7. KESALEHAN REFORMASI

Bagaimana Kita Hidup dengan Allah?

Henk Drost dan Hans Maris

Protes...

Kita sebagai kaum Reformasi berada di tengah dunia yang (khususnya di dunia Barat) makin melepaskan diri dari Allah. Biasanya kita diam saja melihat keadaan itu. Bahkan kita mengikutinya. Masih beranikah kita di dunia seperti ini membela Allah dengan radikal?

Dalam bab ini, kedua penulis yang berasal dari Belanda, menceritakan mengenai suatu gerakan Reformasi sekitar tahun 1600-an. Mereka memakai itu sebagai aliran yang mengandung banyak hal yang baik dan yang mungkin dapat direnungkan sebagai teladan kehidupan Kristen pada Abad XXI. Dalam dunia ini gereja menghadapi sekularisasi dan dipanggil menjawabnya dengan berani. Contoh sejarah ini, walaupun dari konteks yang lain sekali, masih dapat menolong kita juga di Indonesia, untuk mencari jawaban yang tepat.

Pada 1600-an juga bergejolak seperti sekarang ini. Muncullah di Belanda sebuah gerakan sesudah Reformasi Akbar di dalamgereja-gereja Protestan. Gerakan ini kemudian disebut ”Reformasi Lebih Lanjut”. Pokok intinya ialah bagaimana Allah dan firman-Nya perlu memainkan peran utama di dunia yang makin melepaskan diri dari Allah. Gerakan tersebut sangat menentukan pemikiran dan wacana Reformasi mengenai kesalehan Kristen. Gerakan baru itu sebetulnya adalah protes terhadap gerakan yang melepaskan diri dari Allah (yang makin berpengaruh juga di dalam gereja-gereja pada waktu itu). Nah, pokok itu sangat aktual bagi kita masa kini.

Bagaimana pada masa kita gereja mendorong dan membentuk suatu kehidupan Kristen yang taat pada firman Allah? Kesalehan Reformasi perlu menyerukan supaya manusia kembali kepada Allah. Itu bukan hal yang ringan. Hal itu adalah suatu perjuangan hebat untuk mempertahankan Allah dan perintah-Nya di dalam dunia yang makin tak mau berurusan lagi dengan Dia dan yang sedang beremansipasi untuk hidup lepas dari Dia. Itulah masalah inti sekularisasi, yang juga makin dekat dengan Indonesia dan yang gejala-gejalanya sudah dapat dilihat di tengah masyarakat.

Sepuluh Kali Reformasi?

Apakah itu ”Reformasi”? Dalam agama Kristen kata ”Reformasi” memperlihatkan skala pengertian yang masing-masing memiliki tekanannya sendiri. Ada dua garis yang utama: Ada kaum Reformasi ortodoks yang membela gigih ajaran yang sehat (kaum Ortodoks).

Garis lain menekankan hal ibadat dan kehidupan yang penuh dengan pengalaman spiritual (kaum Pietis).

”Reformasi Lebih Lanjut” coba bertekad untuk membangun di atas basis ajaran yang murni dan suatu kehidupan yang benar-benar dibaktikan kepada Allah. Pendek kata, bagi mereka yang inti ialah: ajaran dan kehidupan. Kedua garis utama dikombinasikan mereka dan dianggap saling membutuhkan.

Dalam bab ini kita coba belajar dari kesalehan Reformasi itu untuk mencari posisi dan menghadapi dunia yang makin lepas dari Allah pada abad kini.

Dikenal Sebelum Dunia Ini Dijadikan

”KesaIehan Reformasi” cenderung tidak memisahkan diri dari dunia. Ciri khasnya ialah kesadaran bahwa kita telah ditempatkan di tengah dunia ini. Akan tetapi, ciri khas lainnya ialah kesadaran bahwa dosa selalu menghancurkan ciptaan indah Allah, yaitu dunia dan segala yang hidup di atasnya. Sekarang dunia ini benar-benar porak poranda, mirip dengan padang gurun. Dan dalam padang gurun itu manusia yang telah disentuh oleh Allah, haus akan kasihNya. Manusia mendambakan terang murni yang memancar dari keabadian Allah.

Orang Reformasi menyadari, dalam keadaan padang gurun itu, hanya kasih surgawi yang memberi keselamatan. Kesalehan Reformasi dicirikhaskan oleh kerinduan akan kasih yang kekal itu, dan penghayatannya. Yang penting bagi orang Reformasi ialah dia diangkat ke dalam kasih yang ada di dalam Allah.

Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair. Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu. Sebab kasih setia-Mu lebih baik daripada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau.

