
Mazmur ini tidak mempunyai sifat lagu balas dendam yang dinyanyikan oleh seseorang yang "kembali".
Kita juga tidak dapat mengatakan bahwa semua kesusahan itu perlu terjadi sebagai hukuman atas dosanya dengan Batseba. Daud memang lemah karena dosa-dosanya, tapi keseluruhan situasi itu bukanlah situasi hukuman. Oleh sebab itu mazmur ini juga tidak bersifat nyanyian penyesalan dari seseorang yang bertobat.
Apa yang masih "terbuka" dalam mazmur ini tampaknya terarah kepada Kristus. Di sini Allah memasang pola tertentu dalam hidup Daud, yang baru mendapat arti dalam Yesus.
Oleh karena itu, PB sering mengutip mazmur ini. Kristus sendiri pada awal penampilan-Nya di Yerusalem dengan jelas mengatakan bahwa cinta untuk rumah Allah menghanguskan diri-Nya. Pada Daud hal itu hampir terjadi (Mzm 69:10a), tapi ia tidak dapat melanjutkannya. Bagi Daud itu jalan yang buntu. Tetap misterius mengapa Daud harus melalui jalan buntu itu sampai begitu jauh. Tapi, sekarang-dalam PB-menjadi jelas bahwa hal itu berkenaan dengan Kristus. Dia yang tanpa dosa. Dia sendiri yang menjadi domba persembahan.
Jalan buntu berupa penolakan oleh Yerusalem dapat diubah-Nya menjadi jalan menuju Yerusalem surgawi.
Dalam Yohanes 2:17 Yesus menunjukkannya. Dan Paulus mengikuti pengajaran itu, ketika dalam Roma 15:3 ia pun menghubungkan Mazmur 69:10b dengan Kristus. Sebelumnya, dalam Roma 11:9-10, ia telah mengutip ayat 23-24 dari mazmur yang sama. Daud berdoa minta pertolongan untuk Israel, umat pilihan Allah, tapi ia minta hukuman bagi para pengejek di Yerusalem (yang juga warga-warga Israel, tapi yang telah menjadi musuhnya). Demikianlah sudah nyata sejak dahulu bahwa umat Allah tidak dikenali melalui paspornya, tapi melalui imannya. Lagi pula Petrus mengutip Mazmur 69:26 dalam Kisah Para Rasul 1:20. Daud berdoa supaya perkemahan orangorang Israel yang tidak percaya, dihancurkan pada waktu mereka mengejar-ngejar raja mereka (ay 27). Demikianlah jemaat boleh menganggap bahwa jabatan Rasul Yudas, si pengkhianat, sudah terhapus.
Kalau sekarang kita kembali ke ayat 28, kita melihat bahwa kata-kata ayat itu terungkap dalam situasi hidup atau mati bagi gereja orang berdosa. Yang dipertanyakan adalah, siapa yang akan dibenarkan dalam dunia ini: sahabat-sahabat Allah atau para musuh-Nya? Dari kenyataan para musuh punya ruang gerak yang luas dan dapat mengejek semau mereka, kelihatan bahwa TUHAN bersifat sabar dan murah hati. Apakah kesabaran Allah itu membawa kematian bagi para sahabat-Nya? Hal itu berkenaan dengan Kristus. Dia yang tanpa dosa. Dia sendiri yang menjadi domba persembahan. Jalan buntu berupa penolakan oleh Yerusalem dapat diubah-Nya menjadi jalan menuju Yerusalem surgawi. Dalam Yohanes 2:17 Yesus menunjukkannya. Dan Paulus mengikuti pengajaran itu, ketika dalam Roma 15:3 ia pun menghubungkan Mazmur 69:10b de ngan Kristus. Sebelumnya, dalam Roma 11:9-10, ia telah mengu tip ayat 23-24 dari mazmur yang sama.
