Pada 31 Oktober 1517 Martin Luther memaklumatkan 95 dalil yang mengkritik Gereja Katolik Roma. Gereja Katolik Roma tak tinggal diam. Dalam sebuah pembelaannya, pada petang hari 18 April 1521, di persidangan kota Worms, Jerman, Luther berkata, Di sini saya berdiri, saya tidak dapat berbuat yang lain. Kiranya Tuhan Allah menolong saya. Amin.
Di mata Luther, kebijakan menjual surat indulgensia penghapusan siksa, bahkan untuk orang mati, melawan kebenaran Alkitab. Dengan tegas, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya karena iman–sola fide, yang merupakan tanggapan dari anugerah Allah–sola gratia. Hidup hanyalah anugerah Allah. Luther sendiri diilhami kala membaca surat Paulus kepada jemaat di Roma: Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: Orang benar akan hidup oleh iman (Rm. 1:17). Sejatinya, Paulus pun juga hanya menggemakan kembali nubuat Habakuk: Orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya (Hab. 2:4).
Kisah reformasi sesungguhnya kisah baca-tulis. Seandainya Paulus tidak mengutip nubuat Habakuk dalam kitabnya–dan Luther juga tidak membacanya– mungkin peta kekristenan akan menjadi lain. Karena itulah, dalam menyambut 500 tahun reformasi, Literatur Perkantas menerbitkan karya-karya klasik penguat iman umat pada masanya. Sebab kami percaya, mengutip Pengkhotbah, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (Pkh. 1:9). Zaman boleh berubah, nilai-nilai Kerajaan Allah kekal sifatnya.
Jangan Ada Orang yang Memegahkan Diri karya Arthur van Delden–merupakan buku ketiga dari Seri 500 tahun Reformasi– yang mencoba memberian penjelasan ringkas Pasal-pasal Ajaran Dordrecht.
Pasal-pasal Ajaran Dordrecht merupakan dokumen pengajaran reformatoris yang telah teruji waktu. Meski hampir berusia 400 tahun–Sinode Nasional Gereja-gereja Reformasi Belanda Serikat diadakan di Dordrecht pada 1618 dan 1619–dokumen ini tetap mampu menginspirasi banyak orang hingga hari ini, juga umat Kristen di Indonesia pada abad digital ini.
Tentu bukan maksud kami kembali membuka luka lama perihal perdebatan teologis yang telah berusia hampir empat abad itu! Tetapi, kami meyakini bahwa umat Kristen di Indonesia pada abad digital ini bisa belajar mengenai ajaran predestinasi (pemilihan) serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya tujuan pembuatan Pasal-pasal Ajaran Dordrecht adalah untuk membela ketiga prinsip Reformasi yaitu sola fide hanya oleh iman, sola gratia hanya oleh anugerah, dan soli Deo Gloria segala puji hanya bagi Allah. Dua prinsip terakhir terancam karena salah tafsir golongan Arminian mengenai prinsip pertama sola fide hanya oleh iman.
Pasal-pasal Ajaran Dordrecht menegaskan bahwa iman kepada Yesus Kristus dan keselamatan oleh-Nya adalah pemberian Allah yang cuma-cuma, seperti tertulis, Sebab karena anugerah kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah (Ef. 2;8). Juga, Sebab kepada kamu dikaruniakan untuk percaya kepada Kristus (Flp. 1:29). Pemilihan adalah rencana Allah sejak semula yang tidak berubah-ubah. Dia memilih sejumlah orang dari segenap umat manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, agar mereka memperoleh keselamatan di dalam Kristus. Orang yang dipilih itu tidak lebih baik atau lebih layak daripada orang lain. Semuanya adalah anugerah Allah belaka!
Di tengah dunia yang menawarkan informasi yang cepat dan bersifat relatif, kita dipanggil Tuhan untuk membagikan sesuatu yang tetap dan bersifat kekal, baik dalam hal kesaksian maupun pemeliharaan iman. Kita juga dipanggil Tuhan untuk menawarkan nilai-nilai kehidupan. Kita tidak dipanggil untuk menawarkan kefanaan kepada dunia, tetapi nilai-nilai kekal. Dan di tengah terpaan rupa-rupa angin pengajaran, kita perlu mewariskan pengajaran iman kristen, yang diharapkan dapat terus dihayati dan dihidupi generasi berikut. Pada hemat kami, buku ini merupakan perbendaharaan reformasi penting bagi generasi digital dalam menjalankan pangilannya selaku pengikut Kristus pada abad XXI ini.
Selamat membaca!
Sabtu Sunyi 2017, Yoel M. Indrasmoro