Mazmur 63: 2-4

Di dalam Allah ada kasih yang kekal. Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus bekerja sama dengan erat untuk menyelamatkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Itulah satu-satunya penghiburan bagi hati manusia yang sedang berkeluh kesah. Dalam Alkitab Allah Tritunggal menunjukkan bahwa Dia telah menjalin kerja sama yang abadi. Tuhan Yesus berkata, ”Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan. Aku tahu bahwa perintah-Nya itu adalah hidup yang kekal. Karena itu, apa yang Aku katakan, Aku sampaikan sebagaimana difirmankan oleh Bapa kepada-Ku” (Yoh. 12:49-50). Kaum Reformasi menyebut rencana kerja sama itu perjanjian penyelamatan atau perjanjian anugerah-perjanjian antara Bapa dan Anak dan Roh di dalam kekekalan untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan zaman yang terjadi akibat kesalahan manusia itu sendiri.

Tentang hal itu seorang penulis gerakan Reformasi Lebih Lanjut,

Wilhelmus à Brakel (1635-1711), menulis: ”Janganlah mengira bahwa yang dibicarakan ini ialah suatu kehebatan intelektual. Yang penting di sini bukan juga bahwa Anda memang mengakui ajaran mengenai penyelamatan yang kekal itu, lalu tidak melakukan apa-apa dengan hal itu. Bukan. Namun, yang dibicarakan di sini ialah iman yang hidup, yang memberi keyakinan bahwa kita aman di dalam dan dari dalam kekekalan. Ajaran mengenai kasih Allah ini, yang senantiasa menggerakkan hati-Nya untuk menyelamatkan manusia ialah dasar dari segala penghiburan, kebahagiaan, kekaguman, dan penyembahan kita kepada Allah.”

Dan sekarang yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana manusia di dunia ini menerima kasih yang kekal itu. Kalau kita menyimak hidup kita sendiri, ada kemungkinan timbul rasa bimbang yang luar biasa. Dan kita tidak akan menemukan jalan keluar yang sesungguhnya kalau kita mencari-cari di dalam diri kita sendiri.

Cahaya yang memancar dari kekekalan kasih Allah hanya dapat menerangi hidup kita yang penuh dosa ini kalau kita mendengarkan suara Tuhan Yesus, yang mengatakan bahwa semua orang yang datang kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal.

Kaum Reformasi melalui proses jatuh bangun sering mengalami bahwa semakin kita memperhatikan diri kita sendiri, semakin hati kita diliputi rasa bimbang dan ragu. Namun, semakin kita memandang Kristus, hati kita semakin dipenuhi kasih dan rasa yakin. Dialah jalan menuju kekekalan. Berkat pengorbanan-Nya, Dia memiliki kasih yang kekal itu. Dia menaruh kita di dalam terang yang kekal itu.

Dan manusia yang diperkenankan untuk mengalami hal itu, akan dipeluk oleh kasih yang kekal di dalam dunia yang dingin dan tanpa kasih ini. Wilhelmus à Brakel telah menulis tentang perjanjian yang kekal itu dan tentang keyakinan bahwa Allah sejak dahulu telah mengasihi kita dengan kasih yang abadi, yakni:

”Di dalam Perjanjian Anugerah itu dinyatakan suatu kasih yang sungguh luar biasa, yang melampaui segala akal budi. Kita benar-benar beruntung bahwa dalam perjanjian yang kekal ini kita sudah dikenal oleh Allah, dan bahwa Dia mengingat kita, bahwa Bapa telah memberikan kita kepada Anak-Nya, dan bahwa kita telah dicatat oleh Anak dalam buku- Nya, ya, bahwa kita boleh menjadi bagian dari kasih yang kekal itu, yang ada di antara Bapa dan Kristus untuk menyelamatkan kita! Itu sungguh suatu mukjizat! Dan yang penting sekarang bukanlah lagi iman yang mengharapkan masa depan, dan bukan juga perbuatan-perbuatan baik yang membuat kita mengira bahwa kita akan diselamatkan oleh Allah. Sekarang yang menjadi pokok hanyalah kasih dan kerelaan yang kekal. Sesungguhnya, Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal! (Yer. 31:3). Kasih itu telah menggerakkan hati Bapa; kasih itu juga yang telah menggerakkan hati Tuhan Yesus. Perjanjian itu ialah perjanjian kasih yang diadakan oleh Allah yang penuh kasih dengan pihak yang lain, tanpa memedulikan apakah pihak itu menyenangkan atau tidak. Alangkah bahagianya orang yang termasuk di dalam perjanjian itu dan yang telah diterima oleh kasih yang kekal itu, dan yang diterangi dan dihangatkan olehnya sehingga dia tergerak untuk mengasihi balik, dan mengatakan: ’Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita’ (1Yoh. 4:10).”

Itu benar-benar luar biasa karena Allah adalah Yang Kudus. Dia membenci dosa dan ketidaktaatan yang sudah merupakan ciri khas keberadaan kita setelah kejatuhan ke dalam dosa. Meskipun begitu...