Daud berdoa minta pertolongan untuk Israel, umat pilihan Allah, tapi ia minta hukuman bagi para pengejek di Yerusalem (yang juga warga-warga Israel, tapi yang telah menjadi musuhnya). Demikianlah sudah nyata sejak dahulu bahwa umat Allah tidak dikenali melalui paspornya, tapi melalui imannya. Lagi pula Petrus mengutip Mazmur 69:26 dalam Kisah Para Rasul 1:20. Daud berdoa supaya perkemahan orangorang Israel yang tidak percaya, dihancurkan pada waktu mereka mengejar-ngejar raja mereka (ay 27). Demikianlah jemaat boleh menganggap bahwa jabatan Rasul Yudas, si pengkhianat, sudah terhapus.
Kalau sekarang kita kembali ke ayat 28, kita melihat bahwa kata-kata ayat itu terungkap dalam situasi hidup atau mati bagi gereja orang berdosa. Yang dipertanyakan adalah, siapa yang akan dibenarkan dalam dunia ini: sahabat-sahabat Allah atau para musuh-Nya? Dari kenyataan para musuh punya ruang gerak yang luas dan dapat mengejek semau mereka, kelihatan bahwa TUHAN bersifat sabar dan murah hati. Apakah kesabaran Allah itu membawa kematian bagi para sahabat-Nya? Hal itu tidak mungkin benar. Sebab, kalau demikian, Allah tidak adil. Dalam situasi Raja Daud tidak lagi mungkin ada kompromi. Harus ada pilihan antara musuh dan sahabat. Kalau keduanya tetap bersama-sama, habislah Daud.
Oleh karena itu Daud minta tolong atas dasar keadilan Allah. Tidak perlu kalimat "tambah-kanlah salah kepada salah mereka" berarti, "buatlah mereka lebih bersalah daripada yang sebenarnya," tapi dapat berarti, "pandanglah seluruh kesalahan mereka". Pada kasus kepailitan, diadakan peninjauan terhadap semua utang. Utang ditambahkan kepada utang. Dengan demikian tersusunlah pernyataan kepailitan. Saat itu kini sudah tiba. Kalau tidak, Daud akan bangkrut di dunia ini dan begitu juga urusan Allah.
Kalau kita membaca Mazmur 69:28 dalam konteks historisnya, dengan pekerjaan Allah untuk umat Israel sebagai latar belakangnya yang rohani, lalu kita memperhatikan terbukanya ayat ini ke arah pemenuhan di masa kemudian, maka ayat ini mendapat arti yang tidak berlawanan dengan Hukum Musa, dan yang juga tidak bertentangan dengan kasih Kristus. Jika jiwa-jiwa di bawah mezbah bertanya, "Berapa lamakah lagi, ya, Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami kepada mereka yang tinggal di bumi?" (Why 6:10), mereka pun tidak menerima jawaban bahwa doa mereka di luar aturan, melainkan memang bahwa doa itu harus sesuai irama kesabaran Allah. Doa itu tentunya akan terkabul, bukan karena Daud yang semakin tenggelam dalam lumpur, melainkan berkat rahmat Anak Daud yang dibaringkan dalam kuburan.
Untuk Mazmur 69 sebagai berikut:
Berdasarkan prolegomena di atas, kini kita dapat menentukan beberapa hukum atau aturan yang bersama-sama berfungsi sebagai panduan atau pedoman dasar untuk setiap pembacaan dan penafsiran Alkitab. Ilmu yang mempelajari aturan-aturan membaca ini disebut Hermeneutik. Tugas Ilmu Hermeneutik adalah untuk menyajikan "petunjuk-petunjuk jalan" kepada pembaca dan penafsir Alkitab.6
Aturan 1 | Alkitab adalah firman Allah |
Keyakinan iman kita bahwa Alkitab adalah firman Allah merupakan aturan atau hukum pertama dan utama. Pengakuan ini menentukan segala pembacaan dan penafsiran kita. Ada perbedaan besar antara penafsir yang bertolak dari pengakuan ini dan yang bertolak dari pendapat bahwa Alkitab hanya berisi firman Allah, atau bahkan Alkitab adalah refleksi manusia tentang Allah. Untuk penafsir seperti itu, argumentasi akal budi, pengalaman hidup, dan keyakinan pribadi lebih utama dibandingkan pengakuan iman. Penafsir seperti ini akan menganggap Alkitab sebagai buku yang berasal dari zaman kuno (2.000–4.000 tahun lalu!) yang harus ditransformasi atau bahkan direkonstruksi7 lebih dahulu, agar dapat memberi pesan dan saran kepada orang yang hidup pada abad ke-21 ini. Artinya, penafsir ini bukan hanya menerjemahkan bahasa Alkitab yang kuno, melainkan juga mereaktualisasi isinya yang sudah mati-metode ini disebut Neo-hermeneutik. Dalam praktik, penafsir ini bertolak dari situasi masa kini dan menyesuaikan isi Kitab Suci dengan keadaan sekarang. Tapi, bagi kita yang menerima bahwa Alkitab seratus persen firman Allah, Alkitab memiliki otoritas ilahi sampai Kristus datang untuk kedua kalinya. Karena itu, Kitab Suci tidak perlu "dihidupkan kembali" atau "direkonstruksi", karena ia selalu merupakan "Firman yang Hidup".