Dia datang kepada kita dengan penuh kasih. ”Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm. 5:8). Dengan kata-kata itu telah digambarkan dengan sangat tajam perbedaan antara Allah yang kudus dan kita manusia yang berdosa. Kita ini bersalah, kita ini pendosa, dan musuh Allah.... Meskipun begitu Dia menunjukkan kasih yang besar itu kepada kita! Maka kesadaran alkitabiah ini sangat mewarnakan kesalehan Reformasi dan membuat kita sangat rendah hati, sekaligus merasakan suatu perasaan bahagia yang meluap-luap karena menerima anugerah itu.

Hidup karena Roh

Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; Sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.

Mazmur 51: 18-19

Hal yang benar-benar dihayati dalam kesalehan Reformasi ialah dari diri sendiri kita tidak mungkin menjalin kontak dengan Allah, melainkan Allahlah yang harus menggerakkan kita. Pada hakikatnya hati manusia sama sekali tidak terbuka untuk mengadakan hubungan itu. Masih harus terjadi banyak hal dengan diri kita sebelum dapat terjalin kontak dengan kekekalan. Dan itu juga adalah karya Allah.

Di sinilah masuk peran Roh Kudus dalam melaksanakan Perjanjian Anugerah itu.

Roh Kudus berkenan untuk mengolah hati manusia. Banyak yang dilakukan-Nya di situ, sehingga terjadi pergumulan yang hebat dalam kehidupan manusia. Di hati kita itu Roh bergumul dengan kita. Kita melawan Roh, seperti dilakukan Yakub di sungai Yabok. Memang sudah menjadi sifat kita manusia untuk tidak mau menuruti kehendak Allah. Sebab itu terjadi pergumulan yang sengit.

Sering kita keluar dari pergumulan itu dengan babak belur, tetapi seperti digambarkan oleh Alkitab dengan begitu indah Yakub tetap menang ketika kasih Allah yang kekal menaklukkannya. ”Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: ”Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” Lalu tampaklah kepadanya matahari terbit, ketika ia telah melewati Pniel; dan Yakub pincang karena pangkal pahanya” (Kej. 32:30-31). Roh Allah bergumul melawan kita. Akan tetapi, bagaimanapun, pada akhirnya oleh anugerah Allah, kita sendiri ingin berjalan di jalan yang ditunjukkan Allah.

Yang penting ialah keselamatan dari Allah menjadi konkret dalam hidup manusia. Yang penting ialah justru kehidupan yang praktis.

Yang penting ialah kesalehan itu ada dalam kehidupan seharihari. Kehidupan itu akan berkembang, setelah Allah mematahkan kesombongan kita. Kita baru akan menikmati hidup dan keselamatan yang sejati setelah kita menyadari, berkat anugerah Allah, bahwa kita layak dihukum mati. Arti yang radikal dari kata ”anugerah” ini membuat kita bahagia, terheran-heran, dan teramat senang: kita boleh hidup dalam anugerah Allah, seperti matahari menyinari kita.

Seperti kita lihat dalam Kitab Mazmur, kedalaman kesadaran bahwa kita ini manusia celaka, letaknya sangat berdampingan dengan tingginya kidung yang memuji anugerah Allah. Kata-kata seperti yang ada dalam Mazmur 103, kita ucapkan juga penuh sukacita:

Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita. Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia Pujilah TUHAN, hai segala buatan-Nya, di segala tempat kekuasaan-Nya! Pujilah TUHAN, hai jiwaku!

Mzm. 103:10-13, 22

Perubahan Manusia: Beraneka Ragam Cara

Di dunia Reformasi sudah banyak ditulis tentang urut-urutan terjadinya keselamatan: bagaimanakah Allah memberi hidup yang kekal dan kekayaan-Nya yang abadi dalam hidup manusia? Lalu berdasarkan Alkitab orang berusaha menyusun cara Roh Kudus bekerja melalui langkah-langkah tertentu, seperti panggilan, kelahiran kembali, iman, pertobatan, dan pembenaran. Alkitab juga memberi petunjuk mengenai momen-momen tertentu di jalan keselamatan kita.

Demikianlah kita membaca dalam Roma 8:29-30: ”Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya”. Pemilihan Allah bersifat abadi, terwujud pelaksanaannya di dalam sejarah dan di dalam jangka waktu kehidupan seorang manusia.

Percakapan tentang urut-urutan yang berkaitan dengan jalan konkret itu, menimbulkan bahaya bahwa kita akan mencoba untuk mengikuti skema itu. Akibatnya, timbul ketidakpastian tentang karya Allah di dalam hati kita karena kita meletakkan jalan kita sendiri di samping ”skema ajaran” itu. Namun, Wilhelmus à Brakel sudah menunjukkan dengan jelas bahwa yang penting ialah hidup yang baru ada di dalam diri kita. Dan jalan yang dilalui orang ini atau orang lain untuk menuju pada keselamatan dan kehidupan yang sesuai, dapat sangat berbeda-beda. Janganlah kita saling membebani dengan sebuah skema teologis. Alkitab juga tidak melakukannya.

”Ada orang yang bertobat cepat, hanya dalam sekejap mata seperti Zakheus. Ada juga orang yang bertobat karena hatinya dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah, seperti pada hari Pentakosta. Ada pula orang yang tidak merasakan ketakutan itu, tetapi tergerak hatinya oleh indahnya kasih Yesus. Akan tetapi, yang paling sering terjadi ialah pertobatan yang memerlukan proses panjang dengan bermacam-macam keadaan: kemenangan, pergumulan, dukacita dan sukacita.”

Skala pengalaman yang sangat luas itu disebut oleh À Brakel ”jalan biasa yang ditempuh Allah bersama-sama dengan seorang yang hendak bertobat, sejak dia pertama kali merasa yakin, sampai saat yang menentukan, di mana dia menerima Kristus. Orang yang belajar mengenal Tuhan Yesus Kristus pasti akan mengetahui adanya bermacam-macam aspek dari apa yang terjadi antara Allah dan dia.

Dan ada kemungkinan besar bahwa jalan yang ditempuh seseorang sangat berbeda dengan jalan orang yang lain.

Penunjuk Jalan: Firman Allah

Allah yang memilih, dan Dia pula yang mengubah aku. Itu adalah keyakinan Reformasi yang sangat mendalam: semuanya harus datang dari pihak Allah, dan bukan dari diriku sendiri. Hal itu dapat menyebabkan manusia mengambil sikap iman yang sangat pasif, di mana dia hanya harus menunggu saja. Namun, kalau kita membaca Alkitab mengenai pokok itu, kita tahu bahwa bukan itu yang dimaksudkan. Pada zaman awal Reformasi Lebih Lanjut, ada orang bernama Willem Teellinck yang berbicara tentang ”mengurus hal kelahiran kembali”. Dalam ungkapan yang mencolok itu, kita melihat apa yang dikatakan Alkitab menjadi menyatu, yaitu bahwa iman harus benar-benar datang dari Allah, tetapi bahwa hal itu tidak membuat manusia menjadi pasif.

Allah memberi sarana-sarana yang harus dipakai oleh manusia, kalau dia ingin memperoleh keselamatan Allah. Dan dalam hal itu Alkitab adalah sarana yang terpenting. Alkitab merupakan sumber utama kesalehan Reformasi. Justru karena manusia yang telah dilahirkan kembali itu tidak pernah layak dipuji tinggi, maka manusia selalu dituntun pada Alkitab dan didorong membacanya.

Barang siapa mengira bahwa dia dapat menemukan arah yang benar berdasarkan kesalehannya sendiri, pasti akan tersesat. Hanya Firmanlah kompas yang menunjukkan jalan kehidupan yang baru, dan sumber kesalehan yang benar.

Jadi, ciri khas kesalehan Reformasi ialah Alkitab yang terbuka.

Yang selalu dibaca dalam hidup sehari-hari. Seorang teolog Reformasi (Prof. Dr. H. Jonker) menceritakan kenang-kenangannya tentang kakeknya: ”Setiap hari kakek saya mencari petunjuk di dalam Alkitab. Hal itu terbukti dari keadaan Alkitabnya. Banyak sudut halamannya sudah usang dan berwarna kehitam-hitaman, tanda bahwa sangat sering dibalik-balik. Dalam percakapan denganorang-orang, beliau dapat mengutip bagian-bagian panjang dari Alkitab.

Ada satu halaman yang begitu sering dibacanya, sehingga hampir rusak, yaitu yang memuat Yesaya 40. ’Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir’.”

Mengapa halaman itu dibaca berulang-ulang sampai rusak? Karena di situ ada penghiburan bagi orang-orang yang sangat sering tersandung.

Berkali-kali mereka menemui kegagalan, begitu kerap mereka jatuh tersandung. Realitas itu menimbulkan kerinduan akan penghiburan untuk menjalani hidup sehari-hari.

Dalam kerinduan itu manusia membaca Alkitab-setiap hari, untuk menjumpai Juru Selamat, meskipun dia menyadari bahwa dirinya penuh dosa dan kekurangan. Namun, dalam melakukan itu dia merasa sangat yakin bahwa dia pasti akan diselamatkan! Keyakinan itulah yang tidak pernah rusak.

Selain itu, dia mengingat kembali bahwa dalam melayani Allah yang juga Bapa dari Yesus Kristus, hatiku terbuka penuh sukacita.

Jalan ketaatan dan kasih-jalan itulah yang ingin kutempuh.

Kristus: Harapan Satu-satunya dalam Keadaan Putus Asa

Ketika kerinduan akan kekudusan besar, rasa frustrasi pun makin besar.

Justru karena ada cita-cita yang tinggi mengenai kehidupan dengan Allah sesuai hukum Taurat dan sesuai Injil, kesalehan Reformasi juga mengenal jurang-jurang yang dalam. Tidak mungkin manusia berhasil 100% hidup menurut norma Allah. Berulang kali muncul dosa dan kesalahannya sendiri. Sebab itu kaum Reformasi menyadari, dan ingin menyadari bahwa keselamatan harus datang dari luar, tidak dari diri mereka sendiri, melainkan dari Pihak Yang Lain.