Aturan 2 | Alkitab adalah buku yang merupakan satu kesatuan sehingga harus dibaca dalam keseluruhannya |
Alkitab adalah buku. Buku itu terdiri dari dua jilid: PL 39 kitab, dan PB 27 kitab. Tapi, ke-66 kitab itu merupakan kesatuan terpadu, mempunyai satu isi, satu visi, satu tujuan. Seluruh Alkitab
mempunyai satu pusat atau inti yaitu Kristus, sehingga tepat disebut Kristosentris. Dalam membaca dan menafsirkan Kitab Suci kita harus selalu menghargai kesatuan dan keseluruhan itu. Kita tidak boleh mencopot ayat-ayat dari konteksnya, melainkan sebaliknya, mencari arti ayat-ayat itu dalam keseluruhannya.
Aturan 3 | Alkitab bukan milik penafsir, karena itu harus diinterpretasikan menurut maksud penulisnya |
Sebagai pembaca dan penafsir, kita tidak mempunyai "hak cipta" atas Alkitab. Alkitab bukan milik penafsir. Pembaca dan penafsir tidak diperbolehkan memanfaatkan Kitab Suci untuk membenarkan visi pribadinya8 atau menginterpretasikan ayat-ayat tertentu sesukanya sendiri,9 seakan-akan penafsir yang menentukan kebenaran Alkitab. Kitab Suci adalah milik Tuhan yang menyatakan diri kepada kita melalui inspirasi Roh Kudus. Kesimpulannya, janganlah menafsirkan Kitab Suci menurut kesukaan kita, melainkan menurut maksud dan kehendak Allah (2Ptr 1:20-21).
Aturan 4 | Alkitab menafsirkan dirinya sendiri |
Karena Alkitab merupakan satu kesatuan yang berasal dari Tuhan sebagai Penulis Utama (Auctor Primarius), maka kita sepatutnya mencari arti setiap bagiannya-entah itu ayat, perikop, pasal, atau kitab-dalam Alkitab itu sendiri. Biarlah Alkitab menafsirkan dirinya sendiri. Misalnya, untuk memahami arti Kitab Ester, kita membutuhkan data-data dalam Keluaran 17; Ulangan 25; dan 1 Samuel 15 (lih di bawah). Tak mungkin kita memahami PL tanpa PB, dan sebaliknya. Arti PB tersembunyi dalam PL, sedangkan arti PL menjadi jelas melalui PB. Dalam praktik penafsiran, Alkitab adalah "buku tafsiran" pertama ke mana kita berkonsultasi. Kita jangan langsung membaca banyak buku tafsiran, sekalipun itu ditulis oleh penafsir termasyhur, atau beralih ke pengalaman kita sendiri.
Keempat "aturan dasar penafsiran" tersebut mempengaruhi seluruh pembacaan dan penafsiran kita. Hendaklah kita menghormati Allah Yang Mahakudus, karena Dia berkenan menyatakan diri kepada kita. Kita meminta pertolongan-Nya untuk memahami Kitab Suci (melalui iluminasi atau pencerahan Roh Kudus), dan sekaligus kita juga menyadari tanggung jawab kita sendiri dalam penafsiran itu.