Jalan menuju Kristus ialah jalan penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Dan jalan itu diwarnai oleh emosi yang mendalam, rasa benci terhadap dosa, dan terhadap diri sendiri. Ada kalanya jalan itu membawa rasa putus asa. Kita ingat kepada hamba Tuhan, yaitu Daud, yang juga telah menempuh jalan itu ketika dia jatuh ke dalam jurang dosa yang sangat dalam, dan insyaf betul bahwa tak bisa dia menyalahkan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Dan pada saat- saat seperti itu, tampaknya sama sekali tidak ada jalan keluar. Kita insyaf benar bahwa dari diri kita sendiri, hidup kita tidak mungkin diperbaiki lagi. Harapan kita satu-satunya ialah Allah melihat betapa hidup kita telah macet total. Sebab kita yakin bahwa Allah tidak akan menolak kita dalam keadaan yang morat-marit itu. Meskipun manusia membenci dirinya sendiri, tetapi Allah tidak membencinya. Derita kita itu dipandang-Nya sebagai usaha untuk datang kepada-Nya: ”Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mzm. 51:19).

Jalan iman ialah jalan yang ditempuh orang dengan berjalan pincang-seperti Yakub. Ada saat di mana kita merasakan kebahagiaan yang tulus dalam melayani Allah, dan ada saat juga di mana terjadi begitu banyak pergumulan dalam hati kita, lagi pula dari luar datang berbagai perlawanan dan tantangan. Kadang-kadang kita menjadi putus asa karenanya. Memang kita sering terancam untuk merasa putus asa, tetapi selalu timbul lagi harapan kalau kita menyadari bahwa Allah hendak melakukannya. Kristus adalah harapan kita. Sebab itu, keterarahan kepada Tuhan Yesus Kristus (orientasi kepada Kristus) dapat disebut puncak kesalehan Reformasi. Hal itu membuat tokoh Reformasi seperti pendeta Willem Teellinck (1579-1629) menjadi sangat terharu.

”Ya Tuhan Yesus, Engkaulah satu-satunya penghiburan bagi semua orang yang merasa terbeban karena dosa mereka. Engkaulah harapan dunia, kebahagiaan surga, nyawa kehidupanku, tenaga kekuatanku, satu-satunya Tuhanku, sahabatku, penghiburku, sukacitaku, hidupku, keberadaanku, segala-galanya bagiku; ya Tuhan, sayangilah daku, jangan sembunyikan wajah-Mu lagi dariku; teteskanlah dalam hatiku setitik dari darah-Mu yang mencuci bersih segala dosaku, sehingga hatiku yang seperti sumber air yang keruh, menjadi indah dan suci seperti air mancur yang memancarkan air yang bersih dan jernih....”

Alangkah mengharukan kasih Yesus. Kristus adalah satu-satunya harapan.

Dia pula yang telah menjadikan hati manusia dapat tinggal dalam kehidupan yang sama sekali baru. Karena Dialah, maka Mazmur 119 terbuka menyatakan: ”Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku.”

Karena Kristuslah, maka orang yang bergumul dengan kehidupannya itu tahu bahwa dia telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru, yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya (Kol. 3:9-10). Dengan demikian perspektifnya: Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu (Kol. 3:11).

Bersama-sama di Gereja

Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku! Mazmur 84:4

”Siapakah yang dapat memikirkan gereja tanpa tersentuh oleh kasih kepadanya? Gereja adalah yang paling indah, yang paling murni, yang paling unggul dari apa pun di bumi ini. Dunia tanpa gereja adalah sama dengan Sodom. Bahkan dunia ini tidak ada kalau tidak ada gereja.”

Wilhelmus à Brakel menekankan rasa cinta kepada gereja berdasarkan pergaulan yang dihayati manusia dengan Allah. Inilah ketentuan yang dibuatnya: ”Seorang Kristen harus sangat mencintai dan menghormati gereja.” Dia mengajak kita untuk memperhatikan segala kebaikan dan berkat yang diberikan Allah kepada gereja. Kalau kita memperhatikan semua itu, kita pasti akan mencintai gereja.

Sebab di dalam gereja bercahaya matahari kebenaran. ”Di situlah Yesus membenarkan dan menguduskan kita (...), di situ orang-orang yang lemah dikuatkan, yang sedih dihibur, yang tidak tahu-menahu diajar, yang sesat dibawa ke jalan benar, yang lamban diberi dorongan. Di situ jemaat saling memberi semangat supaya melakukan perjuangan rohani....”

Sungguh merdu kata-kata itu! Akan tetapi, benarkah itu? Bukankah praktiknya berbeda? Memang, tetapi kalau Anda melihat banyak sekam di antara beras yang Anda tampi, janganlah hanya memperhatikan sekamnya. Bukankah yang penting berasnya?