Contoh: Kitab EsterApa pendapat Anda tentang Kitab Ester? Pilihlah salah satu dari empat opsi yang biasanya terdapat dalam buku-buku tafsiran, yaitu:
Karena nama Tuhan tidak disebutkan dalam kitab ini, maka banyak penafsir yang menganggapnya sebagai sejarah nasional atau bahkan pernyataan nasionalisme kaum Yahudi.10 Yang lain menganggapnya sebagai dongeng atau alegori (simbol). Yang lain lagi, misalnya Reformator Martin Luther pada awalnya,11 menganggap kitab ini tidak layak untuk diterima dalam Alkitab, karena sifatnya yang sekuler atau duniawi (dengan adanya jamuan-jamuan yang melampaui batas, kemabukan, balai perempuan). Kita mungkin bertanya: apakah Tuhan menggunakan caracara seperti itu untuk menyelamatkan umat-Nya? Apakah warga umat Tuhan akan dapat melibatkan diri dalam kekotoran duniawi yang begitu dahsyat? Tentu saja, tidak. Tapi, bagaimana pun, pendapat-pendapat demikian sudah bertolak dari prapaham tertentu.
Kenyataannya, kitab ini termasuk dalam Alkitab dan sudah dianggap sebagai firman Tuhan sebelum PL bahasa Ibrani (Tenakh) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta). Jadi, bagi kita yang mengakui seluruh Kitab Suci sebagai firman Tuhan, hasil pengilhaman Roh Kudus, Kitab Ester juga firman Tuhan. Janganlah kita menyimpulkan berdasarkan isinya bahwa kitab ini bukanlah firman Tuhan, melainkan hendaklah kita mencari arti dan maksud kitab ini karena ia adalah firman Tuhan. Bukan isi yang menentukan sifat kitab ini, melainkan sebaliknya, sifatnya menentukan arti isi Kitab Ester.
Tuhan memang tidak pernah disebut dalam seluruh kitab ini. Namun demikian, Tuhan sendiri hadir dalam setiap pasal kitab ini. Seluruh kitab ini bernapaskan pemeliharaan Allah atas umat perjanjian-Nya. Providensi-Nya-yaitu pemeliharaan dan pemerintahan Allah atas segala ciptaan-Nya, khususnya atas umat perjanjianNya, Israel12-kelihatan dari awal sampai akhir, yakni dalam kontrol-Nya13 atas rancangan-rancangan para pembesar, seperti Ahasyweros dan Haman (bnd Mzm 2). Dialah yang berkuasa atas semua raja dan pegawai di dunia. Dia yang melindungi umat-Nya dari serangan musuh. Rencana keselamatan-Nya tampak dalam pelepasan Israel dari ancaman maut, sehingga mereka tidak kalah melainkan menang: mereka tidak binasa, melainkan hidup. Tuhanlah yang memimpin umat-Nya keluar dari kesusahan. Kitab Ester adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa Tuhan melanjutkan karya-Nya, sesuai janji-Nya.
Kitab Ester mempunyai posisi khas dalam seluruh sejarah penyelamatan Tuhan, yakni dengan memperlihatkan kemenangan Yakub atas Esau, Israel atas Amalek, keturunan perempuan atas keturunan ular, Yesus Kristus atas Iblis. Dua pemeran utama, Mordekhai dan Haman, mengingatkan kita akan peristiwa sejarah Israel, yakni peperangan Saul, Raja Israel, melawan Agag, Raja Amalek (1Sam 15). Mordekhai agaknya adalah keturunan Saul (dari suku Benyamin), sedangkan Haman keturunan Agag (dari bangsa Amalek). Sudah sejak Israel keluar dari Mesir, Amalek-sebagai sarana dalam tangan Iblis-berusaha untuk menghabisi bangsa Israel (Kel 17:816; Ul 25:1719). Tapi, rencana itu tidak jadi karena Tuhan tetap melindungi umat pilihan-Nya. Kemudian, pada masa pemerintahan Saul, ada lagi perang melawan Amalek. Atas nama Allah, Samuel campur tangan dalam perang itu (1Sam 15). Sepanjang sejarah Israel, rencana Amalek tidak pernah terlaksana. Lalu, setelah pembuangan Israel ke Babel berakhir, Haman berusaha lagi menyerang. Kali ini benar-benar serangan mematikan dan terkuat dari pihak Amalek. Tapi, Puji Tuhan, rencana jahat itu gagal lagi! Israel dilepaskanNya dari tangan Iblis, sekalipun melalui cara yang amat duniawi.
208–209. Objek providensi Allah biasanya dibedakan menjadi tiga bagian: pemeliharaan umum (seluruh langit dan bumi), pemeliharaan khusus (manusia), dan pemeliharaan sangat khusus (umat Tuhan). Ada juga pembagian lain berdasarkan sifat providensi itu, yakni pemeliharaan (kata bahasa Latin conservatio), pemerintahan (kata bahasa Latin gubernatio), dan kerja sama (kata bahasa Latin concursus). Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat buku-buku doktrin Alkitab.
Penetapan Pesta Purim menunjukkan kuasa dan kemenangan Tuhan: rencana keselamatan-Nya tidak mungkin gagal! Juruselamat pasti akan datang pada saat yang ditentukan oleh Tuhan sendiri. Tentu saja Iblis akan terus berusaha, misalnya pada saat ia mencobai Yesus di padang gurun (pada awal pelayanan-Nya) dan di kayu salib (pada akhir pelayanan-Nya). Tetapi Iblis tidak berhasil! Keturunan perempuan akhirnya akan meremukkan kepala ular! Kitab Ester mengacu ke kemenangan akhir itu. Umat Tuhan jangan takut!
Kitab Ester memberi penghiburan besar kepada umat Tuhan yang selalu disiksa dan diancam, pada masa lalu dan juga pada masa kini. Iblis tidak akan menang. Bahkan dia adalah musuh yang sudah kalah. Kitab Ester membuktikan bahwa Tuhan mempunyai segala kuasa di langit dan di bumi (Mat 28:18; bnd Mzm 24:1). Dia membawa umat-Nya ke dalam perhentian (Ul 25:19).
- Penulis Penulis Kitab Ester tidak diketahui. Tapi, kitab itu sendiri memperlihatkan (internal evidence) bahwa penulis itu tentunya seorang Yahudi yang menyadari sepenuhnya bahaya rencana Haman untuk melenyapkan umat Yahudi dari muka bumi, dan yang juga mengetahui arti pelepasan mereka dari bahaya itu (alasan dan tujuan Pesta Purim). Selain itu, tampaknya penulis itu bukan orang yang sudah pulang ke tanah pusaka bersama-sama dengan Zerubabel (Yehuda dan Yerusalem bahkan tidak disebut), melainkan penghuni ibukota kerajaan Persia, dan mungkin juga penghuni istana raja (istana musim dingin di Susa), karena ia mengetahui persis kehidupan di istana Raja Persia. Mungkin saja, penulis itu adalah Mordekhai (9:20).
- Waktu penulisan Kitab Ester mungkin ditulis tidak lama setelah peristiwa-peristiwa yang diuraikan di dalamnya (kira-kira 473/472 SM), tapi sebelum Ezra pulang ke Yerusalem (458 SM) pada awal pemerintahan anak Ahasyweros, yakni Artasasta I (= Artaxerxes I, 465–424; lih 8:12).
Pada saat penulisan kitab ini, perayaan Pesta Purim telah menjadi kebiasaan bagi umat Yahudi (9:19). Sering disebut tahun 460 SM sebagai batas waktu; pada tahun itu Kitab Ester pasti sudah ada.
Beberapa ahli berpendapat bahwa Kitab Ester ditulis pada zaman raja-raja Helenistik berkuasa di Timur Tengah, setelah kematian Aleksander Agung, kira-kira tahun 331 SM. Penanggalan demikian pasti berkaitan dengan pendapat mereka tentang sifat Kitab Ester sebagai dokumen nasionalisme bangsa Yahudi yang memuncak akibat kekerasan raja-raja Seleukos. Tapi, penanggalan ini tidak meyakinkan, antara lain karena gaya dan tata bahasa Ibrani yang digunakan oleh penulis Kitab Ester, tidak sesuai masa Helenistik (dalam kitab ini tidak ada pengaruh dari bahasa Yunani).