Akan tetapi, memang, kata-kata yang indah tentang kasih terhadap gereja itu, sulit untuk dicerna. Sebab, menurut hemat kita, ada perbedaan yang jauh antara apa yang diperlihatkan Alkitab tentang gereja, dan apa yang kita lihat di sekitar kita, atau di dalam jemaat kita.

Alkitab menggambarkan jemaat sebagai gereja yang hidup dengan kudus. Gereja bagaikan pengantin perempuan Kristus yang mengenal kasih. Kristus sendiri, raja gereja, memandang gereja sebagai bagian dari diri-Nya sendiri, tubuh-Nya sendiri!

Namun, dalam praktik, keadaannya sangat berbeda. Anak-anak Allah yang sejati, kadang-kadang sangat kewalahan dalam menghadapi segala kelemahan, keadaan suam-suam kuku dan dosa di dalam gereja.

Dan hal itu menciptakan ketegangan. Mereka menjadi kurang sabar.

Dan sering juga menjadi marah. Ada kalanya mereka bertanya dalam hati, apakah mereka akan tetap menjadi anggota gereja... atau pindah ke gereja yang lain... atau membentuk kelompok baru, yaituorang-orang yang betul-betul Kristen! Di mana semua anggota penuh dengan semangat yang berkobar-kobar untuk Allah? Kapankah saat itu, yang membenarkan seorang Kristen untuk masuk jalan itu?

Dalam sejarah gereja Reformasi setelah Reformasi Akbar, terlihat garis utama ini: kita harus pergi (dan mendirikan gereja sendiri) bilamana sudah jelas bahwa ajaran gereja sama sekali tidak aman lagi, tidak murni lagi, dan kurang sehat. Namun, apa yang harus kita lakukan kalau kehidupan di gereja sudah tak ada warnanya lagi?

Apakah itu alasan untuk bersama-sama membentuk gereja di mana hanya ada orang-orang Kristen yang penuh semangat dan yang telah dilahirkan kembali?

Tokoh seperti Wilhelmus à Brakel telah bergumul dengan pertanyaan itu. Dia merasa tertarik pada persekutuan Reformasi yang radikal, yang dipimpin Jean de Labadie, yang telah memisahkan diri dari gereja yang penuh dosa, dengan tujuan membentuk jemaat yang kudus, sebuah ”gereja Reformasi yang murni”. Dan memang benar, hal itu sangat dekat dengan kerinduan orang-orang yang sungguh Reformasi. Wilhelmus à Brakel mencari Allah dalam doa untuk memperoleh hikmat. Dia ke tempat tenang bermeditasi dan berdoa. Dan setelah dia kembali dari perundingan rohani ini, dia membuat pilihan yang tegas: kita tidak boleh meninggalkan gereja, meskipun keadaannya di situ sangat tidak kudus. Itu bukan pilihan yang paling mudah.

Itu berarti bahwa dia harus memilih untuk tetap bergumul di tengah hempasan ombak gereja, dan tidak boleh mendarat sambil beristirahat dalam jemaat kecil yang merupakan pelabuhan yang aman, yang telah kita seleksi sendiri.

Kesalehan Reformasi ingin menjadi kesalehan gerejawi. Itu ialah keyakinan bahwa Roh Allah ingin bekerja di situ, membagikan keselamatan di situ, memberikan kasih di situ. Manusia tidak mungkin dapat hanya mengandalkan kesalehannya sendiri tanpa memerlukan gereja. Allah bekerja melalui gereja, tetapi hal itu selalu dialami dalam semacam hubungan kasih-benci. Eva van der Groe-saudara perempuan seorang pendeta terkenal dari Reformasi Lebih Lanjut-bercerita bahwa sejak kecil dia dibesarkan dalam gereja Reformasi, di mana orang tidak mencari atau menanyakan kebenaran secara mendalam, tetapi hanya mementingkan pengakuan iman secara lahiriah saja. Dan yang juga diawasi dengan ketat supaya orang jangan hidup dalam dosa yang terlalu besar. Bagi banyak orang, semua itu terlalu lahiriah, terlalu banyak iman di bibir dan terlalu sedikit iman di hati. Untuk mengalami iman di hati itulah, orang-orang yang benar-benar percaya membentuk kelompok-kelompok (yang dinamai ”konventikel”) untuk saling membangun dalam iman sejati yang dihayati.

Apakah itu jalan yang benar?

Tidak. Alkitab menegaskan bahwa kita harus rela melayani seluruh gereja. Pilihan untuk tinggal melayani semua dan tidak pergi, selalu menimbulkan banyak emosi: kerinduan, pergumulan, putus asa, kasih, ketidaksabaran.... Bukankah yang diperjuangkan ialah pengantin perempuan Kristus, yang untuknya Dia telah menyerahkan diriNya guna menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa dengan itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela? (Ef. 5:25-27).

Barang siapa dengan sadar tetap memutuskan untuk membela seluruh gereja, tidak pernah menjadi orang Kristen yang sudah merasa mapan.

Di Dalam Dunia, tetapi...

Celakalah aku, karena harus tinggal sebagai orang asing di Mesekh, karena harus diam di antarakemah-kemah Kedar!
Cukup lama aku tinggal bersama-sama dengan orang-orang yang membenci perdamaian.
Aku ini suka perdamaian, tetapi apabila aku berbicara, maka mereka menghendaki perang.
Mazmur 120:5-7

Kita tidak bersikap Reformasi apabila menarik diri dari dunia. Justru Reformasi Lebih Lanjut berusaha menarik dunia ini supaya percaya kepada Kristus. Dunia ini milik Allah. Bukankah ada tertulis: ”Pada waktu itu akan tertulis pada kerencingan-kerencingan kuda: ’Kudus bagi TUHAN!’ (Za. 14:20)?”

Apakah gereja yang bercorak Reformasi memang hidup di tengah dunia? Atau dilihat orang bagaikan kelompok yang mengucilkan diri dari dunia? Namun, orang yang mengecam keras tindakan itu, sebaiknya menyadari ada keadaan-keadaan yang sulit sekali bagi seorang Kristen untuk hidup di tengahnya. Di lapangan kerjanya, atau di tempat lain di mana dia berada, di mana dia dihina dan dicemoohkan. Atau apabila dia harus diam di tempat di mana nama Allah terus-menerus diejek dan dicela. Atau di mana agama Kristen dibenci atau para penganutnya dianiaya. Sering alasan mengapa seorang menarik diri dari dunia ini ialah karena hatinya sangat terluka dan bukan karena dia yakin bahwa itulah yang dikehendaki oleh Allah.

Reformasi Lebih Lanjut justru ingin membawa seluruh kehidupan ini di bawah firman Allah. Namun, setiap orang yang berusaha keras untuk melaksanakannya, akan menjumpai banyak perlawanan. Dunia ini tidak mau mendengarkan. Apakah sebaiknya kita tidak lagi berurusan dengan dunia ini?

Kaum Reformasi menyadari bahwa tanpa Kristus, mereka sendiri pasti akan binasa selamanya. Justru kesadaran itu memberi cahaya keharuan dalam hidup kita di tengah-tengah dunia yang menuju pada kebinasaan: ”Kalau Allah bisa mengampuni dosaku, Dia pasti juga bisa mengampuni semua pendosa yang lain.” Karena kita sendiri telah mengalami anugerah Allah, kita pun merasa prihatin memikirkan dunia yang ada dalam bahaya. Kesadaran bahwa kita telah menerima anugerah, menimbulkan sikap misioner. Namun, alangkah sulitnya untuk melaksanakannya... dalam dunia yang tidak mau!

Dunia ini sangat keras. Di mana-mana ada orang-orang yang menghujat nama Tuhan. Mereka hidup tanpa mengindahkan perintah Allah. Melihat itu, seorang anak Tuhan merasa terluka. Kita bukan dari dunia ini, tetapi kita ditaruh di dunia ini untuk mendiaminya, untuk terus-menerus mengingatkan dunia ini tentang dosa-dosanya, untuk membawa dunia ini kepada Allah, Pencipta segala makhluk.

Menuju ke Negeri yang Kekal

”Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku mengetahui betapa fananya aku!”

Mazmur 39: 5

”Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya”

Mazmur 73: 28 Orang Reformasi adalah musafir karena orang-orang yang telah bertobat, tidak merasa kekerasan lagi di dunia ini. Mereka sudah ditangkap oleh Allah, dan sekarang mereka berjalan menuju kepadaNya, sumber segala kasih, supaya dalam perjumpaan sesudah kehidupan ini, mereka dapat terus-menerus memuji Dia dan mengucap syukur kepada-Nya.

Namun, yang lebih kuat daripada pengalaman mengenai dosa dan pertentangan di sekitar kita di dunia ini ialah dosa dan perlawanan dalam hati kita sendiri, yang menyebabkan kita merindukan kesempurnaan.

Orang Reformasi dapat dengan heran memandang orang-orang Kristen tertentu yang bersikap seolah-olah tidak ada masalah apa pun dalam kehidupan iman mereka. Apakah mereka tidak pernah mengalami pergumulan? Apakah mereka tidak pernah merasakan betapa dalamnya dosa-dosa mengiris hati, sehingga menyadarkan mereka bahwa di sini, di dunia ini mereka akan selalu berjalan pincang?

Apakah pendapat mereka yang begitu optimis tentang kehidupan kristiani, tidak membuktikan bahwa pesan dalam Alkitab tentang dosa yang mengiris hati dengan begitu tajam itu, dan disikapi dengan acuh tak acuh oleh mereka?