- Data-data historis pemerintahan Ahasyweros 485 Ahasyweros (Sasta I, Xerxes) menjadi Raja Persia, menggantikan ayahnya Darius I (yang memberi izin untuk melanjutkan pemba ngunan Bait Allah di Yerusalem). Raja ini sangat berkuasa. Kerajaan Persia terdiri dari 20 satrapi (wilayah) yang dibagi atas 127 provinsi (daerah, lih Est 9:30), membentang dari India sampai Etiopia. Dia berperang melawan Yunani untuk memasuki Eropa. Dia sangat kaya, tapi juga sangat "kasar". Dia tidak ragu-ragu me menggal kepala atau memotong tubuh orang yang melawannya. Dia suka jamuan mewah, suka mabuk, berhawa naf su tinggi, bertindak sewenang-wenang (lih buku Herodotus, seja rawan Yunani). Masalah Ratu Wasti bukan perkara luar biasa baginya. Tidak mengherankan, Ester takut menghadap dia tanpa di un dang. Usulan Haman pasti cocok dengan temperamen raja ini.
483 Pesta Ahasyweros untuk semua pembesar dan pegawainya (ps 1) agaknya terjadi dalam rangka persiapan perang melawan Grika (482–479). Ternyata perkara Wasti bukan hal kecil.
Wasti sangat berpe ngaruh sebagai ratu. Sesudah kematian Ahasyweros, dia mendam pingi Raja Artaxerxes, anaknya yang ketiga (yang lahir waktu Wasti di pecat), sebagai Ibu Suri (Queen Mum). Dia meninggal tahun 424.
479 Ester menjadi ratu menggantikan Wasti (hal ini sudah dipersiapkan selama raja pergi berperang). Kita tidak tahu apakah Ester bertugas sebagai ratu hingga saat kematian Ahasyweros. Mungkin dia meninggal lebih dulu, sehingga Wasti kembali menjadi ratu (menurut beberapa ahli Sejarah Antik).
475 Penghormatan Haman, orang Agag. Pangkatnya lebih tinggi dari semua warga negara Kerajaan Persia, kecuali Raja (juga dari Ester dan Mordekhai).
474 Rencana Haman untuk memusnahkan orang Yahudi pada bulan ke-12 (menurut "pur" atau undi). Raja setuju.
474 Kaum Yahudi aman: Haman dibunuh, Mordekhai dimuliakan.
Penetapan Pesta Purim untuk diperingati tiap tahun.
- Beberapa inti Ester 4:12-14, khusus ayat 14b, "Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu."
Lalu 4:15-16, khusus ayat 16b, "kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati" (bahasa Inggris "And if I perish, I perish!"). Perhatikan kesejajarannya dengan peristiwa Yusuf di istana Firaun (Kej 37–50, khusus 45:4-10; bnd dengan Musa di istana Firaun dan Daniel di istana Nebukadnezar).
Ester 6 dan 10, penghormatan atas Mordekhai sementara Haman dihina, adalah tanda kemenangan umat Tuhan atas musuhnya, keturunan perempuan atas keturunan ular (Kej 3:15).
Ester 9:2032, penetapan Hari Raya Purim pada tanggal 14–15 Adar (bulan 12) sebagai peringatan tetap akan keselamatan umat Tuhan dari tangan Haman, orang Agag. Pada hari-hari itulah orang Yahudi mendapat keamanan dari ancaman musuhnya. Dukacita mereka menjadi sukacita, sehingga pada Hari Purim mereka mengadakan perjamuan pesta. Dan mereka juga mengantarkan makanan kepada orang-orang miskin. Pur yang dibuang Haman untuk menghancurkan Israel menjadi kebahagiaan besar untuk seluruh umat Tuhan. Segala syukur kepada Dia!
Dengan demikian, kita dapat merumuskan tema Kitab Ester:
TUHAN selalu hadir untuk menyelamatkan umat-Nya dari bahaya maut, supaya rencana keselamatan-Nya tetap terlaksana.
Jadi, kendati nama Tuhan tidak disebut, Kitab Ester sungguh-sungguh firman Tuhan, hasil inspirasi Roh Kudus. Kitab ini mempunyai posisi tersendiri dalam kesatuan seluruh Kitab Suci. Kitab pendek ini sangat indah!