Roh Allah yang kudus datang dan berdiam di dalam hati kita. Itu sungguh luar biasa. Dan itu suatu kenyataan. Dan Roh Kudus layak mendapat pujian. Dia membawa kasih, sukacita dan kegembiraan yang meluap. Namun, bukankah bait di mana Dia mau tinggal itu, sering merupakan reruntuhan? Roh datang kepada manusia yang fana.

Dia datang dalam kehidupan manusia yang penuh dosa. Dan hal itu menimbulkan ketegangan yang tidak akan hilang sepanjang hidup kita. Kita baru dibebaskan dari ketegangan itu kalau kita sudah bersama Allah di surga.

Ada seorang yang selama hidupnya telah melayani Allah dengan sepenuh hati. Ketika dia merasa bahwa ajalnya tidak lama akan tiba, dia mengungkapkan kerinduannya yang besar akan kehidupan yang menantinya di surga. Dia mengatakan: ”Di sana aku tidak perlu lagi berbuat dosa!” Dia tahu bahwa saatnya akan tiba di mana dosa tidak lagi menjadi halangan. Yang ada hanyalah sukacita yang abadi.

Demikianlah dia memberi kesaksian tentang kerinduannya yang kuat.

Akan tetapi, juga tentang keyakinannya yang kukuh: kehidupan dalam persekutuan dengan Allah, tanpa halangan apa pun-itulah yang menantikan aku.

Alangkah senangnya andai kata dosa hanya hal sepele. Dalam kehidupan anak-anak Allah, dosa tetap merupakan kuasa yang patut ditakuti. Kita sering mengalaminya, seperti tertulis dalam Peraturan Ajaran Dordt:

”Dari situlah timbul dosa-dosa yang setiap hari dilakukan akibat kelemahan, dan noda yang masih melekat pada perbuatan-perbuatan orang-orang kudus yang paling baik pun. Hal ini bagi mereka senantiasa menjadi alasan untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan mencari perlindungan pada Kristus yang disalibkan itu. Oleh karena itu, mereka juga kian lama kian mematikan daging dengan berdoa dalam Roh dan dengan latihan-latihan suci dalam hidup saleh, dan mereka sangat rindu akan tujuan, yaitu kesempurnaan. Mereka berbuat demikian sampai saat mereka dilepaskan dari tubuh maut lalu bersama dengan Anak Domba Allah akan memerintah di surga”, Pasal Ajaran Dordrecht V/2.

Kaum Reformasi sangat menyadari bahwa juga sesudah karya Kristus, ya bahkan sesudah mereka dibebaskan dari dosa-tidak tersedia jalan yang mudah untuk dijalani oleh mereka. Barang siapa berjalan bersama Kristus, berjalan di jalan salib-Nya-dalam kepastian mengenai kebangkitan. Hal itu membuat kita merindukan surga. Ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus itu memang jauh lebih baik. Baru di surga kita dapat menghormati Dia dengan cara sepatutnya, sebab baru di sana perjuangan melawan ketidaksempurnaan akan berakhir.

Kerinduan itu diwarnai oleh kasih. Yesus sungguh layak dipuji. Singa dari Yehuda yang rela menjadi Domba yang berdarah, harus menerima segala kemuliaan. Akan datang saatnya nanti di mana segala makhluk akan berlutut menyembah Dia. Itulah awal dari kekekalan bagi mereka yang menjadi milik Kristus untuk selama-lamanya. Itulah penggenapan yang kekal dari segala harapan, doa, dan kerinduan.

Semuanya telah mulai pada Allah. Dan semuanya menuju kepada Dia. Jalan itu tidak berada di luar dunia ini, melainkan melintasi dunia ini. Dan di situ kita berjalan di belakang Dia, yang telah melintasi dunia ini. Kita berjalan di belakang Juru Selamat, melintasi dunia ini menuju Rumah. Jalan itu tidak mudah, tetapi meskipun begitu dia penuh dengan harapan....

Pertanyaan-pertanyaan untuk Dibahas

1. Bicarakan bersama apa makna pengenalan tentang Tuhan Yesus Kristus bagi kalian masing-masing.
2. Adakah unsur-unsur kekurangan tertentu dalam usaha kita menjalani iman?
3. Bagaimana keseimbangan yang alkitabiah antara pengalaman kita sebagai orang berdosa di hadapan Allah, dan pengalaman setelah kita dibarui oleh Roh?
4. Pernahkah Anda mempertimbangkan untuk meninggalkan gereja? Pada saat bagaimanakah hal itu bisa dipertanggungjawabkan di hadapan TUHAN?
5. Bicarakan bersama kerinduan Anda pada hidup yang kekal. Apakah kerinduan itu ada? Apakah yang paling Anda rindukan?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk ten Brinke, J.W. Maris, dkk.
  3. ISBN:
    978-602-0904-68-9
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak, 2006
  5. Penerbit:
    Literatur Perkantas